Anda di halaman 1dari 2

Warna Sungaiku Bak Pelangi

Hampir semua sungai yang mengalir di Pekalongan berwarna-warni bak pelangi. Ada pula
yang hitam pekat seperti oli. Jelas, itu akibat pencemaran limbah dari industri batik yang
menjadi mata pencaharian utama warga Pekalongan.Limbah batik telah menjadi keseharian
hidup masyarakat. Mereka seakan menganggap enteng bahaya limbah yang mengalir di
sungai-sungai di sekitar perkampungan. Padahal air itu tak hanya mengancam kelestarian
ekosistem sungai, namun juga mengancam kehidupan mereka. Ya, air sungai yang tercemar
itu
meresap
ke
sumur-sumur
warga.
Ada joke menarik terkait pengelolaan limbah ini. Konon, Wali Kota atau Bupati Pekalongan
tidak terlalu risau dengan keadaan sungai yang berwarna-warni. Justru, mereka akan khawatir
jika air sungai yang mengalir menjadi jernih. Jernih, berarti denyut industri batik yang
menjadi tumpuan hidup masyarakat Pekalongan mandek. Banyak pekerja menganggur.
Ekonomi rakyat pun terganggu.Kondisi pencemaran limbah dari industri tekstil di
Pekalongan semakin memprihatinkan. Dari ratusan industri tekstil kecil dan besar yang ada,
limbah
yang
dihasilkan
mencapai
50
ribu
meter
kubik
per
hari.
Bahaya

Limbah

Sebagian besar berasal dari industri rumah tangga. Bahkan, sebagian industri rumahan
membuang limbah ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Perbuatan tersebut
membuat air sungai menjadi kotor dan tercemar.Efek negatif pewarna kimiawi dalam proses
pewarnaan oleh perajin batik adalah risiko terkena kanker kulit. Ini terjadi karena saat proses
pewarnaan, umumnya para perajin tidak menggunakan sarung tangan sebagai pengaman,
kalaupun
memakai,
tidak
benar-benar
terlindung
secara
maksimal.
Akibatnya, kulit tangan terus-menerus bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya
seperti Naptol yang lazim digunakan dalam industri batik. Bahan kimia yang termasuk dalam
kategori B3 (bahan beracun berbahaya) ini dapat memacu kanker kulit.
Selain itu, limbah pewarna yang dibuang sembarangan, juga bisa mencemari lingkungan.
Ekosistem sungai rusak. Akibatnya, ikan-ikan mati dan air sungai tidak dapat dimanfaatkan
lagi. Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar meresap ke sumur dan mencemari sumur.
Padahal air itulah yang digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari.Keadaan semacam ini
telah dialami oleh banyak warga, terutama di sentra industri batik. Masyarakat di sekitar Kali
Banger misalnya, telah lama mengeluhkan akibat pencemaran limbah batik ini. Kali Banger,
sungai yang membelah Pekalongan bagian timur dari selatan ke utara ini, mengalirkan limbah
batik dari pabrik-pabrik industri batik besar maupun kecil yang membuang limbahnya ke
sungai.
Saat kali pertama kali dibangun pabrik tekstil di sekitar Kali Banger pada awal 1980an,
perekonomian warga meningkat. Namun hal itu ternyata membawa dampak buruk bagi
lingkungan.
Tahun 1988, air sungai Kali Banger tidak dapat digunakan lagi. Sejak tahun itu, perubahan
warna sungai akibat pencemaran limbah cair dari pabrik yang juga mengeluarkan bau
bangkai yang menyengat diikuti oleh matinya ikan-ikan, banyak ternak yang mati, dan juga
kesehatan
yang
terganggu
seperti
penyakit
kulit.

Pengelolaan

Limbah

Beberapa pabrik berskala besar memang telah membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) untuk mengolah limbah cair industri batik. Namun, jumlah itu tak sepadan dengan
limbah yang dihasilkan setiap hari. Pengusaha yang abai terhadap pengolahan limbah jauh
lebih
banyak.
Mereka belum menganggarkan pengelolaan limbah ke dalam pos biaya produksi, sehingga
masih enggan untuk mengolah limbah sebelum dialirkan ke sungai. Masih banyak pengusaha
yang beranggapan, pengelolaan dan pengolahan limbah hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Pembangunan Unit Pengelolaan Limbah Terpadu yang diprakarsai pemerintah, seperti yang
telah ada di Desa Jenggot, mungkin menjadi alternatif bagi perajin kecil yang tak mampu
mengelola sendiri limbahnya karena besarnya investasi. Namun, jumlah unit pengolahan
limbah terpadu jauh dari memadai, sehingga perlu ditambah jumlah maupun kapasitasnya.
Menurut data, kapasitas unit pengolah limbah di Jenggot ini baru mencapai 400 meter kubik
perhari, sementara limbah yang dihasilkan mencapai 700 meter kubik perhari. Itu baru di
kawasan Jenggot dan sekitarnya. Belum lagi limbah dari sentra-sentra industri batik lainnya
seperti di Kecamatan Wiradesa, Pabean, Buaran, Kramatsari, Pasirsari, dan Setono.
Meski nilai investasi pembangunan unit pengolahan limbah terpadu.terbilang besar-di Desa
Jenggot misalnya, menelan anggaran Rp 1,7 miliar-namun upaya ini tetap harus dilakukan.
Jika tidak, kelangsungan hidup warga akan terancam karena kualitas air tanah dan sungai
menurun
akibat
pencemaran.
Pewarna

Alami

Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan pewarna alami batik telah dipraktikkan oleh
para perajin batik zaman dulu. Selain aman, juga tak kalah mutunya dibandingkan pewarna
kimiawi. Karena alasan efisiensi, pewarna alami mulai ditinggalkan. Pewarna kimiawi, selain
mudah
digunakan,
juga
banyak
dijual
di
pasaran.
Sudah telanjur digunakan secara luas, penggunaan pewarna kimiawi tak dapat begitu saja
dialihkan kepada pewarna alami. Perlu ada sosialisasi dan penyuluhan kepada para perajin.
Selain itu dibutuhkan pelatihan pembuatan pewarna alami dari daun, bunga, akar dari jambu
biji,
jati,
nangka,
dan
bahan-bahan
lainnya.
Batik dengan pewarna alami lebih disukai konsumen karena warnanya tak mudah luntur,
hasil akhirnya juga lebih bagus. Nilai ekonomisnya meningkat, karena batik ini merupakan
karya seni, tidak sekadar hasil produksi industri.

Anda mungkin juga menyukai