PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Syok merupakan suatu keadaan kegawat daruratan yang ditandai dengan kegagalan
perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Dalam keadaan
berat terjadi kerusakan sel yang tak dapat dipulihkan kembali (syok irreversibel), oleh karena itu
penting untuk mengenali keadaan-keadaan tertentu yang dapat mengakibatkan syok, gejala dini
yang berguna untuk penegakan diagnosis yang cepat dan tepat untuk selanjutnya dilakukan
suatu penatalaksanaan yang sesuai.
Salah satu bentuk syok yang amat berbahaya dan mengancam jiwa penderitanya adalah
syok kardiogenik. Pada syok kardiogenik ini terjadi suatu keadaan yang diakibatkan oleh karena
tidak cukupnya curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital tubuh akibat
disfungsi otot jantung. Hal ini merupakan suatu keadaan gawat yang membutuhkan
penanganan yang cepat dan tepat, bahkan dengan penanganan yang agresif pun angka
kematiannya tetap tinggi yaitu antara 80-90%. Penanganan yang cepat dan tepat pada
penderita
syok
kardiogenik
ini
mengambil
peranan
penting
di
dalam
gagal
menurun.
jantung,
tingkat
kematian
dari
syok
kardiogenik
diperkirakan
Keseluruhan insidensi syok kardiogenik lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan
wanita karena tingginya prevalensi penyakit arteri koroner pada laki-laki. Namun, persentase
pasien wanita dengan IM yang berkembang menjadi syok kardiogenik lebih tinggi dibandingkan
dengan pria.
Tujuan khusus
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi
Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah
jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Syok kardiogenik dapat
didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit
jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak,
atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung. Masalah yang
ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama pengobatan
adalah meningkatkan curah jantung.
2.2 Definisi
Istilah medis "syok" mengacu pada keadaan di mana suplai darah dan oksigen tidak
mencukupi dalam mencapai organ-organ penting dalam tubuh, seperti otak dan ginjal. Syok
dapat menyebabkan tekanan darah sangat rendah dan dapat mengancam nyawa. Syok
memiliki beberapa penyebab. Syok kardiogenik hanyalah salah satu jenis syok .
Syok Cardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang
diakibatkan oleh gagal jantung rendah preload. Tidak ada definisi yang jelas dari parameter
hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah
(sistolik kurang dari 90 mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg)
dan atau penurunan pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kg/jam) dengan laju nadi lebih dari 60
kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas antara
sindrom curah jantung rendah dengan syok kerdiogenik. Syok kardiogenik merupakan stadium
akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami
kerusakan yang luas.
Otot jantung kehilangan kekuatan kontraktilitasnya,menimbulkan penurunan curah
jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung,otak, ginjal). Derajat
syok sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun syok kardiogenik biasanya sering
terjadi sebagai komplikasi MI, namun bisa juga terajdi pada temponade jantung, emboli paru,
kardiomiopati dan disritmia. Syok kardiogenik adalah dyok yang disebabkan karena fungsi
jantung yang tidak adekua, seperti pada infark miokard atau obstruksi mekanik jantung;
manifestasinya meliputi hipovolemia, hipotensi, kulit dingin, nadi yang lemah, kekacauan
mental, dan kegelisahan.
2.3 Etiologi
Penyebab spesifik syok kardiogenik adalah sebagai berikut:
1.
- Iskemia / MI
- Global hypoxemia
- Penyakit katup
- Myocardial depressant drugs (misalnya, beta-blockers, calcium channel blockers,
antiaritmia)
- Myocardial contusion
- Pernafasan asidosis
- Kekacauan metabolik (misalnya asidosis, hypophosphatemia, hypocalcemia)
b. Disfungsi diastolik / peningkatan kekakuan diastolik miokard
- Iskemia
- Hipertrofi ventrikular
- Restriktif kardiomiopati
- Konsekuensi hypovolemic yang berkepanjangan atau syok septik
- Ketergantungan ventrikular (Ventricular interdependence)
- Kompresi eksternal oleh tamponade perikardial
c. Afterload yang sangat meningkat
- Stenosis aorta
- Hipertrofi kardiomiopati
- Obstruksi saluran keluar aorta yang dinamis
- Coarctatio aorta
- Hipertensi maligna
d. Katup atau kelainan struktural
- Mitral stenosis
- Endokarditis
- Mitral aortic regurgitation
- Obstruksi karena trombus atrium atau myxoma
- Disfungsi atau rupture otot papiler
- Ruptur septum atau dinding bebas aritmia
e. Penurunan kontraktilitas
- Infark RV
- Iskemia
- Hipoksia
- Asidosis
2.
2.4 Klasifikasi
Menurut Scheidt dan kawan-kawan (1973) kriteria syok kardiogenik dalam
penelitian mereka adalah :
1. Tekanan sistolik arteri <80 mmHg (ditentukan dengan pengukuran intra arteri).
2. Produksi urin < 20 ml/hari atau gangguan status mental.
3. Tekanan pengisian ventrikel kiri > 12 mmHg.
4. Tekanan vena sentral lebih dari 10 mmH2O, dianggap menyingkirkan
kemungkinan hipovolemia.
Keadaan ini disertai dengan manifestasi peningkatan katekolamin seperti pada renjatan
lain, yaitu: gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardia, dan lain- lain.
Tiga komponen utama syok kardiogenik telah termasuk dalam definisi ini, yaitu adanya:
gangguan fungsi ventrikel, bukti kegagalan organ akibat berkurangnya perfusi jaringan,
tidak adanya hipovolemi atau sebab-sebab lainnya.
2.5 Patofisiologi
Syok kardiogenik dicirikan sebagai lingkaran setan (vicious circle) dimana terjadi
penurunan kontraktilitas miokardium (depression of myocardial contractility), biasanya karena
iskemia, menyebabkan pengurangan cardiac output dan tekanan arteri (arterial pressure),
dimana menghasilkan hipoperfusi miokardium dan iskemia lanjutan serta penurunan cardiac
output.
Disfungsi miokardial sistolik mengurangi stroke volume; dan bersama dengan disfungsi
diastolik, pemicu peninggian tekanan end-diastolic ventrikel kiri dan pulmonary capillary wedge
pressure/PCWP (>18mmHg) seperti pada kongesti paru. Sindrom respon peradangan sistemik
[systemic inflammatory response syndrome (SIRS)] dapat menyertai infark yang luas dan syok.
Sitokin peradangan (inflammatory cytokines), inducible nitric oxide synthase (INOS), dan
kelebihan nitric oxide dan peroxynitrite dapat berkontribusi terhadap asal-usul (genesis) syok
kardiogenik sebagaimana yang mereka lakukan terhadap bentuk lain syok.
Asidosis laktat dari perfusi jaringan yang buruk dan hipoksemia dari edem paru
(pulmonary edema) dapat sebagai hasil dari kegagalan pompa dan kemudian berkontribusi
terhadap lingkaran setan ini dengan memburuknya iskemia miokardium dan hipotensi. Asidosis
berat (pH < 7,25) mengurangi daya kemanjuran/efektivitas (efficacy) yang secara endogen dan
eksogen telah diberi katekolamin (catecholamines).
Refractory sustained ventricular atau takiaritmia atrium (atrial tachyarrhythmias) dapat
menyebabkan atau memperburuk (exacerbate) syok kardiogenik. Infark yang meluas melalui
ketebalan miokardium sepenuhnya dan mengakibatkan ruptur septum interventricular, otot
papillary, atau ventricular free wall yang dapat menyebabkan terjadinya syok.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa iskemi miokardial menyebabkan disfungsi
pompa yang berkembang menjadi kegagalan pompa, diikuti oleh aktivasi simpatetik
kompensatorik, yang dapat meningkatkan kebutuhan miokardial dan memperburuk iskemi yang
sedang terjadi (ongoing ischemia).
2.6 Manifestasi Klinis
1.
2.
Hipoperfusi jaringan.
3.
4.
5.
6.
7.
Nadi teraba lemah dan cepat, berkisar antara 90110 kali/menit, atau bradikardi berat
(severe bradycardia) karena terdapat high-grade heart block.
8.
9.
Pemeriksaan Penunjang
1. Electrocardiography (elektrokardiografi)
Elevasi segmen ST dapat terobservasi. Right-sided leads dapat menunjukkan
suatu pola infark ventrikel kanan, yang mengindikasikan terapi yang berbeda dari terapi
a. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah tetap diperlukan untuk evaluasi
secara keseluruhan meskipun tidak berguna di dalam membuat diagnosis awal (initial
diagnosis).
b. Pemeriksaan enzim jantung.
c. CBC and serum electrolyte panel.
d. Kadar kreatinin dan blood urea nitrogen (BUN).
e. Gas darah arteri.
f. Studi koagulasi
Penemuan laboratorium (Laboratory findings) menurut Fauci AS, et.al. (2008):
a. Hitung leukosit secara khas meningkat disertai dengan left shift.
b. Tidak adanya prior renal insufficiency, fungsi ginjal pada mulanya normal, namun
blood urea
progressively).
c.
Hepatic
transaminases
jelas
meningkat
karena
hipoperfusi
hati
(liver
hypoperfusion).
d. Perfusi jaringan yang buruk (poor tissue perfusion) dapat menyebabkan anion gap
acidosis dan peningkatan (elevation) kadar asam laktat (lactic acid level).
e. Gas darah arteri (arterial blood gases) biasanya menunjukkan hypoxemia dan
metabolic acidosis, dimana dapat dikompensasi oleh respiratory alkalosis.
f. Petanda jantung (cardiac markers), creatine phosphokinase dan MB fraction-nya,
jelas meningkat, begitu juga troponins I dan T.
2.8 Penatalaksanaan
1. Pasien diletakkan dalam posisi berbaring mendatar
2. Pastikan jalan nafas tetap adekuat dan yakinkan ventilasi yang adekuat, bila
tidak sadar sebaiknya diakukan intubasi
3. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang
terjadi.
4. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PaO2 70-120 mmHg.
a. PaO2 (tekanan yang ditimbulkan oleh O2 yang terlarut dalam darah)
minimal 60 mmHg
b. Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FIO2 (konsentrasi oksigen inspirasi) maksimal
dengan masker muka atau PaCO2 > 55 mmHg (tekanan yang ditimbulkan oleh CO2
yang terlarut dalam darah)
10
c. Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan oksigenasi yang
adekuat.
5.
6.
7.
Pasang Folley catheter, ukur urine output 24 jam. Pertahankan produksi urine > 0,5
ml/kgBB/jam.
8.
9.
11
PAEDP tidak berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP
tetap atau tidak meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka diberikan cairan
tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.
b. Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg atau
tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah tetap stabil
atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah,
maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai tekanan
darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP atau PAEDP (atau CVP),
tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat
sampai 15-18 mmHg (atau CVP meningkat sampai 15 cmH2O).
c. Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18 mmHg
(atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam waktu 10
menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP
(atau CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru.
d. Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai awal
CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan intravena, dan
pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator
e. Jika PCWP atau PAEDP menunjukan nilai yang rendah (< 5 mmHg), atau jika nilai CVP
< 5cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun didapatkan edema paru akut.
f. Jika pasien menunjukan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP yang
rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan
peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan klinis, maka infus cairan harus
dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.
13.
Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume intravaskular yang
adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung sebelum pemberian obatobat inotropik atau vasopresor dimulai. Tamponade jantung akibat infark miokard
memerlukan tindakan volume expansion untuk mempertahankan preload yang adekuat
dan dilakukan perikardiosentesis segera.
12
14.
Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan pasien dapat
berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan perubahan dalam regimen
terapi.
a. Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg, dan indeks jantung <
2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan adanya gagal jantung kiri dengan tekanan
arteri cukup tinggi, sehingga pengurangan afterload dapat dilakukan sebagai terapi
pertama.
- Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan nitroprusid. Pada
waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan monitor terhadap tekanan darah dan
tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemberian nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/menit (dosis awal jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian dosis ditingkatkan 5
mg/menit setiap 10 menit sampai tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah
jantung meningkat dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah
menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak mencukupi, maka
ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai
maksimal 15 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin
diganti dengan dopamin (mikro drip) sesuai dosis efektif 2-10 ug/kg BB/menit atau
Isoproterenol drip jika disertai bradikardia.
- Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan syok
kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih berlangsung dan
didapatkan adanya kongesti paru yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5
mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/ menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok
dan pump failure, maka nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah
menurun dengan tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan
ditambahkan dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat
menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin.
- Selama periode ini, pemasangan intra aortic ballon pump (IABP) counterpulsation harus
dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan ini aliran darah koroner dapat
ditingkatkan, dan secara bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi.
13
- Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih tetap, maka
pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan.
b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks jantung <
2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda klasik adanya syok akibat hipotensi
pada pasien infark miokard akut, dimana tim ballon perlu digerakan dan sarana untuk
kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini
- Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan
pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah sistolik mencapai 80-90
mmHg, kemudian diusahakan untuk mengganti dengan dopamin.
- Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan untuk terapi awal
dengan dosis 5-15 mg/kg BB/menit, dimana efek utamanya merangsang adrenergik
perifer, lebih baik digunakan norepinefrin.
- Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang terbaik adalah
dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama dopamin untuk mengurangi kebutuhan
dosis dopamin. Dobutamin tidak dapat digunakan secara tunggal pada pasien dengan
hipotensi berat.
c. Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan dan
ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100
mmHg, LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap
kekurangan volume cairan dan sering menunjukan respon dengan terapi cairan.
- Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan dengan pemberian
cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan pengisian ventrikel kiri > 20
mmHg, atau tekanan atrium kana > 20 mmHg.
- Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada
keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin.
- Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan,
maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.
14
15.
Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan mengurangi jumlah miokard
yang mengalami nekrosis, sehingga insiden sindrom syok kardiogenik akan berkurang.
Penelitian GUSTO I menunjukan angka mortalitas untuk 6 minggu follow up 58% pada
pasien syok kardiogenik yang mendapat terapi trombolisis dan aspirin serta heparin. Pada
GUSTO I TPA lebih baik dari streptokinase bila tidak ada syok dan insiden syok juga lebih
kecil, tetapi pada syok mortalitas pada streptokinase lebih rendah walaupun
secara statistik tidak bermakna.
16.
Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi medis, saat ini
dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior daripada terapi suportif semata-mata
maupun terapi trombolitik. Keberhasilan percutaneus transluminal coronary angioplasty
(PTCA) terutama bila dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya gejala syok
kardiogenik, pada pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-vessel disease.
Kegagalan PTCA terutama dikaitkan dengan usia pasien yang lanjut (> 70 tahun) dan
riwayat infark sebelumnya. Data-data menunjukan PTCA pada syok kardiogenik
menurunkan angka kematian menjadi 46% atau kurang. PTCA sebaiknya dikerjakan
dengan support IABP. Semula PTCA dengan balon saja untuk membuka pembuluh darah
yang tersumbat secepatnya pada kasus-kasus infark menunjukan hasil lebih baik dari
trombolisis. Akhir-akhir ini dengan pemasangan stent pada kasus infark akut menunjukan
hasil lebih baik dari angioplasti dengan memakai balon saja, terutama untuk mencegah
penyempitan kembali. Angka mortalitas didalam rumah sakit untuk pasien infark akut yang
dilakukan angioplasti primer 2-6%, tetapi pada infark akut dengan syok kardiogenik yang
dilakukan PTCA, angka kematian di rumah sakit masih tinggi, menurut PAMI 39%, dan
GUSTO 38%.
17.
Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan syok kardiogenik
akibat infark miokard dengan terapi medis telah mendorong dilakukannya tindakan bedah
revaskularisasi dini pada pasien yang telah stabil dengan terapi farmakologis dan IABP.
Guyton menyimpulkan bahwa coronary-artery bypass surgery (CABS/CABG) merupakan
terapi pilihan pada semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard, kecuali pada
kelompok oktogenarian. CABS juga dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan
dengan tindakan angioplasti. Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya
kontraksi dari segmen yang tidak mengalami infark dengan pembuluh darah yang
stenosis. Bedah revaskularisasi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien oktogenarian,
15
pasien dengan LVEDP > 24 mmHg, skor kontraktilitas ventrikel kiri > 13, dan adanya
kerusakan pada organ sistemik yang irreversibel. Pada pasien dengan kerusakan
mekanik, misalnya robeknya otot papilaris, robeknya septum interventrikel, maka tindakan
operasi akan efektif terutama bila revaskularisasi juga dapat dilaksanakan. Kumpulan data
dari 370 pasien dari 22 studi menunjukan CABG yang dilakukan pada pasien dengan
infark jantung akut dan syok kardiogenik mempunyai mortalitas sebesar 36%. CABG perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan penyempitan di banyak pembuluh darah
(multivessel disease) dan bila PTCA tidak berhasil.
18.
Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan miokard
irreversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi jantung.
2.9 Pencegahan
Dalam keadaan tertentu, syok kardiogenik dapat dicegah dengan mengidentifikasi lebih
dini pasien berisiko dan menurunkan beban kerja jantung. Hal ini dapat dicapai dengan
memulihkan energi pasien, dengan cepat menghilangkan angina, dan pemberian oksigen
suplemen. Namun demikian, sering kali syok kardiogenik tidak dapat dicegah. Dalam keadaan
demikian, penatalaksanaan keperawatan mencakup bekerja dengan tim manajemen lain untuk
mencegah syok lebih memburuk dan untuk memulihkan fungsi jantung dan perfusi jaringan
yang adekuat.
16
Iskemia miokardial
Memperburuk iskemia
cardiac output
Disfungsi sistolik
Tekanan arteri
Stroke volume
Hipoperfusi miokardium
Disfungsi diastolik
Iskemia lanjutan
Penurunan kontraktilitas
miokardium
17
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA
SYOK KARDIOGENIK
3.1 Pengkajian
Aktifitas / istirahat
Gejala : iskemia, anemia, infeksi, emboli paru, kelebihan cairan.
Tanda : lemas, pucat, letih.
Sirkulasi
Gejala : riwayat syok kardiogenik dan sebelumnya pernah mengalami penyakit infark
miokard, angina, atau gagal jantung kongestif.
Tanda : gagal memompa, penurunan aliran vena, frekuensi jantung, frekuensi nadi, bunyi
napas, bunyi jantung, irama jantung.
Integritas Ego
Gejala : takut, stress, b/d penyakit atau kepribadian.
Tanda : berbagai manifestasi, mis takut, marah.
Eliminasi
Gejala :periksa urine, warna, bau.
Makanan / cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual muntah.
Tanda : distensi abdomen, oedem.
Hygiene
Gejala : keletihan / kelemahan selama aktifitas perawatan diri.
Tanda : perawatan menandakan perawatan profesional.
Neurosensori
Gejala : kelemahan.
Tanda : penurunan perilaku.
Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : nyeri dada, angina akut.
Tanda : tidak tenang, gelisah, perilaku melindungi.
Pernapasan
Gejala : dipsnea saat aktifitas, menggunakan alat-alat bantu.
18
Keamanan
Gejala : perubahan dalam fungsi mental, kehilangan kekuatan.
Interaksi sosial
Gejala : penurunan keikutsertaan dalam aktifitas sosial yang biasa dilakukan.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan perfusi jaringan
2. Penurunan cardiac out put berhubungan dengan kegagalan pompa jantung
3. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan kegagalan pompa miokardium
4. Kecamasan, ketakutan berhubungan dengan status syok, gejala syok dan prognosis
3.3 Perencanaan keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan perfusi jaringan
Intervensi :
-
jalan nafas
Berikan oksigen aliran tinggi juka respirasi adekuat
Jika tidak ada nadi, sipakan untuk BHD/BHL
Melakukan pemasangan infuse, ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium, berikan
larutan normal saline
Koreksi adanya deficit volume sebelumnya atau peningkatan preload (infark ventrikel
kanan) ini kontra indikasi untuk klien dengan kongestif pulmonal
Infuse bolus cairan sedikit : normal saline, RL, produk darah, koloid
Monitoring hemodinamik
Peroleh specimen AGD, serta tentukan adanya ketidak seimbangan asam-basa dan
pemberian obat :
a. penurunan preload : furosemid, nitrogliserin, morfin sulfat
b. peningkatan kontraktilitas: dopamine, hidroklorid, dobutamin hidrokolid, amrinon
19
laktat, milrinon
c. penurunan afterload : nitropusside, nitrate, ACE inhibitor (captopril)
d. peningkatan afterload : norepinefrin, epinefrin
4. Kecamasan, ketakutan berhubungan dengan status syok, gejala syok dan prognosis
-
Anjurkan untuk menanyakan atau menyatakan secara verbal rasa takut klien
20
3.4 Implementasi
- Dengan cara memberikaan obat-obatan intravena yang meningkatkan kontraktilitas dan
usaha untuk menurunkan beban awal dan akhir, serta pemasangan pompa balon intra
Gorta.
- Obat-obatan intropik positif, seperti dobutamin dan amsinol dipakai untuk meningkatkan
kontraktilitas.
- Dengan alat bantu, ventrikular asist defices (VADS).
3.5 Evaluasi
- Klien harus selalu di pantau dengan cara mengukur nadi, tekanan darah, periksa juga
bunyi jantung, bunyi nafas, irama jantung, frekuansi janutng dan pemeriksaan fisik
lainnya.
- Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan inkubasi.
- Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi
dengan pemberian morfin.
- Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan maskin.
21
BAB IV
PENUTUP
4.I Kesimpulan
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejalagejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja
kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.
4.2 Saran
4.2.1 Bagi masyarakat
Penataan kembali lingkungan, gaya hidup program sanimas dan pencegahan terhadap
penyakit menular, lebih mengutamakan perilaku hidup sehat dan mampu memberikan
penjelasan terhadap penyakit menular maupun penyakit tidak menular.
4.2.2 Bagi mahasiswa
Agar lebih mengembangkan makalah yang telah dikaji dalam pembuatan asuhan
keperawatan dan diharapkan kelangkapan datanya agar sistematika, aktual, dan valid.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for
Physicians. USA, 1993 ; 75 - 94
2. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care.
London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
3. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
4. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G
O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB.
Saunders Co. 1995 ; 441 - 499.
5. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku:
Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 1002.
6. Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro (FK UNDIP). Semarang. 2004:18.
7. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah:
Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 - September 1,
1996 ; 1 - 4.
8. Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.
9. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of
Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.
23