Anda di halaman 1dari 6

Kamis, 23 Juli 2009

Kondom Tidak Efektif Mencegah HIV/AIDS

Thursday, 24 April 2008 02:18


Kondom Tidak Efektif Mencegah HIV/AIDS
Kondom mampu mencegah penularan HIV/AIDS. Benarkah pernyataan tersebut? Apakah
kondom benar-benar efektif mencegah penularan HIV/AIDS?
Efektivitas penggunaan kondom guna menangkal penularan HIV/AIDS banyak diragukan
sejumlah pakar, tidak saja ahli dalam negeri tetapi juga banyak peneliti internasional.
Walaupun demikian, ada juga sejumlah pakar yang menyangkalnya dan meyakini
bahwa kondom efektif untuk menangkal virus HIV/AIDS. Polemik ini baru menyentuh
masalah teknis, belum psikologi massa, dan juga aspek sosiologis.
Salah seorang pakar di negeri ini yang gencar mengampanyekan rendahnya efektivitas
penggunaan kondom sebagai pelindung dan sebagai penangkal penyebaran virus
HIV/AIDS adalah Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari. Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ini sejak bertahun-tahun lalu tidak bosan-bosannya menyerukan
kepada masyarakat dan juga pemerintah tentang fakta ilmiah tersebut.
Menurut Dadang, Di Indonesia, masih saja ada kelompok masyarakat yang menyatakan
kondom seratus persen aman. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Survei di
lapangan dan penelitian di laboratorium membuktikan bahwa penggunaan kondom hanya
dapat mereduksi resiko penularan, tetapi tidak dapat menghilangkan sama sekali resiko
penularan virus HIV/AIDS.
Beberapa temuan ilmiah seputar rendahnya efektivitas kondom bagi upaya penyebaran
virus HIV/AIDS, dipaparkan seperti dibawah ini:
Direktur Jenderal WHO Hiroshi Nakajima (1993) menyatakan bahwa efektivitas
kondom diragukan.
Pernyataan J. Mann (1995) dari Harvard AIDS Institute yang menyatakan bahwa tingkat
keamanan kondom hanya tujuh puluh persen.
Penelitian yang dilakukan oleh Carey (1992) dari Division of Physical Science,
Rockville, Maryland, USA, menemukan kenyataan bahwa virus HIV dapat menembus
kondom. Dari 89 kondom yang diperiksa (yang beredar dipasaran) ternyata 29 darinya
terdapat kebocoran, atau dengan kata lain tingkat kebocoran kondom mencapai tiga puluh

persen.
Dalam konferensi AIDS Asia Pasific di Chiang Mai, Thailand (1995), dilaporkan bahwa
penggunaan kondom aman tidaklah benar.
Disebutkan bahwa pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori
dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam
keadaan meregang, lebar pori-pori tersebut mencapai sepuluh kali. Sementara ukuran
virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian, virus HIV dapat dengan leluasa
menembus kondom.
Laporang dari Customer Report Magazine (1995) menyatakan bahwa pemeriksaan
dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat pori-pori kondom yang sepuluh
kali lebih besar dari virus HIV.
M. Potts (1995), Presiden Family Health Internasional, salah seorang pencipta kondom
mengakui, Kami tidak dapat memberitahukan kepada banyak orang sejauh mana kondom
dapat memberikan perlindungan pada seseorang. Sebab, menyuruh mereka yang telah
masuk ke dalam kehidupan yang memiliki resiko tinggi (seks bebas dan pelacuran) ini
untuk memakai kondom sama saja artinya dengan menyuruh orang yang mabuk
memasang sabuk ke lehernya.
V. Cline (1995), professor Psikologi Universitas Uttah, Amerika Serikat, menegaskan
bahwa memberi kepercayaan kepada remaja atas keselamatan berhubungan seksual
dengan menggunakan kondom adalah sangat keliru. Jika para remaja percaya bahwa
dengan kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, berarti
mereka telah tersesatkan.
Pakar AIDS, R. Smith (1995), setelah bertahun-tahun mengikuti ancaman AIDS dan
penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan safe sex dengan cara
mengunakan kondom sebagai sama saja dengan mengundang kematian. Selanjutnya,
beliau mengetengahkan pendapat bahwa penularan/penyebaran HIV/AIDS dapat
diberantas dengan cara menghindari hubungan seks diluar nikah.
Di Indonesia pada tahun 1996 yang lalu, kondom yang diimpor dari Hongkong ditarik
dari peredaran karena lima puluh persen bocor.
Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Biran Effendi (2000) menyatakan bahwa
tingkat kegagalan kondom dalam Keluarga Berencana (KB) mencapai dua puluh persen.
Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Prof. Dr. Haryono Suyono (1994) bahwa
kondom dirancang untuk Keluarga Berencana dan bukan untuk mencegah HIV/AIDS.
Dapat diumpamakan bahwa besarsnya sperma seperti ukuran jeruk garut, sedangkan
kecilnya virus HIV/AIDS seperti ukuran titik. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kegagalan kondom untuk program Keluarga Berencana saja mencapai dua puluh

persen, apalagi untuk program HIV/AIDS, maka akan lebih besar lagi tingkat
kegagalannya. (Majalah Eramuslim Digest, Edisi Koleksi 5)
Intinya, jika ingin mencegah penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya adalah
dengan menjauhi zina. Tampaknya, kondom hanya alat yang dibuat supaya seseorang
aman dan nyaman berbuat zina. Kalaupun pada suatu saat nanti ditemukan kondom yang
benar-benar aman dari virus HIV/AIDS, lalu apakah para pezina itu aman dan nyaman
dari murka Allah? Silahkan nilai sendiri..
http://bagusprasetyo.blogspot.com/2009/07/kondom-tidak-efektif-mencegah-hivaids.html
Jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat. Ditjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (PP&PL) Departemen Kesehatan melaporkan, pengidap
HIV dan Kasus AIDS hingga 30 September 2006, angka kumulatif pengidap infeksi HIV
mencapai 6.987 orang, sedangkan pengidap AIDS sebesar 4.617 orang.
Dalam Periode Juli-September 2006, diterima laporan AIDS dan HIV sebanyak 655
orang dan 90 orang. Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Jawa Timur,
Papua, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jawa
Tengah dan Sulawesi Selatan. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 30
September 2006 adalah 3,47 per 100.000 penduduk (Sensus 2000). Rate kumulatif kasus
AIDS tertinggi dilaporkan dari propinsi Papua (14,68 kali angka nasional). DKI Jakarta
(8,28 kali angka nasional), Bali (2,81 kali angka nasional), Maluku (2,58 kali angka
nasional), Kalimantan Barat (1,76 kali angka nasional), Riau + Kepulauan Riau (1,71 kali
angka nasional), Sulawesi Utara ( 1,47 kali angka nasional), dan Bangka Belitung (1,41
kali angka nasional).
Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan menunjukkan jumlah 4,6 : 1.
Sedangkan menurut cara penularan, kasus AIDS kumulatif terbesar berasal dari pengguna
narkoba suntik (IDU), yang dilaporkan sebesar 52,6 %, Heteroseksual 37,2 %, dan
Homoseksual 4,5 %. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok
umur 20-29 tahun (54,77%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (26,56%) dan
kelompok umur 40-49 tahun (8,04 %).
Semakin meningkatnya jumlah pengidap HIV/AIDS dan buruknya perilaku seksual
masyarakat yang dianggap sebagai katalisator penyebaran virus HIV/AIDS memaksa
perlunya kampanye penggunaan kondom dalam hubungan seksual. Iklan layanan
masyarakat yang dibintangi Edo Kondolongit menyebutkan dengan jelas ajakan
penggunaan kondom itu.
Baby Jim Aditya, aktivis AIDS berpendapat bahwa penggunaan kondom itu "penting"
bagi mereka yang sudah tahu terinfeksi HIV. Menurutnya, keluarga perlu memberikan
pendidikan seks bagi anak-anak mereka sejak usia dini. Ia menambahkan bahwa
hubungan seks yang biasa terjadi di kalangan PSK yang umumnya adalah orang muda
berusia 16-20 tahun itu mengakibatkan mereka menjadi kelompok yang beresiko tinggi
terkena HIV/AIDS. Maka, ia menyarankan penggunaan kondom kepada para PSK setiap

kali berkencan. Kondom selain digunakan untuk mencegah kehamilan dan juga untuk
mencegah tertularnya HIV/AIDS. Pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan
sebuah peraturan tahun 1996 yang mewajibkan PSK menggunakan kondom.
Sikap Gereja Katolik
Gereja Katolik sebenarnya tidak setuju dengan penggunaan kontrasepsi yang sangat
artifisial itu. Gereja mengajarkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi mengurangi makna
luhur hubungan seksualitas di antara dua orang yang terikat dalam perkawinan sah.
Sedangkan terhadap mereka yang belum menikah, Gereja jelas mengajarkan bahwa
hubungan seksualitas hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah terikat dalam
perkawinan.
Paus Benediktus XVI saat ini sedang menyusun dokumen berkaitan dengan penggunaan
kondom serta virus HIV/AIDS. Namun masih ada pertentangan mengenai penggunaan
kondom dalam hubungan seksual ketika seseorang diketahui terjangkit virus HIV. Dalam
perkembangannya terakhir, Kardinal Javier Lozano Barragan kepala Komisi Kepausan
untuk Pelayanan Kesehatan telah mencoba membahas dasar untuk menentukan
penggunaan kondom disertai alasan mendesak yang melatarbelakanginya. Paus
Benediktus XVI sendiri sedang mempelajari untuk merekomendasi sebelum memutuskan
apa yang akan disampaikannya dalam dokumen mengenai penggunaan kondom ini.
Memang ada ketegangan, setelah beberapa tahun Kongregasi untuk Ajaran Iman
mengevaluasi penggunaan kondom. Polemik yang berkembang bukan lagi soal kondom
untuk mencegah terjadinya kehamilan. Karena, Gereja Katolik telah lama menyatakan
bahwa kondom sebagai alat kontrasepsi memang tidak boleh dipakai untuk program
keluarga berencana. Pertanyaan yang terus ditanyakan adalah, apakah Gereja
mengijinkan kondom untuk mencegah penyebaran HIV / AIDS ? Pertanyaan itu muncul
karena banyak orang bisa mati tertular virus HIV / AIDS. Namun Gereja berpendapat
bahwa orang pun tetap bisa tertular HIV / AIDS sekalipun menggunakan kondom, karena
pemakaian kondom tidak 100 % efektif.
Salah satu jalan yang dianjurkan Gereja bagi pasangan yang positif terjangkit virus HIV /
AIDS ialah tidak menyebarkannya dengan tidak berhubungan seksual dengan siapapun.
Apalagi kondom tidak 100 % mencegah seseorang terjangkit virus HIV / AIDS. Pasangan
yang telah menikah sebenarnya memiliki beberapa pilihan bagaimana mereka harus
mengatur keintiman hidup perkawinan mereka. Selain itu, kembali ke pendapat klasik,
penggunaan kondom berarti tindakan yang sangat nyata yang berpotensi membunuh
calon janin. Jalan satu-satunya mencegah penyakit berbahaya itu ialah pantang. Cara ini
tidak memberi resiko apapun dengan kehidupan (Catholic Condom Use, Jessica
Steinmetz: 2006)
Argumen Menolerir Kondom
Seorang pakar teologi moral mengatakan Gereja melarang penggunaan kondom, namun
pandangan ini bertentangan dengan pandangan sejumlah pakar teologi moral yang
mengatakan, penggunaan kondom dapat diijinkan untuk mencegah penyakit yang
mengancam kehidupan.

Pastor Piet Go Twan O.Carm, kepala Departemen Dokumen dan Penerangan Konferensi
Waligereja Indonesia (Dokpen KWI), mengatakan bahwa posisi para pejabat Gereja ialah
melarang penggunaan semua alat kontrasepsi termasuk kondom yang bertentangan
dengan ajaran moral Gereja. "Namun para moral teolog mempunyai cara pemikiran yang
lain," tambahnya.
Mengutip pandangan pakar teologi moral tindakan moral harus ditinjau menurut maksud
dan tujuan. Penggunaan kondom untuk mencegah kehamilan berbeda dengan penggunaan
kondom sebagai alat untuk melindungi diri dari ancaman penyakit yang mematikan.
Pakar teologi moral itu menyarankan sebuah pendekatan "A-B-C" untuk menggunakan
kondom. Abstinence (pantang), being faithful (setia pada pasangan), dan condom
(kondom), dengan prioritas diberikan pada A dan B. "Jika A dan B tidak bisa, maka
penggunaan kondom sebagai alat melindungi diri terhadap penyakit yang mengakibatkan
kematian tidak dapat disalahkan," katanya.
Memang terjadi serba dilematis untuk menjelaskan penggunaan kondom. Di satu pihak
kita setuju dengan penggunaan kondom untuk mencegah HIV/AIDS dan penyakit lain.
Namun di lain pihak, kita khawatir karena orang menggunakan kondom untuk melakukan
seks bebas. HIV yang menyebabkan AIDS tertular dari seorang kepada yang lain melalui
hubungan seks atau cara-cara lain yang memungkinkan terjadinya kontak cairan-cairan
tubuh. Penggunaan kondom itu minus-malum. Artinya pilihan yang kurang buruk dari
yang terburuk untuk mencegah dampak negatif. Selain itu disertai kampanye bahwa cara
yang terbaik untuk mencegah HIV/AIDS ialah dengan memberikan penyuluhan secara
kontinu, khusus bagi kaum muda, untuk menyadarkan mereka akan bahaya HIV/AIDS.
Para pemuka agama dan umat beragama pada umumnya dalam memberikan konseling,
program-program penyadaran, dan pendidikan, khususnya bagi orang muda, perlu
mendesak agar orang-orang yang menikah itu setia kepada suami atau istrinya, agar
terhindar dari
HIV/AIDS.
Pastor Go yakin bahwa ilmu pengetahuan pada akhirnya menemukan jawaban terhadap
masalah HIV/AIDS, namun ia mendesak umat Katolik untuk memprioritaskan memilih
cara berpantang dan setia pada pasangan, serta peduli kepada orang yang terjangkit virus
HIV / AIDS. (Imam praja Keuskupan Surabaya, tinggal di Ponorogo)
Tanda-tanda atau Gejala AIDS
Dalam jangka 5-10 tahun tanda-tanda khusus tidak ada pada orang-orang yang
telah terinfeksi HIV. Setelah itu AIDS mulai berkembang dan menunjukkan gejalagejala sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Kehilangan berat badan secara drastis.


Diare yang berkelanjutan.
Pembengkakan pada leher dan/atau ketiak.
Batuk secara terus menerus.

Apabila seseorang telah menunjukkan salah satu dari gejala tersebut, belum dapAt
dipastikan orang tersebut telah terinfeksi HIV, sehingga untuk memastikannya
diperlukan pemeriksaan/test darah HIV pada layanan-layanan kesehatan terdekat.
Melalui penglihatan saja tidak dapat mengetahui bahwa seseorang telah terinfeksi
HIV atau tidak, karena pada kenyataannya pengidap HIV terlihat sangat sehat. Satusatuny cara untuk mengetahuinya adalah melalui test darah HIV. Di Indonesia cukup
banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat membantu seseorang
pengidap HIV untuk mendapatkan pelayanan test darah

http://www.bnpjabar.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=335:hiv-aids-dan-dampaknya&catid=53:artikel&Itemid=192
Surabaya eHealth. AIDS adalah penyakit yang sangat kompleks tidak hanya masalah
kesehatan, tetapi juga dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan sehingga perlu
penanganan dari berbagai pihak, ujar dr. Esty Martiana Rachmie, Kepala Dinas
Keseshatan Kota Surabaya.
http://www.surabaya-ehealth.org/dkksurabaya/berita/workshop-pengembangankurikulum-hivaids-di-lingkungan-lembaga-pendidikan-ma%E2%80%99arifPerlu diketahui bahwa HIV terdapat pada cairan tubuh seperti darah, cairan sperma,
cairan vagina, dan air susu ibu. HIV hanya dapat ditularkan melalui cairan tubuh,
misalnya menggunakan jarum suntik secara bergantian, jelas dr. Esty.
pat ditularkan melalui cairan tubuh, misalnya menggunakan jarum suntik secara
bergantian, jelas dr. Esty.
1. Direktur Jenderal WHO Hiroshi Nakajima (1993) menyatakan bahwa efektivitas
kondom diragukan.
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=193431670

Anda mungkin juga menyukai