Chaptner II
Chaptner II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent killer atau sering disebut
sebagai pembunuh diam-diam. Umumnya penderita tidak mengetahui dirinya
mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Penyakit ini dikenal
juga sebagai heterogeneous group of disease yang berarti penyakit yang menyerang
siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial ekonomi (Anonim,
2008).
Penyebab utama timbulnya hipertensi adalah pola makan yang salah, baik pada
penderita hipertensi yang rawat jalan maupun yang rawat inap. Pada penderita
hipertensi rawat inap, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan yang sesuai
dengan diet yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Namun, fenomena yang terjadi
pasien penderita hipertensi yang rawat inap tidak menjalankan diet yang diberikan.
Hal ini dikarenakan oleh diet yang disediakan tidak sesuai dengan makanan yang
diinginkan mereka, sehingga mereka lebih suka untuk mengkonsumsi makanan di
luar diet yang diberikan. Hal inilah yang dapat menimbulkan komplikasi hipertensi
yang dapat memengaruhi lama cepatnya proses pemulihan.
Pada umumnya, pasien hipertensi rawat inap merupakan pasien hipertensi yang
telah mengalami komplikasi. Komplikasi adalah penyakit-penyakit yang dapat
ditimbulkan akibat hipertensi. Salah satu penyakit komplikasi yang terjadi pada
pasien hipertensi rawat inap adalah penyakit jantung dan kardiovaskuler.
Penyakit jantung terjadi akibat proses berkelanjutan, di mana jantung secara
berangsur kehilangan kemampuannya untuk melakukan fungsi secara normal. Pada
awal penyakit, jantung mampu mengkompensasi ketidakefisian fungsinya dan
pengaturan jumlah dan jenis makanan yang dimakan setiap hari agar kita tetap sehat
(Hartono, 2000).
Bila diet dilakukan di rumah sakit dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi
dan atau membantu kesembuhan pasien, maka istilah yang lazim digunakan adalah
diet rumah sakit (hospital diet). Gizi harus dipertimbangkan sebagai dasar
kesembuhan, tentunya pertimbangan gizi dan kesehatan akan ditempatkan sebagai
pertimbangan pertama (Hartono, 2000).
Di rumah sakit terdapat pula pedoman diet tersendiri yang akan memberikan
rekomendasi yang lebih spesifik mengenai cara makan yang bertujuan bukan hanya
untuk meningkatkan atau memperhatikan status gizi pasien, tetapi juga untuk
mecegah permasalahan lainnya yang timbul. Dengan memperhatikan tujuan diet
tersebut, rumah sakit umumnya menyediakan makanan dengan kriteria seperti :
makanan dengan komposisi gizi yang baik dan seimbang menurut keadaan penyakit
dan status gizi masing-masing pasien, makanan dengan tekstur dan konsistensi yang
sesuai menurut kondisi gastrointestinal dan penyakit masing-masing pasien, makanan
yang mudah dicerna dan tidak merangsang, seperti tidak mengandung bahan yang
dapat menimbulkan gas, intoleransi (laktosa, gluten), tidak lengket (ketan, dodol),
tidak terlalu pedas, manis, asin, atau berminyak atau tidak terlalu panas atau dingin,
makanan yang bebas unsur adiktif berbahaya, seperti pengawet, pewarna, pemanis,
dan sebagainya, serta makanan dengan penampilan dan citarasa yang menarik untuk
menggugah selera makan pasien yang umumnya terganggu oleh penyakit dan kondisi
indera pengecap atau pembaunya (Hartono, 2000).
Di rumah sakit dapat dilakukan skrining gizi. Skrining gizi dilakukan sebagai
bentuk kegiatan pada perkumpulan penyandang penyakit metabolik atau degeneratif
ataupun vaskuler, seperti perkumpulan hipertensi, diabetes, stroke, dan sebagainya
yang dibina oleh klinik gizi. Tujuan skrining adalah untuk menilai status gizi yang
ada pada orang yang berisiko, baik secara individual maupun kelompok sehingga
dapat dilakukan upaya preventif (Hartono, 2000).
Pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit umumnya membutuhkan konsultasi,
rujukan, ataupun intervensi gizi guna mengoptimalkan asuhan medis dan status klinis.
Akan tetapi, upaya ini harus memerlukan kesadaran dan pemahaman dari para
profesional medis serta keperawatan terhadap peranan gizi bagi pencegahan dan
kesembuhan penyakit (Hartono, 2000).
Penilaian status gizi (nutritional assesing) merupakan landasan untuk
memberikan asuhan nutrisi yang optimal kepada pasien. Penilaian ini mencakup
empat komponen yaitu : anamnesis riwayat diet, pengukuran antropometrik,
pemeriksaan laboratorium (biokimia), dan pemeriksaan jasmani nutrisi. Keempat
komponen ini bersama-sama pemeriksaan medik akan memberikan arah untuk
mengembangkan rencana asuhan gizi (Hartono, 2000).
2.4. Diet Penyakit Jantung
Penyakit jantung terjadi akibat berkelanjutan, di mana jantung secara berangsur
kehilangan kemampuannya untuk melakukan fungsi secara normal. Pada awal
penyakit,
jantung
mampu
mengkompensasi
ketidakefisien
fungsinya
dan
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa pisang dan daun peterseli merupakan buah
dan sayur yang paling tinggi komposisi kalium nya. Bahan makanan yang
mengandung kalium atau potasium baik dikonsumsi karena berfungsi sebagai diuretik
sehingga pengeluaran natrium cairan dapat meningkat sehingga dapat membantu
menurunkan tekanan darah.
Pada penderita hipertensi khususnya dengan komplikasi jantung, disarankan
untuk mengatur menu makanannya setiap hari. Ada berbagai bahan makanan yang
dianjurkan dan tidak dianjurkan pada penderita dengan komplikasi jantung. Bahan
makanan yang dianjurkan dan yang tidak dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Bahan Makanan Yang Dianjurkan Dan Tidak Dianjurkan Dalam
Diet Jantung
Golongan Bahan Makanan
Dianjurkan
Tidak Dianjurkan
Sumber Karbohidrat
Beras ditim atau
Makanan yang
disaring;roti, mie, kentang, mengandung gas atau
makaroni, biskuit, tepung
alkohol, seperti ubi,
beras/terigu/sagu aren/sagu singkong, tape singkong,
ambon, kentang, gula pasir, dan tape ketan
gula merah, madu dan sirup
Sumber Protein Hewani
Kacang-kacangan kering,
seperti kacang kedelai dan
hasil olahannya seperti tahu
dan tempe.
Kacang-kacang kering
yang mengandung lemak
cukup tinggi seperti kacang
tanah, kacang mete, dan
kacang bogor
Sayuran
Minuman
Bumbu
Tabel 2.3. Komposisi Zat Gizi Kalori, Protein, Lemak, Karbohidrat, Dan
Natrium Dalam Diet Jantung
Komposisi Zat Gizi Utama
Jenis Diet
Kalori
Protein
Lemak Karbohidrat
Natrium
(kkal)
(gr)
(gr)
(gr)
(mg)
Jantung I
835
21
24
140
304
Jantung II
1325
44
35
215
248
Jantung III
1756
64
41
290
172
Jantung IV
2023
67
51
329
172
Sumber : Arief, 2002
RSU Bandung merupakan salah satu rumah sakit swasta yang menyediakan
makanan bagi pasien yang dirawat inap. Dalam hal ini, RSU Bandung memberikan
diet jantung IV untuk penderita hipertensi komplikasi jantung. Hal ini dikarenakan
oleh keterbatasan jumlah tenaga medis dan sarana yang tersedia untuk memberikan
pelayanan kepada penderita jantung dengan keluhan komplikasi jantung berat (RSU
Bandung Medan, 2011).
2.5. Penatalaksanaan Diet Jantung Bagi Penderita Hipertensi Komplikasi
Jantung Yang Rawat Inap
Penanganan hipertensi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu medis dan
nonmedis.
Melalui
cara
nonmedis
adalah
dengan
penatalaksanaan
diet.
Pada penderita hipertensi dimana tekanan darah tinggi >160 mmHg, selain
pemberian obat-obatan anti hipertensi perlu terapi dietetik dan merubah gaya hidup.
Penatalaksanaan diet bagi penderita hipertensi komplikasi jantung yang rawat inap
harus diberikan diet yang sesuai dengan komplikasi nya serta harus diperhatikan
kepatuhan pasien dalam menjalani diet yang diberikan rumah sakit selama pasien
dirawat inap. Tujuan dari penatalaksanaan diet adalah untuk membantu menurunkan
tekanan darah dan mempertahankan tekanan darah menuju normal. Di samping itu,
penatalaksanaan diet juga ditujukan untuk menurunkan faktor risiko lain seperti berat
badan yang berlebih, tingginya kadar lemak kolesterol dan asam urat dalam darah.
Harus diperhatikan pula penyakit degeneratif lain yang menyertai darah tinggi seperti
jantung, ginjal dan diabetes mellitus. Diet yang diberikan harus sesuai dengan standar
diet, baik dari jenis dan indikasi pemberian maupun komposisi zat gizi nya (Anonim,
2004). Dalam hal ini, penderita hipertensi yang mengalami komplikasi jantung
diberikan diet jantung.
2.6. Kepatuhan Pasien Dalam Menjalani Diet Yang Diberikan Rumah Sakit
Keberhasilan penatalaksanaan diet bagi pasien penderita hipertensi yang rawat
inap juga dipengaruhi oleh kepatuhan pasien dalam melaksanakan diet tersebut.
Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan penatalaksanaan
diet pada terapi non medis penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, asma,
kanker, dan juga penyakit gangguan mental, penyakit infeksi HIV / AIDS serta
tuberkulosis Adanya ketidakpatuhan pasien pada terapi penyakit ini dapat
memberikan efek negatif yang sangat besar karena prosentase kasus penyakit
penyakit tersebut di seluruh dunia mencapai 54% dari seluruh penyakit pada tahun
2001. Angka ini bahkan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 65% pada
tahun 2020 (BPOM RI, 2006).
2.7. Status Gizi Pasien Hipertensi Komplikasi Jantung
Status gizi merupakan hasil dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan
zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa dkk,
2001).
Umumnya pasien hipertensi tergolong pada obesitas atau berat badan berlebih.
Diet jantung yang diberikan oleh pihak rumah sakit pada pasien hipertensi komplikasi
jantung yang rawat inap tidak menjamin berubah nya keadaan status gizi pasien
menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan oleh tindakan kepatuhan yang terkait dengan
pelaksanaan diet jantung itu sendiri dari pasien hipertensi komplikasi jantung yang
rawat inap. Dalam hal ini, pasien hipertensi komplikasi penyakit jantung yang rawat
inap belum bisa meningkatkan status gizinya dikarenakan ketidakpatuhan dalam
menjalani diet jantung.
2.8. Penilaian Status Gizi Pada Pasien Hipertensi Komplikasi Jantung Yang
Rawat Inap di Rumah Sakit
Keadaan gizi seseorang memengaruhi penampilan, kesehatan, pertumbuhan dan
perkembangannya, serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Penilaian gizi adalah
proses yang digunakan untuk mengevaluasi status gizi, mengidentifikasi malnutrisi,
dan menentukan individu mana yang sangat membutuhkan bantuan gizi.
Untuk membantu diri sendiri pada pasien hipertensi dapat dilakukan dengan
pengendalian berat badan. Pengendalian berat badan ini mengacu kepada
pengendalian indeks massa tubuh (IMT) yang merupakan salah satu cara penilaian
status gizi. Jika status gizi pasien tergolong baik atau normal, maka pasien hipertensi
rawat inap memiliki kesempatan yang baik untuk menormalkan tekanan darahnya
(Hart dan Tom, 2010).
Mayoritas pasien hipertensi yang berada di RSU Bandung Medan adalah
golongan usia 20 tahun sampai 60 tahun. Penilaian status gizi yang tepat untuk
kategori usia ini adalah dengan pengukuran indeks massa tubuh (IMT), karena
pengukuran indeks massa tubuh paling sederhana dan banyak digunakan.
Rumus Perhitungan IMT adalah sebagai berikut :
IMT =
Kategori ambang batas IMT untuk masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
IMT
< 17,0
17,0-18,4
18,5-25,0
25,1-27,0
>27,0
IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang yang tergolong gemuk baik
dengan kriteria kelebihan berat badan tingkat ringan maupun kelebihan berat badan
tingkat berat memiliki risiko 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang
berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki
berat badan lebih (Anonim, 2010b).
Tujuan utama dari pengendalian indeks massa tubuh (IMT) adalah untuk
mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Keuntungan apabila indeks massa tubuh
normal adalah penampilan baik, lincah, dan risiko sakit rendah. Indeks massa tubuh
yang kurang dan berlebihan akan menimbulkan risiko terhadap berbagai macam
penyakit.
2.9. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka
kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Penatalaksanaan diet jantung
Status Gizi
Pemberian Diet
Kepatuhan Pasien