Anda di halaman 1dari 25

PENGARUH TOXIN Physalia physalis 3-3,5 kDa

TERHADAP ACE KIT secara IN-VITRO

PROPOSAL PENELITIAN
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Ilmu Kedokteran
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :
Galih Dwiki Dharmawan
NIM 1120101010007
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang memiliki prevalensi tinggi

di dunia dan Indonesia. Menurut WHO dan the International Society of


Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh
dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10
penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. (Prevalensi

Hipertensi Di Indonesia). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar


(RIKESDAS) milik Departemen Kesehatan (DEPKES) didapatkan bahwa Terjadi
peningkatan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara (apakah pernah
didiagnosis nakes dan minum obat hipertensi) dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi
9,5 persen tahun 2013. (Hasil RIKESDAS, 2013). Selain memiliki prevalensi
yang tinggi, hipertensi juga dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi yang
beragam pada penderitanya. Kerusakan yang disebabkan dari hipertensi dapat
berakibat fatal yang menimbulkan kompikasi berupa serangan jantung, stroke,
perdarahan dan gangguan ginjal. Hasil survey kesehatan yang dilakukan pada
tahun 2001 oleh Departemen Kesehatan RI, menunjukkan perbandingan orang
yang menderita penyakit hipertensi cukup tinggi, yaitu 56 orang dari 100 orang
disurvey, mengidap penyakit hipertensi (Depkes RI, 2001)
Berbagai penelitian telah membuktikan berbagai faktor risiko yang
berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi. Hasil studi sebelumnya menyebutkan
faktor pemicu hipertensi dapat dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol
seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan usia, serta faktor yang dapat dikontrol
seperti pola konsumsi makanan yang mengandung natrium, lemak, perilaku
merokok, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. (Agnesia, 2012).
Sebenarnya dalam terjadinya hipertensi juga terdapat

beberapa

mekanisme. Salah satunya adalah Renin-Angiotensin Aldosteron (RAA). Peranan


renin-angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau yang disebabkan
karena gangguan pada ginjal. Apabila bila terjadi gangguan pada ginjal, maka
ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin. Renin bekerja secara
enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang disebut bahan renin
(atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptida asam amino-10, yaitu
angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi
tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam
fungsi sirkulasi. setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino
tambahan yang memecah dari

angiotensin untuk membentuk angiotensin II

peptida asam amino-8. Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat,


dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Enzim yang

berperan dalam perubahan angiotensin I menjadi II adalah Angiotensin


Converting Enzim (ACE). (Guyton da Hall, 1997)
Dengan diketahuinya mekanis RAA dan peran ACE dalam hipertensi,
maka dikembang obat penghambat ACE atau yang lebih dikenal dengan ACE
Inhibitor. Mekanisme aksi ACE-inhibitor (enalapril, lisinopril, captopril dan
sebagainya) yaitu dengan menghambat konversi angiotensin I inaktif menjadi
angiotensin II yang aktif (vasokonstriktor poten). Selanjutnya mengubah aktivitas
RAA dan menghambat efek biologis angiotensin II (seperti meningkatkan tekanan
darah dan sekresi aldosteron, menurunkan sekresi renin dan natriuresis,
meningkatkan aktivitas saraf simpatetis, proliferasi sel-sel dan hypertropi.
(Guyton dan Hall, 1997)
ACE inhibitor dalam beberapa studi, dapat ditemukan dibeberapa bahan
alam. Salah satunya adalah racun dari ular viper. Disebutkan bahwa racun
Brazilian pit viper adalah yang pertama dikembangkan sebagai ACE inhibitor.
(Margie, 2003). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa ditemukan adanya
aktivitas penghambatan ACE oleh protein dari ubur-ubur Nemopilema nomurai.
Protein tersebut diambil dari ekstrak mesoglea yang berkisar 3-3,5 kda.
Berhubungan dengan ubur-ubur, di Indonesia beberapa waktu lalu terjadi
lonjakan populasi dari salah satu jenis ubur-ubur Physalia physalis. Dalam
taxonominya, Physalia physalis dan Nemopilema nomurai terletak dalam satu
fillum yang sama, tapi berbeda kelas. Sama seperti Nemopilema nomurai,
Physalia physalis juga memiliki toksin, namun toksin Physalia physalis dikenal
sebagai toksin yang berbahaya dan jarang diteliti (Conni, 2008). Penelitian
terdahulu menemukan bahwa toxin Physalia physalis dapat menginduksi
terjadinya hipotensi pada anjing sebagai hewan coba. Namun pada penelitian
tersebut tidak disebutkan berat molekul dari toxin yang digunakan, hanya sebatas
pemberian dosisnya saja (Loredo, 1984). Dari data Nemopilema nomurai dan
Physalia physalis tersebut, akhirnya timbul hipotesis apakah ada pengaruh toksin
Physalia physalis dengan berat molekul yang sama terhadap aktivitas
penghambatan ACE dinilai dari ACE kit.
1.2

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi perumusan masalah


adalah apa pengaruh dari toksin Physalia physalis 3-3.5 kDa terhadap
penghambatan ACE dinilai dengan ACE kit.
1.3
1.3.1

1.3.2

Tujuan dan Manfaat


Tujuan
Mengetahui pengaruh dari toksin Physalia physalis 3-3.5 kDa terhadap
penghambatan ACE dinilai dengan ACE kit.
Manfaat
1. Menambah pengetahuan peneliti mengenai efek protein 3-3,5 kda dari
racun Physalia physalis.
2. Menjelaskan pada masyarakat tentang hipetensi dari faktor resiko,
patofisiologi dan komplikasi.
3. Membantu Dinas Kesehatan dalam pengembangan obat antihipertensi
berbasis ACE inhibitor dari racun Physalia physalis.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Hipertensi

2.1.1

Definisi
Hipertensi merupakan keadaan peningkatan kronik pada tekanan darah

(sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg). Secara umum, 80-95% tidak
diketahui penyebabnya. Selalu diperlukan koreksi kedua untuk hipertensi,
khususnya pada pasien dibawah 30 tahun atau seseorang yang hipertensi setelah
55 tahun. Sistolik hipertensi (sistolik 140 mmHg, diastolik < 90 mmHg)
kebanyakan didapat pada pasien usia lanjut, karena akibat dari penurunan
resistensi vaskular. (Harrisons edisi 18, 2013).
Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan
pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa
oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi
sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk
penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu
sebagai peringatan bagi korbannya (Nurhaedar, 2010).
Di Amerika, diperkirakan 1 dari 4 orang dewasa menderita hipertensi.
Apabila penyakit ini tidak terkontrol, akan menyerang target organ, dan dapat
menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Dari
beberapa penelitian dilaporkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar
terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung.
(Ekowati, 2009)
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat
melebihi batas normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia.
Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar
(90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab
tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung,

peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan
volume aliran darah (Nurhaedar, 2010).
Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi
adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik (sistolik 140 mmHg
atau diastolik 90 mmHg) karena gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat
sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.
2.1.2

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan

yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer atau hipertensi
esensial terjadi karena peningkatan persisten tekanan arteri akibat ketidakteraturan
mekanisme kontrol homeostatik normal, dapat juga disebut hipertensi idiopatik.
Hipertensi

ini

mencakup

sekitar

95%

kasus.

Banyak

faktor

yang

mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf


simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan
Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas dan
merokok. (Agnesia, 2012)
Berdasarkan bentuknya, hipertensi dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi
sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik
tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia
lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila
jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan
maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah
sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan
tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan
pada anak-anak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh
darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan
terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya.

Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam
keadaan relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan
peningkatan pada tekanan sistolik dan diastolik. (Agnesia, 2012)
Ada beberapa klasifikasi hipertensi yang dapat digunakan sekarang ini.
Menurut WHO dan ISH yang digunakan adalah sebagai berikut
Kategori

Tekanan Sistolik

Tekanan Diastolik

Optimal
Normal
Normal Tinggi
Grade 1 Hipertensi
Border line
Grade 2 Hipertensi
Grade 3
Isolated Systolic Hypertention
Border line

(mmHg)
<120
<130
130-139
140-159
140-149
160-179
180
140
140-149

(mmHg)
<80
<85
85-89
90-99
90-94
100-109
110
<90
<90

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHU dan ISH tahun 1999.
Selain itu terdapat pula klasifikasi hipertensi menurut JNC 7.
Kategori

Tekanan Sistolik

Normal
Pre hipertensi
Hipertensi Grade 1
Hipertensi Grade 2

(mmHg)
<120
120-139
140-159
>160

Tekanan Diastolik
Dan
Atau
Atau
Atau

(mmHg)
<80
80-89
90-99
>100

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7


2.1.3

Patofisiologi
Tekanan dalam suatu pembuluh darah merupakan tekanan yang bekerja

terhadap dinding pembuluh darahn (Guyton, 1994, Campbell, et al. 2004).


Tekanan tersebut berusaha melebarkan pembuluh darah karena semua pembuluh
darah memang dapat dilebarkan. Pembuluh vena dapat dilebarkan delapan kali
lipat pembuluh arteri. Selain itu tekanan menyebabkan darah keluar dari

pembuluh melalui setiap lubang, yang berarti tekanan darah normal yang cukup
tinggi dalam arteri akan memaksa darah mengalir dalam arteri kecil, kemudian
memalui kapiler dan akhirnya masuk ke dalam vena. Oleh karena itu tekanan
darah penting untuk mengalirkan darah dalam lingkaran sirkulasi (Guyton, 1994).
Tekanan darah dari suatu tempat peredaran darah ditentukan oleh tiga
macam faktor yaitu (1) jumlah darah yang ada di dalam peredaran yang dapat
membesarkan pembuluh darah; (2) aktivitas memompa jantung, yaitu mendorong
darah sepanjang pembuluh darah; (3) tahanan perifer terhadap aliran darah
Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan perifer yaitu viskositas
darah, tahanan pembuluh darah (jenis pembuluh darah, panjang, dan diameter),
serta turbulence. (Suprayog, 2004)
Dengan dipengaruhi faktor-faktor diatas, tekanan darah dapat naik maupun
turun. Untuk hipertensi, tekanan darah menjadi naik melalui beberapa mekanisme
salah satunya adalah sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA). Menurut
Guyton dan Hall (1997), renin adalah enzim dengan protein kecil yang dilepaskan
oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Renin bekerja secara enzimatik
pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang disebut bahan renin (atau
angiotensinogen), untuk melepaskan peptida asam amino-10, yaitu angiotensin I.
Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk
menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin
menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan
pembentukan angiotensin I selama sepanjang waktu tersebut. (Guyton dan
Hall,1997)
Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua
asam amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk
angiotensin II peptida asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi
selama beberapa detik sementara darah mengalir melalui pembuluh kecil pada
paru-paru, yang dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang
terdapatdi endotelium pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting

Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan


memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II
menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara
cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara
bersama-sama disebut angiotensinase (Guyton dan Hall,1997).
Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai
dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh yang
pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama
pada arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol akan
meningkatkan tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri.
Konstriksi ringan pada vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena
ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan
(Guyton dan Hall,1997).
Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah
dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika
tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun (kadang-kadang
sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin mengawali reaksi
kimia yang mengubah protein plasma yang disebut angiotensinogen menjadi
peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon
yang meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara.
Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan cara menyempitkan
arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal.
Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali
NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang
diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan
tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu
organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon
aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut

menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan
volume dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004). Hal tersebut akan
memperlambat

kenaikan

voume

cairan

ekstraseluler

yang

kemudian

meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka


panjang ini bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih
kuat daripada mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan
tekanan arteri ke nilai normal. (Guyton dan Hall, 1997)
Dari penjelasan sistem RAA diatas, dapat disimpulkan bahwa peningkatan
tekanan darah yang signifikan terjadi sebagai akibat adanya angiotensin II yang
beredar dalam darah. Enzim penting yang berperan adalah ACE. Karena itu
pengembangan obat-obat antihipertensi yang bekerja untuk penghambatan
mekanisme ini ditargetkan pada enzim ini yang secara umum disebut ACE
inhibitor.
2.2

ACE Inhibitor
ACE Inhibitor adalah obat yang menghambat perubahan Angiotensin I

menjadi Angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi


aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar
bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE
Inhibitor. Vasodilatsi secara langsung akan menurnkan tekanan darah, sedangkan
berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi
kalium yang dapat mengakibatkan hiperkalemia.
Di ginjal ACE Inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga
meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki laju filtrasi
glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE Inhibitor menimbulkan vasodilatasi
lebih dominan pada arteriol eferen dibanding dengan arteriol aferen sehingga
menurunkan tekanan intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi
proteinuria pada nefropati diabetik dan sindrome nefrotik (Nafrialdi, 2007).
ACE Inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang maupun berat.
Bahkan beberapa diantaranya digunakan pada krisis hipertensi seperti kaptopril.

Kaptopril merupakan ACE Inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak


digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung.
Dalam farmakokinetiknya, ACE Inhibitor berikatan dengan protein plasma
dan dapat diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavaibilitas 7075%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorbsi sekitar 30 %, oleh
karena itu obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Sebagian besar ACE
Inhibitor akan mengalami metabolisme di hati. Eliminasi umumnya melalui ginjal
(Nafrialdi, 2007).
Efek samping yang bisa ditimbulkan adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
2.3

Hipotensi
Batuk kering
Hiperkalemia
Rash

Physalia physalis
Portugues-man-of war adalah istilah lain dari Physalia physalis. Secara

fisik Physalia physalis terlihat seperti ubur-ubur lain dengan tentakel yang
mengambang dan menyeret. Namun beberapa ilmuwan mengatakan bahwa
Physalia physalis bukanlah ubur-ubur yang sesungguhnya. Mereka beranggapan
bahwa ubur-ubur yang sesungguhnya bearasal dari kelas Scyphozoa. Lebih jauh
lagi, Physalia physalis bukanlah hewan tunggal. Mereka ini sebenarnya sebuah
koloni dari beberapa organisme yang disebut polyps yang sangat spesial tidak bisa
hidup tanpa organisme lainnya (Rachael, ).
Terdapat empat tipe utama dari polyps Physalia physalis. Satu polyps
menjadi large gas filled float atau yang sering disebut pneumatophore. Polyps
ini secara horisontal mengapung di lautan. Polyps ini juga bisa mengapung 15 cm
diatas air dan secara umum transparan ditambah sedikit warna merah muda, ungu
atau biru. Polyps lain adalah feeding tentakel atau gastrozooids, defensive/prey
capturing tentakel atau dactylozooids dan reproductive polyps atau

gonozooids. Tentakel dari Physalia physalis dapat menggantung di dalam air


sepanjang 50 meter

Gambar 2.1 Gas Filled Float

Gambar 2.2 Dactylozooids, Gonozooid, Gastrozooid

Gambar 2.3 Mulut


2.3.1

Taxomoni
Secara taxonomi Physalia physalis dapat disebutkat sebagai berikut :

2.3.2

Kingdom

Animalia

Phylum

Cnidaria

Class

Hydrozoa

Order

Siphonophora

Suborder

Rhizophysaliae

Family

Physaliidae

Genus

Physalia

Species

Physalia physalis

Habitat
Physalia physalis dapat ditemukan mengapung di permukaan laut di

wilayah tropis yang hangat dan wilayah subtropik di dunia. Di Amerika Serikat,
mereka dapat ditemukan didaerah pesisir di Florida (Pesisir Atlantik, karangkarang Florida, Teluk Meksiko) sampai Texas. Meski demikian, beberapa juga
dapat diketahui singgah ke pesisir Atlantik saat musim panas atau dengan badai
sehingga pindah ke daerah yang lebih dingin di Wilayah utara Amerika Serikat.
Sebagai catatan bahwa Physalia physalis yang berada di Indo-Pasifik bisa jadi
spesies yang berebeda yaitu Physalia utriculus.
Physalia physalis dapat beradaptasi untuk hidup di seluruh perairan di
dunia. Mereka mengapung disepanjang permukaan laut, terbawa tiupan angin.
Saat koloni baru diproduksi, mereka dapat bergerak ke arah yang berbeda dan
menyebar di lautan. Yang menjadi predator mereka adalah kura-kura laut,
beberapa ikan, juga kepiting.

2.3.3

Makanan
Sebagai koloni, Physalia physalis secara konstan memancing makanan

menggunakan tentakel-tentakel mereka. Makanan mereka akan terperangkap di


tentakel dibantu dengan sengatan berkapsul spesial yang disebut nematocists.
Makanan mereka adalah ikan-ikan kecil dan plankton serta udang-udangan.
Makanan tersebut akan kaku setelah terkena nematocysts yang mengandung
urotoxin yang kuat. Pada saat itu gastrozooids akan menempel dan menarik
makanan mereka ke mulut.
2.3.4

Reproduksi
Para ilmuwan percaya bahwa Physalia physalis yang berupa koloniakan

melepaskan gamet-gamet ke dalam air untuk nantinya akan difertilisasi. Larvalarva yang dihasilkan kemudian akan mengalami perkembangan aseksual untuk
menghasilkan koloni baru.
2.3.5

Toxin
Toxin Physalia physalis sebenarnya berada pada nematocysts yang

strukturnya mirip seperti harpa.

Sengatan Physalia physalis pada manusia

dilaporkan setelah terjadi kontak dengan dactylozooids. Akibatnya sangat luas dan
beragam, dari rasa sakit, mual, muntah eritema dan nekrosis kulit. Selain itu,
untuk gejala sistemik dapat pula distress pernapasan, decomp cordis sampai
kematian. Toxin ini juga menyebabkan pelepasan histamine dari sel mast dan
menyebabkan vasodilatasi. Keadaan tersebut terlihat dalam induksi toxin pada
anjing dan tikus yang diperkuat dengan sensitibilitas dengan antihistamine dan
prostaglandin sistesis inhibitor. Data lain juga menyebutkan bahwa toxin dengan
berat molekul 240 kDa bersifat hemolitik dan terkandung sekitar seperempat dari
prosentase total. Juga dalam penelitian lain disebutkan bahwa dengan toxin berat
molekul rendah <5 kDa dapat menginduksi sekresi dari insulin oleh sel
pankreas. (Diaz-Garcia, 2012)
Dari penelitian yang terdahulu juga telah disebutkan pemberian beberapa
ragam dosis toxin (0.02, 0.2, 2.0) mengakibatkan peningkatan pelepasan

histamine yang akhirnya menyebabkan hipotensi. Sebanding dengan penambahan


dosis toxin tersebut, semakin dosis tinggi semakin rendah pula tekanan darah pada
hewan coba anjing ini. Namun dalam penelitian tersebut tidak disebutkan berapa
kDa toxin, hanya disebutkan pemberian dosis toxin ditempatkan pada posisi
hemolitik.(Loredo, 1984)
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam toxin Physalia physalis
terdapat kandungan toxin dengan berat molekul tinggi dan rendah.
2.4

ACE KIT
ACE KIT atau ACE screening kit adalah sebuah produk yang digunakan

untuk mengukur aktivitas ACE inhibitor dari sebuah bahan coba. Prosedur dari
ACE KIT sebenarnya mudah. 3-Hydroxybutyryl-Gly-Gly-Gly (3HB-GGG)
digunakan sebagai substrat untuk ACE dan jumlah pemecahan 3-hydroxybutyric
acid (3HB) dari 3HB-GGG dihitung dengan metode enzimatik. Tidak satu pun
pelarut organik maupun prosedur ekstraksi yang dibutuhkan di keseluruhan
prosedur. Sebagai tambahan, kita dapat menggunakan sampel dengan jumlah
banyak dalam satu kali tes. Berikut daftar komponennya :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Substrate Buffer, 2 vials


Enzyme A, 2 vials
Enzyme B, 2 vials
Enzyme C, 2 vials
Coenzyme, 2 vials
Indicator solution, 2 vials

2.4.1 Persiapan
2.4.1.1 Persiapan Larutan Enzim
Tambahkan 2 ml air deionisasi ke enzim B.
Tambahkan 1,5 ml larutan enzim B ke enzim A untuk pembuatan
larutan enzim.
2.4.1.2 Persiapan Larutan Indikator
Tambahkan 3 ml air deionisasi ke dalam enzim C dan koenzim.
Tambahkan 2,8 ml larutan enzim C dan larutan koenzim untuk
pembuatan larutan indikator..
2.4.1.3 Persiapan Larutan Sampel

Encerkan sampel ( serbuk toksin Physalia physalis) dengan air

deionisasi.
Rasio pengenceran : 1(tanpa pengenceran), 1/5, 1/52, 1/53, 1/54,1/55,
1/56

2.4.1.4 Protokol
a. Tambahkan 20l larutan sampel dan air deionisasi pada blank 1
(kontrol + ) dan blank 2 ( kontrol - ).
b. Tambahkan 20l substrat buffer pada larutan sampel, blank 1 (kontrol
+ ) dan blank 2 ( kontrol - ).
c. Tambahkan 20l larutan enzim pada larutan sampel dan blank 1
(kontrol + ) .
d. Inkubasi pada suhu 37C selama 60 menit.
e. Tambahkan 200l larutan indikator pada larutan sampel, blank 1
(kontrol + ) dan blank 2 ( kontrol - ).
f. Inkubasi pada suhu ruangan selama 10 menit.
g. Baca/analisis menggunakan microplate reader pada absorban 450 nm.
Hitung aktivitas ACE inhibitor (inhibisi %) menggunakan rumus :
ACE inhibitory activity (inhibition rate %) =
Ablank2)}

[(Ablank1 Asample) / (Ablank1

x 100

Larutan sampel
Air yang diionisasi
Substrate buffer
Larutan Kerja Enzim
Larutan Kerja Indikator

Sampel
20 L
20 L
20 L
200 L

Blank 1
20 L
20 L
20 L
200 L

Blank 2
40 L
20 L
200 L

Tabel 2.3 Jumlah Larutan untuk Sampel dan Blank 1, 2


2.5 Kerangka Konseptual
Physalia physalis

Toxin 3-3,5 kDa

ACE KIT

Aktivitas penghambatan ACE

Gambar 2.4 : Kerangka konseptual

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN


3.1

Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental
sebenarnya (True Experimental Design). Pada perlakuan ini benar-benar
dilakukan randomisasi dan diberi perlakuan serta ada kelompok kontrolnya
(Suparyanto., 2010).

3.2

Rancangan Penelitian
A
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan eksperimental
sederhana (Posttest Only Control Group Design). Rancangan

penelitian

eksperimental ini, sampel dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok


S
K (+)
K (-)
perlakuan (Pratiknya., 2008). Rancangan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1
di bawah ini.

Gambar 3.1 Skema rancangan penelitian

Keterangan
A

: ACE KIT

K (+) : kontrol positif

3.3

K (-)

: kontrol negatif

: Sampel

: Inkubasi

: Microplate Reader Absorban 450nm


Uji Aktivitas ACE Inhibitor
Pengujian aktivitas ACE Inhibitor menggunakan ACE KIT, Pengamatan

aktivitas ACE inhibitor menggunakan alat Microplate Reader Absorban 450nm,


kemudian dihitung menggunakan rumus :
ACE inhibitory activity (inhibition rate %) =
Ablank2)}

x 100

[(Ablank1 Asample) / (Ablank1

3.4

Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah toksin Physalia
physalis dan toksin tersebut diperoleh dari Laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

3.5

Tempat dan Waktu Penelitian


3.5.1

Tempat Penelitian
Tempat pemurnian toksin Physalia physalis dan pengujian aktivitas ACE

inhibitor dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran


Universitas Jember.
3.5.2

Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan.

3.6

Variabel Penelitian
3.6.1

Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah toksin Physalia physalis dengan

berat molekul 3-3.5 kDa.


3.6.2

Variabel Terikat
Aktivitas ACE inhibitor pada toksin Physalia physalis dengan berat

molekul 3-3.5 kDa.


3.6.3

Variabel Terkendali
a. Proses pemurnian toksin Physalia physalis.
b. Inkubasi ACE KIT pada suhu ruangan selama 10 menit.
c. Pembacaan hasil menggunakan microplate reader absorban 450 nm.

3.7

Definisi Operasional

a.

Pemurnian Toksin Physalia Physalis


Pemurnian toksin Physalia physalis berat molekul 3-3.5 kDa
dilakukan dengan menggunakan proses hidrolisasi dengan enzim.
Enzim yang digunakan dalam proses hidrolisasi adalah enzim papain.

b.

ACE KIT
ACE kit adalah kit yang digunakam untuk mengukur aktivitas ACE
inhibitor.

Hydroxybutyryl-Gly-Gly-Gly

(3HB-GGG)

digunakan

sebagai untuk ACE dan pemecahan dari Hydroxybutyryl-Gly-Gly-Gly


(3HB-GGG) yang akan diukur menggunakan metode enzimatik.
3.8

Alat dan Bahan

3.8.1

Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini:
a. Alat untuk pemurnian toksin Physalia physalis
Alat Liofilisasi
Alat Hidrolisis
Sentrifuge
b. ACE KIT
Microplate reader (450 nm filter).
20 L & 20-200 L pipet dan a multi-channel pipet
Inkubator.

3.8.2

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini:
a. Bahan untuk pemurnian toksin Physalia physalis
Toksin Physalia physalis
Enzim Papain
b. ACE KIT
Substrate Buffer
Enzim A
Enzim B
Enzim C
Koenzim
Larutan Indikator

Air de-ionisasi

3.9

Prosedur Penelitian

3.9.1

Persiapan Alat
Semua alat yang akan dipakai dalam penelitian ini disterilkan dalam

sterilisator panas kering selama 15 menit dengan suhu 110 0C terlebih dahulu.
Setelah itu bahan media disterilkan dalam autoklaf selama 20 menit dengan suhu
1210C (Suswati and Mufida, 2009).
3.9.2

Pemurnian toksin Physalia physalis untuk mendapatkan berat molekul 33.5 kDa
Toksin Physalia physalis di liofilisasi untuk menghilangkan kelebihan air

dan menjadikan toksin Physalia physalis menjadi serbuk , Kemudian dilakukan


hidrolisis menggunakan enzim papain sebanyak 100 mL, dengan perbandingan
berat molekul toksin Physalia physalis dan volume enzim papain (w/v) sebesar
10%. Hidrolisis dilakukan dengan cara menggunakan baker glass ada pengaduk,
selama 4 jam, suhu 60 dan pH 6. Hidrolisis dihentikan dengan menaikkan suhu
menjadi 90C selama 15 menit. Kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 3000 g
selama 10 menit. Setelah di sentrifuge, supernatannya di liofilisasi menjadi serbuk
kemudian digunakan untuk analisis.
3.9.3

Pengujian aktivitas ACE inhibitor menggunakan ACE KIT


Pembuatan larutan enzim
Tambahkan 2 ml air deionisasi ke enzim B.
Tambahkan 1,5 ml larutan enzim B ke enzim A untuk pembuatan
larutan enzim.
Pembuatan larutan indikator
Tambahkan 3 ml air deionisasi ke dalam enzim C dan koenzim.
Tambahkan 2,8 ml larutan enzim C dan larutan koenzim untuk
pembuatan larutan indikator.
Pembuatan larutan sampel

Encerkan sampel ( serbuk toksin Physalia physalis) dengan air

deionisasi.
Rasio pengenceran : 1(tanpa pengenceran), 1/5, 1/52, 1/53, 1/54,1/55,
1/56

Gambar 3.2 Pembuatan larutan sampel

Pengujian aktivitas ACE inhibitor


h. Tambahkan 20l larutan sampel dan air deionisasi pada blank 1
(kontrol + ) dan blank 2 ( kontrol - ).
i. Tambahkan 20l substrat buffer pada larutan sampel, blank 1 (kontrol
+ ) dan blank 2 ( kontrol - ).
j. Tambahkan 20l larutan enzim pada larutan sampel dan blank 1
(kontrol + ) .
k. Inkubasi pada suhu 37C selama 60 menit.
l. Tambahkan 200l larutan indikator pada larutan sampel, blank 1
(kontrol + ) dan blank 2 ( kontrol - ).
m. Inkubasi pada suhu ruangan selama 10 menit.
n. Baca/analisis menggunakan microplate reader pada absorban 450 nm.
o. Hitung aktivitas ACE inhibitor (inhibisi %) menggunakan rumus :

ACE inhibitory activity (inhibition rate %) =


Ablank2)}

3.10

[(Ablank1 Asample) / (Ablank1

x 100

Analisis Data
Analisis data yang digunakan untuk mengetahui aktivitas toksin Physalia

physalis dengan berat molekul 3-3.5 kDa dilakukan analisis secara diskriptif.
3.11

Alur Penelitian

3.11.1 Pemurnian toksin Physalia physalis untuk mendapatkan berat molekul 33.5 Da
Toksin Physalia Physalis

Lyophilisasi ( dikeringkan ) untuk menghilangkan kelebihan air


: mesoglea dihancurkan menggunakan blender kemudian dikeringkan dengan freeze dryer menjad

buk toksin Physalia physalis dihidrolisis menggunakan enzim papain 100 ml dengan perbandingan w
is : pake baker glass ada pengaduk, selama 4 jam suhu 60 pH 6, dihentikan suhu dinaikkan 90C

Sentrifuge 3000 gram selama 10 menit

Supernatannya di lyophilisasi menjadi serbuk

Dianalisis

Gambar 3.3 Skema pemurnian toksin Physalia physalis

3.11.2 Pengujian aktivitas ACE inhibitor toksin Physalia physalis 3-3.5 kDa
menggunakan ACE KIT

Tambahkan 20l air deionisasi


Tambahkan
Tambahkan
20l20l
air deionisasi
larutan sampel (toxin Physalia physalis 3-3
Tambahkan 20l substrat
Tambahkan
Tambahkan
buffer 20l20l
substrat
substrat
buffer
buffer
Tambahkan 20l larutan Tambahkan
enzim
20l larutan enzim

Kontrol +

Kontrol -

Sampel

Inkubasi pada suhu 37C selama 60 menit

Tambahkan 200l larutan indikator

Analisis menggunakan microplate reader absorban 450 nm


Gambar 3.4 Pengujian aktivitas ACE inhibitor toksin Physalia physalis 3-3.5 kDa
menggunakan ACE KIT

Hitung aktivitas ACE inhibitor menggunakan rumus

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai