Anda di halaman 1dari 19

BAB II

ISI
2.1. SYOK KARDIOGENIK
2.1.1. Defenisi
Kardiogenik syok adalah keadaan menurunnya cardiac output dan terjadinya hipoksia
jaringan sebagai akibat dari tidak adekuatnya volume intravaskular. Kriteria hemodiamik
hipotensi terus menerus (tekanan darah sistolik < 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan
bekurangnya cardiac index (<2,2/menit per m2) dan meningginya tekanan kapiler paru (>15
mmHg). Sebagian besar disebabkan oleh infark miokardial akut.

Apabila lebih dari 40%

miokard ventrikel mengalami gangguan, maka akan tampak gangguan fungsi vital dan kolaps
kardiovaskular. Penyebab lainnnya termasuk kardiak tamponade, kardiak arrhytmia, atau
masalah katup kardiak .
Kardiogenik syok karakteristik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang dari
90mHg), diikuti menurunnya aliran darah keorgan vital :
1. Produksi urin kurang dari 20 ml/jam
2. Gangguan mental, gelisah, sopourus
3. Akral dingin
4. Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah koroner, meningkatnya laktat kardial.
5. Meningkatnya adrenalin, glucose, free fatty acid cortisol, rennin, angiotensin plasma
serta menurunnya kadar insulin plasma.
Pada keadaan lanjut akan diikuti hipoksemia primer ataupun sekunder, terjadi karena
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hipovolemia, dan asidosis metabolic. Hipovolemia,
komplikasi yang sering terjadi pada kardiogenik syok, disebabkan meningkatnya perspirasiredistribusi cairan dari intravaskular keinterstitiel, stres akut, ataupun penggunaan diuretika.
2.1.2. Etiologi
a.Gangguan fungsi miokard :

Infark miokard akut yang cukup jelas (>40%), infark ventrikel kanan.
Penyakit jantung arteriosklerotik.
Miokardiopati : Kardiomiopati restriktif kongestif atau kardiomiopati hipertropik.

b.Mekanis :

Regurgitasi mitral/aorta
Ruptur septum interventrikel

Aneurisma ventrikel masif

Obstruksi :

Pada aliran keluar (outflow) : stenosis atrium


Pada aliran masuk (inflow) : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus,
perikarditis/efusi perikardium.

c.Aritmia : Bradiaritmia/takiaritmia.
2.1.2. Patofisiologi

Respon neurohormonal dan reflek adanya hipoksia akan menaikkan denyut nadi,
tekanan darah, serta kontraktilitas miokard. Dengan meningkatnya denyut jantung, tekanan
darah, dan kontraktilitas miokard, akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, yang pada
kondisi kardiogenik syok perfusi miokard telah menurun, hal ini akan memperburuk keadaan.
Akibatnya, fungsi penurunan curah jantung, tekanan darah menurun, dan apabila "Cardiac
Index" kurang dari 1,8 ltr/menit/m2, maka keadaan kardiogenik syok semakin nyata.
Hipoperfusi miokard, diperburuk oleh keadaan dekompensasi, akan menyebabkan
semakin memperjelek keadaan, kerusakan miokard ditandai dengan kenaikan ensim kardial,
serta peningkatan asam laktat. Kondisi ini akan menyebabkan; konsumsi oksigen (O2)
tergantung pada transport oksigen (Supply dependent), hutang oksigen semakin besar
(oxygen debt), asidosis jaringan. Melihat kondisi tersebut, obyektif resusitasi bertujuan
menghilangan VO2 yang "supplay-dependent", "oxygen debt" dan asidosis.
Di sisi lain dengan kegagalan fungsi ventrikel, akan meningkatkan tekanan kapiler
pulmoral, selanjutnya diikuti dengan meningkatnya tekanan hidrostatis untuk tercetusnya
edema paru, disertai dengan kenaikan "Pulmonary capilary wedge pressure" (PCWP), serta

penurunan isi sekuncup yang akan menyebabkan hipotensi. Respon terhadap hipotensi adalah
vasokontriksi sistimik yang akan meninggikan SVR ("Sistimik Vaskuler Resistan") dan
meninggikan "After load". Gambar akhir hemodinamik, penurunan isi sekuncup, peninggian
SVR, LVEDP dan LVEDV.
2.1.4. Gambaran Klinik
Gambaran syok pada umumnya, seperti takikardi, oligouri, vasokontriksi perifer,
asidosis metabolik merupakan gambaran klinik pada kardiogenik syok. Arythmia akan
muncul dalam bentuk yang bervariasi yang merupakan perubahan ekstrem dari kenaikan
denyut jantung, ataupun kerusakan miokard. Dengan adanya kerusakan miokard, enzimenzim kardiak pada pemeriksaan laboratorium akan meningkat.
Sebagian besar penderita kardiogenik syok dengan edema paru disertai naiknya
PCWP, LVEDP (Left Ventrikel Diastolic Pressure).Edema paru akan mencetuskan dyspnoe
yang berat ditunjukkan dengan meningkatnya kerja nafas, sianosis, serta krepitasi. Sedang
kardiogenik syok yang tidak tertangani akan diikuti gagal multi organ, metabolik asidosis,
kesadaran yang menurun sampai koma, yang semakin mempersulit penanganannya.
2.1.5. Diagnosis
Tanda karakteristik syok kardiogenik adalah penurunan curah jantung dengan
kenaikan tekanan vena sentral yang nyata dan takikardia. Tahanan vascular sistemik
umumnya juga meningkat. Bila perangsangan vagus meningkat misalnya pada IM inferior,
dapat terjadi bradikardia, Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
1. Tensi turun : sistolis < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg dari semula,
sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
2. Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
3. Tekanan diatrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal redah
sampai meninggi.
4. Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
5. Resistensi sistemis.
6. Asidosis.
2.1.6. Penanganan
Penanganan hemodinamik kardiogenik syok meliputi mengkoreksi patofisiologi
abnormal, tanpa menyebabkan peninggian kebutuhan oksigen miokard. Oleh karena jantung
yang gagal, sangat sensitif terhadap peningkatan after load, tahanan vaskuler sistimik harus

dipertahankan pada nilai normal rendah. Hal yang sama penting adalah mempertahankan pre
load optimal. Penanganan meliputi suportip umum, stabilisasi hemodinamik, optimalisasi O2
"miokard supplay", ratio demand supplay, serta pengobatan spesifik.
A. Suportip Umum
Penanggulangan nyeri, koreksi status asam basa, gangguan elektrolit, serta
pengobatan terhadap arrythia. Pemberian O2 untuk mengoreksi hipoksemia, bila
hipoksemia menetap atau potensial untuk timbulnya syok berulang, lakukan intubasi dan
mekanikal ventilasi dengan PEEP. (Positive end expiratory pressure), dengan penggunaan
PEEP serta sedasi dalam mekanikal ventilasi harus waspada timbulnya hipotensi yang
berat.
B. Monitoring
1. Pengukuran tekanan arteri
a. Pengukuran tekanan vena dengan CVP
b. Penilaian terhadap curah jantung, perfusi kulit, produksi urin/jam, serta status
mental penderita sebagai petunjuk perfusi jaringan
2. Penilaian lain :
a. EKG dan ensim kardial
b. AGD (analisa gas darah) dan laktat plasma
c. Hb, elektrolit, ureum, creatinin
C. Penanganan terhadap gangguan hemodinamik
1. Pada PCWP kurang dari 18 mmHg.
Tindakan awal, dilakukan dengan ekspansi volume plasma, untuk menentukan
status volume plasma.
2. Pada PCWP dengan nilai lebih dari 18 mmHg.
Sebagian besar penderita dengan gambaran ini, sehingga pengobatan bertujuan
untuk menurunkan, serta tetap normotensip setelah loading cairan. Untuk
memperbaiki fungsi hemodinamik dapat dipergunakan obat dan "mechanical
circulatory assistance".
D. Perawatan
Pada dekompensasi jantung kiri tidak dengan bantal, tetapi tidak terlalu tinggi, supaya

tidak memberatkan anoksia serebral.


Bebaskan jalan napas dan berikan O2, kalau perlu dengan pipa endotrakea dan

bantuan pernapasan. Sesuaikan dengan hasil analisis gas darah.


Pasang galat pantau jantung dan tensi serta masukkan jalur arteri (arterial line) dengan
pencatatan tekanan (pressure recording) TVS, atau lebih baik memakai kateter Swan
Ganz untuk mengukur tekanan atrium kanan (TAK), tekana arteri pulmonalis (TAP),

tekanan kapiler baji paru (TBKP) dan curah jantung.


Pantau produksi urin dengan memasang kateter tetap (dauer katheter).

Obat penenang : Valium atau lainnya.

2.1.7. Pengobatan
1. Bila karena aritmia
Diberikan pengobatan aritmia yang sesuai. Untuk fibrilasi atrium cepat, takikardia
atrium paroksismal, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, diberikan terapi defibrilasi
(DC shock). Pada bradiaritmia diberikan salfas atropin, isopreterenol 1-2 mcg/menit
atau dengan pace maker.
2. Gangguan mekanis.
Pada efusi perikardial, dilakukan fungsi perikard. Pada ruptur septum interventrikular
dan aneurisma, dilakukan operasi.
3. Obstruksi aliran masuk (inflow)
Pada stenosis mitral untuk mengontrol takiaritmia, diberikan digitalis, isoptin dan
kalau perlu dioperasi. Sedangkan pada trombus atau miksoma, dicarikan posisi yang
terbaik untuk curah jantungnya. Dengan mengubah posisi dapat mengurangi obstruksi
aliran masuk oleh miksoma atau trombus, yang masih mobil di atrium kiri. Kalau
perlu dilakukan operasi.
4. Obstruksi aliran ke luar dan kardiomiopati restriktif atau kardiomiopati hipertrofik.
Memerlukan vasodilator (arterio-venul, seperti nitroprusside, capoten dan lain-lain).
Pada stenosis atrium dapat juga dipertimbangkan untuk melakukan operasi.
5. Gangguan kontraktilitas.
a. Penambahan volume (cairan).
Tanpa pemantauan, lakukan tes dengan memberikan cairan (misalnya
dekstrose 5%) dalam waktu cepat 100 cc/5-10 menit, lalu tekanan darah
diukur. Bila tekanan darah meninggi, berarti memang perlu penambahan
volume, maka pemberian cairan lebih perlahan-lahan, sambil memantau
tekanan darah. Perhatikan juga apakah pasien tambah sesak dan ronki basah di
paru bertambah, yang berarti pemberian cairan harus dihentikan. Dengan
pemantauan TVS, bila TVS < 15 cm H2O, maka dapat dilakukan tes dengan
memberikan cairan lebih cepat yaitu 100 cc/5-10 menit, sampai TVS naik 2-3
cm H2O, dan ukur tekanan darah. Bila tekanan darah meninggi, berarti cairan
perlu ditambah. Bila tekanan darah tidak naik, dan pasien tambah sesak serta
ronki juga bertambah, maka cairan dihentikan.
Dengan pemantauan memakai kateter Swan-Ganz, perhatikan tekanan
atrium kanan (TAK), tekanan vena sentral (TVS) dan tekanan kapiler baji paru
(TKBP).
TAK

TKBP
Koreksi Cairan
/N

+
N
N
Boleh coba (tes)
N/

Tak perlu

/N
+ (infark ventrikel kanan)
Bila TAK 5-12 cm H2O, boleh ditambah s/d 18 cm H2O dan bila
TKBP 5-12 mmHg, boleh ditambah s/d 18 mmHg. Bila TAK <12 cm H2O dan
TKBP <15 mmHg maka cairan diberikan dengan cepat, sedangkan bila TAK
12-15 cm H2O dan TKBP 15-18 mmHg, cairan diberikan lebih perlahan.
Pemberian cairan harus meninggikan tekanan darh dan menambah curah
jantung serta indeks jantung.
b. Obat-obatan
1) Vasopresor
Diberikan sesudah koreksi cairan dan ventilasi.
Bila ada bradikardi, terutama diberikan isoproterenol untuk meninggikan
O2 miokard, sehingga tidak dapat memperluas infark jantung.
Noradrenalin 16 mg atau 10 mg pentolamin dalam 500 cc dekstrose 5%
atau Metaraminol.
Pemberian Dopamin atau Dobutamin drip intravena paling dianjurkan,
karena aliran darah ginjal dapat bertambah.
2) Vasodilator
Nitroglycerine mengurangi prabeban (preload) sebagai vasodilator koroner.
Na Nitroprusside mengurangi prabeban dan pasca beban (pre & afterload).
Dosis Na Nitropruside 0,5-3 mcg/kg/menit.
Captopril juga mengurangi prabeban dan pasca beban.
3) Inotropik
Digitalis dipakai pada takikardia, dengan tujuan menaikkan konsumsi
oksigen. Glukogen tidak nyata manfaatnya pada takikardia.

4) Diuretik
Dengan memberikan diuretik, berarti mengurangi prabeban.
5) Kortikosteroid
Efek pemberian kortikosteroir banyak. Selalu bermanfaat, untuk mencegah
kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh anoksia. Karena itu bila
mungkin dan tidak ada kontraindikasi, selalu harus diberikan.
6. Pemilihan obat-obat.
Sesudah dilakukan evaluasi dan koreksi volume darah.
Bila ekstremitas tidak dingin, diberikan vasopressor, yaitu noradrenalin atau
metaraminol. Tekanan darah sistolik tidak usah lebih dari 90-100 mmHg. Bila
mungkin diperiksa asam laktat. Kalau kemudian meninggi, maka harus diganti
dengan obat vasodilator. Bila ekstremitas agak dingin, sebagai vasopresor

dipakai Dopamin.
Bila ekstremitas dingin sekali, kulit lembab dan pucat, (asam laktat pasti
meninggi), maka diberikan obat vasodilator. Bila dengan cara ini tekanan
darah turun maka volum ditambah selama pasien tidak bertambah sesak dan
ronki basah tidak bertambah. Setelah itu dapat diberikan Dopamin.

7. Obat
Pada kardiogenik syok setelah tercapai pre load yang optimal sering
dibutuhkan inotropik untuk memperbaiki kontraktilitas dan obat lain untuk
menurunkan after load.
a. Katekolamin
Termasuk dalam kelompok ini, adrenalin, noradrenalin, isoproterenol,
dopamin dan dobutamin, secara umum akan menaikkan tekanan arteri, perfusi
koroner, kontraktilitas dan kenaikan denyut jantung, serta vasokontriksi perifer.
Kenaikan tekanan arteri akan meningkatkan konsumsi oksigen, serta kerja yang
tidak diinginkan potensial menimbulkan arrythmia.
b. Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol
Mempunyai aktivitas stimulasi alfa kuat. Aktivitas kronotropik dipunyai ke
3 obat tersebut. Stimulai alfa kuat menyebabkan vaskontriksi kuat, sehingga
meningkatkan tension dinding miokard yang dapat mengganggu aktivitas
inotropik. Isoproterenol merupakan vasodilator kuat dan cenderung menurunkan
aliran darah dan tekanan perfusi koroner. Disamping itu isoproterenol akan sangat
meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju jantung, sebagai akibatnya terjadi
peningkatan konsumsi oksigen miokard yang sangat berbahaya pada kardiogenik
syok.
c. Dopamin

Merupakan prekusor endogen noradrenalin, menstimuli reseptor beta, alfa


dan dopaminergik. Dopamin juga mempunyai efek "tyramine like" yang akan
menyebabkan pelepasan noradrenalin endogen. Pengaruh dopamin terhadap
jantung adalah stimulasi reseptor beta 1, pada dosis 5-10 mg/kgBB/ menit, sedang
pada dosis melebihi 10 mcg/kgBB/menit, dopamin mulai mestimulasi reseptor
alfa 1 yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri sistimik dan tekanan venosa,
oleh karena meningkatkan tahanan vaskuler sistimik dapat memperburuk fungsi
miokard.
Dopamin meningkatkan aliran darah kortek ginjal melalui stimulasi
reseptor dopaminergik, pada dosis 0,5 2 mcg/kgBB/menit. Takikardi berlebihan,
yang akan menurunkan waktu untuk pengisian ventrikel dan peningkatan
konsumsi oksigen miokard merupakan efek-efek yang tidak diingkan pada
dopamin.
Diantara katekolamin di atas, dobutamin merupakan inotropik standard yang
digunakan sebagai pembanding. Dobutamin mempunyai efek terbatas pada tekanan
darah serta meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh bermakna pada tekanan
darah, sebagai akibatnya tahanan vaskuler sistimik, tekanan vena, denyut jantung
menurun. Pada penggunaan dobutamin, bila terjadi penurunan rekanan darah
umumnya menandakan terdapat hipovolemia.
Dobutamin terutama bekerja pada reseptor beta, dengan rentan dosis 240
mcg/kgBB/menit. Pada dosis tersebut akan menaikkan kontraktilitas dengan sedikit
efek chronotropik tanpa vasokonstriksi.
d. Digoxin
Digunakan untuk memperbaiki kontraksi miokard, namun mempunyai
mula kerja, ekskresi yang lama, serta rasio terapi yang rendah, sehingga kurang
effektif pada penggunaan sebagai inotropik pada kardiogenik syok.
e. Vasodilator
Kerja yang bermakna pada penggunaan vasodilator untuk mengurangi
kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard. Shoemaker, 1989, penggunaan
vasodilator kurang efektif pada kardiogenik syok, dibanding penggunaan pada
gagal ventrikel kiri akut/kronik, bila kerusakan miokard dan kolaps kardiovaskuler
begitu berat.
Sodium nitropruside, akan menaikan curah jantung pada penderita gagal
ventrikel

kiri

dan

syok

setelah

infark

miokard.

mcg/kgBB/menit, maksimal dosis 500 mcg/kgBB/menit.

Dosis

awal

10

Nitrogliserine, berfungsi sebagai venodilator pada penggunaan intravena,

dengan mula kerja yang cepat, dosis 10-40 mcg/kgBB/menit.


Salbutamol; beta 2 agonis, berfungsi sebagai arteriol dilator. Pada beberapa
keadaan kombinasi katekolamin dan vasodilator sering dipergunakan untuk

mendapatkan status hemodinamika yang baik.


8. Mechanical Circulatory Assitance
Dipergunakan pada penderita yang tidak responsif dengan pengobatan diatas.
a. IABP (Intra Aortic Ballon Pump)
Dimasukkan lewat arteri besar dengan bantuan floroscop, disinkronasi
dengan EKG pada aorta. Balon dikembangkan saat diastolik, dengan harapan akan
meningkatkan tekanan diastolik, sehingga memperkuat aliran koroner, perfusi
koroner menjadi baik. Dikempiskan saat sebelum sistolik ventrikel yang akan
menurunkan tekanan aorta dan ventrikel "after load".
Hasil akhir akan menaikkan perfusi koroner, menurunkan kerja miokard
dan kebutuhan oksigen miokard.
b. VAD (Ventrikuler Assist Devices)
Digunakan pada kardiogenik syok yang dengan IASP, obat tidak
menunjukkan

manfaat.

Apabila PCWP, curah jantung, tahanan vaskuler sistimik dan tekanan darah dapat
diukur, algoritme tersebut dapat dipergunakan pada kardiogenik syok.
2.2 HENTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)
2.2.1. Definisi
Henti jantung adalah berhentinya fungsi jantung secara mendadak. Penderita bisa saja
tidak pernah terdiagnosa sebagai penderita penyakit jantung sebelumnya .Henti jantung
biasanya juga dikenal sebagai sudden cardiac arrest atau unexpected cardiac arrest. Sudden
death (sudden cardiac death ) terjadi dalam beberapa menit setelah symptom muncul.
2.2.2. Etiologi
Adapun penyebab henti jantung adalah:
1. Henti jantung primer:
Fibrilasi ventrikel dan asistol oleh karena:
Iskemik myokard
Heart block
Obat obatan
Electric shock
2. Penyebab henti jantung sekunder :
a. Rapid secondary cardiac arrest
Asphyxia ok :
o airway obstruction
o apnea
Kehilangan darah cepat

Alveolar anoksia oleh karena :


o edema paru akut
o menghirup gas yang tidak mengandung oksigen
b. Slow secondary cardiac arrest
Severe hypoxemia oleh karena:
Edema paru
Konsolidasi paru shock lung
Oligemic atau distributive shock
Cardiogenic shock
Acute brain insults (medullary failure, severe intractable hypotension dan
apnea)
2.2.3. Gambaran Klinis dan Diagnosis
Identifikasi henti jantung berupa gambaran klinis:
gambaran henti sirkulasi antara lain :
o hilang kesadaran
o apnea atau gasping
o sianosis atau pucat
o tidak ada pulse (karotis atau femoralis)
Bila pulse :
o radialis teraba tek sistolik > 80 mmHg
o femoralis teraba tek sistolik > 70 mmHg
o karotis teraba tek sistolik > 60 mmHg
Dilatasi pupil terjadi 1 menit setelah henti sirkulasi
Perabaan arteri karotis pada anak-anak dapat menekan airway laryngospasm
2.2.4. Penanganan
Pada pasien pediatrik yang diduga mengalami henti jantung, lakukan langkahlangkah berikut:

Kaji respon pasien

Jika tidak ada respon, mulailah peninjauan dasar, aktivkan system respon darurat.
Nyalakan defibrilator. Kaji jalan napas (buka jalan napas; lihat, dengar dan rasakan
pernapasan).

Jika tidak ada napas, berikan pernapasan secara perlahan.

Kaji nadi, lakukan kompresi dada jika nadi klien tidak teraba.

Jika nadi tidak teraba. Lanjutkan RJP. Kaji irama jantung .

VF atau VT pada monitor, usahakan defibriliasi (sampai tiga kejutan jika VF/VT
berlangsung lama).

Kejutan pertama: 2 J/kg, kedua: 2 - 4 J/kg, kemudian 4 J/kg. Kemudian ulang


urutannya dari awal yaitu RJP, Pengobatan*, defibrilasi, kaji irama jantung.

Asystol atau PEA pada monitor. Berikan epinefrin 0,01 mg/kg (0,1 ml/kg dari
10:10.000 larutan) I.V atau I.O, lanjutkan RJP selama 3 menit. Kaji ulang irama
jantung.
Prinsip penanganan henti jantung yang biasa dilakukan adalah Resusitasi Jantung

Paru. RJP dibagi dalam fase dan langkah sebagai berikut :


FASE I
Fase I adalah tunjangan hidup dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan
bagaimana melakukan RKP secara benar.
Fase I terdiri dari :

A (airway) adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka.


Periksa jalan napas korban dengan cara : Membuka mulut korban dengan 2
jari, lihat apakah ada benda asing, lidah yang drop atau darah. Kemudian taruh tangan
penolong diatas jidat dan bawah dagu korban dan dongakkan kepalanya, hiperfleksi (Head tilt chin lift), kalau kita curiga ada fraktur servikal maka pakai model jaw trust.
Dan buka jalan napas

B (breathing) adalah ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.


Cek napas korban selama 10 detik dengan : Look Feel Listen (Letakkan
pipi penolong di depan mulut korban, sambil rasakan dan lihat ke arah dada pasien
apakah naik-turun (ekspansinya ada).
Kalau tidak ada napas berikan mouth to mouth ventilation dengan cara tutup
hidung korban dan berikan napas dua kali dengan jarak antaranya 5 detik, lakukan
sampai terlihat rongga dada pasien ekspansi/naik. Ingat posisi pasien masih
hiperfleksi (head till chin lift). Setelah itu kita periksa denyut nadi di arteri karotis
sebelah kanan kiri dekat jakun ( 2- 3 jari) selama 10 detik rasakan.

C (circulation) adalah mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru


(KJL),
Kalau ada denyut nadi, korban hanya henti napas maka lanjutkan Pulmonary
Recusitation dengan berikan napas mulut ke mulut sampai 1 menit (berarti 12 kali),
sampai napas OK (satu siklus).
Kalau denyut nadi tidak ada maka lakukan kompresi jantung (CPR-cardiac
pulmonary resucitation) dengan letakkan ujung telapak tangan di kunci dengan

telapak tangan yang lain di tulang dada (sternum) bisa sejajar/segaris antara putting
payudara atau 3 jari diatas tulang muda di bawah sternum (prosessus xypoid),
letakkan kedua bahu anda sejajar dan lakukan kompresi jantung.
Kompresi dilakukan dengan kedalaman 4 5 cm dengan 30 kompresi (dulu
15, yang terbaru 30 kompresi). Mau 1 atau 2 penolong semua 30 kompresi per siklus.
Ini dilakukan selama 4 siklus (kurang lebih 1 menit menjadi 100 kompresi).
Di Inggris sendiri setelah 30 kompresi tidak dilakukan ventilasi (2 bantuan
napas mulut mulut), sedang di AS tetap , 30 kompresi : 2 Ventilasi.
FASE II
Fase II adalah tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup
dasar ditambah dengan :

D (drugs) adalah pemberian obat-obatan termasuk cairan.


Pemberian obat-obatan, dimana termasuk di dalamnya :
o pengobatan definitif, termasuk pemberoan obat-obat untuk koreksi asidosis
dan memelihara irama jantung dan sirkulasi.
o pemberian cairan intervena.
o penggunaan alat-alat tambahan, misalnya intubasi endotrakheal airway,
ventilator, oksigen dan sebagainya.
o stabilisasi kondisi penderita.
Obat-obatan sebaiknya diberikan intravena agar cepat mencapai sistim
kardiovaskular. Pemberian intrakardial hanya terbatas pada epinefrin, pada awal henti
jantung sebelum jalan intravena tersedia.
Obat-obatan dibagi 2 golongan yaitu :
1. Penting, yaitu : Sodium bikarbonat, Epinephrine, Sulfat Atropin, Lidokain,
Morphin sulfat, Kalsium Khlorida; oksigen juga dianggap obat yang penting.
2. Berguna (useful) yaitu obat-obat vasoaktif (Levarterenol), Isoproterenol
(Metaraminol), Propranolol dan Korticosteroid.

Bicarbonas Natricus :
Penting untuk melawan metabolik asidosis. Diberikan iv. dengan dosis awal : 1
mEq/kg BB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat
jugs diberikan intrakardial. Begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian hams

dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila ada
fibrilasi ventrikel, maka hams diberikan setelah defribilasi. Bila belum ada sirkulasi yang
efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang lama. Pada penderita yang dirawat,
pemberian sebaiknya berdasarkan basil pemeriksaan gas darah arteri dan pH. Pemberian
hams diikuti ventilasi yang efektif untuk mengeluarkan CO2 dalam darah arteri. Bila
pemeriksaan gas darah dan pH tidak tersedia, maka obat ini dapat diberikan nap 10 menit,
dengan dosis/2 dosis awal. Metabolik alkalosis dan hiperosmolalitas karena kelebihan
pemberian hams dihindarkan.
Obat ini tidak boleh dipakai sendiri dalam kasus-kasus asistole ventrikel, fibrilasi
ventrikel yang persisten. Dalam keadaan ini dosis ulangan epinephrin dan Bicarbonas
Natricus hams diberikan selama melakukan KJL dan pemapasan buatan. Pemakaian
kombinasi akan mengubah asistole ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel yang kemudian dapat
dilakukan defibrilasi. Pemakaian kedua obat selama fibrilasi ventrikel memperbaiki keadaan
miokardium dan memudahkan efektifitas defibrilasi.
Apinephrine :
Walau dalam percobaan epinephrine dapat menghasilkan fibrilasi ventrikel, tapi
kerjanya dalam memperbaiki aktifitas listrik dalam keadaan asistole dan memudahkan
defibrilasi dalam fibrilasi ventrikel dapat dibuktikan juga.
Epinephrine menambah kontraktilitas miokard, meninggikan tekanan perfusi,
menurunkan ambang defribrilasi, dan dalam beberapa kasus memperbaiki kontraktilitas miokard dalam disosiasi elektromekanis.
Dosis : /2 ml dari larutan 1/1000 dilarutkan dalam 10 ml, atau 5 ml dad larutan
1/1000, hams diberikan iv. setiap 5 menit selama usaha resusitasi. Pemberian intrakardial
hanya dilakukan oleh tenaga terlatih, bila terdapat kesulitan dalam memberikan iv.
Sulfas Atropin :
Mengurangi tonus vagus, memudahkan konduksi atrioventrikular dan mempercepat
denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada
keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. S.A.
diindikasikan pada sinus bradikardi (< 60 kalilmenit) bila disertai dengan kontraksi ventrikel
prematur atau tekanan sistolik < 90 mm Hg. Juga digunakan pada blok atrioventrikuler
derajat tinggi bila disertai dengan bradikardi. Ia tidak berguna pada bradikardi ventrikel
ektopik bila aktifitas atrium tidak ada.

Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. sebagai bolus dan diulang dalam interval 5
menit sampai tercapai denyit nadi > 60/menit. Dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali
pada blok atriventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
Lidocaine :
Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek atriaritmi dengan cara
meninggikan ambang stimulasi listrik dart ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik
biasa, tidak ada perubahan bennakna dart kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau
periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah
kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil. Ia juga efektif mengontrol
denyut ventrikel prematur yang multifokal dan episode takhikardi ventrikel.
Dosis : 50 -- 100 mg diberikan iv. sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang
bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1--3 mg/menit, biasanya tidak
lebih dart 4 mg/menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5% larutan (I mghnl). Lidocaine
tidak berguna pada keadaan asistole.
Morphin Sulfa:
Bukan indikasi pada RKP, tapi penting pada kasus-kasus infark miokard untuk
mengurangi nyeri dan pads pengobatan edema pare. Untuk mengurangi nyeri pada miokard
infark akut, 1 ml (3 mg) sampai 1ml (4,5 mg) diberikan iv. tiap 5 sampai 30 menit (kalau
perlu). Pengalaman menunjukkan bahwa dosis kecil tapi sering menghasilkan efek yang
diinginkan dan menghindari depresi pemapasan.
Kalsium Khlorida :
Menambah kontraktilitas miokard, memperpanjang sistole dan memudahkan
perangsangan ventrikel. Pemberian iv. yang terlalu cepat akan menekan pembentukan impuls
sinus, hingga dapat terjadi kematian tiba-tiba, terutama pada penderita yang mendapat
digitalisasi.
Calchlorida berguna pads kolaps kardiovaskular yang berat (karena disosiasi
elektromekanis); is dapat berguna memperbaiki ritme listrik dalam kasus asistole dan
memudahkan defibrilasi listrik.
Dosis kalsium yang dibutuhkan henti jantung darurat sukar ditentukan. Dosis yang
dianjurkan adalah 2,5 ml sampai 5 ml dart larutan 10% (3,4 sampai 6,8 mEq Ca). Kalau perlu
dapat diberikan iv. sebagai bolus dengan interval 10 menit.
Ca-glukonat lebih sukar terionisasi. Bila dipakai, dosisnya adalah 10 ml, dari larutan 10%
(4,8 mEq). Dosis besar ulangan dapat meninggikan kadar kalsium darah dengan efek yang

merugikan; tidak boleh diberikan bersama dengan Bicarbonas Natricus karena dapat
menggumpal.
Cara lain pemberian obat-obatan :
Bila memberikan obat-obatan secara iv. maka epinephrine (1-- 2 mg/l O ml aquadest) atau
lidocaine (50 -- 100 mg/10 ml aquadest) cukup efektif bila diberikan langsung ke dalam
trakhea bronkhus melalui pipa endotrakheal. Untuk obat RKP lain, belum ditemukan cara
lain.
S.A. 2 mg atau lidocaine 300 mg secara intramuskuler cukup efektif untuk
mengontrol disritmia, tapi memerlukan sirkulasi spontan yang adekuat.
Obat-obat vasoaklif (levarterenol, metarminol) :
Pemberian obat-obatan vasokonstriktor perifer yang kuat mendapat tantangan dart
beberapa ahli karena kemungkinan pengurangan aliran darah serebral, jantung dan ginjal.
Pilihan vasokonstriktor dan obat-obat inotropik positif belum dapat diterima semua orang,
tetapi selama KJL dan periode post resusitasi, tekanan darah hams dipertahankan.
Kolaps pembuluh darah perifer,, klinis ditandai dengan hipotensi dan hiIan gnya
vasokonstriksi perifer, dapat diatasi levarterenol (Levophed ) bitartrate

dalam konsentrasi

16 mg/ml atau metaraminol bitartrate (Aramine) dalam konsentrasi 0,4 mg/ml dextrose
dalam air secara iv.; metariminol dapat diberikan secara iv. sebagai bolus dengan dosis 2--5
mg tiap 5 -- 10 menit.
Pemberian kontinu dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah dan urine output agar
tetap baik. Obat-obat ini adalah vasokonstriktor kuat dan berefek inotropik positif terhadap
jantung. Tenttama berguna bila tahanan perifer sistemik rendah.
Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete
heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/ menit (1 -- 10 ml
larutan dart 1 mg dalam 500 ml dextrose 5%), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung
sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untult sinus bradikardi berat yang tidak berhasil
diatasi dengan Atropine.
Propranolol
Suatu beta-adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk
kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme
jantung tidak dapat dipelihara dengan Lidocaine.

Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan
yang ketat. Pemakaian hams hati-hati pada penderita dengan COPD dan kegagalan jantung.
Kortikosteroid
Sekarang lebih disukai Kordikosteroid sintetis (5 mg/kg BB methyl prednisolon
sodium succinate atau 1 mg/kg BB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok
kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah
henti jantung, 60 -100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan
menguntungkan. Bila ada komplikasi pans seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
dexamethasone fosfat 4 -- 8 mg tiap 6 jam.
Obat-obat lain
Diuretik kuat, hipothermia dan controlled hyperventilation akan berguna untuk
mencegah edema otak yang mungkin terjadi setelah resusitasi berhasil. Diuretik kuat
(furosemid dan ethacrinic acid) dalam dosis 40-200 mg akan membantu diuresis;
hiporosmolalitas akan bertambah berat.

E (EKG/electrocardiograph) adalah diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin


setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau
agonal ventricular complexes dan monitoring..
Harus segera dilakukan pada semua pasien yang mengalami gejala/
kemungkinan serangan atau kolaps yang tiba-tiba. Kebanyakan kematian mendadak
setelah infark miokard disebabkan karena gangguan listrik, terutama setelah/beberapa
jam setelah kerusakan miokard atau iskhemi berat.
Pada saat kritis ini pasien harus dimonitor terus menerus. Walaupun perubahan
irama jantung dapat terjadi mendadak, keadaan ini dapat dicegah dengan pengobatan
dan early detection.
Petugas harus dapat mengenal paling sedikit disritmia ECG sebagai berikut :
1. Cardiac standstill (asistole ventrikel)
2. Bradikardi (denyut kurang dari 60 kali/menit)
3. Beda antara irama supra ventrtkular dan ventrikular
4. Kontraksi ventrikular prematur (frekuensi. multifokal dan R on T)
5. Takhikardi ventrikular
6. Fibrilasi ventrikel
7. Semua derajat blok atrioventrikular

8. Flutter dan fibrilasi atrium

F (fibrillation treatment) adalah tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.


Fibrilasi ventrikel terutama terjadi karena insufisiensi koroner, efek samping
obat electrocution, hampir tenggelam, kateterisasi jantung pads jantung yang sensitif
atau sewaktu usaha resusitasi karena asistole. Pada fibrilasi ventrikel, kerja jantung
sulit kembali normal bila tanpa pengobatan defibrilasi. Voltage rendah dapat
menimbulkan fibrilasi, sedangkan voltage tinggi yang sesuai dengan dapat mengakhiri
fibrilasi. Cam paling efektif untuk mengakhiri fibrilasi ventrikel adalah electric
counter shock; ini dapat dilakukan dengan arus searah (direct current) atau arus
bolak-balik (alternating current). Counter shock dengan arus searah lebih efektif pada
jantung yang besar, juga pada pasien yang hipothermi.
Sebelum melakukan counter shock jantung hams teroksigenisasi baik. Tenaga
yang dianjurkan untuk direct external counter shock adalah 20 watt sekon atau lebih
pada dewasa dan 100 watt sekon pads anak. Defibrilasi dengan arus bolak-balik pada
dewasa perlu 500 1000 volt dengan 0,1 0,25 detik, juga harus dipakai kabel yang
heavy duty untuk mencegah penurunan ampere.
Dianjurkan pemakaian energi tinggi karena kegagalan pada counter shock
yang pertama akan memperlambat mulainya sirkulasi spontan. Pemakaian'counter
shock energi tinggi dari luar tidak akan mengakibatkan kerusakan jantung atau
mengganggu kontraksi spontan.
Teknik : oleskan pasta pada elektroda, juga pada kulit, dapat juga digunakan
kasa yang dibasahi dengan saline. Letakkan satu elektroda tepat di bawah klavikula
kanan, dan elektroda yang kedua di sekitar apex jantung, di bawah puling susu kin.
Tekan dengan baik. Orang-orang lain yang membantu resusitasi diminta untuk
menghindarkan kontak dengan pasien atau tempat tidumya. Lalu hidupkan
defibrilator, pegangan elektroda harus tetap baik. Bila beberapa counter shock gaga]
mengakhiri fibrilasi ventrikel, pemberian epinephrine, bikarbonat dan kompresi
jantung hams diulang.
Bila dipakai defibrilasi anus bolak-balik maka syok yang diberikan secara seri
lebih berguna. Pada fibrilasi ventrikel yang intractable, diberikan obat-obat
antiaritmi: Lidocaine (Xylocaine) sekarang lebih disukai, dosis 1 mg/kg 1313 iv,

sate dua menit kemudian counter shock diulangi. Obat anti aritmi yang lain adalah
Quinidine dan prokainamid, keduanya dosis 1 -- 3 mg/kg 1313.
Usaha untuk mengakhiri fibrilasi ventrikel harus dilanjutkan sampai berbasil
atau bila sudah ada tanda kematian otak. Bberapa penderita berhasil dengan fungsi
saraf normal setelah 1--2 jam fibrilasi ventrikel.
Bil a fibrilasi ventrikel atau takhikardi ventrikel terjadi ketika pasien sedang
dalam monitor (misalnya di ICCU/ICU), maka counter shock dapat dilakukan segera
oleh perawat terlatih tanpa hams melakukan pemapasan buatan dan KJL.
Setelah fibrilasi, ECG dapat memberi gambaran asostole, abnormal EKG
Complexes atau EKG normal. KJL hams tetap dilanjutkan selama denyut carotis atau
femoralis masih belum ada, tanpa hams melihat gambaran EKG. Pada asistole, RKP
disertai dengan pemberian epinephrine atau katekholamine lain dan bikarbonat.
Bila ada gambaran EKG complexes tapi disertai hipotensi yang lama atau tidak
teraba denyut, dapat diberikan kardiotonica, seperti Kalsium chlorida 500 mgtiap 3 -5 menit iv. atau Ca. gluconate 10 ml, larutan 10%), dan/atau vasopressor (misalnya
Norepinephrin dalam infus) dan obat-obat alkanilisasi.
FASE III
Fase III adalah tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).

G (Gauge) adalah Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara


terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya. Monitoring
dilakukan terutama untuk menilai fungsi-fungsi pernapasan, peredaran darah dan
susunan saraf.

H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah
terjadinya kelainan neurologik yang permanen.

H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat
yaitu pada suhu antara 30 - 32C.

H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
mempunyai perasaan sedih, takut, kesepian, marah dan sebagainya, karena itu semua
tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.

I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :


trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH,
pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
Dapat dilakukan di ICU (General ICU) yang dapat dibagi menjadi ICU
dewasa dan ICU anak, atau dalam Special Care Unit, seperti ICCU, Burn Unit,
Neonatal Unit, Renal unit dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai