November 2014 )
Mengapa
seolah-olah
pemerintahan
Jokowi-JK
mengabaikan
Hakim
ada
beberapa
Saifuddin
menteri
yang
(Menteri
memiliki
Agama).
latar
belakang
tim
inti
pemenangan
Jokowi-JK?
Ada
beberapa
nama
dari
Muhammadiyah yang masuk tim inti Jokowi-JK, seperti Rizal Sukma, Abdul
Munir Mulkhan, dan Malik Fadjar. Bahkan berbeda dari Said Aqil Siradj,
ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang secara tegas
memberikan
dukungan
Muhammadiyah
Din
kepada
Syamsuddin
Prabowo-Hatta,
berusaha
bersikap
Ketua
Umum
netral
selama
kampanye.
Konon Rizal Sukma yang merupakan direktur eksekutif Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) dan ketua bidang hubungan luar
negeri pimpinan pusat Muhammadiyah sudah masuk sebagai calon
menteri luar negeri, namun namanya dicoret pada keputusan akhir.
Apakah ini karena dia dari CSIS yang dulu dikenal sebagai think tank Orde
Baru, dekat dengan kalangan Kristen, dan dekat dengan konglomerat?
Jawabannya tentu ada di Jokowi dan orang-orang yang terlibat dalam
keputusan akhir.
Dugaan lain tentang absennya Muhammadiyah di kabinet Jokowi adalah
karena Partai Amanat Nasional (PAN) yang dulu kelahirannya dibidani oleh
Muhammadiyah memilih berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung
Prabowo-Hatta sebagai calon presiden dan wakil presiden. Dan dalam
beberapa survei, warga Muhammadiyah lebih banyak yang mendukung
Prabowo-Hatta
dari
pada
Jokowi-JK.
Ini
barangkali
dugaan
terkuat
PAN
berdampak
pada
Muhammadiyah.
Namun
demikian,
(2014)
dalam
artikelnya
yang
berjudul
snapshot
of
dari
propinsi
itu.
Belum lagi jumlah sekolah, rumah sakit pusat pelayanan sosial yang
enggan
mengidentifikasi
diri
sebagai
bagian
dari
komitmen untuk meningkatkan taraf kesejahateraan rakyat Indonesia mulai dari Sabang
sampai Merauke. Jangan hanya terfokus di satu pulau saja. Mesti terjadi pemerataan yang
lebih kongkrit, bukan sekedar wacana maupun kabar angin sorga, sehingga goncangangoncangan politik bisa diminimalisir. Bibit-bibit konflik pun akan bisa dihindari.
Satu hal yang sempat mengganjal di hati saya adalah tentang apa yang disebut sebagai
moralitas beberapa anggota kabinet. Saya tidak tahu persis apakah ini berkaitan dengan
moral atau bukan, sebab tentunya akan terjadi perbedaan persepsi terhadapnya. Ada nama
menteri dikabarkan adalah orang yang antisosial, karena selama lima tahun tinggal dalam
satu kompleks di rumahnya yang begitu mewah, tak ada satu tetangganya yang
mengenalnya. Memang ini adalah fenomena yang terjadi di daerah perkotaan, tapi untuk
kapasitas seorang menteri, saya pikir hal ini tidak baik. Bahwa ada pejabat yang antisosial,
bukan hal baru. Jangankan pejabat negara, mungkin saja diantara kader Muhammadiyah, ada
yang masuk kategori antisosial, tidak pernah bergaul dengan masyarakat sekitarnya karena
mungkin sibuk mengurus organisasi. Lalu, sempat pula terdengar kabar seorang anggota
kabinet yang pernah disebut melakukan plagiat. Ada pula menteri yang dikabarkan merokok
di tempat umum, bahkan di dalam kompleks istana negara, sehingga ditegur oleh pasukan
Paspampres. Jika ketiga contoh di atas adalah benar, maka saya sangat menyayangkannya.
Bagi sebagian orang, sikap kehidupan yang antisosial, kasus plagiat, merokok di
depan publik, mungkin adalah hal yang biasa. Itu mungkin pula dikaitkan dengan masalah
pribadi, masalah hak asasi pribadi, cara pandang yang berbeda, dan seterusnya. Boleh saja
berlaku perkara seperti itu, sepanjang itu adalah untuk kepentingan pribadi sendiri, dalam
rumah sendiri, atau minimal tidak diketahui oleh publik. Jika sudah menjadi pengetahuan
publik, maka itu menjadi hal yang sangat tidak pantas, bertolak belakang dengan budaya
ketimuran kita. Sebab menteri adalah pejabat publik, dia akan menjadi contoh bagi
masyarakat, maka tidak tertutup kemungkinan perkara tersebut sebagai media pembenaran
kepada rakyat Indonesia, yang kekuatan aqidahnya belum sempurna, untuk melakukan hal
yang sama. Kalaulah ini terjadi, dimana lagi letak moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan kita
sebagai Bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila?