Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunianya kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Tuberkulosis (TB)
Kami menyadari bahwa makalah ini belum maksimal dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharap masukan, kritikan dan saran para pembaca
untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga amal baik semua pihak diterima oleh Allah dan mendapatkan
balasan darinya dengan pahala yang setimpal dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kami
dan juga bagi pembaca sekalian.Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

surabaya, Oktober 2013

Definisi
TBC paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkin paru-paru dan disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis (Somantri,2009).
Sementara itu, Junaidi (2010) menyebutkan tuberkulosis (TB) sebagai suatu infeksi
akibat Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paruparu dengan gejala yang sangat bervariasi.
Irman Somantri,Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan pasa sistem Pernapasan
(Jakarta: Salemba Medika, 2009)
Iskandar Junaidi, Penyakit Paru dan Saluran Napas (Jakarta: Buana Ilmu Populer,2010)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga
dari populasi dunia telah terinfeksiMycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih
merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta
kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah
terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan
untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis.
(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka
kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan
meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati
peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta
sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke
tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di
Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia. Estimasi
prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi
berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000
kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan baru dalam program
penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi
prioritas penting. (Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer di seluruh dunia
telah terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi primer
jenis MDR terjadi sebesar 2%. Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami
resistensi obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada
akhirnya mengarah pada kasus multi-drug resistance (MDR). Ketika dilaporkan adanya
beberapa kasus resistensi obat TB di beberapa wilayah di dunia hingga tahun 1990-an,
masalah resistensi ini belum dipandang sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB-MDR
telah meningkat oleh karena lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana

dan isolasi yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis suatu TB-MDR. (Universitas Sumatera Utara)
Rao dan kawan-kawan di Karachi-Pakistan pada tahun 2008, melakukan penelitian resistensi
primer pada penderita tuberkulosis paru kasus baru. Didapatkan dengan hasil pola resisten
sebagai berikut: resistensi terhadap Streptomisin sebanyak 13 orang (26%), Isoniazid 8 orang
(16%), Etambutol 8 orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan Pirazinamid 1 (0,2%).
Sedangkan di Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2 orang (0,4%) pasien. Angka
resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program penanggulangan TBC parudi
kabupaten setempat/kota setempat terutama ketepatan diagnosis mikroskopik untuk
menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran Pengawas
Menelan Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk
minum obat. Faktor lain yang mempengaruhiangka resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT
yang cukup dan berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.
(Universitas Sumatera Utara)
Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam pengobatan pada masa
sekarang ini. WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai 273.000
(3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000. Berdasarkan wilayah administratif di
Indonesia, Provinsi Jawa Timur menempati urutan ke 8 angka temuan kasus TBC paru
terbesar tahun 2007, meskipun belum mencapai target yang ditetapkan. Sebaran angka
temuan kasus tersebut yaitu DKI Jakarta(88,14%), Sulawesi Utara (81,36%), Banten
(74,62%), Jawa Barat (67,57%), Sumatra Utara (65,48%), Gorontalo (62,15%), Bali
(61,39%), Jawa Timur (59,83%), DI Yokyakarta (53,23%), Sumatra Barat (51,36%) (Depkes
RI, 2007). (Universitas Sumatera Utara)
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
Apa penyakit TB Paru itu ?
Bagaimana Etiologi penyakit TB Paru ?
Bagaimana cara Penularan TB Paru ?
Apa gejala-gejala seseorang menderita TB Paru ?
Bagaimana cara penanggulangan/pencegahan TB Paru ?
Bagaimana cara pengobatan kepada penderita TB Paru ?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum :
Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
" Untuk mengetahui penyakit TB Paru
" Untuk mengetahui Etiologi penyakit TB Paru
" Untuk mengetahui cara Penularan TB Paru
" Untuk mengetahui gejala-gejala TB Paru

"
"

Untuk mengetahui cara penanggulangan/pencegahan TB Paru


Untuk mengetahui cara pengobatan kepada pendderita TB Paru

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
1.Penyebab
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium
tuberculosis tipe humanus, sejenis kuman berbentuk batang dengan panjang 1-4 mm dan
tebal 0,3-0,6 mm. Struktur kuman ini terjadi atas lipid (lemak) yang membuat kuman lebih
tahan terhadap asam, serta dari gangguan berbagai kimia dan fisik. Kuman ini juga tahan
berada di udara kering dan keadaan dingin (misalnya di dalam lemari es) karena sifatnya
yang dormant, yaitu dapat bangkit kembali dan menjadi lebih aktif. Selain itu, kuman ini juga
bersifat aerob.
Tuberkulosis paru merupakan infeksi pada saluran pernapasan yang vital. Basil
Mycobacterium masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (dreplet infection)
sampai alveoli dan terjadilah onfeksi primer (Gbon). Kemudian, dikelenjar getah bening
terjadilah primer kompleks yang disebut tuberculosis primer. Dalam sebagian besar kasus,
Bagian yang terinfeksi ini dapat mengalami penyembuhan. Peradangan terjadi sebelum tubuh
mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil Mycobacterium pada usia 1-3 tahun.
Sedangkan, post primer tuberculosis (reinfection) adalah peradangan yang terjadi pada
jaringan paru yang disebabkan oleh penularan ulang.
2.2 Tanda dan Gejala
a. Sistemik : malaise. Anoreksia, berat badan menurun, dan keluar keringat malam.
b. Akut : demam tinggi, seperti flu dan menggigil.
c. Milier : demam akut, sesak napas, dan sianosis (kulit kuning).
d. Respiratorik : batuk lama lebih dari dua minggu, sputum yang mukoid atau mukopurulen,
nyeri dada, batuk darah dan gejala lain. Bila ada tanda-tanda penyebaran ke organ lain,
seperti pleura, akan terjadi nyeri pleura, sesak napas ataupun gejala meningeal (nyeri kepala,
kaku duduk dan lain sebagainya)
2.3 Klasifikasi TBC Paru
Tuberkulosis pada manusia dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuberkulosis primer dan
tuberkulosis sekunder.

1. Tuberkulosis primer
Tuberkulosis adalah infeksi bakteri TB Dari penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik
terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup dari udara melalui saluran pernapasan dan
mencapai alveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan
dihancurkan oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri ditangkap
oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan berkembang biak dalam tubuh makrofag yang
lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari proses ini, dihasilkan bahan kemotaksis yang
menarik monisit (makrofag) dari aliran darah dan membentuk tuberkel. Sebelum
mengahncurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang
dihasilkan oleh limfosit T.
Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama. Ada makrofag yang
berfungsi pembunuh, mencerna bakteri, dan merangsang limfosit. Beberapa makrofag
menghasilkan protease elastase, kolagenase, serta faktor penstimulasi koloni untuk
merangsang produksi monosit dan granulosit pada sumsum tulang. Bakteri TB menyebar ke
saluran pernapasan melalui getah bening regional (hilus).dan membentuk epitiolit granuloma.
Granuloma mengalami nekrosis sentral sebagai akibat dari timbulnya hipersensitifitas selular
(delayed hipersensitifity) terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan
terlihat pada tes tuberkulin. Hipersensitifitas selular sebagai akumulasi lokal dari lifosit dan
makrofag.
Baktei TB yang berada dalam alveoli akan membentuk fokus lokal (fokus ghon), sedangkan
fokus inisial bersama-sama dengan limfa denopati bertempat di hilus (kompleks primer
ranks) dan disebut juga TB primer. Fokus primer paru biasanya bersifat unilateral dengan
subpleura terletak di atas atau bawah sifura interlobaris, atau di bagian basal dari lobus
inferior. Bakteri ini menyebar lebih lanjut melalui saluran limfe atau aliran darah, dan
tersangkut pada berbagai organ. Jadi, TB primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis.
2. Tuberkulosis Sekunder
Telah terjadi resolusi dari infeksi primer; sejumlah kecil bakteri TB masih dapat hidup dalam
keadaan dorman di jaringan parut. Sebanyak 90% di antaranya tidak mengalami
kekambuhan. Reaktifasi penyakit TB (TB pascaprimer/TB sekunder) terjadi bila daya tahan
tubuh menurun, pecandu alkhohol akut, silikosis, dan pada penderita diabetes melitus serta
AIDS.
Bebeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan organ lainnya
jarang terkena, lesi lebih terbatas, dan terlokalisir. Reaksi imunologis terjadi dengan adanya
pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan
lebih mencolok dan menghasilkan lesi kaseosa (perkejuan) yang luas dan disebut
tuberkulema. Plotease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan menyebabkab pelunakan
bahan kaseosar. Secara umum, dapat dikatakan bahwa terbentuknya kafisatas dan manifestasi
lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai
hipersensitivitas.
TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber eksogen, terutrama
pada usia tua dengan riwayat masa muda pernah terinfeksi bakteri TB. Biasanya, hal ini
terjadi pada daerah artikel atau sekmen postarior lobus superior, 10-20 mm dari pleura dan
segmen apikel lobus interior. Hal ini mungkin disebabkan kadar oksigen yang tinggi,
sehingga menguntungkan untuk pertumbuhan penyakit TB.

Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru yang disebabkan oleh produksi sitokin yang
berlebihan. Kavitas kemudian diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal dan berisi pembuluh
darah pulmonl. Kavitas yang kronis diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal. Masalah
lainnya pada kavitas kronis adalah kolonisasi jamur, seperti aspergilus yang menumbuhkan
micotema (Isa,2001).
2.4 Komplikasi
1. Komplikasi Dini
a. pleuritis,
b. efusi pleura,
c. empiema,
d. laringitis, dan
e. TB usus.
2. Komplikasi Lanjut
a. obstruksi jalan napas,
b. kor pulmonale,
c. amiloidosis,
d. karsinoma paru, dan
e. sindrom gagal napas.
2.5 Penatalaksanaan Medis
Zain (2001) membagi penatalaksaan tuberkulosis paru menjadi tiga bagian, yaitu pencegahan,
pengobatan, dan penemuan penderita.
1. Pencegahan tuberkulosis paru
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan
penderita TB paru BTA positif.
b. Mars chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi
tertentu, misalnya karyawan rumah sakit atau puskemas atau balai pengobatan, penghuni
rumag tahanan dan siswi-siswi pesantren.
c. Vaksinasi BCG, reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi BCG langsung
terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan.
.d. Kemoprokfilasis, yaitu dengan menggunakan INH 5 mg/kg BB selama 6-12 bulan dengan
tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.
e. Komunikas, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada
masyarakat di tingkat puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas pemerintah atau petugas
LSM.
2. Pengobatan tuberkulosis paru
Tujuan pengibatan pada penderita TB paru, selain untuk mengobati, juga untuk mencegah
kematian, kekambuhan, resistensi kuman terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai
penularan.
3. Penemuan penderita
a. Penatalaksaan terapi: asupan nutrisi adekuat/ mencukupi.
b. Kemoterapi, yang mencakup pemberian:
1) Isoniazid (INH) sebagai bakterisidial terhadap basil yang tumbuh aktif. Obat
ini
diberikanselama 18-24 bulan dan dengan dosis 10-20 mg/kg berat badan/hari
melalui oral.

2) Kombinasi antar NH, rifampicin, dan pyrazinamid yang diberikan selama 6 bulan.
3) Obat tambahan, antara lain Strepmomycin (diberikan intramuskuler)dan Etham burol
4) Terapi kortikosteroid diberikan bersamaan dengan obat anti-TB untuk mengurangi respons
peradangan, misalnya pada meningitis.
c.Pembedahan dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Tindakan ini dilakukan mengangkat
jaringan paru yang rusak.
d. Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung denga orang yang
terinfeksi basil TB serta mempertahankan asupan nutrisi yang memadai. Pemberian
imunisasi BCG juga diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap inveksi basil
TB virulen.
2.6 Patofisiologi
Port desentri kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi terjadi melalui udara (air bone),
yaitu melalui inhalasi dropplite yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang
terinfeksi.
Basil tuberkel yang mencapai alveolus dan diinhalasi biasanya terdiri atas satu sampai tiga
gumpalan. Basil yang lebih besar cenderung bertahan disaluran hidung dan cabang besar
bronkus, sehingga tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, kuman
akan mulai mengakibatkan peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak memfagosit
bakteri ditempat ini, namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat
sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan
terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar
melalui getah bening menuju getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu, sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit yang
dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 jam.
2.7 Asuhan Keperawatan TBC Paru (Pengkajian: Anamnesis)
1. Keluhan Utama
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator, yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak
kemiripan dengan penyakit lain, yang juga memberikan gejala umum serupa (seperti lemah
dan demam). Pada sejumlah pasien, gejala yang timbul tidak jelas bahkan kadang-kadang
tanpa gejala (asimptomatik), sehingga sering diabaikan. Keluhan yang sering menyebabkan
Paien TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu keluhan respiratoris dan keluhan sistematis.
a. Keluhan respiratoris
1) Batuk
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan ganguan yang paling sering dikeluhkan.
Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk bersifat nonproduktif,produktif, ataukah
sputum bercampur darah.
2) Batuk darah
Keluhan batuk darah pada pasien TB paru selalu menjadi alasan utama untuk meminta
pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut pasien pada darah yang keluar pada

jalan napas. Perawat harus menanyakan seberapa banyak darah yang keluar (apakah hanya
berupa blood streak / berupa garis atau bercak-bercak darah)
3) Sesak napas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah meluas atau karena ada hal-hal
lain yang memperberat kondisi paru-paru pasien.
4) Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini timbul apabila sistem
saraf pleura terkena TB.
b. Keluhan Sistematis
1) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam hari pada penderita
TB ini mirip dengan gejala demam influenza. Gejalanya hilang timbul dan semakin lama
semakin panjang serangannya, sementara masa bebas serangan semakin pendek.
2) Keluhan Sistematis Lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat dimalam hari, anoreksia, penuruna berat badan, dan
tidak enak badan (malaise). Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual atau muncul secara
bertahap dalam beberapa minggu ata bulan. Akan tetapi, penampilan akut dengan batuk,
panas, dan sesak napas (walaupun jarang) dapat juga timbul menyerupai gejala pnemunomia.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Ajukan pertanyaan yang sifatnya
ringkas , sehingga jawaban yang diberikan pasien hanya kata ya atau tidak, atau cukup
dengan anggukan atau gelengan kepala. Apabila keluhan utama adalh batuk, maka perawat
harus menanyakan sudah berapa lama keluhan batuk muncul (onset). Pada pasien dengan
pneumonia, keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum
obat batuk yang biasa dijual dipasaran.
Batuk pada TB yang paling sering dikeluhkan, mula-mula nonproduktif (tanpa dahak),
kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk
akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus, dimana terjadi iritasi bronkus.
Akibat adanya peradangan pada bronkus, batuk akan menjadi produktif (berdahak), yang
berguna untuk membuang produk ekskresi peradangan dengan sputum (dahak) yang bersifat
mukoid atau purulen.
Pasien TB paru juga sering menderita batuk darah. Adanya batuk darah ini sering
menimbulkan kecemasan pada diri pasien, karena batuk darah sering dianggap sebagai suatu
tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya. Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi jika
perawat memberikan pelayanan keperawatan yang baik kepada pasien dengan memberi
penjelasan tentang kondisi yang terjadi pada dirinya.
Jika keluhan utama atau yang menjadi alasan pasien meminta pertolongan kesehatan adalah
sesak napas, maka perawat perlu mengarahkan atau menegaskan pertanyaan untuk
membedakan antara sesak napas yang disebabkan oleh gangguan sistem pernapasan dan
sistem kardiovaskular. Sesak napas yang disebabkan oleh TB paru biasanya disertai gejalagejala berat. Hal ini bisa disebabkan tingkat kerusakan parenkim paru yang sudah meluas
atau karena ada hal-hal yang menyertainya, seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia, dan
lain-lain. Untuk memudahkan perawat dalam mengkaji keluhan sesak napas, maka napas ini
dapat dibedakan lagi sesuai tingkat klasifikasi sesak.

1.
a.
1)
2)
3)
4)
5)

4)

3.Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah
menderita TB paru, waktu kecil pernah mengalami keluhan batuk dalam waktu lama,
tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang dapat
memperberat TB paru (seperti diabetes mellitus). Tanyakan pula mengenai obat-obat yang
biasa diminum pasien dimasa lalu yang masih relevan. Obat-obat ini meliputi obat OAT dan
antitisif. Catat adanya efek samping yang mungkin timbul dimasa lalu.
Tanyakan pula sekiranya ada alergi obat serta reaksi alergi yang timbul. Sering kali, pasien
mengacaukan antara suatu jenis alergi dengan efek samping obat. Kaji lebih dalam tenyang
seberapa jauh penurunan berat badan (BB) pasien dalam 6 bulan terakhir. Penurunan berat
badan pasien dengan TB paru berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta
adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi, TB paru tidak diturunkan tetapi, perawat perlu menanyakan apakah penyakit
ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan
didalam rumah.
2.8 Dasar Pengkajian Pasien
data pengkajian pasien tergantung pada tahap dan derajat yang terkena.
Aktivitas/istirahat
Gejala :
Kelelahan umum dan kelemahan.
Nafas pendek saat bekerja atau beraktivitas.
Kesulitan tidur pada malam hari atau demam malam
Setiap hari menggigil dan berkeringat,serta
Mimpi buruk.
b. Tanda
1) Takikardia, takipnea atau dispnea pada saat beraktivitas, dan
2) Kelelahan otot, nyeri,dan sesak (tahap lanjut).
2. Integritas Ego
a. Gejala:
1) Adanya/faktor stres lama,
2) Masalah keuangan dan rumah tangga,
3) Perasaan tak berdaya/tak ada harapan, serta
Biasa terjadi di bangsa Amerika Asli atau imigran dari Amerika tengah,Asia Tenggara, dan
suku Indian.
b.Tanda:
1) Menyangkal (khususnya dalam tahap dini) dan
2) Kecemasan berlebihan, ketakutan, serta mudah marah
3. Makanan/Cairan
a. Gejala:
1) Kehilangan nafsu makan,
2) Tak dapat mencerna makanan, dan
3) terjadi penurunan berat badan.
b. Tanda:

1) turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik,serta


2) kehilangan otot atau otot mengecil karena hilangnya lemak subkutan

4. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala: nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
b. Tanda:
1) Berhati-hati saat menyentuh atau menggerakan area yang sakit
2) Perilaku distraksi (terganggu), seperti sering gelisah
5. Pernafasan
a. Gejala
1) Batuk (produktif/tak produktif) dan
2) Napas pendek
b. Tanda:
1) Peningkatan frekuensi pernapasan.
2) Fibrosis parenkin paru dan pleuran yang meluas
3) Pasien menunjukan pola pernapasan yang tak simetris (efusi pleura)
4) Perfusi pekak dan penurunan fremitus (getaran dalam paru)
5) Penebalan pleura
6) Bunyi napas yang menurun
7) Aspek paru selama inspirasi cepat;namun setelah batuk biasanya pendek (krekels potstusik)
8) Karateristik spuntum (yang berwarna hijau/purulen dan mukoid, kadang kuning dan disertai
dengan bercak darah)
9) Deviasi trakeal (penyebab bronkogenik)
10) Tak perhatian, menunjukan sikap mudah tersinggung yang jelas
11) Perubahan mental (tahap lanjut)
6. Keamanan
a. Gejala : Adanya kondisi tekanan pada sistem imon (contohnya AIDS, kanker, tes HIV yang hasilnya
positif)
b. Tanda : demam rendah atau sakit panas akut.
7. Iteraksi Sosial
Gejala : perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular. Perubaha pola biasa dalam
kapsitas fisik untuk melaksanakan peran.
8. penyuluhan/pembelajaran
a. Gejala :
1) Riwayat keluarga TB
2) ketidak mampuan umum/status kesehatan buruk
3) gagal untuk menyembuhkan TB seara total, TB sering kambuh.
4) tidak mengikuti terapi pengobatan dengan baik.
b. pertimbangan :
DRG menunjukkan bahwaa rata rata lama pasien dirawat di rumah sakit sekitar 6,6 hari.
c. rencana pemulangan

pasien dengan TB paru dalam terapi obat dan bantuan perawtan diri serta pemeliharaan
rumah
2.9 Jenis Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum dan Tand-tanda Vital
Keadaan umum pasien TB paru dapat dilihat secara selintas dengan menilai keadaan fisik tiap
bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum tentang kesadaran pasien yang terdiri
atas compos menitis, apatis, samnolen, sopor, soporokoma, atau koma. Seorang perawat perlu
mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang konsep anatomin fisiologi umum, sehingga
dengan cepat menilai keadaan umum, kesadaran, dan pengukuran GCS bila kesadaran pasien
menurun. Hal tersebut penting dilakukan karena komdisi vital ini mensyaratkan kecepatan
dan ketepatan penilaian.
Biasanya, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dari pasien TB paru menunjukkann adanya
peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak
napas, denyut nadi biasanya juga meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frejuensi pernapasan, serta tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit penyulit
(seperti hipertensi).
2. Pengkajian Psiko-Sosio-Spirtual
Pengkajian psikologis pasien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, da perilaku pasien. Perawat
mengumpulkan data hasil pemeriksaan pasien tentang kapasitas fisik dan intelektualnya saat
ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat perlu tidaknya pengkajian psiko-sosiospiritual yang saksama. Pada kondisi klinis, pasien dengan TB paru sering mengalami
kecemasan bertingkat sesuai dengan keluhan yang dialaminya.
Perawat juga perlu menanyakan kondisi pemukiman tempat pasien bermukim. Hal ini
penting, mengingat TB paru sangat rentan dialami oleh mereka yang tinggal di permukiman
padat dan kumuh. Perlu diketahui bahwa populasi bakteri TB paru lebih mudah hidup dan
brkembang biak ditempat kumuh dengan ventilasi yang buruk dan pencahayaan sinar
matahari yang kurang.
TB paru merupakan penyakit yang pada umumnya menyerang masyarakat miskin. Hal ini
karena golongan masyarakat cenderung tidak sanggup meningkatan daya tahan tubuh non
spesifik dan keterbatasan dalam mengkonsumsi makanan bergizi. Selain itu, juga karena
ketidak sanggupan mereka untuk membeli obat. Ini semua masih diperparah lagi dengan
faktor kemiskinan yang membuat setiap individe diharuskan bekerja secara fisik, sehingga
mempersulit proses penyembuhan penyakitnya.
Pasien TB paru kebanyakan berpendidikan rendah, akibatnya mereka tidak menyadari bahwa
penyembuhan penyakit dan menjaga kesehatan merupakan hal yang penting. Pendidikan
yang rendah sering menyebabkan seseorang tidak dapat meningkatkan kemampuannya untuk
mencapai taraf hidup yang baik. Padahal, taraf hidup yang baik amat dibutuhkan untuk
penjagaan kesehatan secara umum dan dalam menghadapi infeksi.
WOC
Bakteri Mycrobacterium Tuberculosis
Paru-paru

Alveolus mengalami peradangan


TBC
B1

B2
B3

B4

B5

B6

Mecanisme tubuh berusaha mengeluarkan benda asing tersebut


batuk
MK: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Terdapat benda asing (mucus)

1.
2.
3.
4.
5.
6.

L. Diagnosis Keperawatan
ketidak efektifan kebersihan jalan napas, berhubunagan dengan sekresi mukus yang kental,
hemoptitis, kelemahan fisik, upaya batuk buruk dan edema trakheal/faringeal.
ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadappenumpukan cairan dalam rongga pleura.
resiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan jaringan efektif
paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, dan edema bronchial.
perubahan nutrisi; kurangnya asupan nutrisi dari kebutuhan ideal tubuh yang berhubungan
dengan keletihan, anoreksia, despnea, dan peningkatan mitabolisme tubuh.
kecemsan, berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
kurang informasi dan pengetaahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan, berhubungan
dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksaan perawatan dirumah.
7. infeksi dan reiko tingi penyebaran atau aktivasi ulang kuman TB, berhubungan dengan
kerusakan jaringan/infeksi tambahan.
G. Pemeriksaan Diagnosis
1. Pemeriksaan Rontgen Toraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen toraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum
ditemukan gejala subjektif awal. Sebelum pemeriksaan fisik, dokter juga menemukan suatu
kelainan pada paru. Pemeriksaan rontgen toraks ini sangat berguna untuk mengevaluasi hasil
pengobatan, di mana hal ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel
terhadap OAI (apakah sama baiknya dengan respons pasien?). Penyembuhan total sering kali
terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat muncul pada sebuah proses
penyembuhan yang lengkap.
2. Pemeriksaan CT-scan
Pemeriksaan CT-scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang
ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal, klasifikasi
nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskular, bronkhiektaksis,
serta emfisema perisikatrisial. Pemeriksaan CT-scan sangant bermanfaat untuk mendeteksi
adanya pembentukan kavitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan rontgen toraks
biasa.
3. Radiologis TB Paru Milier
TB Milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh seta
mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat fatal sebelum penggunaan
OAT. Hasil pemeriksaan rontgen toraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.
Pada beberapa pasien TB milier, tidak ada lesi yang terlihat pada hasil rontgen toraks, tetapi

ada beberapa kasus dimana bentuk milier klasik berkembang seiring dengn perjalanan
penyakitnya.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melaui
isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycrobacterium yang satu dengan yang lainnya
harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan
kepekaan terhadap OAT, dan percobaan, serta perbedaan kepekaan kulit terhadap berbagai
jenis antigen Mycrobacterium.
Bahan untuk pemeriksaan isolasi Mycrobacterium TB adalah septum pasien, urine, dan cairan
kumbah lambung. Selain itu, ada juga bahan-bahan lain yang dapat digunakan, yaitu cairan
serebrospinal (sum-sum tulang belakang), cairan pleura, jaringan tubuh, fases,
dan swab tenggorokan. Pemeriksaan darah yang menunjang diagnosis TB paru, walaupun
kurang sensitif, adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya pemeriksaan LED
biasanya disebabkan peningkatan immunoglobulin, terutama IgG dan IgA (Loman, 2001)
M. Perencanaan dan Intervensi
1. diagnosis 1
Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan denga sekresi mukus yang kental,
hemoptitis, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal/faringeal
a. Tujuan kebersiahan jalan napas kembali efektif
b. Kreteria Hasilan
1) Pasien dapaata melakukan batuk efektif
2) Pernasan pasien normal tanpa menggunakan alat bantu napas. Bunyi napas normal, Rh -/-,
dan pergerakan pernapas normal.
c. Intervensi
1) Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas , kecepatran, irama, kedalaman, dan penggunaann otot
bantu napas).
Rasionalisassi : penurunan bunyi napas menunjukan atelectasis, ronkhi menunjukan
akumulasi secret dan tidak efektifnya pengeluaran sekresi, yang selanjutnya dapat
menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningkatan kerja pernapassan
2) Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat krakter, volume sputum, dan adanya
hemoptysis.
Rasionalisasi : pengeluaran dahak akan sulit bila secret sangat kental ( efek infeksi dan
hidrasi yang tidak memadai). Sputum berdarah bila ada kerusakan (kavitasi) paru atau luka
bronchial dan memerlukan intervensi lebih lanjut.
3) Berikan posisi fowler/ semifowler tinggi (yakni posisi tidur dengan punggung bersandar di
bantal atau seperti tidur-duduk) dan bantu pasien untuk bernapas dalam dan batuk efektif.
Rasionalisasi : posisi powler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya napas.
Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kejalan napas
besar untuk dikeluarkan.

4) Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2.500 ml/hari, kecuali tidak d indikasikan.


Rasionalisasi : hidrasi yang memadai dapat membantu mengencerkan sekret dan
mengefektifkan pembersihan jalanya napas.
5) Bersihkan sekret dari mulut dan trachea, bila perlu lakukan pengisapan (suction).
Rassionalisasi : mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila pasien tidak
mampu mengeluarkan sekret.
6) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi OAT.
Rasionalisasi : pengobata tuberkolosis terbagi jadi dua fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang di gunakan terdiri atas obat utama dan obat
tambahan jenis obat utama yang digunakan sesuai rekomendasi WHO adalah Rifamsipin,
INH, Pirazinamid, strptomisin, dan Etambutol.
7) Agen Motolitik.
Rasionalisasi : agen mokolitik menurunkan kekentalan dan kelengketan sekret paru, sehingga
memudahkan pembersihan.
8) Bronkodilator.
Rasionalisasi : bronkodilator meningkatkan diameter percabangan trakeobronkhial, sehingga
menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
9) kortiokosteroid
Rasionalisasi : kortiosteroid berguna untuk memperluas keterlibatan pada hipoksemia dan
bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.
2. Diagnosis 2
Ketidak efektifan pola pernapsan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
a. Tujuan : pola napas kembali efektif.
b. kreteria hasil :
1) pasien mampu melakukan batuk efektif.
2) Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada batasan norma. Pada pemeriksaan
rontgen dada, tidak ditemukan adanya akumlasi cairan, dan bunyi napas terdengar jelas.
c. Intervensi
1). Identifikasi faktor enyebab.
Rasionalisasi: dengan mengidentifikasi penyebab, kita dapat menentukan jenis defusi pleura,
sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
2) Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis, dan perubahan tanda
vital
Rasionalisasi : distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagaiakibat stres
fisiologis dan nyeri. Bisa juga menunjukkan terjadiya shock akibat hipoksia
3) Berikan posisi fowler/semifowwler (tidur bersandar) tinggi dan miring pada posisi yang sakit
dan bantu pasien untuk latihan napas dalam dan batuk efektif.

Rasionalisasi : posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya napas.
Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkattan gerakan sekret pada jalan
napas besar untuk kemudian di keluarkan.
4) Auskultasi bunyi napas.
Rasionalisasi : bunyi napas dapat menurun, bahkan tidak ada, pada area kolaps yang meliputi
satu lobus, segmen paru, atau eluruh area paru (unilateral).
5) Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.
Raionalisasi : ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea kearah sisi yang sehat
pada tension.
6) Kolaborasi untuk tindakan thorakosintetis atu kalu perlu WSD ( water seal drainage).
Rasionalisasi : bertujuan sebagai evakuasi cairn atu udara dan memudahkan ekspansi paru
secara maksimal.
7) Bila di pasang WSD, periksa pengontrol pengisap dan jumlah isapan yang benar.
Rasionalisasi : mempertahankan tekanan negatif intrapleura, sehingga dapat meningkatkan
ekspansi aru optium.
8) Periksa batas ciran pada botol pengisap dan ertahankan pada batas yang di tentukan.
Rasionalisasi : air dalam botol penampung berfungsi sebagai segat yang mencegah udara
atmosfer masuk dalam pleura.
9) Observasi gelembung udara dalam botol penampung.
Rasionalisasi : gelembung udara selama eksparasi menjukkan keluarnya udara dari pleura
sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah gelembung biasanya menurun seiring dengan
bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya gelembung udara dapat menunjukkan bahwa
ekspansi paru sudah optimal atau tersumbatnya selang drainase.
10) Setelah WSD dilepas, tutup sisi tabung dengan kasa steril dan observasi tanda yang dapat
menunjukkan berulangnya pneumutoraks, seperti napas pendek dan keluhan nyeri.
Rasionalisasi : deteksi dini terjadinya komplikasi adalah hal yang sangat penting, seperti
menandai berulangnya pneumotoraks
.
3. Diagnosis 3
Resiko tinggi ganguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurun an jaringan efektif
paru, atelektasis, kerusakan membran alviolar-kapiler, dan idema bronchial.
a. Tujuan : gangguan pertukarn gas tidak terjadi
b. Kriteria Hasil :
1) Pasien melaporkan adanya penurunan dipsnea.
2) Pasien menunjukkan tidak ada gejala distes pernapasan
3) Menunjkkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat
dengan gas darah arteri dalam rentan normal.
c. Intervensi
1) Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi toraks, dan
kelemahan.
Rasionalisasi : TB mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkhopneumonia
sampai implamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang juga luas.
Efeknya pada pernapasan bervariasi dari gejala ringan, dispnea berat, sampai distres
pernapasan.

2) Evaluasi perubahan tingkat kesadaaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk
membran mukosa dan kuku.
Rasionalisasi : akumolasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat
mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.
3) Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi, khususnya untuk pasien dengan
fibrosi dan kerusakan parenkim paru.
Rasionalisasi : membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps atau
enyempitan jalan napas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan
mengurangi napas pendek.
4) Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, dan batu kebutuhan peraawatan diri sehari hari
sesuai keadaan pasien.
Rasionalisasi : menurunkan konsumsi oksigen selama perioden penurunan pernapasan, selain
dapat menurunkan beranya gejala.
5) Kolaborasi tirah baring, batasi aktivitas, dan batu kebutuhan peraawatan diri sehari hari
sesuai keadaan pasien.
Rasionalisasi : menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan pernapasan dan
dapat menurunkan beratnya gejala.
6) Kolaborasi permeriksaan AGD.
Rasionalisasi : penurunan kadar O2(PO2) dan atau saturasi peningkatan PCO2 menunjukkan
kebutuhan untuk intervensi atau perubahan program terapi.
7) Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.
Rasionalisasi : terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akakibat peurunan
ventilasi atau menurunnya penurunan alveolar paru.
8) Kortikosteroid.
Rasionalisasi : kortiosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia dan bila
reaksi inflamasi mengancam kehidupan.
4. Diagnosis 4
Perubahan nutrisi, yakni asupan zat gizi yang kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan
dengan keletihan, anoreksia, dispnea, dan peningkatan metabolisme tubuh.
a. Tujuan : asupan (intake)nutrisi pasien terpenuhi.
b. Kriteria Hasil :
1) Pasien dapat mempertahankan status gizinya yang semula kurang menjadi memadai.
2) Pernyataan motivasi kita untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
c. Intervensi
1) Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan, derajat penurunan berat badan, integrasi
mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual atau muntah, dan diare.
Rasionalisasi : memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan pilihan
interensi yang tepat.
2) Fasilitasi pasien untuk memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai indikasi).
Rasionalisasi : memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan gizi.
3) Pantauan dan output makanan dan timbangan berat badan secara priodik (sekali seminggu)
Rasionalisasi : berguna untuk mengukur keefektifan asupan gizi dan dukungan cairan.

4) Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, seta sebelum dan
sesudah intervensi atau pemeriksaan per oral.
Rasionalisasi : menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa spuntum, atau obat pada
pengobatan sistem pernapasan yang dapat merangsang pusat muntah.
5) Fasilitas pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasionalisasi : memaksimalkan intake nutrisi tanpa kelelahan dan energi besar, serta
menurunkan iritasi saluran cerna.
6) Kolaborasi dengan ahli giza untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
Rasionnalisasi : merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan energi dan kalori, sehubungan dengan status hipermetabolik pasien.
7) Kolaborasi untuk pemerikasaan laboratorium, khususnya BUN (blood urea nitrogen), protein
serum dan albumin.
Rasionalisasi : menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan intervensi
selanjutnya.
8) Kolaborasi untuk pemberian moltivitamin.
Rasionalisasi : moltivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan vitamin yang tinggi
sekunder dari peningkatan aju metabolisme umum.
5. Diagnosis 5
Kecemasan yang berhubungan dengan adanya ancaman yang dibayangkan (ketidak mampuan
untuk bernapas) dan prognosi penyakit yang belum jelas.
a. Tujuan
pasien mampu memahami dan menerima keadaannya, sehingga tidak muncul kecemasan
yang berlebihan.
b. Kreteria Hasil
Pasien terlihat mampu bernapa secara normal dan mampu beradaptasi dengan keadannya.
Respon non verbal pasien tampak lebih rileks dan santai.
c. Interensi
1) Bantu dalam mengidentifikasi sumber coping yang ada.
Rasionalisasi : pemanfaatan sumber coping yang ada secara konstruktif, sangat bermanfaat
dalam mengatasi stres.
2) Ajarkan teknik relaksasi
Rasionalisasi : mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
3) Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien.
Rasionalisasi : hubungan saling ercaya membantu memperlancar proses terapiotik.
4) Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasionalisasi : tindakan secara tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang sedang
dihadapi pasien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.
5) Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasionalisasi : rasa cemas merupakan efek dari emosi, sehingga apabila sudah teridentifikasi
dengan baik, perasaan yag mengganggu dapat diketahu.
6. Diagnosis 6

Kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai kondisi maupun aturan pengobatan,


berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan
perawatan di rumah.
a. Tujuan : pasien mmpu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.
b. Kriteria hasil.
Pasien terlihat mengalami penurunan potensi penularan penyakit, yang ditunjukkan oleh
kegagalan kontak pasien.
c. Intervensi
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum,
engetahuan pasien sebelumnya, dan suasana yang tepat)
Rasionalisasi : keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional,
dan lingkungan kondusif.
2) Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan alasan
mengapa pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
Rasionalisasi : meniningkatkatkan partisipasi pasien dalam program pengobatan dan
mencegah putus obat karena membaiknya kondisi fisik pasien sebelum jadwal terapi selesai.
3) Ajarkan dan nilai kemamuan pasien untuk mengidentifikasi gejala atau tanda reaktifitas
penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran dan
vertigo).
Rasionalisasi : dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek obat yang
memerlukan evaluasi lanjut.
4) Tekankan pentingna mempertahankan asupan nutrisi yang mengandung protein dan kalori
yang tinggi, serta asupan cairan yang cukup setiap hari.
Rasionalisasi : diet TKTP (tinggi kalori dan tinggi protein) dan cairan yang adekuat
memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik tubuh. Pendidikan kesehatan tentang hal itu
akan meningkatkan kemandirian pasien dalam perawatan penyakitnya.
7. Diagnosis 7
Infekai merupakan resiko tinggi (penyebaran/aktivasi ulang) yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan/tambahan infeksi.
a. Tujuan : infeksi karena jaringan/tambaham infeksi dapat teratasi
b. Kriteria Hasil
1) Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi.
2) Menunjukkan teknik atau melakukan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
c. Intervensi
1) Kajian patologi penyakit (aktif/fase tak aktif, yakni diseminasi infeksi melalui bronkus untuk
membatasi jaringan atau melalui aliran darah/sistem limfatik) dan potensi penyebaran infeksi
melalui butiran-butiran (droplet) udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa, dan
menyanyi.
Rasionalisasi : membantu pasien menyadari/menerima perlunya mematuhi program
pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulng/koplikasi. Pemahaman bagai mana penyakit
itu disebarkan dan kesadaran mengenai transmisi, akan membantu pasien atau orang terdekat
untuk mengambil langkah dalam mencegah infeksi ke orang lain.
2) Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat karib, atau teman.

Rasionalisasi : orang orang yang masuk dalam kelompok ini perlu mendapat program terapi
obat untuk mencegah penyebaran atau terjadinya infeksi.
3) Anjuran pasien untuk menutup batuk/bersin dengan tisu. Minta mereka untuk menghindri
meludah. Gunaka tisu sekali pakai dan ajarkan tatacar mencuci tangan yang tepat. Dorong
pasien untuk mengulangi arahan tersebut untuk memastikan bahwa dia benar-benar mengerti.
Rasionalisasi : perilaku-perilaku tersebut dilakukan untuk mencegah infeksi.
4) Kaji tindakan kontrol infeksi sementara dan contoh penggunaan masker atau isolasi
pernapasan.
Rasionalisasi : dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien dan membuang stigma
sosial, sehubungan dengan penyakit menular.
5) Awasi suhu sesuai indikasi
Raionalisasi : reaksi demam merupakan indiktor adanya infeksi lebih lanjut.
6) Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang kuman tuber kolosis, adanya
tahanan/tekanan dari organ bawah paru-paru (alkoholisme, malnutrisi, atau bedah bypas
intestinal), penggunaan obat penekan imun/kortikosteroid, adanya gejala diabetes mellitus
dan kanker, serta konsumsi kalium.
Rasionalisasi : pengetahuan tentang faktor-faktor ini dapat membantu pasien untuk mengubah
pola hidup yang kurng sehat dan menghindari/menurunkan insiden eksaserbasi.
7) Tekanan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Raionalisasi : periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi adanya rongga
atau penyakit dan resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai tiga bulan.
8) Kaji pentingnya mengikuti kultur ulang secara periodik terhadap spuntum untuk lamanya
terapi.
Rasionalisasi : alat dalam pengawasan efek, begitu juga keefektifan obat serta respon pasien
terhadap terapi.
9) Dorong pasien untuk memilih atau mencerna makanan seimbang. Berikan makanan kecil
diantara makanan besar secara tepat.
Rasionalisasi : adanya anoreksia atau malnutrisi sebelumnya merendahkan terhadap tahap
proses infeksi dan mengganggu penyembuhan. Makanan kecil dapat meningkatkan
pemasukan tersebut.
d. Kolaborasi
1) Pemberian Pirainamida (PZA atau Aldinamide), paraamino salicic (PAS), silokserin
(seromicin), dan streptomycin (strisin).
Rasionalisasi : obat sekunder tersebut diperlukan bila kuman infeksi resisten atau tidaktoleran
terhadap obat primer.
2) Awasi pemerikasaan labratorium, contoh hasil usap spuntum.
Rasionalisasi : pasien yang mengalami tiga usapan negatif (memerlukan 3-5 bulan), perlu
menaati program konsumsi obat hingga gajal-gejala asimpromatik dipastikan tidak menyebar.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan saran
Berdasarkan hasil pemeriksaan menyeluruh, yang meliputi anamnesis (yang juga mencakup
tanda dan gejala serta riwayat penyakit), maka pasien didiagnosis menderita tuberkulosis jika
telah menunjukkan gejala gejalanya. Pasien harus minum obat secara teratur dan melanjutkan
terapi pengobatan hingga dinyatakan benar sembuh. Pasien harus sabar dan taat. Anggota
keluarga harus memeriksakan dahaknya dan gar harus memperhatikan serta motifasi pasien
tetap konsisten dalam menjalani pengobatan.
Diposkan 18th January 2014 oleh KRISMAS EKA SAPUTRA

Anda mungkin juga menyukai