Anda di halaman 1dari 4

Kelompok 19 : -Tara Sesafia Paletri

-Theodorius Aprienta
-Titin Aprilia
-Vielda Rahmah A

Revolusi Mental

Revolusi (dari bahasa latin revolutio yang berarti berputar arah ) adalah perubahan
fundamental (mendasar) dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode
waktu yang relatif singkat. Aristoteles menggambarkan pada dasarnya 2 jenis revolusi yakni :
1. Perubahan sepenuhnya dari satu aturan ke aturan yang lainnya.
2. Modifikasi terhadap aturan yang ada.
Revolusi telah banyak terjadi dalam sejarah umat manusia dan bervariasi dalam
berbagai metoda , durasi , dan ideologi motivasi. Hasilnya telah terjadi perubahan besar
dalam budaya, ekonomi, dan institusi politik-sosial. Sedangkan mental atau tepatnya
mentalitas adalah cara berpikir atau kemampuan untuk berfikir, belajar, dan merespon
terhadap suatu situasi atau kondisi, atau mental dalam tulisan mengartikan revolusi mental
diartikan sebagai nama bagi segala sesuatu menyangkut cara hidup. Revolusi mental
melibatkan semacam strategi kebudayaan. Hal yang dibidik oleh revolusi mental adalah
transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas yang meliputi cara berpikir,
cara merasa, cara mempercayai yang semuanya ini menjelma dalam perilaku dan tindakan
sehari-hari.
Revolusi mental yang saat ini di gaungkan oleh Presiden dan jajaran Kabinet kerja
Bapak Jokowi, menurut Ilyas Ismail (2014) bahwa gagasan revolusi mental menggoda
banyak orang. Bagi mereka, revolusi mental dibutuhkan untuk membabat habis mentalitas,
mindset, dan segala bentuk praktik buruk yang sudah mendarah daging sejak jaman Orde
Baru hingga sekarang. Masih menurut Ilyas Ismail (2014), bahwa gagasan revolusi mental

yang mulai dikumandangkan oleh Bung Karno di pertengahan tahun 1950-an, tepatnya di
tahun 1957. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang mandek. Padahal, tujuan dari revolusi
itu belum tercapai. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para
pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Kata Bung Karno, di masa perang
pembebasan (liberation), semua orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era
perang pembebasan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun.
Berdasarkan pada pengertian revolusi mental, beberapa hal dalam pendidikan yang
perlu diperbaiki terkait dengan revolusi mental ini, yaitu:
1. Menghafal adalah Kunci Kesuksesan
Bagi peserta didik menghafal adalah ritual yang harus dilakukan menjelang ujian.
Dengan menghafal, maka pertanyaan dalam ujian akan dapat terjawab dengan baik sehingga
akhirnya mendapat nilai yang memuaskan. Memang tidak ada yang salah dengan menghafal.
Bahkan, ilmu pengetahuan tidak akan lahir tanpa usaha menghafal dan mencatat suatu
peristiwa alam atau sosial. Menghafal menjadi masalah apabila dilakukan tanpa mengetahui
konsep yang sesungguhnya. Peserta didik hanya menghafal rentetan kata dan kalimat tanpa
tahu makna yang sesungguhnya. Seorang mahasiswa yang mengikuti mata kuliah filsafat
manusia, misalnya, dapat saja menghafal definisi dimensi-dimensi dalam filsafat manusia
tanpa memahami maknanya. Dalam kehidupan sehari-hari ia tetap memandang manusia
secara parsial saja, sebagai penghasil uang, dengan melupakan dimensi sosial manusia.
Bagaimana merevolusi mental ritual menghafal ini? Perlu ada perbaikan dalam metode
mendidik. Pendidikan dalam usaha revolusi mental berusaha menubuhkan ajaran-ajaran
yang diperoleh di sekolah agar sungguh dapat diterapkan dalam praktek hidup. Pendidik
perlu memberikan banyak contoh yang relevan, analisis kasus, serta percobaan-percobaan di
kelas. Contoh yang relevan, analisis kasus dan percobaan membantu peserta didik untuk
mendapatkan kunci-kunci penting pemahaman tanpa kehilangan basis pada realitas. Pendidik
seringkali melupakan metode-metode memberikan praktek yang mengajak peserta didik
berpikir, sebab pendidik harus memenuhi tuntutan target materi yang harus tersampaikan
dalam pertemuan itu.
2. Nilai Ujian dan Ijazah adalah Inti dari Seluruh Proses Pendidikan
Masyarakat yang memandang ijazah sebagai tujuan pokok dari seluruh proses
pendidikan kehilangan makna dari pendidikan itu sendiri. Sekolah, bagi masyarakat yang

demikian adalah usaha untuk mendapatkan ijazah. Agar mendapatkan ijazah dengan
keterangan yang memuaskan, nilai-nilai ujian perlu digenjot. Ijazah digunakan untuk
melamar pekerjaan dan mendapatkan jabatan sehingga kesejahteraan hidup pun terjamin.
Pendidikan, dalam masyarakat yang demikian, tidak lagi merupakan usaha untuk membuat
manusia yang sungguh menjadi manusia. Nilai ujian dan ijazah dikejar demi nilai ujian itu
sendiri. Nilai ujian dan ijazah bukan lagi menandakan kualitas dari peserta didik. Pendidik
dan peserta didik sama-sama dituntut untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai formalitas
untuk memperoleh nilai yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan ijazah. Dosen yang
membutuhkan waktu lama untuk membimbing satu skripsi, misalnya, tidak jarang dianggap
terlalu kolot dan didesak segera meluluskan mahasiswa tersebut dengan kemampuan yang
seadanya.Revolusi terhadap mental gila ijazah ini memang tidak mudah sebab perbaikan
tidak hanya melibatkan sistem pendidikan melainkan juga sistem ekonomi dan politik. Sistem
penilaian dalam pendidikan perlu dibuat agar tidak terlalu mementingkan kuantitas.
Lapangan pekerjaan juga perlu diperluas agar orang tidak khawatir akan kesempatan yang ia
dapatkan untuk mengembangkan diri di suatu lapangan pekerjaan tertentu. Dengan demikian,
pendidikan yang ia jalani juga sungguh berkualitas.
3. Standarisasi nilai melalui Ujian Akhir Nasional
Ujian Akhir Nasional (UAN) yang selama ini dilakukan menuai banyak kritik. UAN
dilakukan dengan alasan standarisasi kemampuan pelajar di seluruh Indonesia. Pelaksanaan
UAN memiliki asumsi dasar bahwa peserta didik berangkat dari modal yang sama sehingga
dapat mencapai standar kemampuan akademis tertentu yang sama. Kenyataannya, peserta
didik tidak memiliki modal yang sama. Mereka memiliki modal pengetahuan, budaya,
kualitas sekolah dan lingkungan masyarakat yang berbeda. UAN sebagai standarisasi
kemampuan akademis tidak lagi relevan mengingat modal yang berbeda ini. Peserta didik di
Jakarta tidak memiliki latar belakang budaya, kualitas sekolah dan lingkungan serta
kebutuhan yang sama dengan peserta didik di makassar, sehingga standarisasi pun tak dapat
dilakukan. Syarat suatu perbandingan dapat dilakukan ialah hal-hal yang diperbandingkan
memiliki prinsip yang sama. Apabila tidak memiliki prinsip yang sama maka terjadilah
incommensurability.
4. Orang Miskin Dilarang Sekolah
Bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak dari
pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah biaya yang

dibutuhkan untuk mendukung pendidikan seorang anak. Biaya ini tidak masuk akal bagi
orang tua yang memiliki pendapatan tidak lebih dari satu setengah juta rupiah per bulan,
bahkan untuk yang berpenghasilan tiga juta rupiah sekalipun. Tidak masuk akalnya biaya
untuk pendidikan, membuat banyak anak harus putus sekolah. Revolusi Mental dalam
pendidikan perlu didukung kebijakan politik dan ekonomi serta mekanisme agar pendidikan
akhirnya dapat diakses siapa saja di seluruh pelosok negeri ini. Apabila kartu indonesia pintar
jadi diterapkan,maka mekanisme pembagian serta penggunaanya perlu dikawal agar dapat
berfungsi dan tepat sasaran.
Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan berisi haluan
umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani. Strategi berisi
visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah
pencapaian dan metode evaluasinya.Tetapi karena kebudayaan juga menyangkut cara kita
berpikir, merasa dan bertindak, revolusi mental tidak bisa tidak mengarah ke transformasi
besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa dan cara-bertindak kita itu.
Kebudayaan hanya dapat di-strategi-kan, jika kita sungguh memberi perhatian pada lapis
kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi Revolusi Mental sebagai strategi kebudayaan
adalah menempatkan arti dan pengertian kebudayaan ketataran praktek hidup sehari-hari.
Jadi, untuk agenda Revolusi Mental, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai
seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan
kesadaran, melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang
terungkapdalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari. Hanya dengan itu Revolusi
Mental memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
Revolusi Mental membidik

transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam

mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian ini), cara berpikir, cara merasa dan cara
mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini
menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni,
agama,

dsb.

Begitu

rupa,

sehingga

mentalitas

bangsa

(yang

terungkap

dalam

praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan


pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.

Anda mungkin juga menyukai