PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan aktifitas istirahat dan tidur merupakan suatu kesatuan yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Tanpa jumlah tidur dan
istirahat yang cukup, kemampuan untuk berkonsentrasi dan beraktifitas akan
menurunkan serta meningkatkan iritabilitas (Potter & Perry,2005). Tidur
dikarakteristikkan dengan aktifitas metabolisme tubuh menurun, tingkat kesadaran
yang bervariasi, perubahan proses fisiologi tubuh, dan penurunan respon terhadap
stimulus eksternal (Wahid, 2007). Tidur merupakan suatu proses yang sangat
diperlukan oleh manusia untuk pembentukan sel-sel tubuh yang rusak (natural
healing mechanisme), memberi waktu organ-organ tubuh untuk beristirahat dan
menjaga keseimbangan metabolisme dan kimiawi tubuh. Tidur suatu keadaan
yang berulang-ulang, perubahan status kesadaran yang terjadi selama periode
tertentu.
Manusia menggunakan sepertiga waktu dalam hidup untuk tidur, keadaan
tidur yang normal dapat berubah, perubahan keadaan tidur ini dipengaruhi oleh
faktor fisiologis dan non fisiologis. Faktor fisiologis yaitu penyakit fisik
sedangkan faktor non fisiologis yaitu obat-obatan dan substansi, gaya hidup, pola
tidur yang biasa dan mngantuk berlebihan pada siang hari, stress emosional,
lingkungan, latihan fisik dan kelelahan serta asupan makanan dan kalori ( Potter
& Perry, 2005).
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya
hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan
menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktifitas tidur ini
diatur oleh sistem pengaktifitas retikularis yang merupakan sistem yang mengatur
seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan
dan tidur. Pusat pengaturan aktifitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam
mesensefalon. Selain itu, reticuler activating system (RAS) dapat memberikan
rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan juga dapat menerima
stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam
progresif pada tahap tidur NREM 3 dan NREM 4, dan beberapa lansia tidak
memiliki tahap NREM 4 yaitu tahap tidur terdalam (Potter & Perry, 2005).
Keluhan tentang kesulitan tidur waktu malam hari seringkali terjadi
diantara lansia dan kecenderungan untuk tidur siang kelihatan meningkat secara
progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu tidur disiang hari dapat
terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari ( Evans & Rogers, 1994
dalam Potter & Perry, 2005). Sehingga
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada Lansia dengan masalah
kebutuhan dasar gangguan pola tidur.
2. Tujuan Khusus
2