Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia adalah pembentuk budaya. Budaya dibentuk supaya ada
peraturan agar manusia bisa hidup bersama dan berhubungan satu sama lain
dengan harmonis. Tapi manusia sering menjadi terikat dengan budaya ini dan sulit
untuk melepaskan diri dari budayanya. Kita sering lupa pada hakikat dibentuknya
budaya itu. Budaya pada hakekatnya adalah menurut Prof Koentjaraningrat
mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
manusia dengan belajar.
Awalnya pada setiap budaya mempunyai esensi dan nilai yang sangat
kental maknanya bagi kehidupan masyarakat. Namun, semakin berkembangnya
peradaban manusia, esensi dari kebudayaan tersebut sudah memudar. Memang
masih tetap dilakukan, tapi tidak seketat dulu.
Selama budaya itu masih relevan untuk membangun hidup kita ke arah
yang lebih baik, maka kita boleh tetap mempertahankannya. Namun jika budaya
itu sudah mengganggu pertumbuhan rohani kita, atau bahkan merusaknya, maka
seharusnya kita meninggalkannya dan membentuk budaya yang baru atau masuk
ke dalam budaya yang lain. Tuhan sudah memberikan kuasa kepada kita untuk
mengelola dunia ini, kita tinggal memilih bagaimana menyikapi setiap budaya
tersebut.
Bagaimana kita menerapkannya dalam konteks Indonesia? Indonesia
adalah negara dengan banyak suku sehingga beragam pula budayanya. Dari
beberapa budaya yang terbentuk itu, terdapat beberapa budaya yang terkadang
tidak sesuai dengan pengajaran agama Kristen. Hal ini bukan berarti bahwa
Kristen menolak dengan radikal setiap budaya yang tidak tercantum dalam
Alkitab. Namun, Kristen berusaha menghargai dan tidak menghakimi bahwa
kebudayaan itu salah dan tidak boleh dilakukan. Hal inilah yang membuat

perdebatan bagaimana orang Kristen menghadapi dan merespon budaya yang ada
di lingkungannya.
Dalam pembahasan makalah ini, kami membahas tentang tinjauan etika
kristen tentang pengaruh budaya terhadap gereja. Kami akan membahas sikapsikap apa saja yang terjadi di kalangan umat kristiani terhadap budaya dan sikap
apa yang seharusnya diterapkan sebagai umat kristen yang sesuai juga dengan
pandangan etika Kristen.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1. Agar mahasiswa mampu memahami pengertian budaya, bedanya dengan
agama dan pentingnya integritas agama.
2. Agar mahasiswa mampu memahami anek ragam pandangan mengenai
hubungan antara agama dan budaya.
3. Agar mahasiswa mampu memahami pengaruh ynag positif dari agama
terhadap budaya dan budaya terhadap agama.
4. Agar mahasiswa mampu menghayati budaya kerja keras dalam seluruh
hidupnya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Etika
Secara Etimologi Etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti
sikap, cara berfikir, watak kesesuaian atau adat. Ethos identik dengan Moral, yang
dalam Bahasa Indonesia berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna
tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku
batin dalam hidup.
Etika merupakan cabang dari filsafat etika mencari ukuran baik buruknya
bagi tingkah laku manusia. Etika adalah ajaran atau ilmu tentang adat kebiasaan
yang berkenaan dengan kebiasaan baik atau buruk yang diterima umum mengenai
sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya.
Etika adalah merupakan suatu cabang ilmu filsafat, tujuannya adalah
mempelajari perilaku, baik moral maupun immoral dengan tujuan membuat
pertimbangan yang cukup beralasan dan akhirnya sampai pada rekomendasi yang
memadai yang dapat diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu.
1.2. Etika Kristen
Dasar etika Kristen adalah iman Kristiani. Iman Kristiani inilah yang akan
dipakai untuk menjadi asumsi dasar dalam melakukan penilaian etis. Etika Kristen
meruapakan tanggapan akan kasih Allah yang menyelamatkan kita. Kehidupan
etis merupakan cara hidup dalam persekutuan dengan Tuhan.
Secara kontekstual, makna etika Kristen diperhadapkan pada situasi
terntentu, yakni kini dan di sini. Oleh sebab itu, etika Kristen mempelajari situasi
yang seharusnya dengan mengingat situasi yang sebenarnya. Etika Kristen bersifat
universal dan juga kontekstual. Etika Kristen merupakan sesuatu yang terbuka dan
dinamis yang bergerak dalam ruang dan waktu. Maksudnya ialah adanya analisis
etis yang harus merupakan suatu interaksi antar disiplin ilmu, dengan konteks
budaya sekitar, berorientasi pada masalah-masalah konkret, dan juga peka
terhadap perkembangan serta kecenderungan yang mutakhir.

Etika harus memakai penalaran yang bersifat objektif dan rasional.


Objektif dan rasional disini berarti etika Kristen dapat disajikan sedemikian rupa
dalam bahasa yang dapat ditangkap oleh semua orang.
Etika kristen mencari tahu hal apa yang harus dillakukan sebagai pengikut
Yesus dan bagaiman menjalankan kehidupan yang layak bagi Yesus. Etika kristen
didasari oleh iman kepada Yesus kristus.
Etika kristen adalah salah satu ungkapan refleksi teologis seseorang yang
menerima dan percaya kepada Yesus dengan menjalankan kehidupan yang layak.
Etika Kristen tidak pernah berhenti kepada suatu pemahaman. Ia tak
pernah menilai sesuatu hal pada posisi negatif atau pada posisi positif saja. Ia
selalu berkembang mengikuti perkembangan yang ada. Hal ini disebabkan karena
etika kristen akan terus berusaha untuk menjadi pembimbing yang baik dalam
menghadapi realitas yang ada untuk mencapai kehidupan yang layak untuk
kemuliaan Yesus Kistus.
Etika Kristen tidak beralaskan kemampuan-kemampuan insani dan tidak
mulai dengan mengetengahkan dosa dan kelemahan manusia sehingga titik
lainnya tidak lain kecuali anugerah Allah. Tolak ukurnya bukan kepatuhan hukum
dan peraturan yang dibebankan dari luar (heteronomi) bukan upaya menerapkan
tuntutan-tuntutan yang berasal dari rasionalitas manusia (otonomi), melainkan
prakarsa ilahi yang hendak memulihkan dan meneguhkan perelasian hakiki
dengan manusia sebagaimana yang dimaksudkannya sejak awal mula (teonomi).
Etika Kristen tidak mulai dengan apa yang wajib kita lakukan tetapi dengan apa
yang telah dan terus menerus Allah sudi lakukan.
Sains mendefinisikan etika sebagai, serangkaian prinsip moral, kajian
mengenai moralitas. Karena itu Etika Kristen adalah prinsip-prinsip yang
disarikan dari iman Kristen yang menjadi dasar tindakan kita. Walaupun Firman
Tuhan mungkin tidak menyinggung dan membicarakan seluruh situasi yang
mungkin kita hadapi dalam kehidupan kita, prinsip-prinsipnya memberi kita
standar yang harus kita ikuti dalam situasi-situasi di mana tidak ada instruksi yang
eksplisit. Misalnya, Alkitab tidak berbicara secara eksplisit mengenai penggunaan
obat-obat terlarang, namun berdasarkan prinsip-prinsip yang kita pelajari melalui
Alkitab kita tahu bahwa itu salah.

Salah satunya adalah Alkitab mengatakan bahwa tubuh kita adalah bait
Roh Kudus dan kita harus memuliakan Allah dengannya (1 Korintus 6:19-20).
Mengenali apa yang diakibatkan oleh obat-obat terlarang pada tubuh kita
kerusakan yang diakibatkan pada berbagai organ tubuh kita tahu bahwa
menggunakan obat-obat terlarang adalah merusak bait Roh Kudus. Dan jelas hal
itu tidak memuliakan Allah. Alkitab juga memberi tahu kita bahwa kita harus
mengikuti pemerintah yang Allah telah tempatkan (Roma 13:1). Mengingat natur
obat-obat terlarang yang ilegal, penggunaannya berarti
Etika Kristen adalah etika berbasis karakter yang menghadirkan kasih,
keadilan, pembebasan dari ketertindasan, kemurahan, dan belas kasihan dalam
berhubungan dengan orang lain.
1.3. Pengertian Budaya
Menurut Edward B. Taylor, Kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh
seseorang sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta budaya yaitu bentuk jamak dari
budi yang artinya roh atau akal. Jadi kata kebudayaan berarti segala sesuatu yang
diciptakan oleh roh dan akal manusia. Kebudayaan adalah mengerjakan
kemungkinan-kemungkinan dalam alam oleh manusia. .
Dimanapun

manusia

mengubah

dan

mengusahakan/mengerjakan

kemungkinan-kemungkinan jasmani dan rohani, disitulah terdapat kebudayaan.


Menurut Prof Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan

masyarakat

yang

dijadikan

milik

manusia

dengan

belajar.

Koentjaraningrat menggambarkan kebudayaan mencakup 7 unsur universal,


yaitu: 1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Sistem bahasa

5. Sistem kesenian
6. Sistem mata pencarian hidup dan
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Kebudayaan adalah khas hasil manusia, karena di dalamnya, manusia
menyatakan dirinya sebagai manusia, mengembangkan keadaannya sebagai
manusia, dan memperkenalkan dirinya sebagai manusia. Dalam kebudayaan,
bertindaklah manusia sebagai manusia dihadapan alam, namun ia membedakan
dirinya dari alam dan menundukkan alam bagi dirinya
Ciri-ciri khas kebudayaan adalah:
1. Bersifat historis.
Manusia membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang
diwariskan secara turun temurun.
2. Bersifat geografis.
Kebudayaan manusia tidak selalu berjalan seragam, ada yang berkembang
pesat dan ada yang lamban, dan ada pula yang mandeg (stagnan) yang
nyaris berhenti kemajuannya. Dalam interaksi dengan lingkungan,
kebudayaan kemudian berkembang pada komunitas tertentu, dan lalu
meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras. Kemudian kebudayaan itu
meluas dan mencakup wilayah/regiona, dan makin meluas dengan
belahan-bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo (duniawi) dalam era
informasi dimana terjadi saling melebur dan berinteraksinya kebudayaankebudayaan.
3. Bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu. Dalam perjalanan kebudayaan,
manusia selalu berusaha melampaui (batas) keterbatasannya. Di sinilah
manusia terbentur pada nilai, nilai yang mana, dan seberapa jauh nilai itu
bisa dikembangkan? Sampai batas mana?
1.4. Etika Kristen terhadap budaya
Sepanjang kehidupan gereja/orang percaya, ternyata ditemukan adanya
berbagai macam sikap gereja terhadap kebudayaan. Barangkali pemikiran Richard
Niebuhr penulis buku Kristus dan kebudayaan dapat membantu kita untuk
lebih memahami masalah ini.
6

Richard Niebuhr menyampaikan bahwa setidaknya ada 5 (lima) macam


sikap gereja (orang Kristen) terhadap kebudayaan. Lima sikap itu adalah:Injil
dipandang bertentangan dengan kebudayaan
Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan
kegelapan. Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun tidak
hidup dalam kegelapan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu
mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh
iman kepada Kristus (Niebuhr, 56).
Artinya, menjadi orang percaya haruslah menentang kebudayaan, sebab
kebudayaan akan menghambat tumbuhnya kesucian hati untuk dapat diterima
Tuhan. Mereka menjalani hidup kekristenannya dengan cara mengasingkan diri,
tinggal di tempat terpencil/bertapa, bahkan menyiksa tubuhnya sendiri. Dengan
cara hidup seperti itu mereka beranggapan bahwa itulah cara hidup untuk
menekankan kesucian di depan Tuhan. Prinsip hidup semacam itu pernah dijalani
oleh orang-orang Kristen pada abad-abad pertama.
a. Gereja dari/dalam Kebudayaan
Dalam pemahaman ini dihayati bahwa Kristus sendiri tidak menolak
kebudayaan, bahkan sangat menghormatinya. Yesus Kristus dibesarkan dan
tinggal di tengah kebudayaan Yahudi. Dalam sejarah gereja penghayatan semacam
ini ditemukan khususnya pada kehidupan di dunia barat pada abad pertengahan.
Pada waktu itu ada pemahaman bahwa kebudayaan barat adalah juga kebudayaan
Kristen. Akibatnya, produk kebudayaan barat dianggap sebagai produk
kekristenan. Catatan: Kita tentu ingat bahwa penyebaran kekristenan sangat
agresif pada saat itu, termasuk masuknya kekristenan di Indonesia.
Akibat yang masih sangat terasa sampai pada saat ini adalah kekristenan
kita masih sangat berwarna barat. Contoh yang paling mudah adalah tentang
Perayaan Natal. Setiap merayakan Natal kita tidak pernah lupa memasang Pohon
Terang (pohon cemara dengan hiasan dan saljunya). Padahal keseharian kita
sangat asing dengan salju. Pohon terang adalah produk budaya barat dalam
mengungkapkan sukacita natal, dan itu cocok dengan iklim dan cuaca di negara
barat. Kita mengambil alih begitu saja tanpa mengkritisi apakah Natal dengan
pohon terang itu cocok dengan budaya kita? Yang lebih memperihatinkan lagi
adalah menganggap bahwa Pohon Terang adalah produk kebudayaan Kristen.
7

Selama beberapa abad kita mengikuti tradisi kekristenan barat. Bahkan jaman
dulu ada warga jemaat yang memprotes keras pada saat pohon terang akan diganti
dengan janur. Kata pemrotes penggantian itu akan mencoreng kemurnian
kekristenan. Secara tersirat protes itu sebenarnya merupakan wujud sikap
mengagungkan budaya barat bukan mengagungkan iman Kristen. Sebab pohon
terang tidak terdapat di dalam Alkitab. Bahkan cerita tentang Natal halnya
terdapat tidak lebih dari 4-5 pasal dari keseluruhan isi Alkitab.
b. Gereja /Injil berada di atas Kebudayaan
Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan
suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akal budi manusia yang dapat dikenal
oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum
alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui
hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan
sebagian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural
manusia (ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: juallah semua
apa yang kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat
dalam perintah kamu tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui
oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas
menyimpulkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat hidup
manusia berada di bawah ordo supernaturalis. Manusia dalam hidupnya sudah
kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannya kembali hanyalah
melalui sakraman. Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu
kebudayaan berada di bawah hirarkis gereja.
Dalam pandangan ini dipahami bahwa kebudayaan tidak perlu dimusuhi.
Mengapa? Karena kebudayaan merupakan salah satu realisasi jati diri manusia
yang telah diberi akal budi oleh Allah. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa
melalui kebudayaan manusia dapat mengenal tentang apa yang baik dan buruk
(nilai-nilai hidup). Hanya saja nilai-nilai hidup yang ditawarkan oleh kebudayaan
itu tidak mungkin mencapai pada pengenalan akan Allah yang sejati. Oleh karena
itu kebudayaan membutuhkan tambahan, yaitu anugerah Allah (dalam hal itu:
Yesus Kristus). Yesus Kristus memberi nilai plus pada kebudayaan.

c. Gereja/Injil selalu pada posisi paradok dengan kebudayaan (Christ


and culture is in paradox)
Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman
(Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus
berada dalam anugerah Allah dalam Kristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit
oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan hidup dalam kebudayaan. Pandangan
dualisme kelihatan juga secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang
mencetuskan reformasi pada tahun 1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam
dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah yang rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan
Allah adalah suatu kerajaan anugerah dan kemuliaan, tetapi kerajaan duniawi
adalah suatu kerajaan kemurkaan dan kekerasan. Kedua kerajaan itu tidak dapat
dicampur adukkan. Masing-masing lingkungan menurutaturannya. Jadi manusia
hidup dalam dua tatanan yaitu tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan
tatanan rohani yaitu tatanan surgawi. Ada kesan bahwa Marthin Luther tidak
menghubungkan tatanan duniawi dengan yang surgawi sehingga kehidupan dalam
kebudayaan dan surgawi tidak berhubungnan. Dengan itu ada kemungkinan orang
tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam kebudayaan.
Dalam pemahaman ini dihayati bahwa selama Injil berada di dunia, maka
Injil/Gereja/orang percaya akan selalu berada dalam suasana pergumulan.
Sederhananya sebagai berikut, pada satu sisi orang percaya adalah anggota
keluarga Allah, tetapi di sisi lain orang percaya masih banyak terikat oleh
kebutuhan dan juga godaan dunia. Keadaan seperti ini sangat sulit kita hindari.
Hal yang perlu dilakukan dalam posisi seperti ini adalah upaya untuk selalu
mengedepankan kehendak Tuhan supaya kita tetap dapat hidup dengan baik di
dunia serta berkenan di hadapan Tuhan.
d. Gereja-Injil memperbaharui kebudayaan
Banyak orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian
tersebut baik dalam teori maupun dalam politik. Yesus Kristus yang telah datang
kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa
yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih
Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia. Dengan jalan Injilnya ia
memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang

telah rusak. Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil
pengubah kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap kebudayaan.
Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke 16.
Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa hukum-hukum kerajaan
Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat terbaca dalam kebudayaannya.
Dengan itu hidup dan kebudayaan manusia dapat ditransformasikan sebab kodrat
dan kebudayaan manusia dapat dicerahkan, sebab mengandung kemungkinan itu
pada dirinya sebagai pemberian Ilahi. Oleh sebab itu Injil harus diaktualisasikan
dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih dapat mensejahterakan manusia (245246).
Dalam pemahaman ini dihayati bahwa kehadiran Injil di tengah dunia
adalah

untuk

memperbaharui

dunia-kebudayaan.

Johanes

Calvin

yang

mengungkapkan bahwa dengan kehadiran Kristus, maka kita dipanggil untuk


menjadikan dunia sebagai panggung untuk memuliakan Allah (Theatrum gloriae
Dei). Kebudayaan tidak perlu dimusuhi atau ditentang, melainkan kita bisa
memberi makna baru pada suatu kebudayaan. Lihat pada Matius 12:9-13,
bagaimana Yesus memberikan makna baru dan lebih tepat akan hari sabat.
Contoh lain misalnya budaya nyekar ke kubur yang sudah akrab di
tengah masyarakat kita. Kalau orang lain melakukan nyekar barangkali dengan
tujuan agar mendapatkan pahala dari Tuhan, namun kita tidak. Kita dapat saja
nyekar tetapi dengan makna yang baru. Nyekar ke kubur bisa kita maknai
sebagai bentuk penghayatan kita bahwa kuburan itu ibarat mengenang seseorang
yang kita kasihi. Kubur bukan sebagai lambang kematian atau berakhirnya
kehidupan seseorang, tetapi kuburan justru sebagai simbol kebangkitan/kehidupan
yang indah. Perhatikan ungkapan Rasul Paulus Karena bagiku hidup adalah
Kristus dan mati adalah keuntungan (Filipi 1 : 21).
Ada 5 macam sikap umat Kristen terhadap kebudayaan yang sama
diungkapkan oleh Jan Verkuyl dalam bukunya Etika Kristen dan Kebudayaan
dan Richard Niebuhrdalam bukunya Christ and Culture, yaitu sikap:
1. Antagonistis atau Oposisi

10

Sikap antagonistik (oposisi, menentang, menolak) terhadap kebudayaan


ialah sikap yang melihat pertentangan yang tidak terdamaikan antara agama
Kristen dan kebudayaan dan sebagai akibatnya menolak dan menyingkiri
kebudayaan dalam semua ungkapannya. Gereja dan umat beriman sebagai
individu memang kerapkali harus berkata tidak atau menolak terhadap ungkapan
kebudayaan tertentu, yakni kebudayaan yang: (1) menghina Tuhan; (2)
menyembah berhala; dan (3) yang merusak kemanusiaan. Namun, itu tidak berarti
bahwa semua aspek kebudayaan perlu ditentang;
2. Akomodasi atau Persetujuan
Sebaliknya dari sikap antagonistis, adalah yang mengakomodasikan,
menyetujui atau menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Dengan
demikian maka agama Kristen dikorbankan untuk kepentingan kebudayaan yang
ada demi suatu sinkretisme. Salah satu sikap demikian ditujukan untuk membawa
orang kepada suatu cara berfikir, cara hidup dan berkomunikasi atau berhubungan
dengan orang lain sedemikian rupa hingga seolah-olah semua agama sama saja
dan di dalam pergaulan hidup disingkirilah unsur agama Kristen yang sekiranya
dapat menimbulkan keengganan golongan lain serta menyesuaikan diri dengan
keadaan disekelilingnya.
3. Dominasi atau Sintesa
Ada juga sikap dominasi gereja terhadap kebudayaan seperti yang dengan
jelas terlihat dalam gereja yang mendasari ajarannya dengan teologi Thomas
Aquinas yang menganggap bahwa sekalipun kejatuhan manusia dalam dosa telah
membuat citra ilahinya merosot, pada dasarnya manusia tidak jatuh total,
melainkan masih memiliki kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya dalam
menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi secara
penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu menjadi bagian iman, namun
kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi alat
anugerah ilahi.
4. Dualisme atau Pengkutuban

11

Yang dimaksudkan dengan sikap dualistis/pengkutuban (mendua) terhadap


kebudayaan ialah pendirian yang hendak memisahkan iman dari kebudayaan.
Pada satu pihak terdapatlah dalam kehidupan kaum beriman kepercayaan kepada
pekerjaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, namun manusia tetap berdiri di
dalam kebudayaan kafir dan hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus
yang mengubah hati manusia berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan
dalam iman tidak ada artinya dalam menghadapi kebudayaan. Manusia beriman
hidup dalam kedua suasana atau lapangan baik agama maupun kebudayaan secara
bersama-sama.
5. Pengudusan atau Pentobatan
Sikap pengkudusan tidak menolak (antagonistis) namun juga tidak
menerima (akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa
kejatuhan manusia dalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia
melainkan menawarkan pengampunan dan kesembuhan bagi manusia untuk
bertobat, memulai suatu kehidupan yang lebih baik dengan mengalami
transformasi kehidupan etika dan moral sesuai kehendak Allah. Manusia dapat
menerima hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak
menyembah berhala, mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya bila
kebudayaan itu memenuhi salah satu atau ketiga sikap budaya yang salah itu,
umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk mengkuduskan
kebudayaan itu sehingga terjadi trasformasi budaya kearah memuliakan Allah,
tidak menyembah berhala dan mengasihi manusia dan kemanusiaan.
Firman Tuhan mempunyai otoritas mutlak dalam semua aspek kehidupan
manusia yang meliputi kehidupan spiritual maupun kehidupan praktis sehari-hari.
Mat 16:24, Tuhan Yesus berkata kepada murid-muridNya bahwa setiap orang
yang mau mengikut Dia haruslah menyangkal dirinya, memikul salibNya setiap
haridan mengikut Yesus
1.

Orang Kristen Menyangkali Diri terhadap Kebudayaan yang Melawan


Firman Allah

12

a. Menilai kembali kebudayaan dalam terang Firman Allah dan


membaharuinya.
b. Melayani mereka dalam kebudayaan yang berbeda tanpa memaksa
mereka untuk mengikuti kebudayaan si pelayan Injil sekalipun untuk itu
kita harus meninggalkan kenyamanan, kemapanan, dan kesejahteraan hati
kita ( I Kor 8:20-23). Melihat secara hati-hati dan memisahkan pengajaran
dalam doktrin Kristen antara kebenaran yang bersifat supra kultural dan
pakaian kebudayaan dalam Injil maupun pelayan Injil. Berusaha
menemukan keharmonisan di antara prinsip kebenaran berita Injil dan
kebudayaan kontekstual, tanpa mengabaikan sedikitpun kebenaran mutlak
yang diwahyukan Allah.
2.

Orang Kristen Memikul Salibnya terhadap Kebudayaan yang Melawan


Kristus
a. Tetap setia terhadap kebenaran mutlak yang dinyatakan dalam Alkitab
sekalipun harus dibayar dengan pertentangan dan kesulitan
b. Bersedia melayani dengan menghadapi tantangan dari dua kelompok
manusia yang mengandalkan kebudayaan dalam hidup di dunia ini:
-kelompok agama dalam menjalani hidup di dunia ini berusaha untuk
mendapatkan keselamatan dan pengampunan Allah melalui kehidupan
keagamaan,

amal,

intelektual,

dan

kesalehan

mereka.

-kelompok duniawi yang cenderung memuaskan keinginan diri tanpa


mempedulikan kebenaran Allah. Mewujudkan hidup yang mengejar
kepuasan dan kenikmatan jasmaniah.
c. Memberitakan Injil Kristus yang menyatakan kesia-siaan hidup
keagamaan, amal, dan kesalehan manusia. Menyatakan hukuman Allah
atas kehidupan manusia yang berdosa dan menolak pengampunan
Allah dalamYesus Kristus. Memperkenalkan identitas manusia baru
dalam karya penebusan Yesus Kristus.
3.

Orang Kristen Mengikut Tuhan Yesus di Tengah Arus Kebudayaan


a.Meneladani kehidupan Kristus semasa kehadiranNya secara jasmaniah di

13

dalam dunia. Menyatakan kehidupan baru yang memuliakan Allah


sehingga dunia akan mengenal kita sebagai pengikut Kristus
b. Membaharui kehidupan masyarakat dan kebudayaan melalui profesi
kita dan karunia yang Allah percayakan kepada kita, dengan berprinsip
pada Filipi 2:5.
c. Membaharui kebudayaan yang memisahkan dan menjauhkan manusia
dari sesamanya.
d. Membaharui kebudayaan yang memperlakukan manusia secara tidak
manusiawi.
e. Membaharui kebudayaan yang bersifat materialistis dan merendahkan
martabat manusia.
f. Membaharui kebudayaan yang berpusat pada kenikmatan hawa nafsu
diri dan bersifat egosentris.

1.5. Refleksi
Memandang dan Menyikapi Kebudayaan Batak Dalam Upaya
Memperbaharui dan Melestarikan Kebudayaan Batak Dalam Terang
Firman Allah.
Kebudayaan adalah prestasi atau hasil cipta, rasa, dan karsa manusia
dalam alam ini. Kemampuan untuk berprestasi/berkarya ini merupakan sikap
hakiki yang hanya ada pada manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah. Karena itu sejak penciptaan, manusia telah diberi amanat kebudayaan (Kej
1:26-30)
Namun kejatuhan manusia dalam dosa telah menyebabkan manusia hanya
mampu menghasilkan kebudayaan yang menyimpang dari rencana Allah dan
hanya demi kemuliaan diri manusia sendiri (dari God-centered menjadi mancentered)

14

Manusia lalu berusaha untuk mengisi keadaan kosong dalam hatinya


dengan kebudayaan (agama, ilmu dan teknologi, seks, hiburan, harta, kesalehan,
kedudukan tinggi, dll.) Namun kebudayaan manusia tidak akan pernah dapat
memulihkan keadaan manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Pemulihan keadaan
manusia dan kebudayaannya terjadi ketika Anak Allah yang Tunggal turun ke
dalam dunia untuk menebus dosa manusia.
Awal kedatangan Injil Ke Tanah (Jiwa) Batak
Begitu lama suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah
bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang
ditentukanNya sendiri, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaris
dari Eropa untuk memperkenalkan Injil kepada kakek-nenek (ompung) dan ayahibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan
Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada dewadewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah
Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup.Mereka berpindah dari gelap
kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian
kepada kehidupan yang kekal.Injil telah dating dan merasuk ke Tanah Batak!
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan. Raja dan .Juruslamat
tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari sawo matang
menjadi putih (bule), atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi
pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan
roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan
Kristus itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari Batak menjadi
Jerman. Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak
dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah Batak dan hidup sebagai
masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para
missionaris itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang
Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka
bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakeknenek kita dapat mengerti dan menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali.
Selanjutnya melatih mereka memuji dan berdoa kepada Kristus yang baru mereka
kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris atau Yahudi).
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek
dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus
sebagai Tuhan, Raja dan Jurusiamat. Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada
Kristus itulah kita menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai
sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayahibu kita dahulu. kita yang sekarang pun mengalami bahwa babtisan dan
kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang menjadi putih.
Juga tidak mengubah kita dari Batak-Indonesia menjadi Eropah-Amerika. Sebagai
pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan
berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status sosial tertentu yang
mutlak menjamin kita lebih dekat kepada Kristus. (Gal 3:28) tidak ada juga
bahasa yang menghalangi kita datang kepadaNya.

15

Firman telah menjadi manusia sama seperti kita dan tinggal diantara kita
(Yoh 1 :14). ltu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia
Batak dan hidup diantara kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab
itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah
dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol, ritme, corak dan seluruh ekspressi
kultur Batak (termasuk lndonesia dan modernitas) kita Mengapa? Sebab Tuhan
Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat
kita pahami dan hayati.
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai
orang Kristen? Memang harus diakui bahwa pada awalnya jaman dahulu
tortor dan gondang adalah merupakan ritual atau upacara keagamaan tradisional
Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa
leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik tortor dan
gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun
kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen
( sekaligus batak- Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta
kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik
Tortor dan Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu, namun dengan
memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai
sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana
mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit
dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, dan Roh
kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih
sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba
dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa
bangsa Eropa yang belum mengenal Kristus namun diberi isi yang baru, yaitu
perayaan kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur paskah, santa claus
dll.
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di
gereja Korintus pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging
sapi yang dijual pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan
oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan boleh namun sebagian
lagi mengatakan tidak. Rasul paulus memberi nasihat yang sangat bijak.
*Makanan tidak mendekatkan atau Menjauhkan kita dari Tuhan. (l Kor 8:1-11).
Keadaan Yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh
memakan segalanya. (1 kor 14:15) Rasul Paulus memberi nasihat Kerajaan Allah
bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan
sukacita oleh Roh Kudus (l Kor14:17). Kita boleh menarik analogi dari ayat-ayat
ini untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan
gondang dahulu dipakai untuk penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai
untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh kudus. Selanjutnya kita sadar
bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis tekstil atau musik,
tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan, Tenunan
ulos batak, dengan batik jawa atau brokat prancis sama saja nilainya
dihadapan Kristus. Taganing (gondang, atau gondrang), orgel adalah sama-

16

sama alat yang tidak bernyawa dan netral. Keduanya dapat dipakai untuk
memuliakan Allah.
Persoalan sesungguhnya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan iman
Kristen dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen
untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita
mempengaruhi, mewarnai, merasuki memperbaiki realitas social, konomi, politik
dan budaya yang ada. Itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk
menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos dll) namun
untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan
kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang
kristiani. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk
begitu saja kepada tuntutan budaya itu. Agar dapat menggarami dan menerangi
budaya (tortor. gondang dan ulos dll) kita tidak bersikap ekstrim: baik menolak
atau menerima secara absolut dan total. Kita sadar sebagai orang Kristen, kita
hanya tunduk secara absolute kepada Kristus dan bukan kepada budaya.
Sebaliknya kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak
dapat mengasingkan diri dari budaya. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya
sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya batak
itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang
buruk? Mana yang harus dipertahankan (dilestarikan) dan mana yang harus di
ubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, dan yang tidak relevan dengan
kekristenan?
Kita mengakui dengan jujur bahwa sebelum datangnya kekristenan tortor
dan gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak. dan
manusia). menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek
moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk
Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita
mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa
yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama
kita.Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai
reflector atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita
yang beriman Kristen, gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para
pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat menyampaikan
syukur atau permohonan kita kepada Allah bapa tanpa perantara atau reflektor
kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum
kekristenan, tortor dan gondang sangat terikat kepada aturan-aturan pra-Kristen
yang membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh
manortor dengan membuka tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang,
tentu saja semua orang boleh bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya
termasuk orang yang belum atau tidak menikah, memiliki anak, belum atau tidak
memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga
dihadapan Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak
bernoda (1 pet 1:19).

17

BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Dalam Kejadian 2:15, manusia diberi tugas bergenerasi, berkuasa,
mengusahkan dan memelihara. Untuk melakukan tugas-tugas itu, manusia
berbudaya. Namun untuk dapat berbudaya dengan baik, manusia di beri berkat

18

terlebih dahulu. Akal budi dan segala alat pengindraan menjadi modal dasar untuk
berbudaya. Dapat kita ketahui bahwa kebudayaan menurut iman Kristen adalah
semua alat untuk memuji Tuhan. Dasarnya adalah kasih kepada sesama yang
menimbulkan kerja sama dan komunikasi yang harmonis.
Sesungguhnya kehidupan manusia tidak bisa lepas dari budaya dan tradisi.
Justru dalam budaya dan tradisi itulah manusia mengembangkan kemanusiaan
dan komunitasnya. Budaya dan tradisi menjadi sarana bagi manusia untuk
memaknai alam, sesama dan TUHAN-nya. Iman Kristen dipengaruhi budaya dan
tradisi yang ada di sekitarnya tetapi sekaligus juga menciptakan budaya dan
tradisi baru. Kristen telah menjadi salah satu sumber kekuatan untuk melahirkan
kebudayaan.
Beberapa sikap yang dapat menjadi pertimbangan dalam menghadapi
kebudayaan yang ada. Sikap tersebut adalah Injil dipandang bertentangan
dengan kebudayaan (menentang), Gereja dari/dalam kebudayaan (sikap
akomodasi atau adaptasi), Gereja /Injil berada di atas kebudayaan (sikap
dominasi), Gereja/Injil selalu pada posisi paradok dengan kebudayaan
(Christ and culture is in paradox) (sikap mendua), Gereja-Injil
memperbaharui kebudayaan (sikap pengudusan serta adopsi)
Iman dan budaya memang berbeda namun juga begitu menyatu dan saling
tak terpisahkan, saling menghidupi. Jadi kita tidak boleh anti budaya namun
harus kritis terhadap budaya. Akan tetapi juga perlu berhati-hati, jangan
mencampuradukkan iman Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan lain. Tentu
tradisi yang tidak mengandung unsur pemujaan kepada allah lain bahkan
mengandung nilai-nilai solidaritas dan kemanusiaan perlu kita hargai dan terima.
Bila perlu tradisi itu kita pakai dengan memberi makna baru yang lebih kristiani.

19

DAFTAR PUSTAKA
Sinulingga, Risnawaty.2014.Pendidikan Agama Kristen.Medan: Pustaka Bangsa
Press
Brotosudarmo, Drie, S. 2007. Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Andi
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:PT. Renaka Cipta

20

http://www.oaseonline.org/artikel/ngelow-perspektif.htm
November 2011 jam 12.30 WIB

21

diunduh

pada

Anda mungkin juga menyukai