Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, makalah ini dapat
diselesaikan tepat waktu.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sebagai penyusun ucapkan kepada dr.
Aida Fithrie, Sp.S sebagai pembimbing di Departemen Neurologi RSUP. Haji Adam Malik
Medan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan waktunya dalam membimbing
dan membantu selama pelaksanaan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
segala kritik dan saran yang membangun atas makalah ini dengan senang hati penyusun
terima. Penyusun memohon maaf atas segala kekurangan yang diperbuat dan semoga
penyusun dapat membuat makalah lain yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................... ii
Daftar Isi.............................................................................................................................. iii
Bab I
Pendahuluan........................................................................................................ 1
Bab II
Tinjauan Pustaka................................................................................................. 2
2.1. Anatomi........................................................................................................ 2
2.2. Definisi......................................................................................................... 3
2.3.Etiologi.......................................................................................................... 3
2.4. Patofisiologi ................................................................................................ 4
2.5. Gambaran Klinis.......................................................................................... 5
2.6. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 7
2.7. Gambaran Radiologis................................................................................... 8
2.8. Staging......................................................................................................... 18
2.9. Penatalaksanaan........................................................................................... 20
2.10. Komplikasi ................................................................................................ 21
2.11. Pencegahan................................................................................................. 21
2.12. Prognosis ................................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh dunia. World
Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 8 juta
kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang meninggal akibat penyakit ini. 1
Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan
malnutrisi.2 Walaupun manifestasi tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini
dapat mengenai organ apapun, seperti tulang,traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat.3
Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus tuberkulosa ekstrapulmonal
dan paling sering melibatkan tulang belakang4, yaitu sekitar 50% dari seluruh kasus
tuberkulosa tulang.5 Keterlibatan spinal biasanya merupakan akibat dari penyebaran
hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi pada sistem genitourinarius.6
Percival Pott pertama kali menguraikan tentang tuberkulosa pada kolumna
spinalis pada tahun 1779. Destruksi pada diskus dan korpus vertebra yang berdekatan,
kolapsnya elemen spinal dan kifosis berat dan progresif kemudian dikenal sebagai
Potts disease.6 Walaupun begitu tuberkulosa spinal telah diidentifikasi pada mumi di
Mesir sejak 3000 tahun sebelum masehi dengan lesi skeletal tipikal dan analisis
DNA.7
Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan prevalensi yang lebih
besar pada negara berkembang. Tulang belakang adalah tempat keterlibatan tulang yang
paling sering, yaitu 5-15% dari seluruh pasien dengan tuberkulosis.8
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang dianggap paling berbahaya karena
keterlibatan medula spinalis dapat menyebabkan gangguan neurologis. Daerah lumbal dan
torakal merupakan daerah yang paling sering terlibat, sedangkan insidensi keterlibatan daerah
servikal adalah 2-3%.9
Defisit neurologis pada spondilitis tuberkulosa terjadi akibat pembentukan abses dingin,
jaringan granulasi, jaringan nekrotik dan sequestra dari tulang atau jaringan diskus
intervertebralis, dan kadang-kadang trombosis vaskular dari arteri spinalis.10
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit kronik dan lambat berkembang dengan gejala
yang telah berlangsung lama. Riwayat penyakit dan gejala klinis pasien adalah hal yang
penting, namun tidak selalu dapat diandalkan untuk diagnosis dini. Nyeri adalah gejala utama
yang paling sering. Gejala sistemik muncul seiring dengan perkembangan penyakit. Nyeri
punggung persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang, demam dan
komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi berlanjut. Gejala lainnya menggambarkan
penyakit kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan fatigue. Diagnosis biasanya
6,10
tidak dicurigai pada pasien tanpa bukti tuberkulosa ekstraspinal.
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversial; beberapa penulis
menganjurkan pemberian obat-obatan saja, sementara yang lainnya merekomendasikan obat-
obatan dengan intervensi bedah. Dekompresi agresif, pemberian obat anti tuberkulosis selama
9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi
Paru-paru adalah sepasang organ berbentuk kerucut di rongga toraks. Kedua
paru dipisahkan oleh jantung dan struktur-struktur lain di mediastinum, yang
membagi rongga toraks menjadi dua bilik secara anatomi. Setiap paru dilindungi oleh
dua lapis membrane serosa yang disebut membrane pleura. Bagian superfisial, disebut
pleura parietal, melapisi dinding dari rongga toraks; bagian dalam, pleura viseralis,
melapisi dan melindungi organ paru-paru (Tortora & Derrickson, 2009).
Paru-paru berlokasi di atas diafragma, sedikit superior dari klavikula dan
berada di antara iga anterior dan iga posterior. Bagian inferior yang luas dari paru, the
base, berbentuk konkaf dan berada di atas diafragma. Permukaan sempit di bagian
atas dari paru disebut apeks. Permukaan lain dari paru berada di rongga toraks, pada
permukaan kosta, berbentuk sama dengan permukaan kurvatura melengkung kosta.
Permukan medial dari paru, mediastinum, terdapat hilum, melalui masing-masing
bronkus, pembuluh limfa, perjalanan saraf masuk dan keluar. Struktur ini melekat
dengan pleura dan jaringan ikat (Tortora & Derrickson, 2009).
Definisi
Tumor jinak paru adalah perubahan pertama dari sel paru berupa metaplasia
skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.
Keadaan ini disebut masa pra kanker(Sylvia, 2004).
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas
atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak
normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan
2.3.
1. Yang berhubungan dengan paparan zat karsinogen, seperti: abestos, radiasi ion pada
pekerja tambang uranium, radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik, hidrokarbon, vinil
klorida.
2. Polusi udara
3. Genetik
Terdapat perubahan mutasi gen yang berperan dalam kanker paru, yakni: Proto
oncogen, Tumor supressor gene, Gene encoding enzyme
4. Teori onkogenesis
Gen supresor tumor mengalami delesi/insersis yang dibantu oleh predisposisi
inisiator, kemudian menjadi tumor yang dibantu oleh promotor. Akhirnya dari
tumor/otonomi menjadi ekspansi/metastasis akibat adanya progresor. Rokok selain
sebagai inisiator juga merupakan promotor progresor, dan rokok diketahui sangat
berkaitan (terbesar) dengan terjadinya kanker paru.
5. Diet
Beberapa penelitian menunjukkan, rendahnya konsumsi betakaroten, selenium, dan
vitamin A meningkatkan resiko terkena kanker paru.
2.4.
Patofisiologi
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/sub-bronkus menyebabkan
cilia hilang dari deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan
adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia, hiperplasia, dan
displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan yang disebabkan oleh metaplasia,
hiperplasia, dan displasia menembus ruang pleura, biasanya dapat timbul efusi pleura,
dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra Lesi yang letaknya
sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan
obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala
gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan
dingin.Wheezing unilateral dapat terdengan pada auskultasi(Sylvia, 2004).
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya
metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur-struktur
terdekat seperti
(Sylvia, 2004)
Gambaran Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala
klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejalagejala dapat bersifat (Amin, 2009):
g. Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis
servikalis
3. Gejala penyakit metastasis
a. Pada otak, tulang, hati, adrenal
b. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)
4. Sindrom Paraneoplastik, terdapat pada 10% kanker paru, dengan gejala:
a. Sistemik: penurunan berat badan, anoreksia, demam
b. Hematologi: leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
c. Hipertropi osteoartropati
d. Neurologik: dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
e. Neuromiopati
f. Endokrin: sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia)
g. Dermatologik: eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
h. Renal : syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
5. Asimtomatik dengan kelainan radiologis
a. Sering terdapat pada perokok dengan PPOK/COPD yang terdeteksi secara
radiologis
b. Kelainan berupa nodul soliter
2.6.
Pemeriksaan Penunjang
Selain itu, diperlukan pula pemeriksaan penunjang untuk dignosis dari tumor
paru, yaitu(Sylvia, 2004):
1.
Radiologi.
a.
Foto thorax posterior anterior (PA) dan lateral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya
kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat
menyatakan massa udara pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi
tulang rusuk atau vertebra.
b.
Bronkhografi
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2.
Laboratorium.
a. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
b. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan
ventilasi.
6
Tumor jinak
Tumor jinak paru jarang dijumpai, hanya sekitar 2% dari seluruh tumor paru,
biasanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin, karena tumor jinak
jarang memberikan keluhandan tumbuh lambat sekali. Tumor jinak paru yang paling
sering
dijumpai
adalah
hamartoma.
Yang
lebih
jarang
adalah
Hamartoma
Pertambahan besar dari tumor jinak berlangsung dengan sangat lambat, 90%
ditemukan di perifer paru dan sering terdapat di beberapa bagian paru
7
b.
> 1cm.Meskipun kadang-kadang tumor itu sendiri tidak terlihat tetapi kelainan sebagai akibat
adanya tumor akan sangat dicurgai ke arah keganasan, misalnya kelainan emfisema setempat,
atelektasis, peradangan sebagai komplikasi tumor atau akibat bronkus terjepit dan
pembesaran kelenjar hilus yang unilateral (Kusumawidjaja, 2005).
Pada pemeriksaan foto toraks, tumor ganas mempunyai ukuran yang lebih
besar yaitu > 3cm, batas yang tidak tegas dan bentuk yang irregular dan bisa bersifat
difus. Kalsifikasi biasanya tidak terjadi dan adanya pleural reaction seperti pleural
effusion (Odonovan, 2007).
Odonovan, 2007).
(Odonovan, 2007).
11
yang berukuran lebih dari 2 cm biasanya maligna, hanya sekitar 50% nodul yang
berukuran kurang dari 2 cm adalah maligna.
Menurut Mark S (2000), tipikal gambaran CT pada lesi yang ganas adalah:
1. ukurannya lebih dari 20 mm
2. spiculated
3. adanya kalsifikasi punctuate yang eksentrik
4. dinding kavitasnya tebal > 10mm
5. lesinya cepat tumbuh
6. dengan kontras, enhancement lebih dari 15 HU
Kavitas sering dijumpai pada nodul yang maligna tapi suatu lesi yang jinak
dan fokal seperti abses dapat juga membentuk kavitas.Karakteristik gambaran lesi
jinak meliputi (SS Mark, 2000):
1. ukuran lesi yang stabill selama paling sedikit 2 tahun dilihat dari foto toraks
2. ukuran lesi kurang dari 20 mm
3.tepinya halus/rata
4. nodul dengan kalsifikasi di sentral, difus, lakunar
5. tebal dinding kavitas < 10 mm
6. dengan kontras, enhancement antara 10-15 HU
CT scan dengan kontras tampak paru kiri membesar dengan adanya massa dan hilus
melebar.
12
13
14
Apabila tumor tidak bergerak pada saat respirasi menandakan tumor telah menyebar
sampai di luar pleura parietal (Rumende, Martin C, 2012).
Tampak massa jaringan lunak berbentuk bulat di bawah diafragma yang terkompresi
akibat tekanan dari lobus kanan hati. Pemeriksaan ultrasonografi ini menunjukkan
massa pada pleura atau paru kanan, kemungkinan maligna.
15
16
Tampak massa di potongan koronal T2-weighted MRI pada paru kanan menunjukkan
tumor dengan intensitas signal rendah dan atelektasis dengan intensitas signal tinggi
pada lobus kanan bawah dari paru (a). Pada potongan aksial T2-weighted MRI
menunjukkan penebalan pleura pada tanda panah (b). Pada potongan axial diffusionMRI menunjukkan tumor (tanda panah) dan penebalan pleura (c). sumber: Hochheger,
2012.
Perbandingan antara CT-scan dan MRI. CT-scan aksial menunjukkan nodul paru,
dengan batas lobulated, pada lobur bawah kiri paru (a). T2-weighted MRI pada level
yang sama menunjukkan sinyal intensitas tinggi pada lesi (b). sumber: Hochheger,
2012.
17
2.8.
Lung Cancer of The International Association for The Study of Lung Cancer (IASLC)
Staging Comitee pada tahun 2009. Berikut ini komponen klasifikasi dari klasifikasi TNM
kanker paru (Zijistra, I., et. al., 2010):
Komponen Klasifikasi
T
Tumor T1
o T1a: 2 cm
o T1b: > 2 cm tetapi 3 cm
Tumor T2
o T2a: > 3 cm tetapi 5 cm
o T2b: > 5 cm tetapi 7 cm
Tumor T3
tumor > 7 cm atau:
o invasi langsung ke: dinding dada, difragma, nervus
frenikus, pleura mediastinal, perikardium parietal,
bronkus
utama
atelektasis
atau
penumonitis
Berikut adalah klasifikasi TNM kanker paru (Zijistra, I., et. al., 2010):
T1a
N0
N1
N2
N3
T1b
IA
IIA
IIIA
IIIA
T2a
IB
IIA
T2b
IIA
IIB
IIIA
IIIA
T3
IIB
IIIA
IIIA
IIIA
T4
IIIA
IIIA
IIIB
IIIB
2.9.
Penatalaksanaan
2.9.1. Pembedahan
Pembedahan pada tumor paru bertujuan untuk mengangkat tumor secara total
beserta kelenjar getah bening disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada kanker
paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I (T1 N0 M0 atau T2 N0 M0),
kecuali pada kanker paru jenis SCLC. Luas reseksi atau pembedahan tergantung pada
luasnya pertumbuhan tumor di paru. Pembedahan dapat juga dilakukan pada stadium
lanjut, akan tetapi lebih bersifat paliatif. Pembedahan paliatif mereduksi tumor agar
radioterapi dan kemoterapi lebih efektif, dengan demikian kualitas hidup penderita
tumor ataupun kanker paru dapat menjadi lebih baik.
Pembedahan untuk mengobati tumor paru dapat dilakukan dengan cara :
1.
Wedge Resection, yaitu melakukan pengangkatan bagian paru yang berisi tumor,
bersamaan dengan margin jaringan normal.
19
2.
3.
Pneumonectomy, yaitu pengangkatan paru secara keseluruhan. Hal ini dilakukan jika
diperlukan dan jika pasien memang sanggup bernafas dengan satu paru.
Para ahli medis memperkirakan bahwa antara 10% dan 35% dari semua
kanker paru-paru dapat diangkat melalui pembedahan.
2.9.2. Radioterapi
Radioterapi dapat digunakan untuk tujuan pengobatan pada kanker paru
dengan tumor yang tumbuh terbatas pada paru. Radioterapi dapat dilakukan pada non
small cell lung cancer (NSCLC) stadium awal atau karena kondisi tertentu tidak dapat
dilakukan pembedahan, misalnya tumor terletak pada bronkus utama sehingga teknik
pembedahan sulit dilakukan dan keadaan umum pasien tidak mendukung untuk
dilakukan pembedahan.
Terapi radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar X untuk membunuh sel
kanker. Pada beberapa kasus, radiasi diberikan dari luar tubuh (eksternal). Tetapi ada
juga radiasi yang diberikan secara internal dengan cara meletakkan senyawa
radioaktif di dalam jarum, dengan menggunakan kateter dimasukkan ke dalam atau
dekat paru-paru. Terapi radiasi banyak dipergunakan sebagai kombinasi dengan
pembedahan atau kemoterapi.
2.9.3. Kemoterapi
Kemoterapi pada kanker paru merupakan terapi yang paling umum diberikan
pada small cell lung cancer (SCLC) atau pada kanker paru stadium lanjut yang telah
bermetastasis ke luar paru seperti otak, ginjal, dan hati. Kemoterapi dapat digunakan
untuk memperkecil sel kanker, memperlambat pertumbuhan, dan mencegah
penyebaran sel kanker ke organ lain. Kadang-kadang kemoterapi diberikan sebagai
kombinasi pada terapi pembedahan atau radioterapi.
Penatalaksanaan ini menggunakan obat-obatan (sitostatika) untuk membunuh
sel kanker. Kombinasi pengobatan ini biasanya diberikan dalam satu seri pengobatan,
dalam periode yang memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan agar
kondisi tubuh penderita dapat pulih.
Efek samping dari pengobatan ini biasanya mual, muntah, sariawan, rambut
rontok dan kehilangan nafsu makan.
20
2.10.
Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi pada tumor paru antara lain:
hiperkalsemia (tingginya kadar kalsium).
perdarahan setelah dilakukan biopsi
terkadang terjadi penekanan pada korda spinalis. Jika terjadi hal ini, maka segera
berikan kortikosteroid.
Selain itu semua, komplikasi lain yang terjadi bisa akibat dari kemoterapi,
misalnya:
neutropenia (kekurangan neutrofil)
gagal ginjal akibat dampak dari cisplatin
kekurangan magnesium, juga efek samping dari cisplatin.
Komplikasi yang tidak jarang terjadi adalah kematian sebagai akibat sesudah
terapi pembedahan.
2.11.
Pencegahan
Karena merokok merupakan penyebab utama kanker paru maka pencegahan
utama yang dapat dilakukan adalah tidak merokok. Bagi anda yang mungkin sudah
terlanjur merokok ataupun perokok aktif, ada baiknya jika anda segera menghentikan
kebiasaan anda.
Peran pemerintah juga sangat dibutuhkan disini. Misalnya tentang edukasi
publik mengenai bahaya merokok, membuat larangan merokok pada area-area
tertentu, dan meningkatkan pajak tembakau.
2.12.
Prognosis
Menurut IASLC (Rami-Porta, R., et.al., 2009), klasifikasi TNM kanker paru
menjadi penentu prognosis dari kanker paru. Five-year survival rates menurut stage
klinis edisi ke-7 adalah IA 50%, IB 47%, IIA 36%, IIB 26%, IIIA 19%, IIIB7%, dan
IV 2%.
21
BAB III
KESIMPULAN
Tumor jinak paru adalah perubahan pertama dari sel paru berupa metaplasia
skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau
epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak
normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Penyebab yang pasti
dari kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat
yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya
faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain. Pada fase awal kebanyakan
kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala
berarti pasien dalam stadium lanjut. Pemeriksaan awal sederhana yang mendeteksi
adanya kanker paru dapat diperoleh dari foto toraks posterior anterior (PA) dan
lateral serta Tomografi dada (CT-scan).Pada pemeriksaan foto toraks, tumor jinak
paru yang paling sering dijumpai adalah hamartoma.Yang lebih jarang
fibroma,kondroma,lipoma,
hemangioma,
dan
lain-lain.Tumor
ganas
adalah
paru
22
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A.A., 2013. Pencitraan Resonansi Magnetik, dalam: Rasad, Sjahriar,2013.
Radiologi Diagnostik, Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 591-611.
American Society of Clinical Oncology, 2013. Lung Cancer. di unduh dari: www.cancer.net
(Diakses pada tanggal 3 Juni 2014)
Amin. 2009. Kanker Paru, dalam: Sudoyo, A.W., dkk.,Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing.
Hochheger Bruno. Magnetic resonance of the lung: a step forward in the study of lung
disease. J Bras Pneumol 2012; 38 (1): 45-48.
Kusumawidjaja, K., 2013. Tumor Jinak Paru, dalam: Rasad, Sjahriar, 2013. Radiologi
Diagnostik, Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 145-147.
Kusumawidjaja, K., 2013. Tumor Ganas Paru, dalam: Rasad, Sjahriar, 2013. Radiologi
Diagnostik, Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 148-159.
Peter B.Odonovan, MD, The Radiologic Appearance of Lung Cancer; Oncology, September
01, 2007.di unduh dari:http://www.lung.org/lung-disease/lung-cancer/learning-moreabout-lung-cancer/diagnosing-lung-cancer/screening-for-lung-cancer.html(Diakses
pada tanggal 3 Juni 2014)
Rami-Porta, R., Crowley, J.J., Goldstraw, P., 2009. The Revised TNM Staging System for
Lung Cancer. Ann Thorac Cardiovasc Surg; 15(1): No. 4-9
Rumende, Martin C. The role of ultrasonography in the management of lung and pleural
disease. Acta Med Indones 2012; 44(2): 175-180.
24
Suyono, Slamet, 2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Tortora, G.J, Derrickson, B, 2009. Principles of Anatomy and Physiology, Twelfth Edition.
USA: John Wiley & Sons, Inc.
Zijistra, I., Delden, O., Schaefer-Prokop, C. Smithuis, R., 2010. Lung Cancer New TNM. di
unduh
dari:
http://www.radiologyassistant.nl/en/p42459cff38f02/lung-cancer-new-
25