Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

Definisi
Dengue Hemoragic Fever adalah penyakit demam akut yang ditandai dengan demam
yang tinggi, uji tourniquet positif, manifestasi perdarahan lain berupa petekie, ekimosis,
purpura, perdarahan mukosa, hematemesis atau melena, hepatomegali, trombositopenia,
hemokonsentrasi dan perembesan plasma. Bila kriteria diatas disertai manifestasi kegagalan
sirkulasi berupa nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (< 20mmHg), hipotensi (sesuai
umur), kulit dingin dan lembab, dan pasien tampak gelisah maka disebut sebagai DSS.

Epidemiologi
Istilah DHF pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Setelah tahun 1958
penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain diAsia
Tenggara, diantaranya pada tahun 1958 di Hanoi, Malaysia (1962-1964) dan Saigon (1965).
Di Indonesia DHF pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi
konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan
pada tahun 1969. Kemudian DHF berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta
(1972). Epidemi pertama diluar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan
Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi
dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Angka kesakitan rata-rata DHF
di Indonesia mencapai nilai tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk
dengan jumlah penderita 72.133 orang.
Pada periode 1 januari 1995 - 31 Desember 1995 di bagian anak RSUP Dr. M. Djamil
Padang ditemukan 165 kasus DHF. DHF grade I sebanyak 84 kasus (50,9%), grade II 46
kasus (21,8%), grade III 33 kasus (20%) dan grade IV sebanyak 12 kasus (7,3%). Periode 1
Januari 31 Desember 1998 angka ini meningkat menjadi 400 penderita DHF dan 130 orang
diantaranya (32,5%) menderita syok. Kelompok umur 5-9 tahun merupakan yang terbanyak
mengalami syok dengan rata-rata umur 6,74 tahun.
Etiologi
Virus Dengue merupakan penyebab DHF dan DSS. Virus ini termasuk group B
Arthropod borne virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili

Flaviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Serotipe
Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan nampak berhubungan dengan kasus berat.
Infeksi sekunder dengan serotipe virus Dengue yang berbeda dari sebelumnya
merupakan faktor risiko terjadinya manifestasi DHF yang berat atau DSS. Urutan infeksi
serotipe juga merupakan suatu risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus Den-1 yang
disusul Den-2 mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk
urutan virus Den-3 yang diikuti oleh Den-2 adalah 6% dan Den-4 yang diikuti oleh Den-2
adalah 2%.
CARA PENULARAN
Sampai saat ini hanya dikenal satu host untuk virus Dengue yaitu manusia (meskipun
di Malaysia juga terdapat pada kera), sedang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk dari
famili Aedes. Vektor yang klasik, Aedes Aegepty betina, adalah nyamuk yang berbiak di
tempat-tempat penampungan air bersih di dalam rumah atau di sekitar tempat tinggal
manusia. Meskipun begitu penularan dapat juga terjadi melalui nyamuk Aedes Albopictus
yang hidup diluar rumah, seperti di kaleng-kaleng kosong, di potongan-potongan bambu
ataupun di pot tanaman yang terisi air. Nyamuk Aedes hanya memiliki jarak terbang rendah,
biasanya tidak lebih dari 100 meter, karena itu penyebaran penyakit ini umumnya terbatas di
daera-daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi.
Penularan dapat terjadi secara langsung, yaitu melalui gigitan pada orang yang sedang
mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah melaui inkubasi dalam tubuhnya,
yakni selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada periode ini, virus ini bereplikasi
pada usus nyamuk, ovarium, jaringan syaraf, dan lemak, yang nantinya akan keluar menuju
ruang-ruang dalam tubuh nyamuk. Virus kemudian bereplikasi pada kelenjar air liur nyamuk.
Pada anak diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit
setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada periode ini, virus bereplikasi dalam berbagai
macam organ, seperti kelenjar limfe lokal dan hati. Kemudian virus menyebar melalui
pembuluh darah dan menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik lainnya.Pada nyamuk,
sekali virus dapat masuk dan berkembang biak dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan
hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 5-7 hari.

PATOGENESIS

Mekanisme sebenarnya tentang patogenesis, patofisiologi, hemodinamika dan


perubahan biokimia pada DHF maupun DSS hingga kini belum dapat diketahui secara pasti.
Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan model binatang percobaan yang dapat digunakan
untuk menimbulkan gejala klinis DHF yang sama dengan yang terjadi pada manusia.
Beberapa faktor risiko pada DHF adalah:
Jenis dan serotipe virus (DHF bisa terjadi pada infeksi primer oleh virus serotipe
tertentu).
Adanya antibodi anti-Dengue akibat infeksi sebelumnya atau akibat berpindahnya
antibodi dari ibu ke janin yang dikandungnya .
Faktor genetik (misalnya faktor ras tampaknya berperan karena berdasarkan data, di
Kuba DHF lebih banyak ditemukan pada orang kulit putih).
Usia (di Asia Tenggara, DHF lebih banyak menyerang anak-anak, sedangkan di
Amerika DHF bisa menyerang semua kelompok umur).
Risiko yang lebih tinggi pada infeksi sekunder.

Risiko yang lebih tinggi dari lokasi dimana lebih dari 2 serotipe virus beredar secara
bersamaan pada kadar yang tinggi (transmisi hiperendemik).

Teori Virulensi Virus


Fakta yang ada sekarang adalah semua jenis virus dapat ditemukan pada kasus fatal.
Artinya semua virus dapat saja membuat kematian. Serotipe Den-2 lebih banyak
menyebabkan syok, sedangkan Den-3 lebih banyak diisolasi pada DHF berat jika
dibandingkan Den-1 dan Den-4. Di Indonesia ditemukan keempat tipe virus Dengue, dengan
tipe paling banyak ditemukan adalah serotipe Den-3 dan Den-2. Pertanyaan yang muncul
adalah mengapa di suatu daerah lebih banyak Den-3, di daerah lain Den-2 sedang Den-1 dan
Den-4 relatif lebih jarang? Apakah virulensi berbeda diantara keempatnya? Sayang sekali
sampai sekarang belum ada penelitian untuk melakukan penandaan virulensi virus.
Hipotesis ini dilandaskan pada beberapa pengalaman klinis baik di Jakarta,
Kepulauan Tongga, Manila dan Bangkok, ternyata DSS dapat pula terjadi pada penderita
yang mendapat infeksi virus Dengue untuk pertama kali pada usia lebih dari 1 tahun dan

terbukti bahwa sensitisasi oleh infeksi sebelumnya bukan merupakan faktor utama dalam
patogenesis sindroma ini, sehingga timbul dugaan bahwa keempat serotipe mempunyai
potensi patogen yang sama dan renjatan terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling
virulen, tetapi hipotesis ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

1. Teori Imunopatologi
Didapatkan bahwa reaksi imun mempunyai dua aspek yaitu respon kekebalan atau
malahan menyebabkan penyakit. Pada percobaan dapat disimpulkan bahwa sesudah infeksi
virus Dengue satu serotipe maka akan terjadi kekebalan terhadap virus ini dalam jangka
waktu lama namun tidak mampu memberi pertahanan terhadap jenis virus lain. Teori ini
berkembang dan didukung oleh data epidemiologik, klinis dan laboratorium yang banyak
diteliti di Thailand sekitar tahun 1954-1964. Teori tersebut kemudian disebut sebagai teori
infeksi sekunder oleh virus heterologus yang berurutan. Bila seseorang mendapatkan infeksi
primer dengan satu jenis virus, kemudian lain waktu mendapat infeksi virus sekunder dengan
jenis serotipe virus yang lain maka risiko besar akan terjadi infeksi yang berat. Teori yang
dikembangkan oleh Halstead ini sampai sekarang masih banyak penganutnya meskipun
banyak pula penentangnya.

2. Teori Infection Enhancing Antibody


Penelitian epidemiologi memberi kesan bahwa hipotesis infeksi heterolog sekunder
(the secondary heterologous infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut oleh sebagian
besar sarjana sebagai konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini
seseorang akan menderita DHF apabila mendapat infeksi berulang oleh serotipe virus
Dengue yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan 5 tahun.
Dasar teori ini adalah peran sel fagosit mononuklear dan terbentuknya antibodi nonnetralisasi. Sel fagosit mononuklear, yaitu monosit, makrofag dan sel Kupffer merupakan sel
target pada infeksi primer. Selanjutnya antibodi yang terbentuk pada infeksi primer berfungsi
membawa virus ke dalam sel fagosit mononuklear pada infeksi sekunder.
Menurut penelitian, antigen Dengue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang
beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Russel
mendapatkan antibodi IgG yang terbentuk pada infeksi Dengue terdiri dari antibodi yang
berfungsi menghambat replikasi virus secara spesifik (neutralizing antibody) dan antibodi

yang tidak mempunyai sifat netralisasi namun berfungsi dapat memacu replikasi virus dalam
monosit (infection enhancing antibody).
Kemungkinan antibodi non netralisasi itu berperan melingkupi sel makrofag yang
beredar dan tidak melingkupi sel makrofag yang menetap di jaringan. Pada makrofag yang
dilingkupi antibodi non-netralisasi, antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi
sehingga akhirnya sel mudah terinfeksi. Lebih banyak sel makrofag terinfeksi maka akan
lebih berat penyakitnya. Diduga makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan
mengeluarkan berbagai substansi inflamasi, sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi
permeabilitas dan akan mengaktivasi faktor koagulasi.

3. Teori Antigen Antibodi


Pada kejadian DHF / DSS terjadi penurunan kadar komplemen, dan semakin berat
penyakit semakin turun kadar komplemen tersebut. Komplemen yang turun adalah C 3, C3
proaktivator, C4 dan C5. Secara radioaktif dibuktikan penurunannya bukan karena produksi
yang menurun atau ekstravasasi namun terjadi karena aktivasi komplemen tersebut. Aktivasi
ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel
mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk meningkatkan
permeabilitas

kapiler, pengurangan plasma dan syok hipovolemik. Kadar anafilatoksin

meninggi pada fase syok dan menurun kembali pada saat konvalesensi. Pada penelitian lebih
lanjut ditemukan korelasi yang positif antara aktivasi komplemen dengan perembesan plasma
dan syok sehingga kadar komplemen dapat menggambarkan derajat penyakit.

4. Teori Mediator
Ada beberapa kejadian yang menyebabkan para ahli beranggapan bahwa mediator
sebagai penyebab terjadinya DHF. Pertama, melanjutkan teori antibody enhancing. Jadi
dipikirkan bahwa makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Di
dalam keadaan normal, sitokin ini tidak terbentuk sehingga tidak terdapat pada serum. Kedua,
kejadian masa kritis pada DHF selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek. Kemudian
disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis tidak ada gejala sisa. Kejadian tersebut
menimbulkan pemikiran bahwa yang dapat berperilaku seperti itu adalah mediator. Ketiga,
dari kalangan ahli syok bakterial mengambil perbandingan bahwa pada syok septik banyak

berhubungan dengan mediator. Beberapa kejadian tersebut membawa penelitian diarahkan


kepada mediator, seperti interferon, interleukin 1, interleukin 6, interleukin 12, Tumor
Necross Factor (TNF), Leukosit Inhibiting Factor (LIF), dll. Dipikirkan bahwa mediator
tersebut yang bertanggung jawab atas terjadinya demam, syok dan permeabilitas kapiler yang
meningkat.

5. Teori Trombosit Endotel


Trombosit dan endotel diduga mempunyai peranan penting dalam patogenesis DHF,
berdasar kenyataan bahwa pada DHF terjadi trombositopenia dan permeabilitas kapiler yang
meningkat yang berarti ada pengaruh terhadap integritas sel endotel. Gangguan pada endotel
akan menimbulkan agregasi trombosit serta aktivasi koagulasi.

6. Teori Apoptosis
Teori ini berdasar penelitian apoptosis yang banyak dikerjakan di berbagai penyakit.
Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologik yang merupakan reaksi terhadap
berbagai stimuli. Proses tersebut dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu kerusakan inti sel,
kemudian perubahan bentuk sel dan perubahan permeabilitas membran sel. Konsekuensi dari
apoptosis adalah fragmentasi DNA inti sel, vakuolisasi sitoplasma, blebbing dan peningkatan
granulasi membran plasma menjadi DNA sub selular yang berisi badan-badan apoptotik.
Pada kasus DHF yang berat terdapat kerusakan hepar, terdapat Councilman bodies.
Kemungkinan hal tersebut merupakan proses apoptosis pada sel hepar. Menurut pemikiran
pakar di bidang ini, waktu terjadi apoptosis, virus dan sel yang berserakan dimakan oleh sel
makrofag atau fagositosis. Jadi bukan virus yang bereplikasi di dalam sel makrofag. Teori
apoptosis ini juga tidak mempercayai adanya antibodi sub netralisasi.
Dua patofisiologi utama yang terjadi pada DHF / DSS adalah : pertama, terjadinya
peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran plasma dari vaskuler. Hal
ini menyebabkan hemokonsentrasi, hipotensi dan tanda syok lainnya jika kehilangan plasma
semakin meningkat. Perubahan kedua adalah gangguan hemostasis termasuk perubahan
vaskular, trombositopenia dan koagulopati.
Penurunan Volume plasma

Penyelidikan volume plasma pada kasus DHF dengan menggunakan 131 Iodin
labeled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai masa puncaknya pada
masa syok.

Penelitian menemukan pada kasus yang berat terjadi pengurangan volume

plasma lebih dari 20%, menyebabkan terjadinya peningkatan nilai hematokrit sehingga
menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah
ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah
ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritonium,
pleura dan perikard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus.
Kebocoran plasma ini bila tidak dikoreksi akan menyebabkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik dan kematian. Jarang sekali syok disebabkan oleh perdarahan, tetapi justru
sebaliknya syok yang cepat terjadi dan berlangsung lama dapat menyebabkan perdarahan. 13
Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DHF pada masa akut memperlihatkan
kerusakan sel endotel vaskular yang mirip luka akibat anoksia atau luka bakar.

Kelainan Hemostasis pada DHF

Perdarahan pada DHF disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama, yaitu
vaskulopati, kelainan trombosit,dan penurunan kadar faktor pembekuan.
Pada

fase

awal

demam,

perdarahan

disebabkan

oleh

vaskulopati

dan

trombositopenia, kemudian diikuti oleh koagulopati, terutama sebagai akibat koagulasi


intravaskular menyeluruh (disseminated intravascular coagulation = DIC) dan peningkatan
fibrinolisis.
A. Vaskulopati
Secara klinik, vaskulopati bermanifestasi sebagai petekia, uji bendung positif,
perembesan plasma, dan elektrolit serta protein ke dalam rongga ekstravaskuler. Penyebab
utama vaskulopati adalah dikeluarkannya zat anafilatoksin C3a dan C5a.

B. Penurunan Trombosit

Penurunan produksi trombosit pada fase awal penyakit (hari sakit ke-1 sampai
dengan ke-4) merupakan penyebab trombositopenia. Nilai trombosit mulai menurun pada
masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Pada saat itu sumsum tulang
tampak hiposeluler ringan dan megakariosit meningkat dalam berbagai bentuk fase maturasi.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi
trombosit. Trombosit pada saat itu dapat mencapai 20.000-50.000/. Pada hari sakit ke-5
sampai dengan ke-8, terjadinya trombositopenia terutama disebabkan oleh penghancuran
trombosit dalam sirkulasi. Kompleks imun yang melekat pada permukaan trombosit
mempermudah penghancuran trombosit oleh sistem retikulo endotelial di dalam hati, limpa,
mengakibatkan trombositopenia pada fase syok. Tetapi, penghancuran trombosit ini dapat
pula disebabkan oleh kerusakan endotel, reaksi oleh kompleks imun, antibodi trombosit
spesifik atau DIC yang disebabkan syok lama. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada
masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai pada 7-10 hari sejak permulaan penyakit.

C. Penurunan Kadar Faktor Pembekuan


Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial
yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V,
VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DHF berat terjadi peningkatan fibrinogen
degradation products (FDP).
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa : (1) Pada DHF stadium akut telah
terjadi koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara
potensial dapat terjadi juga pada DHF tanpa syok. Pada masa dini DHF, peran DIC tidak
menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya
akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki
syok ireversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya
diakhiri dengan kematian, (3) Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor
kapiler, gangguan fungsi trombosit, dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks.

Selama fase bebas demam DHF grade II, komplikasi biasanya terlihat. Tambahan
selama observasi DHF grade I adalah nyeri perut, BAB hitam, epistaksis, berdarah dari
hidung, gusi, dan perdarahan tidak berhenti dari tempat bekas suntikan
Secepatnya cari RS, hematokrit dan trombosit harus dilakukan untuk menilai kondisi
pasien.penurunan trombosit 100.000/mmmm 3 atau kurang dari 1-2 trombosit perlapangan
pandang.biasanya mendahului peningkatan Ht. Peningkatan >20 atau lebih mengindikasikan
kehilangan plasma dan membutuhkan cairan IV. Penggantian dini kehilangan plasma dengan
kristaloid (ex larutan salin isotonis) dapat mengurangi beratnya penyakit dan mencegah
terjadinya shock. Terapi IV sebelum kebocoran plasma tidak direkomendasikan. Pada kasus
ringan dan sedang DHF grade II terapi cairan IV mungkin diberikan untuk periode 12-24
jam,iini merupakan ukuran live saving yang penting. Pasien harus dimonitor setiap jam
danberdasarkan hematokrit dan jumlah trombosit secara periodic pengobatan harus ditinjau
dan di revisi.
Instruksi Penting untuk Tatalaksana DHF :

Kasus DHF harus diobservasi setiap jam.


Pemeriksaan trombosit serial dan hematokrit, jumlah platelet yang
menurun dan hematokrit yang naik merupakan tanda penting untuk

diagnosis awal DHF.


Terapi cairan intravena - cairan kristaloid isotonic dapat mencegah syok

dan/atau mengurangi beratnya penyakit.


Jika kondisi pasien memburuk walaupun diberikan 20ml/kg/jam selama 1
jam, ganti ciaran kristaloid dengan cairan koloid sepeti Dextran atau

plasma. Setelah terjadi perbaikan, ganti kembali dengan kristaloid.


Jika perbaikan terjadi, kurangi kecepatan tetesan dari 20ml menjadi 10 ml,

kemudian menjadi 6 ml, dan akhirnya 3 ml/kg.


Jika hematokrit turun, beri transfusi darah 10 ml/kg dan beri cairan

kristaloid iv 10ml/kg/jam.
Pada kasus perdarahan yang hebat, beri transfusi darah segar sekitar
20ml/kg selama 2 jam. Kemudian beri kristaloid 10ml/kg/jam dalam waktu

yang pendek (30-60 menit) dan kemudian kurangi kecepatannya.


Pada kasus syok, beri oksigen.
Untuk koreksi asidosis (gejala : pernafasan yang dalam), beri sodium
bikarbonat.

Apa yang jangan dilakukan

Jangan memberikan aspirin atau brufen sebagai terapi demam


Hindari IV terapi sebelum ada bukti perdarahan dan haemorrhagic.
Hindari tranfusi darah kecuali jika ada indikasi,penurunan Ht atau

perdarahan berat
Hidari steroid,Karen atidak menunjukan mamfaat.
Jangan gunakan antibiotic
Jangan merubah kecepatan cairan dengan cepat

menurunkan)
Pemasangan NGT untuk mengetahui perdarahan tersembunyi atau untuk

(menaikan

tau

terapi (bilas dingin) tidak dianjurkan karena berbahaya.


Tanda kesembuhan

Pulsasi ,tekanan darah, nafas stabil.


Temperature normal
Tidak ada bukti perdarahan external atau internal
Nafsu makan mambaik
Tidak ada muntah
Produksi urine baik
Hematokrit stabil
Ruam confluent petikiae menghilang

Kriteria untuk Memulangkan Patients

Tidak demam paling tidak 24 jam tanpa mengunakan anti demam terapi.
Kembali nafsu makan
Terlihat peningkatan tanda klinik
Pruduksi urine yang cukup
Minimal 3 hari setelah syok teratasi
Tidak ada repiratory distress dari efusi pleura dan tidak ada asites
Trombosit > 50.000/mm
Selama fase bebas demam DHF grade II, komplikasi biasanya terlihat.
Tambahan selama observasi DHF grade I adalah nyeri perut, BAB hitam,
epistaksis, berdarah dari hidung, gusi, dan perdarahan tidak berhenti dari

tempat bekas suntikan


Secepatnya cari RS, hematokrit dan trombosit harus dilakukan untuk
menilai kondisi pasien.penurunan trombosit 100.000/mmmm3 atau
kurang dari 1-2 trombosit perlapangan pandang.biasanya mendahului
peningkatan Ht. Peningkatan >20 atau lebih mengindikasikan kehilangan

plasma dan membutuhkan cairan IV. Penggantian dini kehilangan plasma


dengan kristaloid (ex larutan salin isotonis) dapat mengurangi beratnya
penyakit dan mencegah terjadinya shock. Terapi IV sebelum kebocoran
plasma tidak direkomendasikan. Pada kasus ringan dan sedang DHF grade
II terapi cairan IV mungkin diberikan untuk periode 12-24 jam,iini
merupakan ukuran live saving yang penting. Pasien harus dimonitor setiap
jam danberdasarkan hematokrit dan jumlah trombosit secara periodic
pengobatan harus ditinjau dan di revisi.

Anda mungkin juga menyukai