Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

STRUMA

PEMBIMBING : dr. Benno Syahbana, Sp.B

DISUSUN OLEH :
ARISTA STHAVIRA
030.08.042

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 3 SEPTEMBER 10 NOVEMBER 2012

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................1
BAB I
Pendahuluan.............................................................................................................2
BAB II Anatomi dan Fisiologi Tiroid...........................................................................3
BAB III Pembahasan.................................................................................................7
3.1 Struma Difusa Toksik..............................................................................9
3.2 Struma Nodosa Toksik.......................................................................... 11
3.3 Struma Difusa Nontoksik........................................................................12
3.4 Struma Nodosa Nontoksik..................................................................... 14
3.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma..................................18
BAB IV Kesimpulan...................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh


penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini
ada yang menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang
tidak mempengaruhi fungsi. Struma merupakan suatu penyakit yang sering
dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,
struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis
secara tepat.
Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah
pegunungan lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering
pada wanita dibanding pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000
wanita, sedangkan pria 1-5 dari 1.000 pria.

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali


tentang anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan
diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat
berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan.
2.1 Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra
dan isthmus yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat
ditemukan bagian keempat yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas
isthmus agak ke kiri dari garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan
embrional tiroid yang masih tertinggal.
Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 30 gram dan terletak
antara tiroidea dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus
oleh suatu lapisan yang disebut true capsule.

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :


.

1) A. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa


2) A. Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia
3) A. Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta

Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak
di dorsal tiroid sebelum masuk ke laring.

2.2 Fisiologi Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan
hormon Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah
sebagian besar T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin
Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian kecil T3
dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam mengatur sekresi TSH.
Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone ( TSH ) yang dihasilkan
lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh thyrotropinereleasing hormone ( TRH ). Kelenjar thyroid juga mengeluarkan calcitonin

dari

parafolicular cell, yang dapat menurunkan kalsium serum berpengaruh pada tulang.
Fungsi hormon tiroid antara lain :
1) meningkatkan kecepatan metabolisme
2) efek kardiogenik
3) simpatogenik
4) pertumbuhan dan sistem saraf

BAB III
PEMBAHASAN

Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan), Menurut American society


for Study of Goiter membagi :
a.
b.
c.
d.

Struma Toxic Diffusa


Struma Toxic Nodusa
Stuma Non Toxic Diffusa
Struma Non Toxic Nodusa

Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek


fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi.
Struma dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang disertai gejala klinis hipertiroid
pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi
menjadi
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh
lobus, seperti yang ditemukan pada Graves disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya
mengenai salah satu lobus, seperti yang ditemukan pada
Plummers disease.
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak disertai gejala klinis
hipertiroid pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat
dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :


1) Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami
kompensasi dengan cara memperbesar dan memperbanyak
jumlah selnya. Demikian juga dengan kelenjar tiroid pada saat
pertumnuhan akan dipacu untuk bekerja memproduksi hormon
tiroksin sehingga lama kelamaan akan membesar, misalnya
saat pubertas dan kehamilan.
2) Inflamasi atau Infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis
akut, tiroiditis subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis
(Hashimoto)
3) Neoplasma
Jinak dan ganas
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar
hormon tiroid di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon
tiroid dalam kadar berlebih atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar
kurang dari normal atau biasa disebut hipotiroid. Gejala yang timbul pada
hipertiroid adalah :

Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan

Tidak tahan panas dan hiperhidrosis

Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah


sehingga menghasilkan tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler)
dan dalam jangka panjang dapat menjadi fibrilasi atrium

Tremor

Diare
8

Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria

Exophtalmus

Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :

Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah

Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik

Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang


lemah

Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak


mata dan tungkai

3.1 Struma Difusa Toksik


3.1.1 Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease.
Penyakit ini juga biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran
kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti berkeringat berlebihan,
tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas, penurunan berat badan,
ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan
polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan adanya
pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata
berupa exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit
Graves tidak diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi
yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap
peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan
absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
Gambar : penderita penyakit Graves

3.1.2 Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
kelainan system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut
sebagai Thyroid Receptor Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di selsel tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham, sehingga TSH tidak dapat
menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam tubuh menjadi
meningkat.
3.1.3 Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis
terlihat

jelas.

Peningkatan

metabolisme

menyebabkan

peningkatan

kebutuhan kalori, dan seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi


kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam
bentuk peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah
jantung/ cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan
istirahat. Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga
menjadi pulsus celer; penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi.
Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom dapat mengakibatkan
kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi
ventrikel.

10

Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga


sering timbul polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor,
penderita sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami
ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang
tidak beralasan yang sangat menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan
takipnea yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot
bagian proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara
tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya
hipertiroidi tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau
metrorhagia. Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan
antibodi terhadap reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam
rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik
sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi
eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat keratitis.
Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.

11

Gambar : Skema patogenesis penyakit Graves

3.1.4 Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan
tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil
( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan antitiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi.
Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar.
Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.2 Struma Nodosa Toksik


3.2.1 Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah
satu lobus yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler
terjadi pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila
tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali
dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka disebut juga Plummers
disease.
3.2.2 Patofisiologi
12

Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada


kelenjar tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika
tidak segera diobati, dalam 15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi toksik
antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi otonom sendiri
(berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar,
pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.
3.2.3 Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease
dengan Plummers disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala
hipertiroid. Yang membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada
saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada
salah satu lobus.

3.2.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama
dengan Graves yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau
karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka
panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan
terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan
medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik
biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang
dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.3 Struma Difusa Nontoksik


13

3.3.1 Definisi
Struma endemik Struma endemik adalah penyakit yang ditandai
dengan pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan
diperkirakan berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi
Endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak
sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa
penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet.
Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegnungan, seperti di
himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan
pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik
3.3.2 Patofisiologi
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan
oleh kelainan sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen
penyebab

goiter

seperti intake kalsium

berlebihan

maupun

sayuran

familiBrassica). Kurangnya iodin menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang


dapat disintesis. Hal ini akan memicu peningkatan pelepasan TSH (thyroidstimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek kompensatoriknya. Efek
tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari sel folikuler
tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran
ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik
tersebut kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa
kasus, seperti defisiensi iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat
mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter
hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti level dan durasi defisiensi
hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah
pembesaran yang tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa
ditemukan dengan sifat non-toksik (fungsi tiroid normal), oleh karena itu
bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga disebut sebagai goiter koloid

14

karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya dipenuhi oleh koloid.
Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di
daerah teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes
atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat
sintesis hormon tiroid atau gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang
turun secara herediter.
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan
involusi koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus
dan simetris, walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150
gram). Folikel-folikelnya dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan
berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di keseluruhan kelenjar. Apabila
setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan tubuh akan hormon
tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk folikel yang
besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan
terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat
bahwa folikel dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.
3.3.3 Gejala Klinis

Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran


kelenjar tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid,
namun sebagian lagi mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih
sering terjadi pada anak-anak dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya,
termasuk defek pada transfer yodium.
3.3.4 Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan
struma dan mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan
pemberian SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan
dilanjutkan sampai tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu. Bila 6

15

bulan sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka pengobatan


medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.

3.4 Struma Nodosa Nontoksik


3.4.1 Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang
secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda
hypertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan adanya suatu proses,
baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran asimetris
dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh,
maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik.
Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tandatanda keganasan yang mungkin ada.
3.4.2 Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis
terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter
sporadis terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik
beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan
jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon
tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
3.4.3 Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis
SNNT adalah tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan
kadar hormon tiroid, dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar
tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda
dan

berkembang

menjadi

multinodular

pada

saat

dewasa.

Karena

pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala


kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa
16

dapat

hidup

dengan

strumanya

tanpa

keluhan.

Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena


menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea
bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian
mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher.
Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga
terasa

berat

karena

terfiksasi

pada

trakea.

3.4.4 Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT.
Macam-macam teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar
disisakan seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh
isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus
kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior
dilakukan untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N.
Rekurens Laryngeus

17

3.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma


3.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa
berupa benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala
hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di
leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat
progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan
bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya
gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan
tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada
kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang
dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid,
harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di
leher.
3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang
paling pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris
atau tidak, timbul tanda-tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak
saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan
tersebut

benar

adalah

kelenjar

tiroid

atau

kelenjar

getah

bening.

Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta untuk menelan. Jika benar
pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan,
sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan
pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus
dideskripsikan :

Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus

Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang

Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)

18

Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras

Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi

Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus


sternokleidomastoidea

Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis
penyakit tiroid terbagi atas :

Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan


untuk mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering
menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA
dalam serum atau plasma darah.

19

Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan


tiroid. Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid yang
ditemukan pada serum penderita dengan penyakit tiroid
autoimun.

Seperti

antibodi

tiroglobulin

dan

thyroid

stimulating hormone antibody

Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea

atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya


secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher
posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah

nodul, membedakan antara lesi kistik maupun padat,


mendeteksi adanya jaringan kanker yang tidak menangkap
iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid.

Gbr. USG Tiroid Normal (Lobus Kanan dan Ishtmus)


L = lobus tiroid kecil pada pasien yang mengkonsumsi L-thyroxine ; I = ishtmus ; T =

20

tracheal ring ; C = arteri carotis ; J = vena jugularis ; S = sternocleidomastoid


muscle ; M = strap muscle

Gbr. USG pembesaran kelenjar tiroid lobus kiri


L = lobus yang membesar ; I = isthmus yang melebar ; T = trakea ; C = arteri carotis ;
J = vena jugularis ; S = sternocleidomastoid muscle ; M = strap muscle ; E =
esofagus

Gbr. Gambaran hyperechoic pada nodul

21

Gbr. Nodul Tiroid

Gbr. (a) USG Struma Multinodular (b) Color Doppler Struma Multinodular

22

Gbr. Struma Diffusa Toksik pada Graves Disease

Gbr. Thyroid Inferno pada Graves Disease

23

Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari

I 131 yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat


ditentukan teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama
ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar).
Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning
tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila
uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan dengan
daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah
dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua
adalah warm nodule bila uptakenya

sama dengan

sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan


bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake
lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih dan jarang
pada neoplasma.

Gbr. Gambaran
99mTechnetium
pertechnetate (Tc-99m) dari
kelenjar tiroid pada pasien
wanita usia 48 tahun dengan
struma multinodular.
Multiple cold nodule (panah
tebal) ; cold nodule (panah
tipis) pada kedua kelenjar
tiroid (kiri > kanan)

24

FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%.

Hal ini perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi


definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
3.5.4 Tindakan Pembedahan
Indikasi operasi pada struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi
medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan
keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma :
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik
lain yang belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga
sulit digerakkan yang biasanya karena karsinoma.
Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea
ataupun laring dapat sekaligus dilakukanreseksi trakea atau
laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher
yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan
apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila
nodul tersebut suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus
tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan
tidakan biopsi insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis.
25

Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau


kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna yang operable atau
suspek benigna dapat dilakukan tindakan isthmolobektomi atau
lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi tersebut jinak
maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan terlebih
dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid :
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto
laring terjadi kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara
penderita menjadi lenih lemah dan sukar mengontrol
suara nada tinggi, karena terjadi pemendekan pita
suara

oleh

karena

relaksasi

M.

Krikotiroid.

Kemungkinan nervus terligasi saat operasi

26

BAB IV
KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari.


Sangat penting untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
dan cermat untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang
disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga
dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.
Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat
untuk menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan
menegakkan diagnosis pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang
tepat bagi struma yang dialami oleh pasie. Apakah memerlukan tindakan
pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam jangka waktu tertentu.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.
2. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme : Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit
FKUI, Jakarta, 1996 : 757-778.
3. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi
Keempat, Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
4. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
5. Referensi foto :
a. http://www.ultrasound-images.com/thyroid.htm
b. http://www.ijem.in/article.asp?issn=22308210;year=2012;volume=16;issue=3;spage=371;epage=376;aulas
t=Chaudhary
c. http://healthsciencedegree.info/benign-thyroid-nodule-ultrasound/
6. http://www.globalrph.com/labs_t.htm#Thyroid_Function_Tests

28

Anda mungkin juga menyukai