2.1
hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal minggu keempat kehidupan. Bagian ini
terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian tersebut tumbuh diantara lapisan mesenterik
ventral: bagian kranial lebih besar (pars hepatika) merupakan asal mula hati/hepar, dan
bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk kandung empedu,
tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara divertikulum hepatikum dan
penyempitan foregut, nantinya membentuk duktus biliaris. Sebagai akibat perubahan posisi
duodenum, jalan masuk duktus biliaris berada disekitar aspek dorsal duodenum.1
Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan
ekstra-hepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar peribilier),
kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik
membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan dan kiri), duktus
hepatikus komunis,duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris komunis merupakan
komponen ekstrahepatik percabangan biliaris.
Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris. Duktus
biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus biliaris dapat
dibagi menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal, retroduodenal, dan intrapankreatik.
Duktus biliaris komunis kemudian memasuki dinding medial duodenum, mengalir secara
tangensial melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila mayor pada bagian
kedua duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos yang membentuk sfingter
Oddi. Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum secara langsung (25%) atau
bergabung bersama duktus pankreatikus(75%) untuk membentuk kanal biasa, yang disebut
ampula Vater.2
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat panjang 4-6 cm berisi
30-60mL empedu. Kandung empedu seluruhnya tertutup oleh peritoneum visceral, tetapi
infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke empedu. Bagian infundibulum dalam
kantung dinamakan kantong Hartmann.1
Duktus sistikus memiliki panjang 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dindingnya
mengandung katup berbentuk spiral dandisebut Katup Heisteryang memudahkan cairan
empedu mengalir ke kantung empedu.
Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular
peribilier.Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus ini
mengalir ke dalam sistem vena porta atau langsung ke dalam sinusoid hepatikum.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan.
Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat
kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.Pembuluh limfe berjalan
menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini,
pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri
hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal
dari plexus coeliacus
Fisiologi 1
Empedu dihasilkan oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml/hari. Di luar waktu
makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu dan mengalami pemekatan.
Pengaliran cairan empedu dipengaruhi oleh tiga faktor :
a. Sekresi empedu di hati
b. Kontraksi kandung empedu
c. Tahanan sftinger koledokus
Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialirkan ke kantung empedu.
Setelah makan, Kandung empedu berkontraksi, sftinger berelaksasi, empedu mengalir ke
duodenum. Aliran tersebut disemprotkan intermitten karena tekanan saluran empedu lebih
besar dari tahanan sftinger.
Kolesistokinin, hormon sel dari mukosa usus halus dikeluarkan atas makanan
berlemak. Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga menyebabkan kontraksi kantung
empedu.1
2.3
2.3.1
kandung empedu, saluran empedu, maupun kedua-duanya. Kolelitiasis lebih sering dijumpai
pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor
resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
Batu empedu secara umum ditemukan di dalam kandung empedu namun dapat
bermigrasi melalui duktus sistikus menjadi batu saluran empedu atau disebut batu saluran
empedu sekunder.
Di Negara Barat, 10-15% batu kandung empedu juga disertai batu saluran empedu.
2
Pada beberapa keadaan batu saluran empedu dapat terbentuk sendiri tanpa melibatkan
kandung empedu hal ini dinamakan batu saluran empedu primer. Komplikasi batu saluran
empedu sekunder ini seringkali lebih berat daripada batu saluran empedu primer.
2.3.2
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Pasien dengan batu asimtomatik
b. Pasien dengan batu simtomatik
c. Pasien dengan komplikasi batu empedu
Sebagian besar pasien (80%) dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis
maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien didapatkan bahwa
50% tetap akan asimtomatik, 30% mengalami kolik biler, 20% mengalami komplikasi.
Gejala Kolik Bilier:
Lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi biasa juga di kanan atas
Pada koledokolitiasis, terdapat riwayat nyeri kolik yang hilang timbul, serta disertai
demam dan mengigil bila terjadi kolangitis. Selain itu, muncul ikterus dan buang air kecil
gelap seperti teh.
2.3.4
Kolesistis ini dapat pula terjadi tanpa pembentukan batu dinamakan kolesistitis akalkulus
akut. Gejala meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi mual, muntah dan panas. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada kanan atas, icterus, teraba kandung empedu
membesar, dan tanda-tanda peritonitis. Di samping itu terdapat murphy sign (+) yaitu nyeri
tekan bertambah saat penderita menarik napas panjang. Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan leukositosis, Peningkatan enzim hati, serta kenaikan ringan bilirubin. Hal ini
terjadi karena tertutupnya duktus sistikus akibat batu, kemudian terjadi hidrops kandung
empedu dan menyebabkan iskemia yang dapat berkembang ke nekrosis dan perforasi. Hal ini
diperberat dengan adanya pelepasan enzim fosfolipase yang menubh lesitin dalam empedu
menjadu lisolesitin yang merupakan senyawa toksik dan mempercepat peradangan.Pada
tahap lanjut terjadi superinfeksi bakteri. Selain itu, terjadi peningkatan alkali fosfatase dan
GGT.
Gambar 3. Kolesistitis.
Kolesistitis akalkulus akut1
Kurang lebih 5-10% kolestitis akut dapat terjadi tanpa batu. Kelainan ini sering
ditemukan pada kasus trauma multiple, pasca bedah berat, sepsis, dan keracunan obat,
Penyebab lain adalah pasien dipuasakan lama atau dalam nutrisi parenteral dalam waktu yang
lama. Kelainan ini disebabkan adanya stasis lumpur empedu. Lumpur empedu mengandung
kalsium bilirubinat. Penyebab lain juga adalah infeksi bakteri secara primer yaitu Salmonella
thyphi, E.Coli, Clostridium.
2.4
Diagnosis
USG (Ultra Sonografi)1,4
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu
empedu radiolusen. Kurang lebih hanya 10-15% batu yang menimbulkan gambaran
radioopak. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat kontras tidak
diekskresikan oleh sel hati yang sakit.
Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah
pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography).Dengan bantuan
endoskopi melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan
saluran pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah
ada kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan.
Keterbatasan yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat
dimasuki kanul. Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran
proksimalnya
dapatdivisualisasikan
dengan
pemeriksaanPercutaneus
Transhepatic
Tatalaksana
Penatalaksanaan batu kandung empedu1,2,3
Penanganan batu untuk profilaksis tidak dianjurkan. Sebagian besar pasien yang
asimtomatik tidak mengalami keluhan di masa mendatang. Sebagian kecil akan menimbulkan
komplikasi.
Pada batu empedu simptomatik, teknik kolesistektomi laparoskopi diperkenalkan
akhir 1980 mengantikan teknik kolesistektomi terbuka. Kolesistektomi terbuka masih
dibutuhkan apabila teknik kolestektomi laparoskopi gagal atau tidak memungkinkan,
misalkan apabila batu terletak pada lokasi yang sulit dijangkau dengan teknik laparoskopi.
Selain itu pada keadaan infeksi juga sebaiknya menggunakan kolesistektomi terbuka.
Kekurangan dari metode kolisistektomi terbuka adalah luka penyembuhan yang lama.
pertama operasi dengan melakukan sayatan pada CBD (koledekotomi), atau melalui duktus
sistikus (transistik), dengan metode konvensional operasi terbuka (Open Common Bile Duct
Exploration)
Duct
Exploration (CBDE). Sedangkan cara yang kedua adalah dengan menggunakan endoskopi,
yaitu Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) yang diikuti sfingterotomi
endoskopik (ES) dan dilakukan ekstraksi batu. Ekstraksi batu dapat dilakukan dengan atau
tanpa sfingterotomi, apabila sebelumnya telah dilakukan dilatasi sfingter dengan balon.
Laparoskopi kolesistektomi saat ini memang lebih banyak disukai dan sudah menjadi terapi
standar. Walaupun eksplorasi CBD juga dapat dilakukan melalui teknik laparoskopi pada
sebagian besar kasus.
ERCP terapeutik dengan melakukan sftingereotomi endoskopik dilakukan tanpa
operasi pertama kali tahun 1974. Sejak itu, terapi ini berkembang pesat sebagai terapi standar
baku non operatif untuk saluran empedu. Selanjutnya, batu di dalam saluran empedu
dikeluarkan melalui balon ekstrasi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum
sehingga keluar bersama tinja atau dikeluarkan mulut bersama skopnya.
Tingkat keberhasilan terapi ini adalah 80-90%, komplikasi dini 7-10%, angka
mortalitas 1-2%. Komplikasi tindakan ini meliputi pankreatitis akut, perdarahan dan
perforasi.
Pengobatan Paliatif Batu Empedu
Pengobatan paliatif pada pasien batu empedu adalah dengan menghindari makanan
yang dapat memicu antara lain makanan berlemak. Selain itu penggunaan obat ati nyeri
berupa antispasmolitik dapat mengurangi nyeri. Demam pada pasien dapat diberikan zat
antipiretik misalnya paracetamol. Pada beberapa kasus yang disertai infeksi, dapat diberikan
antibiotik.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. R . Sjamsuhidajat, Wim de Jong.Buku Ajar Ilmu Bedah.Ed ke- 3.Jakarta: Penerbit
EGC. 2013.
2. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar, TR, Dunn DL. Schwartz principles of surgery.
Ed ke-9. Philadelphia: McGraw-Hills. 2010.
3. Townsed, Beauchamp, Evers dan Mattox. Sabiston textbook of surgery. Ed ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007.
4. Grace, Pierce A., Borley, Neil R. At a Glance Ilmu Bedah. Ed ke-3. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2006.
5. Nuhadi M. Perbedaan Komposisi Batu Kandung Empedu Dengan Batu Saluran
Empedu pada Penderita yang dilakukan Eksplorasi Saluran Empedu. Universitas
Padjajaran. RS Hasan Sadikin Bandung.2011.
11