Anda di halaman 1dari 4

Mediator radang prostaglandin yang dibentuk dari asam arakidonat melibatkan

dua enzim, yaitu siklooksigenase I dan II (cox 1 dan cox II). Ada obat atau
senyawa tertentu yang mempengaruhi kinerja cox 1 dan cox II sehingga dapat
digunakan untuk mengurangi peradangan dan rasa sakit.
Alur siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan;
alur lipoksigenase yang membebaskan leukotrien dan berbagai substansi seperti 5HPETE, 5-HETE dan sebagainya. Kerja utama kebanyakan nonsteroidal
antiinflammatory drugs (NSAID) adalah sebagai penghambat sintesis
prostaglandin, sedangkan kerja utama obat antiradang glukokortikoid
menghambat pembebasan asam arakidonat.
Mediator eikosanoid berasal dari dua famili berbeda, dari alur siklooksigenase
dihasilkan prostaglandin dan dari alur lipoksigenase dihasilkan leukotrien,
termasuk semua senyawa yang masih berhubungan dengan keduanya. Sebagai
prazat adalah asam arakidonat. Prostaglandin (PG) sebenarnya bukan sebagai
mediator radang, lebih tepat dikatakan sebagai modulator dari reaksi radang.
Sebagai penyebab radang, PG bekerja lemah, berpotensi kuat setelah
berkombinasi dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal,
autakoid seperti histamin, serotonin, PG lain dan leukotrien. Prostaglandin paling
sensibel pada reseptor rasa sakit di daerah perifer. Prostaglandin merupakan
vasodilator potensial, dilatasi terjadi pada arteriol, prekapiler, pembuluh sfingter
dan postkapiler venula. Walaupun PG merupakan vasodilator potensial tetapi
bukan sebagai vasodilator universal (Hirschelmann, 1991; Campbell, 1991).

Obat antiradang bukan steroid telah digunakan dalam pengobatan sejak lebih dari
satu abad yang lalu. Penemuan mekanisme kerja golongan obat ini, yaitu
penghambatan enzim siklooksigenase yang terdapat dalam dua isoform siklooksigenase-1 dan -2, telah mempercepat upaya pengembangan obat ini
terutama penghambat selektif enzim siklooksigenase-2.
Siklooksigenase-1 dan -2
Awal tahun 90-an ditemukan bahwa enzim siklooksigenase terdapat dalam dua
bentuk (isoform), yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX2). Kedua isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi
regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalisis
pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput
lendir traktus gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah. Bertolak
belakang dengan COX-1, COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara
lain bila ada stimuli radang, mitogenesis atau onkogenesis. Setelah stimulasi
tersebut lalu terbentuk prostanoid yang merupakan mediator nyeri dan radang.
Penemuan ini mengarah kepada hipotesis, bahwa COX-1 mengkatalisis
pembentukan prostaglandin baik yang bertanggung jawab menjalankan fungsifungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalisis pembentukan prostaglandin jahat yang menyebabkan radang. Sehubungan dengan hipotesis tersebut
maka toksisitas obat antiradang bukan steroid klasik pada saluran gastrointestinal
disebabkan oleh hambatan tidak selektif obat tersebut terhadap aktifitas COX-1
dan COX-2.
Namun demikian, pada penelitian lanjutan ditemukan bahwa COX-2 ternyata
tidak hanya indusibel melainkan juga konstitutif dan terdapat pada berbagai
jaringan. Pada kondisi fisiologis ekspresi konstitutif COX-2 ditemukan pada
ginjal, pembuluh darah, paru-paru, tulang, pankreas, sumsum tulang belakang dan
selaput lendir lambung. Nampaknya COX-2 bukan hanya pada kondisi
patofisiologis melainkan juga pada kondisi fisiologis normal memiliki peranan
penting. Akhirnya COX-1 diformulasikan sebagai enzim konstitutif yang
mempertahankan fungsi-fungsi homeostatis, sedangkan COX-2 sebagai enzim
regulator yang memiliki fungsi fisiologis maupun patofisiologis. Karakteristika
enzim siklooksigenase-1 dan 2 dapat dilihat pada tabel berikut:

Inhibitor selektif siklooksigenase-2


Strategi pertama untuk mengurangi toksisitas obat antiradang bukan steroid klasik
adalah penghambatan selektif COX-2. Karena semua obat antiradang bukan
steroid klasik merupakan inhibitor tidak selektif COX-1 dan COX-2, maka
diusahakan membuat senyawa yang dapat menghambat aktifitas COX-2 secara
selektif.

Secara struktural terdapat beberapa golongan inhibitor selektif COX-2, yaitu: (1)
turunan karbosiklis dan Heterosiklis yang terikat visinal dengan moieties aril, (2)
turunan diaril- atau aril/heteroaril-eter dan tioeter, (3) turunan cis-stilben, serta
(4) keton diaril dan aril/heteroaril. Sampai tahun 2000 telah berhasil disintesis
sekitar 500 senyawa inhibitor selektif COX-2. Dua dari senyawa tersebut,
celecoxib dan rofecoxib yang merupakan turunan karbosiklis dan Heterosiklis,
telah lolos uji klinik dan telah dipasarkan. Struktur molekul celexoib dan
rofecoxib dapat dilihat pada gambar berikut:

Pada penanganan pasien-pasien osteo- dan rheumatoidarthritis, inhibitor selektif


COX-2 menunjukkan kerja antiradang yang setara dengan obat antiradang bukan
steroid klasik tetapi dengan toksisitas lebih ringan pada saluran gastrointestinal.
Namun demikian, dilaporkan pula adanya kecendrungan peningkatan tekanan
darah sebagai efek samping inhibitor selektif COX-2. Dari fakta tersebut timbul
pertanyaan, apakah inhibitor selektif COX-2 benar-benar toksisitasnya lebih
ringan sehingga lebih aman digunakan atau bahkan memiliki efek merugikan lain
yang berbeda dari efek merugikan yang disebabkan oleh obat anti radang bukan
steroid klasik. Permasalahan tersebut mungkin baru bisa terjawab tuntas di masa
mendatang melalui evaluasi penggunaan dan monitoring efek samping obat.
Mekanisme aksi parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik. Ternyata, selain
ada enzim siklooksigenase COX-1 dan COX-2 yang mengkatalisis pembentukan
prostaglandin di jaringan, ada pula COX-3, yang lebih banyak terdapat di otak
dan sistem saraf pusat. Nah, parasetamol ini ternyata lebih spesifik menghambat
COX-3 yang ada di otak tadi, sehingga menghambat produksi prostaglandin yang
akan mengacau termostat di hipotalamus tadi. Kerja ini menghasilkan efek
menurunkan demam. Selain itu, karena prostaglandin juga terlibat dalam
menurunkan ambang rasa nyeri, maka penghambatan prostaglandin dapat
memberikan efek anti nyeri atau analgesik. Karena spesifik pada COX-3, tidak
menghambat COX-2, maka efeknya sebagai anti radang di jaringan jadi kecil. Di
sisi lain, karena juga tidak menghambat COX-1, maka efeknya terhadap
gangguan lambung juga kecil karena tidak mempengaruhi produksi prostaglandin
jaringan yang dibutuhkan untuk melindungi mukosa lambung. Juga tidak
memiliki efek mengencerkan darah. Jadilah, parasetamol relatif aman terhadap
efek samping lambung, perdarahan, asma, dan juga syndrom Reye, dan
merupakan pilihan yang aman dan tepat untuk obat turun panas dan analgesik
pada anak-anak.

Anda mungkin juga menyukai