BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik
usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus.
Pasien dengan penyakit Hirschprung ini pertama kali di laporkan pada tahun
1691 oleh Frederick Ruysch, tetapi Harald Hirschsprung baru mempublikasikan
penyakit ini pada tahun 1886 dengan deskripsi megakolon kongenital. Awalnya,
patofisiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon
yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian usus akibat defisiensi ganglion.2
Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan
perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses.
Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang
tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus.3
Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo
Jakarta.
Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari
bagian distal kolon yaitu di peralihan antara usus dengan anus.
Panjang dari bagian segmen yang tidak mempunyai sel ganglion
Rumusan Masalah
Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi,
Tujuan Penulisan
a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan
komplikasi penyakit Hirschsprung.
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
c. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
tiga bagian yaitu, pars ascendens, pars transversus, dan pars descendens. Bagian
akhir dari kolon pars descendens adalah sigmoid yang membentuk huruf S,
kemudian lanjut menjadi bagian yang lurus yaitu rektum. 4
pembuluh limf. Lapisan ini juga terdiri atas pleksus Meissner. Lapisan muskularis
terdiri atas dua sub lapisan mengikuti arah sel otot. Lapisan internal yang dekat
dengan lumen mengikuti pola sirkuler, dan bagian eksternal mengikuti arah
longitudinal. Lapisan muskular juga terdiri dari pleksus Auerbach yang berada
diantara dua lapisan sirkular dan longitudinal. Sementara lapisan serosa terdiri
dari jaringan ikat longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, juga lapisan
squamous cell.5
Persarafan motorik sfingter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis ( N.
Hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf simpatis
(N.Splancnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini
membentuk pleksus rektalis, sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N
sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sfingter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak memengaruhi otot rektum. Defekasi
sepenuhnya dikontrol oleh N. Splanknikus ( parasimpatis). Akibatnya kontinensia
sepenuhnya dipengaruhi oleh N. Pudendalis dan N.Splanknikus Pelvis
(parasimpatis).7
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus:
a. Pleksus Auerbach: terletak dilapisan otot sirkuler dan longitudinal
b. Pleksus Henle : terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler
c. Pleksus Meissner: terletak di submukosa
2.2.
disebut sebagai refleks gastrokolik yang diperantarai oleh gastrin dan persarafan
autonomik. 1 Refleks gastroenterik dan refleks gastroileal akan mentransfer
material dari sekum ketika makan. Pergerakan dari sekum ke kolon transversus
sangat lambat, sehingga material yang terdiri dari banyak cairan akan diubah
menjadi lebih padat karena absorpsi air. Gelombang peristaltik di usus akan
memindahkan isi di sepanjang usus. 8
Kontraksi peristalsis yang cukup kuat akan muncul beberapa kali sehari.
Kontraksi ini akan memindahkan material dari kolon transversus ke bagian usus
besar selanjutnya. Stimulus berasal dari lambung dan usus, yang akan di
hantarkan ke pleksus saraf. Kontraksi tersebut akan memaksa feses untuk masuk
ke rektum dan menghasilkan keinginan untuk defekasi.8
Rektum biasanya dalam keadaan kosong, kecuali adanya kontraksi peristalsis
yang cukup kuat untuk memindahkan feses dari kolon sigmoid ke rektum.
Peregangan dinding rektum akan menghasilkan refleks defekasi. Refleks ini akan
menghasilkan dua umpan balik positif. Reseptor peregangan rektum akan memicu
kontrol defekasi yang dapat disadari. Refleks pertama dimediasi oleh inervasi
parasimpatis di pelvis. Refleks ini akan menyebabkan relaksasi sfingter anal
internal. Otot polos sfingter akan mengontrol pergerakan feses ke kanal anal.
Refleks kedua adalah refleks somatis yang memicu kontraksi segera dari sfingter
anal eksterna. N. Pudenda akan membawa perintah motorik.8
Kedua sfingter anal interna dan eksterna harus berelaksasi agar feses dapat
dikeluarkan. Tetapi, kedua refleks membuka sfingter internal namun menutup
sfingter eksternal. Pengeluaran feses harus dalam keadaan yang disadari untuk
membuka sfingter eksternal. Aktivitas lainnya yang dapat membantu pengeluaran
feses melalui peningkatan tekanan intraabdomen, seperti mengedan. Keinginan
untuk mengeluarkan feses muncul ketika tekanan di rektum mencapai 15 mmHg.
Jika tekanan ini melebihi 55 mmHg, sfingter anal eksternal akan relakasi secara
tidak sadar sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini muncul pada bayi dan pada
pasien dengan kerusakan medulla spinalis. 8
2.3.
Etiologi
Penyakit hirschprung berkaitan erat dengan genetik. Tidak adanya ganglion
dapat disebabkan oleh mutasi gen yang menyebabkan kegagalan pada migrasi,
diferensiasi atau kehidupan pada sel tersebut. Reseptor Tyrosine Kinase Gene
(RET) merupakan gen yang biasanya mengalami mutasi. Secara signifikan mutasi
gen RET juga ditemukan pada sindrom neoplasma endokrin multipel tipe IIA dan
IIB dan karsinoma tiroid medullar familiar. Penyakit Hirschprungs juga sering di
temukan pada anak dengan trisomi 21 ( Sindrom Down). Gen yang telah
bermutasi tersebut bisa mengakibatkan defek saat embriogenesis. Sebuah studi
yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kolon yang normal memiliki banyak
NCAM (Neural Cell Adhesion Molecules), akan tetapi NCAM tidak ditemukan
pada bagian yang aganglionik pada penyakit Hirschprungs. NCAM ini
diperkirakan berperan penting dalam pembentukan sel ganglion pada saat
embriogensis. 10
2.5.
Epidemiologi
Penyakit Hirschsprungs dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi
Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan
spfingter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Sehingga pada bagian abnormal
akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal, sedangkan bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. 6 Dasar patofisologi
penyakit Hirschcprungs adalah tidak adanya gelombang propulsif dan
abnormalitas atau hilangnya relakasasi dari sfingter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis, atau disganglionosis pada usus yang
terkena.12,13
Tidak terdapatnya ganglion pada kolon menyebabkan peristaltik usus
menghilang sehingga feses dalam lumen kolon terhambat yang menimbulkan
terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah
aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi di bawahnya.
Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut atau kronis yang
tergantung panjang usus yang mengalami aganglionik. Obstruksi kronis
menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang
disertai iritasi feses dan menyebabkan invasi bakteri. Pada tahap selanjutnya
terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon.
Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan
terjadi sepsis, dan kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.12,13,14
2.7.
Gejala Klinis
Pada bayi yang baru lahir biasanya terjadi keterlambatan pengeluaran
mekonium pertama, diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau.
Pada bayi normal, mekonium akan keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada
penyakit Hirschcprungs, mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normalnya
berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Diare
dapat menunjukkan adanya suatu enterokolitis.17,13
Pada anak yang lebih besar, dapat mengalami kesulitan makan, distensi
abdomen kronis, dan adanya riwayat konstipasi. Gejala penyerta lain seperti
impaksi feses, demam, dan diare menunjukkan terjadinya tanda-tanda
enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh.15,14
Pada pemeriksaan colok dubur, sfingter ani teraba hipertonus dan rektum
biasanya kosong. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan disekitar
umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terjadi
komplikasi peritonitis.15,12,14
2.8.
Pemeriksaan Penunjang
10
dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi
yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini. 19
b. Pemeriksaan Barium Enema
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daereah rectum dan
sigmoid.16
11
Gambar 2.4. Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini
merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal. 18
12
Gambar 2.6. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi
massa feses dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah. 20
Gambar 2.7. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid
dan kolon descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas. 20
Gambar 2.8. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya
menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme. 20
13
Gambar 2.9. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto barium
enema sisi lateral20
Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas
perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal19
Gambar 2.10.. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit
Hirschsprung. Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada
periode neonatal.20
14
15
Gambar 2.12. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan
penyakit Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis
yang berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan
residu feses. 20
16
17
Gambar 2.16. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian
atas dari rektum dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak
panah).17
18
Gambar 2.17. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi
bagian proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses. 17
Gambar 2.18. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi
dan penyempitan di bagian distal rektum.18
c. Pemeriksaan lainnya
Laboratorium Studi
CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi
seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan
WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.18
Anorektal manometri
Gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani interna
ketika ekttum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah bisa segera
dilakukan dan pasien dapat cepat pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.
Metode ini lebih serig dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada
neonatus. Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan
19
Biopsi rektum
Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk mendeteksi
20
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Penyakit Hirschcprungs harus meliputi seluruh
kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:21
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
- Simple
- Complicated (with meconium cyst
or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malarotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusceptions
NEC
Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia
2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Non Pembedahan
Ketika diagnosis penyakit Hirschsprung disangkakan maka pasien
ditangani sebagai pasien obstruksi. Sesegera mungkin pasien dipuasakan dan
dilakukan dekompresi dengan memasang selang NGT dan kateter urin. IV line
dipasang untuk memastikan rehidrasi yang cukup dan antibiotik empiris sistemik
diberikan.22
2.10.2. Pembedahan
Penyakit Hirschsprungs memerlukan tindakan pembedahan sebagai
tatalaksana definitif pada semua kasus. Pendekatan pembedahan klasik terdiri dari
prosedur yang bertingkat. Ini termasuk pembuatan kolostomi pada neonatus,
21
diikuti dengan pembedahan definitif setelah berat anak >10 kg. Ada tiga prosedur
pembedahan pull-through yang saat ini digunakan. Untuk masing masing
operasi yang dilakukan, prinsip tatalaksana pada pembedahan adalah memastikan
lokasi dari usus dimana transisi antara usus berganglion dengan yang tak
berganglion terletak, reseksi segmen tak berganglion dari usus, dan melakukan
anastomosis dari usus berganglion ke anus ataupun ke selubung rektum.22
Sekarang sudah sepenuhnya diketahui bahwa operasi pull through dapat
dilakukan secara aman, bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti
prinsip yang sama seperti pembedahan bertingkat dan menghindarkan pasien dari
pembedahan tambahan. Beberapa ahli bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Pendekatan ini terutama berguna pada pembedahan
dengan pasien neonatus, karena memberikan visualisasi yang sangat baik pada
pelvis. Pada anak dengan distensi abdomen yang signifikan, dapat dilakukan
kolostomi untuk dekompresi.22
Dari ketiga prosedur operasi pull through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprungs, yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini, rektum
aganglion di diseksi dari pelvis dan dikeluarkan melalui anus. Kolon berganglion
kemudian disambungkan ke anus melalui pendekatan perineal. Prosedur kedua
adalah prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi pada ruang retrorektal,
dan kolon berganglion disambungkan secara posterior tepat di atas anus. Dinding
anterior pada kolon berganglion dan dinding posterior dari rektum aganglion
disambungkan menggunakan stapler. Meskipun kedua prosedur ini terbukti sangat
efektif, prosedur ini memiliki potensi untuk terjadi kerusakan pada syaraf
parasimpatik yang berada di sekitar rektum. Untuk menghindari masalah potensial
ini. Prosedur ketiga adalah prosedur Soave yang dikerjakan dengan mendiseksi
mukosa rektum secara keseluruhan dan kolon berganglion ditarik melewati
selubung muskular ini dan disambungkan pada anus.22
Pada semua kasus, sangat penting untuk memastikan lokasi usus
berganglion. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan
22
23
BAB III
24
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Alicia
Gender
: Perempuan
Umur
: 32 Hari
MR
: 00.63.35.11
Ruangan
: Perinatology (RB4A)
Tanggal masuk
: 16 Februari 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Perut Membesar
Telaah
keras, kemudian semakin bertambah besar dan mengeras dalam 3 hari terakhir.
Gangguan pola BAB sudah dijumpai sejak os lahir, konsistensi kotoran cair
dengan jumlah yang sangat sedikit, hanya berupa bercak pada popok . Os pernah
sama sekali tidak BAB selama 1 hari, 3 hari SMRS. BAB bercampur darah (-).
Riwayat muntah dijumpai pada saat os berumur 3 hari . Muntah berwarna kuning
kehijauan. Muntah dialami 2 kali dalam sehari dengan banyaknya muntah
sekitar 1 sendok makan per kali muntah. Riwayat mekonium keluar terlambat
dijumpai, mekonium baru keluar 1 hari setelah kelahiran. BAK (+), normal.
Riwayat demam dijumpai, 1 minggu yang lalu, dialami selama 3 hari., demam
tidak terlalu tinggi. Os adalah pasien rujukan dari RSUD Sibolga kemudian
dirawat selama 3 hari di RS. Metodist Medan dan akhirnya dirujuk Ke RSUP
HAM Medan.
RPT
: Tidak ada
RPO
: Tidak jelas
Riwayat Kehamilan: Usia Ibu saat Hamil 40 tahun, ANC ke Bidan dan dokter
25
: Compos Mentis
Temperature
: 36,8 oC
Nadi
: 140x/i
Pernafasan
: 40x/i
: DBN
Leher
Toraks
Inspeksi
Perkusi
Palpasi
: soepel
Perkusi
: timpani
26
Ekstremitas
Superior
Inferior
V. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium 14 Februari 2015 di RSU Metodist
WBC
RBC
HGB
HCT
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Protein total
Albumin
Globulin
PT
APTT
INR
11,2 x 103/mm3
3,55 x 106/mm3
11,2 g%
33,7 %
375 x 103/ mm3
94,9 fL
33,5 pg
35,5 g %
64 %
32%
4%
0,00 %
0,00 %
Faal Hati
5,21 g/dl (6,6-8,7)
3,56 g/dl (3,5-5,3)
1,65 g/dl (1,3-3,0)
Faal Hemostatis
17,8 (normal)
35,3 (normal)
1,18
27
28
Dilakukan pemeriksaan colon dengan contrast water soluble. Ampularecti dan recto-sigmoid tampak normal.
29
Pedicel intact
VII. RENCANA
Biopsi Rectal
30
Follow Up Pasien
15/2/2015 S : Perut distensi (+), muntah (-), demam (-)
O : Compos Mentis. HR: 140 x/1, RR: 38 x/1, Temp: 36,9 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprungs disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari
31
32
33
K: 3,6 mEq/L
Cl : 106 mEq/L
Tiroid
T3 total : 1,34 ng/ml
T4 total : 9,96 g/ml
TSH : 2,330 IU/ml
19/2/2015 S : Perut distensi (+), muntah (-), demam (-)
O : Compos Mentis. HR: 136 x/1, RR: 44 x/1, Temp: 36,9 0C
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprungs disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari
34
20/2/2015
35
24 cc/2 jam/OGT
Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv
Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
R/ Rencana rektum biopsi pada tanggal 23/2/2015
Konsul anestesi untuk toleransi rektum biopsi
22/2/2015
36
Abdomen :
I : simetris, distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A: Sangkaan Hirschsprungs disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
Kebutuhan total cairan 150 cc/KgBB/hari 420 cc/hari
BAB IV
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Azila Aidawati Bt Hazwan, Radus Pakadang, Amir, BAB 1 dalam:
Hirschsprungs
Disease.
Universitas Hasanuddin.
Bagian
Radiologi
Fakultas
Kedokteran
38
23
February
2015].
Available
from
URL:
http://surgery.med.umich.edu/pedriatric/clinical/physician _content/
9. Netter F interactive atlas of clinical anatomy. Icon learning System All
Right reserved;2003.
10. Sherwood L. Usus besar. Dalam: FIsiologi Manusia daro sel ke SIstem.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2000. Hal. 582
11. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in:
Aschaft Pediatric Surgery 3rd ed W.B Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468
12. Kartono D. Penyakit Hirschsprung: Perbandingan Prosedur Swenson dan
Duhamel Modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
13. Pasumarthy L, Srour JW. Hisrschprungs Disease: A Case to Remember.
Practical Gastroenterology. 2008: 42-45.
14. Nurko SMD. Hirschsprungs Disease. Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorder.2007.
15. Irawan, B., Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit
Hirschprung pasca operasi pull- through. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003:1-15.
39