Anda di halaman 1dari 28

STUDI ISLAM II

ETIKA BERKELUARGA MENURUT ISLAM


Untuk Memenuhi Tugas Studi Islam II

Kelompok 5

Mufty Akbar H. Umar


Ratna Farhana
Syifa Ramadiana

11141040000023
11141040000033
11141040000039

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JUNI/2015

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................3
1.1

Latar Belakang................................................................................................3

1.2

Rumusan Masalah...........................................................................................3

1.3

Tujuan Makalah..............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4
2.1

Pengertian Etika dan Keluarga........................................................................4

2.2

Prinsip Etik Sebelum Berkeluarga..................................................................4

2.2

Etika Dalam Perjalanan Berkeluarga..............................................................8

2.3

Menjadi Keluarga Sakinag, Mawadah, Warahmah.......................................17

BAB III PENUTUP.....................................................................................................24


3.1

Kesimpulan...................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25

BAB I PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas
yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup
analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung
jawab.
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang
hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan
biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya,
tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala
keluarga dan makan dalam satu periuk.

1.2

Rumusan Masalah
Mengetahui pengertian Etika berkeluarga
Mengetahui Prinsip Etika sebelum berkeluarga
Mengetahui Etika dalam perjalanan berkeluarga
Mengetahui Menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah

1.3

Tujuan Makalah

Untuk mengetahui pengertian Etika berkeluarga

Untuk mengetahui Prinsip Etika sebelum berkeluarga


Untuk mengetahui Etika dalam perjalanan berkeluarga
Untuk mengetahui menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika dan Keluarga
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang bericara mengenai nilai dan
norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai
cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dan rasional
mengenai nilai dan norma moral yang menenttukan dan terwujud dalam sikap
dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai
kelompok.1 Jadi dapat di simpulkan bahwa tujuan digunakanya etika dalam
pergaulan antar elemen-elemen di masyarakat pada hakikatnya supaya tercipta
suata hubungan yang harmonis serasi dan saling menguntungkan.2
Keluarga adalah unit terkecil yang memiliki suatu ikatan hubungan dan
tinggal bersama dalam satu atap serta memiliki peran masing-masing anggota.
Keluarga ini terdiri dari seorang suami (ayah), istri (ibu) dan anak-anaknya.3
Jadi, etika berkeluarga menurut islam adalah suatu sikap atau perilaku
seseorang yang memiliki ikatan hubungan dengan nilai-nilai islami dalam
rumah tangga.
2.2 Prinsip Etik Sebelum Berkeluarga.
Islam telah mengajarkan tentang pentingnya menjunjung tinggi moralitas
di dalam hidup ini, sampai-sampai Allah swt menjelaskan bahwa orang yang
berbuat baik, tentunya akan mendapatkan pasangan yang baik juga. Sebaliknya,
jika seseorang suka berbuat keburukan, maka untuknya pasangan yang sesuai
dengan perbuatannya. Oleh karenanya, tidak pantas rasanya ketika seseorang
1 Drs.h.burhanuddin salam. 2002. etika social, rineka cipta,Jakarta.
2 Dr. H. Budi Untung, S.H., M.M. 2012. Hukum dan etika bisnis, cv. Andi offset,Jakarta.
hal.62
3 Harnilawati. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Sulawesi Selatan:Pustaka
As-Salam.

yang amoral berharap berpasangan dengan muslimah yang baik, begitu juga
sebaliknya. Allah swt berfirman :

{26 : }
Artinya : Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan lakilaki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita
yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari
apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan
dan rezki yang mulia (surga) [QS. An-Nuur : 26]
Bahkan di dalam ayat yang lain, dengan tegas Allah swt mengharamkan
para pelaku zina untuk menikah dengan siapapun kecuali teman berzinahnya.
Allah swt berfirman :




: }
{3
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan
yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. [QS. An-Nuur :
3]
Dua ayat di atas menjadi dasar kongkrit dalam melakukan pembinaan
personal secara baik untuk mendapatkan pasangan yang baik. Hal ini
dipentingkan karena Islam sendiri menjelaskan bahwa keluarga itu dibangun di
atas pondasi kebaikan, maka ketika kebohongan, kedurhakaan, sudah tercipta
sebelum terjadinya perkawinan maka cita-citabaiti jannati (rumahku adalah
surgaku) dan visi sakinah, mawaddah dan rahmah tidak akan pernah terbangun.

Muhammad Quraish Shihab pernah menjelaskan, bahwa kehidupan


keluarga ibarat satu bangunan, demi terpeliharanya bangunan itu dari hantaman
badai dan goncangan gempa, maka ia harus didirkan di atas fondasi yang kuat
dengan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Fondasi
kehidupan berkeluarga adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan
mental calon-calon ayah dan ibu.
Karena begitu pentingnya nilai etik yang baik yang harus dibangun
sebelum berumah tangga, sampai-sampai Rasulullah Muhammad saw
memerintahkan umatnya agar memilih pasangan hidup dengan dominasi agama
di dalam dirinya (fazhfar bi dzati al-din taribat yadak). Dalam kasus lain,
Hasan al-Bashri pernah menasehati seseorang yang bertanya kepadanya
mengenai pilihan pasangan hidup, maka ia (Hasan) berkata terimalah yang
paling baik agamanya, karena jika ia senang kepada istrinya, pasti ia
menghormatinya, sedangka jika ia membencinya maka ia tidak akan
menganiayanya.
Adapun stressing etik yang termaktub di dua ayat di atas, yang pertama
yakni pada kata al-khabaits yang menjadi lawan kata al-thayyibat. Kata alkhabaits merupakan bentuk plural dari kata al-khabits yang memiliki makna
sesuatu yang dibenci, namun fokus kebenciannya dari segi sifat dan zhahirnya. Artinya, etika yang pertama yang harus ditanam di dalam diri sebelum
membentuk

keluarga

sehingga

mendapatkan

visi

yang

baik,

adalah

menciptakan sifat dan perangai yang baik agar dapat menghadirkan pasangan
yang serasi dengannya.
Stressing yang kedua adalah pada kata al-zina dan al-syirku yang tertuang
di dalam QS. 24:3. Kedua kata di atas menunjukkan tentang amal perbuatan,
seperti

kata

zina

yang

berasal

dari

akar

kata

yang

terdiri

dari

huruf zai, nun dan ya, yang berarti berbuat zina atau melakukan hubungan
badan tanpa ikatan yang sah menurut agama. Berdasarkan pemaknaan di atas,
maka maksud etik yang kedua ini adalah pada tataran amaliyah atau perbuatan,
dan standar atau alat ukurnya adalah apa yang terlihat oleh mata. Jika nilai etik
yang pertama adalah pada tataran sifat yang standarnya adalah kearifan lokal,

maka nilai etik yang kedua adalah sesuatu yang tidak bisa terbantahkan karena
bukti terlihat secara nyata di depan mata. Ayat lain yang juga menggambarkan
tentang penciptaan etika yang baik, dari segi sifat dan perbuatan sebelum
berkeluarga adalah firman Allah tentang kisah Nabi Musa as., dengan dua orang
wanita anak Nabi Syuaib as.
Ketika sedang mengambil air dan membawanya ke rumah untuk
kebutuhan rumah tangga. Diperjalanan pada awalnya kedua wanita tersebut
berjalan di muka Nabi Musa as., namun karena begitu banyak kemaksiatan
yang terlihat olehnya dari tubuh kedua wanita tersebut, maka pada akhirnya
Nabi Musa as. meminta kepada mereka untuk berjalan di belakangnya agar
dapat terhindar dari kemaksiatan. Adapun prinsip etik yang dibangun di dalam
ayat ini adalah rasa malu yang dalam pada diri seseorang untuk melakukan
kemaksiatan meskipun peluang itu ada ketika bertemu dengan lawan jenis.
Dengan prinsip etik ini, tidak ada satupun yang terlukai dan tersakiti sebelum
membangun bahtera tumah tangga.

*

*
{23-25 : }


Artinya : Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di


sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang
menghambat (ternaknya). Musa berkata: Apakah maksudmu (dengan berbuat
at begitu)? Kedua wanita itu menjawab: Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya),
sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. [23] Maka
Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, ke- mudian dia
kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: Ya Tuhanku sesungguhnya aku
sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku. [24]
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan kemalu-maluan, ia berkata: Sesungguhnya bapakku memanggil

kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum


(ternak) kami. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syuaib) dan
menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syuaib berkata:
Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim
itu.[25]
2.2Etika Dalam Perjalanan Berkeluarga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam sangat intens dalam membahas
masalah keluarga. Keluarga di dalam bahasa Arab biasa dikenal dengan
istilah usrah, yang kemudian di dalam terminologi Islam biasa diartikan dengan
unit (satuan) sosial terpenting bagi proses pembangunan umat, plus termasuk
salah satu fondasi yang menyangga bangunan masyarakat muslim.
Munurut Sayyid Qutub, keluarga seperti mesin inkubator ( )
yang

bersifat

alamiah

dengan

fungsi

melindungi,

memelihara

dan

mengembangkan jasmani dan akal anak-anak yang sedang tumbuh. Di bawah


naungan keluarga, rasa cinta, kasih sayang dan solidaritas saling berpadu.
Dalam

lembaga

keluargalah,

individu

manusia

akan

membangun

perwatakannya yang khas seumur hidup, sekaligus menyiapkan diri untuk


berinteraksi dengan dunia luar dan anggota masyarakat yang lain.
Harus

diakui

bahwa

sebelum

datangnya

Islam,

prinsip-prinsip

berkeluarga dibangun atas pondasi diskriminasi terhadap kaum wanita. Bahkan


pada masa itu, yang paling terkenal perbuatan kejinya adalah pembunuhan
terhadap anak-anak perempuan, menjadikan istri sebagai bahan taruhan, dan
bahkan biasa untuk melakukan hubungan intim dengan ibu-ibu mereka, karena
di dalam tradisi jahiliah, ibu juga termasuk bagian dari harta peninggalan bapak
(waris). Lalu datanglah Islam dengan membawa prinsip rahmat bagi semua
orang, termasuk mengangkat derajat wanita dan mengatur hubungan
(relationship) antara suami-istri, pengasuhan anak dan antara anak dengan
orang

tua.

Adapun

pembahasan

mengenai

etika

berkeluarga

dalam

perjalanannya, terdapat klasifikasi pada dua pembahasan, yakni etika hubungan


suami-istri, dan etika berbuat baik kepada orang tua.

A. Etika Hubungan Suami-Istri


Islam sangat memperhatikan masalah hubungan suami-istri yang
diangap sebagai urat nadi kehidupan berkeluarga sekaligus penyebab
keberhasilan dan kegagalan dalam berumah tangga. Untuk itu, pada
pembahasan awal ini akan dibahas terlibah dahulu tentang status suami
dalam perspektif Al-Quran. Allah swt berfirman :


{21 : }
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [QS. ArRuum : 21]
Melalui ayat ini, sesungguhnya tidak ditemukan sedikitpun
dikotomi kekuasaan antara suami dan istri, karena pasangan pada ayat di
atas merupakan bagian dari diri ini sendiri. Artinya, jika seseorang merasa
bahwa pasangannya adalah bagian dari dirinya, maka tidak akan ada
pemaksaan dan penindasan pada pasangannya, karena ketika itu terjadi
maka sasungguhnya ia telah menyakiti dirinya sendiri. Prinsip almusawah (kesamaan

derajat)

inilah

yang

dapat

menciptakan

visi sakinah, mawaddah dan rahmah dalam berkeluarga.


Lalu apakah sesungguhnya fungsi suami bagi pasangannya jikalau
prinsip etik hubungan suami-istri adalah al-musawah ? Untuk menjawab
hal ini, dapat dilihat dari keterkaitan ayat di atas dengan ayat yang lain
(al-munasabah). Allah swt berfirman :

{34 : }}

Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,


oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka [QS. An-Nisa : 34]
Kata qawwam di dalam al-Quran terjemahan Departemen Agama
selalu bermakna pemimpin sehingga ayat ini kemudian menjadi
legetemasi umum bagi para suami untuk merendahkan istrinya. Padahal
ayat di atas tidak berhenti hanya pada kalimat qawwamuna ala an-nisa,
akan tetapi ada ayat lain yang terlupakan yakni bima anfaqu min
amwalihim. Artinya, seorang suami di dalam rumah tangga adalah
penjaga kebutuhan materi dan immateri bagi keluarganya, bukan boss
yang dapat mengatur segalanya atas kehendaknya. Oleh karenanya, agar
terjalin rumah tangga yang baik maka dibutuhkan kerja sama dan
pembagian tugas antara suami dan istri. Hal ini sejalan dengan apa yang
dijelaskan oleh Said Agil Husin al-Munawar mengenai konteks
kalimat al-rijal qawwmuna ala al-nisa, bahwa kalimat ini menyajikan
tentang pembagian tugas antara suami-istri.
Adapun tugas dan posisi istri di dalam keluarga adalah sebagai
pengelola kegiatan rumah tangga. Hal ini sejalan dengan bayan kalam
Allah melalui hadits Rasulullah saw ;
[13]{} }}
Artinya : wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan
diminta pertanggung jawabannya [HR. al-Bukhari]
Berdasarkan

penjelasan

di

atas,

maka

jelaslah

bahwa job

description antara suami-istri merupakan prinsip etik yang harus


dikedepankan demi sebuah kebersamaan. Suami menjadi pengada
sekaligus penjaga kebutuhan rumah tangga, sedangkan istri mengatur
keluar-masuk segala kebutuhan rumah tangga.

Adapun prinsip etik yang selanjutnya adalah mengenai kewajiban


memperlakukan pasangan (saling bergaul) dengan baik. Dalam hal ini, etika
dapat dilihat dari dua kewajiban pelaksanaan hak dan kewajiban suami-istri.
Yang pertama adalah etika pemenuhan hak suami-istri :
1)

Menjaga kehormatan pasangan. Dalam hal ini, Rasulullah saw sebagai


penyampairisalah Allah menjelaskan ;

[14]{ }
Artinya : Manakala wanita membuka pakaiannya di rumah selain
rumah suaminya, maka dia sungguh telah menghancurkan tabir antara
dia dan Allah swt. [HR. Ibnu Majah]
2)

Terjadi timbal balik saling membutuhkan ketika salah satu mengajak


untuk melakukan hubungan suami-istri (al-wath`u / jima). Standar tidak
berlakunya hadits Rasulullah yang menjelaskan wanita mendapatkan
laknat malaikat hingga subuh karena menolak hubungan suamiistri adalah karena haidh, serta keadaan yang tidak memungkinkan secara
alamiah, seperti sakit, terlalu lelah, dll. Untuk keadaan yang kedua ini,
Allah menggunakan kata hartsun (tanah temapat bercocok tanam). Sifat
alamiah tanah tidak bisa dilakukan penanaman secara normal adalah pada
masa-masa sulit seperti kemarau, bencana alam, dll. Lalu apakah ketika
pada masa-masa itu kita harus memaksakan diri untuk bercocok tanam ?
tentu tidak, begitu pula yang harus dilakukan oleh suami kepada istri, dan
sebaliknya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Allah swt di
dalam al-Quran, ( dan bergaullah dengan mereka secara
patut).

3)

Menjaga rumah dan perasaan pasangan. Dalam hal ini, etika yang sangat
dibutuhkan adalah keterbukaan dan komunikasi. Hadits yang menjelaskan
tentang jangan berpuasa kecuali mendapat izin suami, pada dasarnya
merupakan perintah untuk membangun komunikasi yang baik antara
suami-istri.

10

4)

Memberikan kebutuhan jasmani dari rizki yang halal. Hal ini di jelaskan
oleh Allah seperti di dalam surat QS. al-Araf ;
{157 : } }}
Artinya : dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [QS. al-Araf : 157]

B.

Etika Hubungan Anak dengan Orang Tua dan Sebaliknya.


Etika seorang anak terhadap orang tua dijelaskan oleh Allah swt melalui
kisah Luqman yang memberikan nasehat kepada anaknya, dan dari delapan
nasehat Luqman tersebut, terdapat dua bagian penting yang menyangkut
masalah etika hubungan antara anak dengan orang tua, yakni ayat 14-15. Dalam
hal ini, Allah swt berfirman :

*







{14-15 : }
Artinya : Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. [14] Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan. [15] [QS. Luqman : 14-15]
Melalui ayat di atas, dapat dirangkum perintah Luqman kepada anaknya
mengenai etika anak kepada orang tua:
11

1. Selalu bersyukur,
2. Taat dalam kebaikan,
3. Berani mengambil sikap menolak dengan cara yang baik dalam hal
kemaksiatan.
Dari ketiga prinsip ini, maka sesungguhnya yang menjadi standar atau
alat ukur dalam melaksanakannya adalah kesabaran, baik dari segi ucapan
ataupun perbuatan.
Adapun ketika orang tua sudah meninggal maka seorang anak juga tidak
boleh menanggalkan etika ketaatan terhadap keduanya. Dalam hal ini,
Rasulullah Muhammad saw menjelaskan ; Salah seorang dan kaum Anshar
datang kepada Rasulullah saw, kemudian berkata, Wahai Rasulullah, apakah
aku masih mempunyai kewajiban bakti kepada orang tua yang harus aku
kerjakan setelah kematian keduanya? Rasulullah saw. bersabda, Ya ada, yaitu
empat hal: mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya,
melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan
menyambung sanak famili di mana engkau tidak mempunyai hubungan
kekerabatan kecuali dari jalur keduanya. Itulah bentuk bakti engkau kepada
keduanya setelah kematian keduanya. [HR Abu Daud]
Berdasarkan ayat-ayat dalam surat Luqman dan hadits di atas, Abu Bakr
Jabir al-Jaziri menyebutkan bahwa setelah seorang muslim mengetahui hak
kedua orang tua atas dirinya, dan menunaikannya dengan sempurna karena
mentaati Allah swt, dan merealisir wasiat-Nya, maka juga menjaga etika-etika
berikut ini terhadap kedua orang tuanya ;
1. Taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan keduanya,
selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah dan
pelanggaran terhadap syariat-Nya. Karena, manusia tidak berkewajiban taat
kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah, berdasarkan
firman Allah, Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia

12

dengan baik. (Luqman: 15). Sabda Rasulullah saw., Sesungguhnya


ketaatan itu hanya ada dalam kebaikan. (Muttafaq Alaih). Sabda
Rasulullah saw., Tidak ada kewajiban ketaatan bagi manusia dalam maksiat
kepada Allah.
2. Hormat dan menghargai kepada keduanya, merendahkan suara dan
memuliakan keduanya dengan perkataan dan perbuatan yang baik, tidak
menghardik dan tidak mengangkat suara di atas suara keduanya, tidak
berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak atas
keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggil
keduanya dengan panggilan, Ayah, ibu, dan tidak bepergian kecuali
dengan izin dan kerelaan keduanya.
3. Berbakti kepada keduanya dengan apa saja yang mampu ia kerjakan, dan
sesuai dengan kemampuannya, seperti memberi makan pakaian kepada
keduanya, mengobati penyakit keduanya, menghilangkan madzarat dari
keduanya, dan mengalah untuk kebaikan keduanya.
4. Menyambung hubungan kekerabatan dimana ia tidak mempunyai hubungan
kekerabatan kecuali dan jalur kedua orang tuanya, mendoakan dan
memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan
memuliakan teman keduanya.
Sedangkan etika yang baik yang harus dibangun oleh orang tua terhadap
anakanya adalah:
1. Memberikan pilihan nama yang baik,
2. Menunaikan penyembelihan hewan aqiqah,
3. Mengkhitankannya,
4. Memberikan nafkah yang halal dan baik, pembinaan mental dan prilaku
yang baik,
5. Pengenalan dan penanaman ilmu-ilmu keislaman. Hal ini sejalan dengan
firman Allah swt QS. al-Baqarah ayat 233 dan al-Tahrim ayat 6.[21]
C. Etika Penyelesaian Problem Keluarga.

13

Ada dua permasalahan penting yang harus dituangkan prinsip etik di


dalam penyelesaian problem keluarga, yakni masalah cemburu, dan masalah
perceraian. Kedua permaslahan ini, sering kali diselesaikan oleh suami dan istri
dengan mendahulukan nafsu amarah sehingga menghilangkan nilai-nilai logis
sebagai manusia. Bukan kemaslahatan dan rahmat Allah yang muncul, akan
tetapi murka dan azab Allah yang akan datang.
1. Masalah Cemburu.
Cemburu adalah sifat alamiah seorang manusia, baik pria ataupun
wanita, bahkan istri-istri nabi sendiri selalu saling cemburu berkenaan
dengan hubungan mereka dengan Rasulullah Muhammad saw. Bint asySyathi menyebutkan, bahwa karena cemburu merupakan watak logis dan
sehat, maka Rasulullah saw mengizinkan istri-istrinya mengisi dunia
pribadinya dengan kehangatan, emosi dan kegembiraan, menentang semua
stagnasi, kelesuan, dan sifat yang membosankan. Bahkan Nabi tidak dengan
sendirinya selalu meluangkan waktu untuk melihat dan mengamati
peperang-perangan kecil yang terjadi di antara istri-istrinya, dan sebagai
seorang manusia, Nabi pun merasa senang karena mereka salaing cemburu
karena cinta mereka kepada suami mereka yakni Rasulullah Muhammad
saw.
Adapun dalam memberikan hukuman bagi yang membangkang, Nabi
menarik mereka dari kontak sosial dan seksual. Hal ini sejalan dengan
firman Allah swt ;
}



{34 : }
Artinya : Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu

14

mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha


Tinggi lagi Maha Besar. [QS. An-Nisa : 34]
2. Masalah Perceraian.
Masalah perceraian merupakan perbuatan yang mubah (boleh) namun
dibenci Allah swt. Akan tetapi meskipun ia dibenci Tuhan, Islam
memberikan peluang untuk dapat melakukan perceraian jika jalan
perdamaian dengan al-maruf atau kebaikan sudah tidak bisa menjadi
solusi. Dalam hal ini, Allah mengajarkan kepada umat Islam agar
menjadikan pengadilan sebagai sarana perceraian agar fitnah dan
kemaksiatan tidak merajalela, sebagaimana firman Allah swt ;




{35 : }
Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [QS. AnNisa : 35]
Prinsip lain yang juga terjaga dengan mengedepankan nilai etik di atas
adalah terselesaikannya seluruh kasus-kasus harta pasca perceraian, seperti
kasus yang dituangkan oleh Allah di dalam al-Quran ;







{229 : }
Artinya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
15

halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim. [QS. al-Baqarah : 229]
2.3

Menjadi Keluarga Sakinag, Mawadah, Warahmah


Aspek-Aspek Pembentuk Keharmonisan Rumah Tangga - Dalam rumah
tangga harus terdapat kematangan emosional demi terbentuknya
keharmonisan rumah tangga. Adapun cirri kematangan tersebut: 4
1. Kasih sayang, yaitu sikap kasih sayang mendalam yang diwujudkan
secara wajar.
2. Emosi yang terkendali, yaitu individu dapat mengatur perasaanperasaannya terhadap keluarga dan terhadap pasangan. Tidak mudah
berbuat hal yang menyakiti perasaan, misalnya marah, cemburu buta, dan
ingin merubah pribadi pasangannya.
3. Emosi terbuka-lapang, yaitu individu dapat menerima kritik dan saran
dari pasangannya sehubungan dengan kelemahan dan perbuatannya, demi
pengembangan diri dan puasan pasangan.
4. Emosi terarah, yaitu individu dengan kendali emosinya sehingga tenang,
dapat mengarahkan ketidakpuasan dan konflik-konflik yang konstruktif
dan kreatif
Muhammad M. Dlori menjelaskan kunci dalam pembentukan Keluarga
Sakinah Mawadah Warohmah adalah:5
1. Rasa cinta dan kasih sayang. Tanpa keduanya rumah tangga takkan
berjalan harmonis. Karena keduanya adalah power untuk menjalankan
kehidupan rumah tangga.
2. Adaptasi dalam segala jenis interaksi masing-masing, baik perbedaan ide,
tujuan, kesukaan, kemauan, dan semua hal yang melatarbelakangi

4 Andi, Mappiare. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional. hlm. 153
5 Muhammad, M. Dlori. 2005 Dicinta Suami (Istri) Sampai Mati. Jogjakarta: Katahati. hlm.
16-23

16

masalah. Hal itu harus didasarkan pada satu tujuan yaitu keharmonisan
rumah tangga.
3. Pemenuhan nafkah lahir batin dalam keluarga. Dengan nafkah maka
harapan keluarga dan anak dapat terealisasi sehingga tercipta
kesinambungan dalam rumah tangga
Menurut Basri untuk meraih keharmonisan rumah tangga sumi istri perlu
memiliki sifat-sifat ideal dan menerapkannya dalam rumah tangga, sifat
tersebut adalah:6
Persyaratan fisik biologis yang sehat-bugar. Hal ini penting karena; untuk
menjalankan tugasnya keduanya memerlukan tubuh atau anggota badan
yang berfungsi baik dan sehat. Seperti berkomunikasi, bekerja, kehidupan
seksualitas, daya tarik, dan sebagainya. Jika mereka memiliki tubuh dan
fisik yang sehat terutama otak maka keluarga akan terbantu dengan sisi
kreatif dari otak. Tubuh merupakan dasar untuk hidup
Psikis-rohaniah yang utuh. Kondisi psikis-rohaniah yang utuh sangat
diperlukan dalam menunjang kemampuan seseorang dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah dalam rumah tangga.dengan mental yang sehat
akan mampu mengendalikan emosi yang kadang tergoncang karena
berbagai macam alasan dan situasi. Taraf kepribadian dan rohani yang utuh
dan teguh sangat diperlukan, karena dalam perjalanannya godaan dan
cobaan datang secara silih berganti, baik dalam moral kesusilaan, keadilan,
kejujuran, tanggung jawab sosial dan keagamaan.
Mental yang sehat dapat menyebabkan seseorang mampu
menghadapi kenyataan sebagaimana adanya dan akan berusaha meraih
kebahagiaan hidup tanpa merugikan orang lain, ia akan mampu beradaptasi
dengan efektif dan wajar. Bermacam-macam aspek kepribadian dan unsur
akhlak budi pekertinya akan utuh dan teguh serta menjaga taraf keluhuran
dan kehormatannya. Psikis-rohaniah yang utuh dapat mambuat kedua
pasangan memelihara daya tarik yang membuat mereka betah dan bahagia
dalam rumah tangganya.
Kondisi sosial dan ekonomi yang cukup memadai untuk memenuhi hidup
rumah tangga. Hal ini dapat berupa semangat dan etos kerja yang baik
dalam
memenuhi
nafkah,
kreatifitas
dan
semangat
untuk
mengusahakannya, sehingga keluarga akan terpenuhi kebutuhannya
Zakiah Daradjat menjelaskan babarapa persyaratan dalam mencapai keluarga
yang harmonis, adapun syarat tersebut adalah:
1. Saling mengerti antar suami isteri, yaitu;
6 Hasan Basri. 2002. Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama. Yogyakarta; Pustaka
pelajar.hlm. 32-37

17

2.

3.

4.

5.

o Mengerti latar belakang pribadinya; yaitu mengetahui secara mendalam


sebab akibat kepribadian (baik sifat dan tingkah lakunya) pasangan,
o Mengerti diri sendiri; memahami diri sendiri masa lalu kita, kelebihan
dan kekurangan kita, dan tidak menilai orang berdasarkan diri sendiri.
Saling menerima. Terimalah apa adanya pribadinya, tugas, jabatan dan
sebagainya jika perlu diubah janganlah paksakan, namun doronglah dia agar
terdorong merubahnya sendiri. Karena itu;
o Terimalah dia apa adanya karena menerima apa adanya dapat
menghingkan ketegangan dalam keluarga.
o (b). Terimalah hobi dan kesenangannya asalkan tidak bertentangan
dengan norma dan tidak merusak keluarga.
o (c). Terimalah keluarganya
Saling menghargai. Penghargaan sesungguhnya adalah sikap jiwa terhadap
yang lain. Ia akan memantul dengan sendirinya pada semua aspek
kehidupan, baik gerak wajah maupun perilaku. Perlu diketahui bahwa setiap
orang perlu dihargai. Maka menghargai keluarga adalah hal yang sangat
penting dan harus ditunjukkan dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.
Adapun cara menghargai dalam keluarga adalah;
o Menghargai perkataan dan perasaannya. Yaitu; menghargai seseorang
yang berbicara dengan sikap yang pantas hingga ia selesai, menghadapi
setiap komunikasi dengan penuh perhatian positif dan kewajaran,
mendengarkan keluhan mereka.
o Menghargai bakat dan keinginannya sepanjang tidak bertentangan
dengan norma.
o Menghargai keluarganya.
Saling mempercayai. Rasa percaya antara suami isteri harus dibina dan
dilestarikan hingga ke hal yang terkecil terutama yang berhubungan dengan
akhlaq, maupun segala segi kehidupan. Diperlukan diskusi tetap dan terbuka
agar tidak ada lagi masalah yang disembunyikan. Untuk menjamin rasa
saling percaya hendaknya memperhatikan;
o Percaya akan pridinya. Hal ini ditunjukkan secara wajar dalam sikap
ucapan, dan tindakan.
o Percaya akan kemampuannya, baik dalam mengatur perekonomian
keluarga, mengendalikan rumah tangga, mendidik anak, maupun dalam
hubungannya dengan orang luar dan masyarakat.
Saling mencintai. Syarat ini merupakan tonggak utama dalam menjalankan
kehidupan keluarga. Cinta bukanlah kejaiban yang kebetulan datang dan
hilang namun ia adalah usaha untuk.... Adapun syarat untuk pempertalikan
dengan cinta adalah;
o Lemah lembut dalam berbicara.
o Menunjukkan perhatian kepada pasangan, terhadap pribadinya maupun
keluarganya.
o Bijakna dalam pergaulan.
o Menjauhi sikap egois
18

o Tidak mudah tersinggung.


o Menentramkan batin sendiri. Karena takkan bisa menentramkan batin
seseorang apabila batinnya sendiri tidak tentram, orang disekitarnya pun
tidak akan nyaman. Saling terbuka dan membicarakan hal dengan
pasangan adalah kebutuhan yang dapat menentramkan masalah. Peran
agama
dan
spiritual
pun
sangat
menentukan.
Dengannya kemuliyaan hati tercermin dalam tingkah laku yang lebih
baik dan menarik. Oleh sebab itu orang yang tentram batinnya akan
menyenangkan dan menarik bagi orang lain.
o Tunjukkan rasa cinta. Hal ini dapat melalui tindakan, ucapan maupun
sikap terhadap pasangan
Prof Nick Stinnet dan John DeFrain (dalam Hawari) mengemukakan pegangan
atau kriteria keluarga bahagia atau harmonis, keriteria tersebut adalah:7
1) Menciptakan kehidupan agama atau spiritualitas dalam keluarga. Karena
dalam agama terdapat nilai-nilai moral atau etika kehidupan. Landasan
utama agama dalam kehidupan terutama rumah tangga adalah kasih
sayang. Penelitian mengatakan keluarga yang tidak religius, komitmen
agamanya rendah, atau yang tidak mempunyai komitmen agama sama
sekali beresiko empat kali tidak berbahagia, dan berakhir dengan broken
home, perceraian, tak ada kesetiaan, dan kecanduan NAZA.
2) Terdapat waktu bersama keluarga. Sesibuk apapun keluarga tersebut
hendaknya para anggota harus menyediakan waktu untuk keluarga atau
suasana kebersamaan dengan unsur-unsur keluarga sebagai usaha
pemeliharaan hubungan.
3) Dalam interaksi segitiga, keluarga menciptakan hubungan yang baik antara
anggotanya. Komunikasi yang baik dan dua arah, suasana demokratis
dalam keluarga harus dijaga agar tidak terjadi kesenjangan diantara
anggota keluarga.
4) Saling harga-menghargai dalam interaksi ayah, ibu, dan anak. Hal ini
dilakukan melalui ucapan, tindakan, dan sikap yang tertanam dalam
anggota keluarga.
5) Keluarga sebagai unit terkecil harus erat dan kuat, jangan longgar, dan
jangan rapuh. Mereka bukan hanya dekat dimata namun juga harus dekat
dihati. Hubungan silaturrahmi berdasarkan kasih sayang haruslah dibina
dalam keluarga.
6) Jika mengalami krisis dan benturan-benturan, maka prioritas utamanya
adalah keutuhan keluarga.
7) Jika aspek diatas telah terpenuhi dan berfungsi dengan baik berdasarkan
pada tuntunan nilai-nilai spiritual agama maka keharmonisan rumahtangga
akan mudah diraih.

7 Hawari. Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa. hlm. 805-808.

19

Keluarga harmonis dimulai dengan keluarga yang akrab. Diperlukan upaya dan
cara pandang yang lebih matang untuk menciptakannya, banyak hal yang dapat
mempengaruhi kualitas dari keharmonisan tadi. Namun yang lebih penting
adalah menjaga keintiman, caranya adalah:8
1. Toleransi. Toleransi disini adalah memahami bahwa orang-orang yang kita
cintai mungkin mempunyai gambaran yang berbeda dalam fikiran mereka
tentang cara menghadapi suatu peris tiwa. Jadi dalam keluarga tidak
meributkan hal sepele, mencoba menyamakan persepsi dan bekerja sama.
2. Waktu bersama-sama, menggali kreatifitas dan mengambil manfaatnya
bagi keluarga. rencanakan waktu khusus, isi momen-momen istimewa,
ubah acara rutin dengan melibatkan seluruh keluarga, nikmati bersama hobi
anda, dan libatkan diri dengan melibatkan anak dalan kegiatan yang
digemari.
3. Jatuh-bangun (terus berusaha). Jangan menyerah terus mencoba
pendekatan baru untuk menjalin hubungan yang lebih mendalam dengan
anak, pasangan, dan sesuaikan dengan minat, usia, serta keadaan.
4. Terjunlah kedunia (menunjukkan kasih sayang dalam tindakan).
5. Kurangi menggurui, perbanyak mendengar. Berusahalah untuk saling
menghormati sudut pandang dan impian satu sama lain.
6. Sarana hidup sebagai penyimpanan keyakinan yang harus ditanamkan. Hal
ini dilakukan dengan membuat kotak, buku, dan sebagainya untuk
menyimpan gagasan, nilai, yang layak disimpan dalam kotak tersebut,
namun sebelumnya harus melalui komunikasi dengan keluarga, serta cara
penggunaannya diatur oleh keluarga.
7. Cinta menyeluruh. Tunjukkan dan sering-seringlah menunjukkan cinta
anda
Keluarga yang harmonis tidaklah dapat diraih tanpa kekompakan keluarga.
Adapun menurut Derek dan Powel untuk menuju kekompakan tersebut dapat
diraih dengan 8 prinsip, yaitu:9
Berdamai dengan masa lalu, yaitu berusaha mengidentifikasi masa lalu
yang mempengaruhi cara pandang kita dalam menjalani kehidupan
keluarga. Selesaikan masalah yang teridentifikasi, dan temukan hal positif.
Lakukan perubahan perilaku yang merupakan dampak dari masa lalu.
Dengarkan dengan baik suara yang datang sebagai pesan masa lalu, dan
hapus semua kenangan buruk. Kaji kembali pendekatan sebagai orang tua,
8 Mimi Doe. 2002. SQ Untuk Ibu: Cara-Cara Praktis dan Inspiratif Untuk Mewujudkan
Ketentraman Ruhani. Bandung: Penerbit Kaifa. hlm. 65-66.
9 Darlene Powell & Derek S. Hubson. 2002. Menuju Keluarga Kompak: 8 Prinsip Praktis
Menjadi Keluarga yang Sukses. Bandung: Kaifa.

20

dan jangan malu-malu untuk bercerita tentang masa lalu dengan keluarga
untuk pelajaran bagi mereka.
Berdamailah dengan pasangan, yaitu mengidentifikasi hal-hal yang dapat
mempengaruhi kualitas hubungan akibat perbedaan yang dimiliki. Galilah
perbedaan itu dan komunikasikanlah sehingga mendapat solusi. Jagalah
cara menyampaikan dan menerima kritik, dan mintalah bantuan ahli bila
memang diperlukan.
Ciptakan komunikasi dua arah, yaitu cobalah untuk memahami perbedaan
model komunikasi masing-masing, dan memperbaiki cara komunikasi yang
destruktif. Mengembangkan cara komunikasi yang lebih efektif dalam
keluarga. Nyatakan hal yang ingin disampaikan dengan efektif dan baik,
dan ciptakan suasana dan pola komunikasi yang efektif bagi anggota
keluarga.
Akrabilah lingkungan terdekat, yaitu semua yang berhubungan dengan kita
seperti teman dekat, tetangga, kerabat, komunitas, sekolah anak, pemuka
agama, lingkungan kerja, dan sebagainya. Banyak alasan untuk
menerapkan keakraban dengan mereka. Selain sebagai teman berbagi,
mungkin mereka dapat membantu menginspirasi, dan memberi dukungan
untuk kita dalam mejalani kehidupan keluarga, begitu pula sebaliknya.
Arahkan perilaku anak, yaitu terapkan disiplin yang positif dengan cara
berkomunikasi dengan anak tentang sasran dan tujuan bersama maupun
tujuan pribadi. Setelah terjadi komunikasi dan pengertian mengenai
harapan atau sasaran tadi maka orang tua hendaknya memberikan
dukungan dan pujian pada perilaku yang positif atau mendukung sasaran
tadi, walaupun tidak sesempurna pada awalnya, tekankan saja pujian positif
ini.
Memberikan teguran pada perilaku yang telah keluar dari sasaran atau
harapan yang disepakati sebelumnya, teguran ini hendaknya mengena pada
perilaku khusus dan berjalan singkat, hindari hukuman fisik. Libatkan
semua anggota keluarga sebagai tim dalam pembentukan dan
penjagaannya. Adakan komukasi dan diskusi dengan tim secara efektif.
Dan mintalah pendapat ahli bila diperlukan, adakan refleksi diri, dan
instropeksi untuk mengevaluasi, serta mendapatkan cara yang tepat
memperlakukan anak.
Memelihara hubungan persaudaraan, yakni menerima perbedaan diantara
anggota keluarga dan menganggap persaingan yang terjadi akibat
perbedaan tadi adalah sesuatu yang normal. Memanfaatkan area persaingan
tadi menjadi area tim yang saling membantu dan meneguhkan satu sama
lain Membanding-bandingkan anak bukanlah hal yang tepat karena akan
menimbulkan jurang permusuhan. Adakan waktu khusus untuk keluarga,
baik melakukan hal barsama, minat bersama, dan sebagainya, adakan
keseimbangan baik hubungan, komunikasi, maupun penanganan konflik.

21

Sediakan waktu untuk masing-masing, dan dengarkan mereka. hindari


pertengkaran. buat persaingan yang positif dengan menekankan potensi
masing-masing, hargai usaha bukan hasil, jangan berat sebelah. Persaingan
positif adalah berlomba untuk melakukan hal terbaik dan maksimal dari
mereka. Jadi bukan untuk membanding-bandingkan kakak adik,
kompetensi kakak adik untuk meraih poin dari ayah. Namun lebih
menekankan usaha maksimal untuk menjadi individu yang mandiri,
menjadi diri sendiri, berbuat hal positif dan yang terbaik. Misalnya untuk
hari kebersihan rumah, bila adik membersihkan halaman depan dengan
ayah, maka kakak membersihkan rumah dengan ibu.
Mengatasi pengaruh sebaya. Orang tua dituntut bekerja sebagai tim untuk
mengontrol perilaku anak. Tanamkan dan bimbing ia dengan kasih sayang,
nilai, dan dan sikap positif. Bimbing ia untuk menjalin hubungan positif,
adakan komunikasi yang hangat untuk membahas hubungan mereka
dengan orang lain, membahas hal yang berpengaruh buruk untuk mereka
dengan kejelasan dan bagai mana hal yang tepat mengatasinya. Jangan
biarkan anda dianggap kuno, biarkan anda menyesuaikan diri tanpa
kehilangan kontrol positif, sehingga dapat menjadi contoh positif oleh anak
bagaimana menghadapi perubahan mode yang tepat.
Luangkan waktu untuk spiritualitas dan kegembiraan. Meluangkan waktu
untuk spiritualitas dan kegembiraan akan menghilangkan kehampaan dan
kekosongan yang mengganggu, dan juga akan membimbing kita dalam
menghadapi persoalan dan menghadapi masa-masa yang sulit. Penanaman
spiritulaitas untuk anak dapat membuat anak menjadi manusia yang
memiliki jiwa dan emosi yang sehat.

Caranya adalah dengan proaktif dan reaktif. Proaktif berarti dengan


melibatkan anak dalam kegiatan kegamaan, formal seperti ibadah di masid dan
sebagainya. Reaktif yaitu membahas berbagai tantangan hidup dan
menyandarkan diri pada kepercayaan, doa-doa, serta mengajari anak untuk
menggantungkan diri pada kekuatan spiritual dalam mengatasi permasalahan
sehari-hari. Kita dapat menerapkan dalam keseharian keluarga, seperti dongeng
sebelum tidur, saling mendoakan, saling memaafkan, kegembiraan bersama,
dan menyediakan waktu untuk diri sendiri dan keluarga.
Meluangkan waktu senggang atau libur untuk kegembiraan dan
spiritualitas dapat membantu menyegarkan kembali keluarga, sikap tenang dan
rekresi batin dapat dilakukan kapanpun. Keterlibatan dengan alam dan
kehidupan kerena melakukan proyek bersama yang mengandung nilai spiritual
dan kegembiraan akan berdampak pada kekompakan dan meningkatkan
perasaan gembira lahir batin, karena merasa menjadi bagian dari sesuatu yang
lebih besar. Apabila hal ini telah menjadi bagian dari kelurga maka setiap
aktifitas keluarga akan dilakukan dengan tenang dan optimal.

22

23

BAB III PENUTUP


3.1Kesimpulan
Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari suami (ayah), istri (ibu), dan
anak-anaknya tentu harus memiliki etika atau sikap dalam berkomunikasi.
Etika dalam berkeluarga ini terbagi menjadi dua yaitu etika sebelum
berkeluarga dan etika dalam perjalanan berkeluarga. Etika sebelum
berkeluarga meliputi hal-hal yang harus dipersiapkan untuk terjadinya suatu
ikatan yang terbagi dalam dua proses yaitu khitbah (lamaran) dan nikah (akad
nikah). Nantinya seorang suami akan memimpin sebuah keluarga dan
menafkahinya serta menjamin kehidupannya sedangkan seorang istri akan
menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, kita harus
memilih calon pasangan kita dengan sebaik-baiknya dan yang paham agama.
Dalam perjalanan berkeluarga etika yang dilaksanakan yaitu hak dan
kewajiban suami-istri, etika anak-orangtua, antarkeluarga (tetangga). Etika
dalam berkeluarga ini akan membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan
warahmah.

24

DAFTAR PUSTAKA
al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin Ali. 1334 H. al-Sunan al-Kubra, alHindi: Majelis Dairah al-Maarif al-Nizhamiyah al-Kainah.
al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. 1987. al-Jami al-Shahih alMukhtashar. Beirut: Dar Ibnu Katsir.
al-Darimi, Adullah bin Abd al-Rahman Abu Muhammad. 1407 H. Sunan alDarimi, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.
al-Ja`iri, Abu Bakr Jabir. 1999. Minhaj alMuslim. Beirut: Dar al-Fikr.
Al Munawar, Said Aqil Husin. 2003. al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
al-Quzhawaini, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah. Sunan Ibnu Majah, Beirut:
Dar al-Fikr.
al-Syaibani, Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah. Musnad al-Imam Ahmad binHanbal.
Kairo: Mu`assasah Qurthubah.
al-Turmudzi, Muhammad Ibnu Isa Abu Isa. al-Jami al-Shahih Sunan al-Turmudzi.
Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Dkk. Beirut: Dar Ihya al- Turats
al-Arabi.
Bint asy-Syathi. 1984. Tarajim Sayyidat Bait al-Nubuwwah. Beirut: Dar al-Kitab
al- Arabi.
Luis, Maluf. 2003. al-Munjid fi al-Lughah wa al-Alam. Beirut: Dar al-Masyriq.

25

Sahabuddin}[et.al]. 2007. Ensiklopedia al-Quran; Kajian Kosakata. Jakarta:


Lentera Hati.
Sattar, Al-Syaikh Abdul Aziz Abdus. 1972. al-Wayu al-Islami. Kuwait:
Kementrian Wakaf.
Shihab, Muhammad Quraish. 1994. Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peran
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan
Syahrur, Muhammad. 2002. al-Kitab wa al-Quran Qira`ah Muashirah. Beirut:
Binayat al-Wahhad.
Utang Ranuwijaya}[et.al.]. 2007. Pustaka Pengetahuan al-Quran. Jakarta: Rehal
Publika.
Andi, Mappiare. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional.
Hasan Basri. 2002. Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama. Yogyakarta;
Pustaka pelajar.
Muhammad, M. Dlori. 2005 Dicinta Suami (Istri) Sampai Mati. Jogjakarta:
Katahati.
Hawari. Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa.
Mimi Doe. 2002. SQ Untuk Ibu: Cara-Cara Praktis dan Inspiratif Untuk
Mewujudkan Ketentraman Ruhani. Bandung: Penerbit Kaifa.
Darlene Powell & Derek S. Hubson. 2002. Menuju Keluarga Kompak: 8 Prinsip
Praktis Menjadi Keluarga yang Sukses. Bandung: Kaifa.
Drs.h.burhanuddin salam. 2002. etika social, rineka cipta,Jakarta.
Dr. H. Budi Untung, S.H., M.M. 2012. Hukum dan etika bisnis, cv. Andi
offset,Jakarta.

26

Harnilawati. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Sulawesi


Selatan:Pustaka As-Salam.

27

Anda mungkin juga menyukai