Anda di halaman 1dari 39

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik

usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus.
Pasien dengan penyakit Hirschprung ini pertama kali di laporkan pada tahun
1691 oleh Frederick Ruysch, tetapi Harald Hirschsprung baru mempublikasikan
penyakit ini pada tahun 1886 dengan deskripsi megakolon kongenital. Awalnya,
patofisiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon
yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian usus akibat defisiensi ganglion.2
Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan
perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses.
Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang
tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus.3
Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo
Jakarta.
Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari
bagian distal kolon yaitu di peralihan antara usus dengan anus.
Panjang dari bagian segmen yang tidak mempunyai sel ganglion

(aganglionik) itu biasanya berbeda-beda ; 75% pasien terbatas


pada bagian rektum dan sigmoid, 8% pasien mengalami segmen
aganglionik pada seluruh bagian kolon, dan jarang melibatkan
usus kecil.
Setelah muncul penemuan kelainan histologik pada penyakit
ini, barulah ditemukan teknik operasi yang rasional untuk
penyakit ini.
Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan
peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan
dan diagnosis dan penatalaksanaan dengan enterokolitis.
1.2.

Rumusan Masalah
Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan,


dan komplikasi dari penyakit Hirschsprung.
1.3.

Tujuan Penulisan
a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan
komplikasi penyakit Hirschsprung.
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
c. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi dan Histologi Usus Besar


Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Kolon terdiri atas

tiga bagian yaitu, pars ascendens, pars transversus, dan pars descendens. Bagian
akhir dari kolon pars descendens adalah sigmoid yang membentuk huruf S,
kemudian lanjut menjadi bagian yang lurus yaitu rektum. 4

Gambar 2.1. Anatomi usus besar


Usus memiliki empat lapisan yaitu tunica mucosa, tunica submukoca, tunica
muscularis,dan tunica serosa. Lapisan mukosa dilapisi oleh lamina propria dari
jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh darah, pembuluh limfe, dan otot
polos. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat padat, pembuluh darah, dan

pembuluh limf. Lapisan ini juga terdiri atas pleksus Meissner. Lapisan muskularis
terdiri atas dua sub lapisan mengikuti arah sel otot. Lapisan internal yang dekat
dengan lumen mengikuti pola sirkuler, dan bagian eksternal mengikuti arah
longitudinal. Lapisan muskular juga terdiri dari pleksus Auerbach yang berada
diantara dua lapisan sirkular dan longitudinal. Sementara lapisan serosa terdiri
dari jaringan ikat longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, juga lapisan
squamous cell.5

Gambar 2.2. Lapisan Otot


Rektum memiliki 3 buah valvula yaitu valvula superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 1/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvis dan tefiksasi,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak di rongga abdomen dan relatif mobile.
Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior
lebih panjang dibanding posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir
dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal.
Saluran anal dikelilingi oleh sfingter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot
yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar . Sfingter ani eksterna terdiri dari
3 sling : atas, medial dan depan..6

Persarafan motorik sfingter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis ( N.
Hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf simpatis
(N.Splancnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini
membentuk pleksus rektalis, sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N
sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sfingter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak memengaruhi otot rektum. Defekasi
sepenuhnya dikontrol oleh N. Splanknikus ( parasimpatis). Akibatnya kontinensia
sepenuhnya dipengaruhi oleh N. Pudendalis dan N.Splanknikus Pelvis
(parasimpatis).7
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus:
a. Pleksus Auerbach: terletak dilapisan otot sirkuler dan longitudinal
b. Pleksus Henle : terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler
c. Pleksus Meissner: terletak di submukosa
2.2.

Fisiologi Refleks Defekasi


Ketika makanan memasuki lambung, pergerakan massa yang dipicu di kolon

disebut sebagai refleks gastrokolik yang diperantarai oleh gastrin dan persarafan
autonomik. 1 Refleks gastroenterik dan refleks gastroileal akan mentransfer
material dari sekum ketika makan. Pergerakan dari sekum ke kolon transversus
sangat lambat, sehingga material yang terdiri dari banyak cairan akan diubah
menjadi lebih padat karena absorpsi air. Gelombang peristaltik di usus akan
memindahkan isi di sepanjang usus. 8
Kontraksi peristalsis yang cukup kuat akan muncul beberapa kali sehari.
Kontraksi ini akan memindahkan material dari kolon transversus ke bagian usus
besar selanjutnya. Stimulus berasal dari lambung dan usus, yang akan di
hantarkan ke pleksus saraf. Kontraksi tersebut akan memaksa feses untuk masuk
ke rektum dan menghasilkan keinginan untuk defekasi.8
Rektum biasanya dalam keadaan kosong, kecuali adanya kontraksi peristalsis
yang cukup kuat untuk memindahkan feses dari kolon sigmoid ke rektum.
Peregangan dinding rektum akan menghasilkan refleks defekasi. Refleks ini akan

menghasilkan dua umpan balik positif. Reseptor peregangan rektum akan memicu
kontrol defekasi yang dapat disadari. Refleks pertama dimediasi oleh inervasi
parasimpatis di pelvis. Refleks ini akan menyebabkan relaksasi sfingter anal
internal. Otot polos sfingter akan mengontrol pergerakan feses ke kanal anal.
Refleks kedua adalah refleks somatis yang memicu kontraksi segera dari sfingter
anal eksterna. N. Pudenda akan membawa perintah motorik.8
Kedua sfingter anal interna dan eksterna harus berelaksasi agar feses dapat
dikeluarkan. Tetapi, kedua refleks membuka sfingter internal namun menutup
sfingter eksternal. Pengeluaran feses harus dalam keadaan yang disadari untuk
membuka sfingter eksternal. Aktivitas lainnya yang dapat membantu pengeluaran
feses melalui peningkatan tekanan intraabdomen, seperti mengedan. Keinginan
untuk mengeluarkan feses muncul ketika tekanan di rektum mencapai 15 mmHg.
Jika tekanan ini melebihi 55 mmHg, sfingter anal eksternal akan relakasi secara
tidak sadar sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini muncul pada bayi dan pada
pasien dengan kerusakan medulla spinalis. 8

Gambar 2.3. Refleks Defekasi

2.3.

Definisi Penyakit Hirschsprungs


Penyakit Hirschsprungs merupakan suatu penyakit dimana tidak ada

ditemukannya sel ganglion di pleksus myenterikus (Auerbach) dan sub mukosa


(Meissner). 9
2.4.

Etiologi
Penyakit hirschprung berkaitan erat dengan genetik. Tidak adanya ganglion

dapat disebabkan oleh mutasi gen yang menyebabkan kegagalan pada migrasi,
diferensiasi atau kehidupan pada sel tersebut. Reseptor Tyrosine Kinase Gene
(RET) merupakan gen yang biasanya mengalami mutasi. Secara signifikan mutasi
gen RET juga ditemukan pada sindrom neoplasma endokrin multipel tipe IIA dan
IIB dan karsinoma tiroid medullar familiar. Penyakit Hirschprungs juga sering di
temukan pada anak dengan trisomi 21 ( Sindrom Down). Gen yang telah
bermutasi tersebut bisa mengakibatkan defek saat embriogenesis. Sebuah studi
yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kolon yang normal memiliki banyak
NCAM (Neural Cell Adhesion Molecules), akan tetapi NCAM tidak ditemukan
pada bagian yang aganglionik pada penyakit Hirschprungs. NCAM ini
diperkirakan berperan penting dalam pembentukan sel ganglion pada saat
embriogensis. 10
2.5.

Epidemiologi
Penyakit Hirschsprungs dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi

terjadinya penyakit Hirschsprungs biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat


keluarga dengan Hirschsprungs dan pasien yang menderita Sindrom Down.
Daerah Rektosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, fleksura lienalis
atau transversum pada 17 kasus.9

Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya


Penyakit Hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1,5-17%
dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki-laki dan 360 kali lebih tingi pada anak
perempuan. Penyakit Hirschsprungs lebih sering diturunkan oleh ibu yang
aganglionosis dibanding ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami
aganglionosis total pada kolon ( sindrom Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan
menyebutkan 4 keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena, kebanyakan
mengalami aganglionosis segmen panjang. 9,11
2.6.

Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan

spfingter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Sehingga pada bagian abnormal
akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal, sedangkan bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. 6 Dasar patofisologi
penyakit Hirschcprungs adalah tidak adanya gelombang propulsif dan
abnormalitas atau hilangnya relakasasi dari sfingter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis, atau disganglionosis pada usus yang
terkena.12,13
Tidak terdapatnya ganglion pada kolon menyebabkan peristaltik usus
menghilang sehingga feses dalam lumen kolon terhambat yang menimbulkan
terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah
aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi di bawahnya.
Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut atau kronis yang
tergantung panjang usus yang mengalami aganglionik. Obstruksi kronis
menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang
disertai iritasi feses dan menyebabkan invasi bakteri. Pada tahap selanjutnya
terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon.
Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan
terjadi sepsis, dan kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.12,13,14

2.7.

Gejala Klinis
Pada bayi yang baru lahir biasanya terjadi keterlambatan pengeluaran

mekonium pertama, diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau.
Pada bayi normal, mekonium akan keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada
penyakit Hirschcprungs, mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normalnya
berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Diare
dapat menunjukkan adanya suatu enterokolitis.17,13
Pada anak yang lebih besar, dapat mengalami kesulitan makan, distensi
abdomen kronis, dan adanya riwayat konstipasi. Gejala penyerta lain seperti
impaksi feses, demam, dan diare menunjukkan terjadinya tanda-tanda
enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh.15,14
Pada pemeriksaan colok dubur, sfingter ani teraba hipertonus dan rektum
biasanya kosong. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan disekitar
umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terjadi
komplikasi peritonitis.15,12,14
2.8.

Pemeriksaan Penunjang

2.8.1. Pemeriksaan Radiologi


a. Foto polos abdomen (BNO)
Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus
kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan

10

dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi
yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini. 19
b. Pemeriksaan Barium Enema
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daereah rectum dan
sigmoid.16

11

Gambar 2.4. Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini
merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal. 18

Gambar 2.5. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan penyakit


Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid
serta pelebaran di bagian atas dari zona transisi. 16

12

Gambar 2.6. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi
massa feses dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah. 20

Gambar 2.7. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid
dan kolon descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas. 20

Gambar 2.8. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya
menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme. 20

13

Gambar 2.9. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto barium
enema sisi lateral20
Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas
perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal19

Gambar 2.10.. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit
Hirschsprung. Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada
periode neonatal.20

14

Gambar 2.11. Pemeriksaan barium enema yang dilakukan selanjutnya


memperlihatkan gambaran megakolon yang tipikal, zona transisi serta bagian
aganglionik yang tidak melebar.20

15

Gambar 2.12. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan
penyakit Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis
yang berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan
residu feses. 20

Gambar 2.13. Penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan barium enema tampak


pengurangan kaliber rektum dan dilatasi loop usus besar dengan permukaan
mukosa yang ireguler (diskinesia).20

16

Gambar 2.14. Penyakit Hirschsprung pada bayi yang berusia 6 bulan


dengan riwayat konstipasi kronis. Foto barium enema sisi lateral ini menunjukkan
dilatasi pada sigmoid kolon proksimal dan kolon asendens 17
Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya
terbatas pada bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang
dilakukan ke atas bayi, iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu
studi, didapatkan pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk
menentukan letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan yang
didapatkan juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi
rektum. 17

Gambar 2.15. Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik di


bagian atas rektum pada seorang pria muda berusia 19 tahun. AC = ascending
colon, DC = descending colon. Segmen kolon yang lain dalam batas normal.17

17

Gambar 2.16. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian
atas dari rektum dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak
panah).17

18

Gambar 2.17. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi
bagian proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses. 17

Gambar 2.18. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi
dan penyempitan di bagian distal rektum.18
c. Pemeriksaan lainnya
Laboratorium Studi
CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi
seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan
WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.18

Anorektal manometri
Gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani interna

ketika ekttum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah bisa segera
dilakukan dan pasien dapat cepat pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.
Metode ini lebih serig dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada
neonatus. Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan

19

riwayat atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional,


manometri anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak
dengan penyakit Hirschsprung gagal untuk menunjukkan reflex relaksasi pada
spinkter ani interna dalam menanggapi inflasi balon dubur. 18
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien
yang dicurigai dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini
biasanya akan kehilangan atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks
anorektal yang dimaksudkan adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah
dilakukan inflasi balon di bagian rektum. Bagaimanapun, terdapat banyak
perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik ini. 21

Biopsi rektum
Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk mendeteksi

penyakit Hirschsprung. Biopsi rektum merupakan gold standart untuk


mendiagnosis penyakit Hirscprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus biopsi
rektum. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk dilihat di bawah
mikroskop. Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate
dan juga mengambil sampel yang normal dari yang normal ganglion hingga yang
aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
sampel yang diambil pada mukosa rektal lebih tebal. Anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada
biopsi hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat
penghisap. Karena tidak melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak
diperlukan anestesi.
Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak
terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh, biopsi fullthickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada
biopsi full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam

20

dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tidak


adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.21
2.9.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Penyakit Hirschcprungs harus meliputi seluruh

kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:21
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
- Simple
- Complicated (with meconium cyst

or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malarotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusceptions
NEC

Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia

2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Non Pembedahan
Ketika diagnosis penyakit Hirschsprung disangkakan maka pasien
ditangani sebagai pasien obstruksi. Sesegera mungkin pasien dipuasakan dan
dilakukan dekompresi dengan memasang selang NGT dan kateter urin. IV line
dipasang untuk memastikan rehidrasi yang cukup dan antibiotik empiris sistemik
diberikan.22

2.10.2. Pembedahan
Penyakit Hirschsprungs memerlukan tindakan pembedahan sebagai
tatalaksana definitif pada semua kasus. Pendekatan pembedahan klasik terdiri dari
prosedur yang bertingkat. Ini termasuk pembuatan kolostomi pada neonatus,

21

diikuti dengan pembedahan definitif setelah berat anak >10 kg. Ada tiga prosedur
pembedahan pull-through yang saat ini digunakan. Untuk masing masing
operasi yang dilakukan, prinsip tatalaksana pada pembedahan adalah memastikan
lokasi dari usus dimana transisi antara usus berganglion dengan yang tak
berganglion terletak, reseksi segmen tak berganglion dari usus, dan melakukan
anastomosis dari usus berganglion ke anus ataupun ke selubung rektum.22
Sekarang sudah sepenuhnya diketahui bahwa operasi pull through dapat
dilakukan secara aman, bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti
prinsip yang sama seperti pembedahan bertingkat dan menghindarkan pasien dari
pembedahan tambahan. Beberapa ahli bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Pendekatan ini terutama berguna pada pembedahan
dengan pasien neonatus, karena memberikan visualisasi yang sangat baik pada
pelvis. Pada anak dengan distensi abdomen yang signifikan, dapat dilakukan
kolostomi untuk dekompresi.22
Dari ketiga prosedur operasi pull through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprungs, yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini, rektum
aganglion di diseksi dari pelvis dan dikeluarkan melalui anus. Kolon berganglion
kemudian disambungkan ke anus melalui pendekatan perineal. Prosedur kedua
adalah prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi pada ruang retrorektal,
dan kolon berganglion disambungkan secara posterior tepat di atas anus. Dinding
anterior pada kolon berganglion dan dinding posterior dari rektum aganglion
disambungkan menggunakan stapler. Meskipun kedua prosedur ini terbukti sangat
efektif, prosedur ini memiliki potensi untuk terjadi kerusakan pada syaraf
parasimpatik yang berada di sekitar rektum. Untuk menghindari masalah potensial
ini. Prosedur ketiga adalah prosedur Soave yang dikerjakan dengan mendiseksi
mukosa rektum secara keseluruhan dan kolon berganglion ditarik melewati
selubung muskular ini dan disambungkan pada anus.22
Pada semua kasus, sangat penting untuk memastikan lokasi usus
berganglion. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan

22

sekurangnya 5 cm dari titik dimana usus berganglion ditemukan. Hal ini


mencegah dari melakukan operasi pull through pada zona transisi, yang
berkaitan dengan tingginya insidensi dari komplikasi akibat pengosongan tidak
optimal pada segmen pull through.22
2.11.

Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi pada ketiga prosedur ini termasuk enterokolitis pos operasi,


konstipasi, dan striktur anastomosis. Seperti dijelaskan sebelumnya, hasil jangka
panjang dari ketiga prosedur sangat baik. 22

Gambar 2.19. Prosedur Duhamel

23

Gambar 2.20. Prosedur Swenson

Gambar 2.21. Prosedur Soave

BAB III

24

LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Alicia

Gender

: Perempuan

Umur

: 32 Hari

MR

: 00.63.35.11

Ruangan

: Perinatology (RB4A)

Tanggal masuk

: 16 Februari 2015

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Perut Membesar
Telaah

: Hal ini dialami os sejak 3 minggu SMRS. Awalnya perut teraba

keras, kemudian semakin bertambah besar dan mengeras dalam 3 hari terakhir.
Gangguan pola BAB sudah dijumpai sejak os lahir, konsistensi kotoran cair
dengan jumlah yang sangat sedikit, hanya berupa bercak pada popok . Os pernah
sama sekali tidak BAB selama 1 hari, 3 hari SMRS. BAB bercampur darah (-).
Riwayat muntah dijumpai pada saat os berumur 3 hari . Muntah berwarna kuning
kehijauan. Muntah dialami 2 kali dalam sehari dengan banyaknya muntah
sekitar 1 sendok makan per kali muntah. Riwayat mekonium keluar terlambat
dijumpai, mekonium baru keluar 1 hari setelah kelahiran. BAK (+), normal.
Riwayat demam dijumpai, 1 minggu yang lalu, dialami selama 3 hari., demam
tidak terlalu tinggi. Os adalah pasien rujukan dari RSUD Sibolga kemudian
dirawat selama 3 hari di RS. Metodist Medan dan akhirnya dirujuk Ke RSUP
HAM Medan.
RPT

: Tidak ada

RPO

: Tidak jelas

Riwayat Kehamilan: Usia Ibu saat Hamil 40 tahun, ANC ke Bidan dan dokter

25

kandungan, Riwayat Hipertensi, DM dan adanya demam saat hamil (-).


Riwayat Kelahiran : BBL = 2500 gram, anak ke-4 dari 4 bersaudara, os segera
menangis saat lahir, terlillit tali pusat, biru (-), Mekonium baru keluar sehari
setelah lahir.
III. STATUS PRESENS
Sensorium

: Compos Mentis

Temperature

: 36,8 oC

Nadi

: 140x/i

Pernafasan

: 40x/i

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalisata :
Kepala
Mata

: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior

pucat (+/+), sklera ikterus (-/-)


T/H/M

: DBN

Leher

: Trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O

Toraks
Inspeksi

: simetris fusiformis, retraksi dada (-)

Perkusi

: sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : SP: vesikuler, ST: tidak dijumpai, RR : 42 x/menit


Jantung: S1 (N), S2 (N), Murmur (-), HR: 140 x/menit
Abdomen
Inspeksi

: simetris, perut membesar

Palpasi

: soepel

Perkusi

: timpani

Auskultasi : peristaltik (+), melemah

26

Ekstremitas
Superior

: oedem (-), Tidak Ada Kelainan,

Inferior

: oedem (-) , Tidak Ada Kelainan.

V. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium 14 Februari 2015 di RSU Metodist
WBC
RBC
HGB
HCT
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Protein total
Albumin
Globulin
PT
APTT
INR

11,2 x 103/mm3
3,55 x 106/mm3
11,2 g%
33,7 %
375 x 103/ mm3
94,9 fL
33,5 pg
35,5 g %
64 %
32%
4%
0,00 %
0,00 %
Faal Hati
5,21 g/dl (6,6-8,7)
3,56 g/dl (3,5-5,3)
1,65 g/dl (1,3-3,0)
Faal Hemostatis
17,8 (normal)
35,3 (normal)
1,18

Hasil Foto Barium Enema 7 Februari di RS Santa Elisabeth

27

Foto Colon Inloop Post Evakuasi

Interpretasi Colon Inloop

28

Dilakukan pemeriksaan colon dengan contrast water soluble. Ampularecti dan recto-sigmoid tampak normal.

Colon sigmoid, decendense, transversum dan asendens tampak


panjang dan berkelok kelok, haustrae tampak normal

Caecum dan ileo-caecal baik

Tidak tampak filling defect maupun aditional defect pada sepanjang


lumen colon.

Kesimpulan : tidak tampak tanda-tanda radiologis hirschsprungs disease


maupun kelainan lain pada colon in loop.
Hasil Foto Baby Gram 14 Februari di RSUP HAM

Interpretasi Foto Baby gram

29

Scheedel : Ekstremitas atas dan bawah dalam batas normal

Thorax : Infiltrat minimal di perihilar dan parakardial kanan

Jantung ukuran normal

Vertebra: suspek gambaran hemivertebra thoracal 6

Pedicel intact

Diskus intervertebralis baik

Abdomen : distribusi udara usus tidak sampai ke pelvic minor, tampak


dilatasi dan penebalan dinding usus, tidak tampak udara bebas di
ekstralumen

Kesimpulan : Penebalan dinding usus dd hirscprungs disease


VI. DIAGNOSIS
Suspek Hirschprungs Disease
VII. RENCANA TERAPI

Rawat Inkubator, target suhu 36,5-37,5 C

Inj, Ceftazidim 140 mg/8 jam / IV

Inj. Gentamycin 14 mg/24 jam/ IV

Inj. Metronidazole LD 42 ng -> MD 21 ng/12 jam

Wash-Out Pagi dan Sore

VII. RENCANA

Colon in loop, ulang.

Biopsi Rectal

30

Follow Up Pasien
15/2/2015 S : Perut distensi (+), muntah (-), demam (-)
O : Compos Mentis. HR: 140 x/1, RR: 38 x/1, Temp: 36,9 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprungs disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% 18 cc/jam

Enteral diet sementara puasa

Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV


Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
16/2/2015 S : BAB dijumpai melalui rectal tube, perut distensi (+), muntah
(-), demam (-)
O : Compos Mentis. HR: 140 x/1, RR: 49 x/1, Temp: 36,8 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprungs disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

31

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% 17-18 cc/jam

Enteral 50 cc/KgBB/hari 137 cc/hari diet ASI/PASI 11


cc/2 jam/OGT

Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV


Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
Menunggu hasil babygram
Hasil Laboratorium
Bilirubin total 0,66 mg/dl
Bilirubin direk 0,31 mg/dl
KGD ad random 59,4 mg/dl
Ureum Kreatinin : 2,50 mg/dl ; 0,23 mg/dl
Ca : 9,8 mg/dL
Na : 130 mEq/L
K : 2,7 mEq/L (menurun)
Cl : 99 mEq/L
CRP kualitatif : positif
Procalcitonin : 0,32 ng/mL (meningkat)
Hematologi IT ratio : 0,02 (normal < 0,2)
17/2/2015 S : Perut distensi (+), muntah (-), demam (-)
O : Compos Mentis. HR: 146 x/1, RR: 48 x/1, Temp: 36,8 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprungs disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

32

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70


cc) + KCl 10 mEq + Ca glukonas 10 cc 274 cc/hari 11
cc/jam

Enteral 50 cc/KgBB/hari 137 cc/hari diet ASI/PASI 11


cc/2 jam/OGT

Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV


Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

18/2/2015 S : Perut distensi (+), muntah (-), demam (-)


O : Compos Mentis. HR: 140 x/i, RR: 40 x/i, Temp: 37,1 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprungs disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70


cc) + KCl 10 mEq + Ca glukonas 10 cc 9 cc/jam

Enteral 70 cc/KgBB/hari 195 cc/hari diet ASI/PASI


16 cc/2 jam/OGT

Inj. Ceftazidime 140 mg/ 8 jam IV


Inj. Gentamicin 14 mg/ 24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
Hasil Laboratorium
Na : 135 mEq/L

33

K: 3,6 mEq/L
Cl : 106 mEq/L
Tiroid
T3 total : 1,34 ng/ml
T4 total : 9,96 g/ml
TSH : 2,330 IU/ml
19/2/2015 S : Perut distensi (+), muntah (-), demam (-)
O : Compos Mentis. HR: 136 x/1, RR: 44 x/1, Temp: 36,9 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprungs disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70


cc) + KCl 10 mEq + Ca glukonas 10 cc 9 cc/jam

Enteral 70 cc/KgBB/hari 195 cc/hari diet ASI/PASI


16 cc/2 jam/OGT

Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV


Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30cc/x

34

20/2/2015

S : Perut distensi (+), BAB masih belum baik


O: Compos Mentis. HR: 140 x/1, RR: 42 x/1, Temp: 37,2 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A: Sangkaan Hirschsprungs disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70


cc) + KCl 10 mEq + Ca glukonas 10 cc 7 cc/jam

Enteral 90 cc/KgBB/hari 256 cc/hari diet ASI/PASI


22 cc/2 jam/OGT

Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv


Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30cc/x
21/2/2015

S : Perut distensi (+), BAB (+)


O: Compos Mentis. HR: 136 x/1, RR: 40 x/1, Temp: 36,9 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A: Sangkaan Hirschsprungs disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70


cc) + KCl 10 mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam

Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI

35

24 cc/2 jam/OGT
Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv
Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
R/ Rencana rektum biopsi pada tanggal 23/2/2015
Konsul anestesi untuk toleransi rektum biopsi

22/2/2015

S : Perut distensi (+), BAB (+)


O: Compos Mentis. HR: 144 x/1, RR: 46 x/1, Temp: 36,8 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A: Sangkaan Hirschsprungs disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70


cc) + KCl 10 mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam

Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI


24 cc/2 jam/OGT

Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv


Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
23/2/2015

Diet ASI/PASI 16 cc/ 2 jam /OGT


S : Perut distensi (+), BAB (+)
O: Compos Mentis. HR: 128 x/1, RR: 50 x/1, Temp: 37,1 0C

36

Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A: Sangkaan Hirschsprungs disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari

Parenteral IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70


cc) + KCl 10 mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam

Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI


24 cc/2 jam/OGT

Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv


Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Hirschsprungs adalah suatu kelainan karena tidak adanya


persarafan di daerah usus besar berupa pleksus Meissner dan Auerbach. Pada
pasien ini diduga mengalami penyakit Hirschsprungs karena dari anamnesis

37

hingga pemeriksaan fisik dijumpai perut membesar, muntah kehijauan, dan


pengeluaran mekonium yang terlambat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Azila Aidawati Bt Hazwan, Radus Pakadang, Amir, BAB 1 dalam:
Hirschsprungs

Disease.

Universitas Hasanuddin.

Bagian

Radiologi

Fakultas

Kedokteran

38

2. Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility


Society (AMS) and the International Foundation For Functional
Gastrointestinal Disorders (IFFGD)
3.

Nur Rahmat Wibowo, Hermanto, BAB 1 dalam: Hirschsprungs Disease.


Bagian SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung Pura.

4. Sherwood., Lauralee., 2010. Fundamentals of Human Physiology 4th


edition. Brooks-Cole:USA.
5. Junquiera, Luiz Carlos., & Jose, Carneiro. Basic Histology Text and Atlas
11th Edition. Mc Graw Hill : Philadelphia.
6. Martini, Frederic H., Judi, Nath., & Edwin, Bartholomew. Martini :
Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th Edition.
7. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pedriatric Surgery in Towsend Sabiston
Textbook Of Surgery. 17th ed. Elveiser-Saunders. Philadelphia. Page 21132114
8. University of Michigan Pedriatric Surgery. Hirschprungs disease.
[Online].2005.[Cited:

23

February

2015].

Available

from

URL:

http://surgery.med.umich.edu/pedriatric/clinical/physician _content/
9. Netter F interactive atlas of clinical anatomy. Icon learning System All
Right reserved;2003.
10. Sherwood L. Usus besar. Dalam: FIsiologi Manusia daro sel ke SIstem.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2000. Hal. 582
11. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in:
Aschaft Pediatric Surgery 3rd ed W.B Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468
12. Kartono D. Penyakit Hirschsprung: Perbandingan Prosedur Swenson dan
Duhamel Modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
13. Pasumarthy L, Srour JW. Hisrschprungs Disease: A Case to Remember.
Practical Gastroenterology. 2008: 42-45.
14. Nurko SMD. Hirschsprungs Disease. Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorder.2007.
15. Irawan, B., Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit
Hirschprung pasca operasi pull- through. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003:1-15.

39

16. Abbas, K.,

and Mitchell, F., Developmental Anomalies. In Robin

Pathologic Basis of Disease 8th Edition. 2005:601.


17. Neville, H.L.,

Penyakit Hirschprung. Pediatric, updated on July 13,

2010. Assess in www.emedicine.com.


18. Corman, L., Lippincott Williams and Wilkins. Ed. 5. 2005: 559-560.
19. William, E., Brant, E., Helms, C.A., Pediatric Abdomen and Pelvis
Fundamentals of Diagnostic. Pediatric Radiology. Ed.3.
20. Pena, A., Levitt, M.A., Surgical Therapy of Hirschprung Disease dalam
Constipation Etiology, Evaluation and Management. Colon and Rectal
Surgery.Ed.5. 2005.
21. Kessman JMD. Hirschsprungs Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician. 2006;74:1319-1322.
22. Brunicardi, F. Charles et al., 2014. Schwartzs Principles of Surgery 10th
Edition. Mc Graw Hill : Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai