Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Di negara sedang berkembang kematian ibu merupakan fenomena gunung es,
dimana karena berbagai faktor banyak kematian yang tidak dilaporkan dan tercatat.
Dilaporkan hampir 500.000 kematian ibu hamil/bersalin/nifas terjadi tiap tahun yang
disebabkan oleh komplikasi kehamilan dan persalinan, kematian ini 99% terjadi di
negara negara berkembang. Sebagai contoh di Inggris terjadi kematian 2 - 9 ibu
hamil/bersalin/nifas per 100.000 kelahiran, sedangkan di Afrika terjadi 100 kematian
ibu hamil/bersalin/nifas per 10.000 kelahiran1. Angka kematian ibu (AKI) di
Indonesia tidak saja yang tertinggi diantara negara ASEAN, tetapi juga menurunnya
sangat lamban yaitu 450/100.000 kelahiran pada tahun 1986 menjadi 421/100.000
pada tahun 1992 dan target yang harus dicapai pada akhir Pelita VI adalah
225/100.000(2). Telah diketahui ada 5 penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia
yaitu, perdarahan, sepsis, hipertensi, persalinan lama dan unsafe abortion. Sebagian
besar kematian ibu yang disebabkan oleh ke lima hal tersebut sebenarnya dapat
dicegah dengan memberikan pelayanan kesehatan yang memadai, memberikan
informasi/edukasi serta penanganan medis yang cepat dan tepat4,5. Sedangkan
penyebab tidak langsung adalah anemia, penyakit kardiovaskular, malaria,
tuberculosis, hepatitis dan penyakit-penyakit lainnya. Meskipun sudah mulai jarang
tetapi bila infeksi yang terjadi pada saat hamil, persalinan, dan nifas yang tidak
ditangani dengan baik bisa berkelanjutan menjadi sepsis, sepsis berat dan syok septik
dan berkembang menjadi Multi Organ Dysfunction Syndrome (MODS), yang
menimbulkan mortalitas yang sangat tinggi.

BAB II
ISI
2.1

Definisi
Sepsis merupakan sindroma klinik akibat komplikasi infeksi berat
yang ditandai dengan peradangan sistemik dan penyebaran kerusakan jaringan
yang bisa menimbulkan kegagalan fungsi organ.1

2.2

Faktor Risiko1
Banyak faktor langsung maupun tidak langsung, yang berpengaruh
memudahkan terjadi infeksi dan sepsis pada kehamilan, persalinan dan
nifas. Beberapa kondisi tersebut antara lain :
1. sosial ekonomi rendah
2. anemi dan kurang gizi
3. mengalami ketuban pecah dini
4. partus lama dan partus kasep
5. kehamilan dengan komplikasi infeksi seperti pyelonephritis dan infeksi
traktus urinarius.

2.3

Etiologi
Sumber infeksi :
Infeksi bisa berasal dari sumber endogen, eksogen, sebab obstetri dan non
obstetri serta penularan nosokomial.
Obstetri
- Khorioamnionitis
- Ketuban pecah dini (lebih dari 6 jam )

Pemeriksaan vagina yang terlalu sering dengan kondisi tangan yang tidak
bersih
Abortus Provocatus
Partus lama
Hubungan seks setelah ketuban pecah
Retensio plasenta
Perdarahan

Non-Obstetri
-

Appendicitis
Infeksi saluran kemih
Hal yang paling sering menyebabkan sepsis pada kehamilan adalah infeksi
pada saluran kemih. Dimana hal ini terjadi perubahan fisiologi dan
anatomi pada organ, sehingga menyebabkan ascending infection.
Perubahan kimia urin juga menyebabkan kuman dapat berkembang
dengan baik di saluran kemih. Sedang pada karioamnionitis sering di
dihubungkan dengan kejadian ketuban pecah dini. Lamanya ketuban
pecah sangat mempengaruhi proses sepsis pada kehamilan

2.4

Patofisiologi 8
Sepsis dipandang sebagai respon inflamasi yang tidak terkontrol.
Mekanisme sepsis berhubungan dengan respon sistemik yang komplek dan
proses imunologik yang dicetuskan oleh masuknya mikroorganisme atau
produknya ke dalam sirkulasi. Mikroorganisme penyebab infeksi tersebut
kemudian masuk kedalam sirkulasi (bacteremia) atau mengalami proliferasi
lokal dan melepaskan berbagai mediator imununoreaktif ke dalam sirkulasi
darah. Pada bakteria Gram negatif terdapat lipopolisakarida (LPS), yang bila
masuk

ke

dalam

sirkulasi

sebagian

akan

terikat

dengan

LBP

(lypopolysacharide Binding Protein) sehingga mempercepat ikatan dengan


CD14 terlarut dan membentuk komplek CD14-LPS. Kompleks ini
menyebabkan transduksi sinyal intraselular melalui nuklear factor kappa B

(NFkB), tyrosine kinase, pro RNA Cytokine oleh sel. Kompleks LPS-CD14
terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like recepror-2
(TLR2).
Pada bakteri Gram positif, komponen dinding sel bakteri yang
merupakan induktor sitokin adalah lipotheicoic acid (LTA) dan peptidoglikan
(PG). Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang
berlebihan. Mediator inflamasi ini mencakup sitokin yang bekerja lokal dan
sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel
lainnya. Terjadi aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, sistem
koagulasi, dan fibrinolisis, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen
dan nitrogen radikal. Selain mediator yang bersifat proinflamasi, dilepaskan
juga mediator yang bersifat antiinflamasi. TNF- dan IL-1 yang merupakan
sitokin tepenting dalam sepsis dan keduanya bekerja sinergis, dimana efek
biologis keduanya menyebabkan transkripsi berbagai gen molekul adhesi,
seperti intercellular
activator

adhesion

inhibitor-1

molecule-1

(PAI-1),

(ICAM-1), dan plasminogen

phospolipase

A2,

NO

synthetase serta cyclooxygenase. Pengaruh TNF dan IL-1 pada endotel


menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi tissue factor (TF),
penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan,
pembentukan NO, endotelin-1, protaglandin E2 dan prostaglandin I2. NO
berperan dalam mengatur tonus vaskuler. Pada sepsis produksi NO oleh sel
endotel meningkat, ehingga menyebabkan gangguan hemodinamik berupa
hipotensi, disamping itu NO juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena
dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi
dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO tersebut
berkaitan dengan syok septik yang resisten terhadap vasopressor. IL-1 dan
TNF- juga dapat merangsang proses koagulasi melalui berbagai jalur. Sitokin
tersebut dapat merangsang endotel dan monosit untuk mengekspresikan tissue
factor,

yang

merupakan

tahap

pertama

jalur

ekstrinsik

kaskade
4

koagulasi. Tissue factor ini kemudian akan menghasilkan trombin, dan


selanjutnya trombin dapat menyebabkan fibrin clot di dalam mikrovaskuler.
Selanjutnya sitokin tersebut dapat pula menyebabkan gangguan pada
sistem fibrinolisis, melalui terbentuknya plasminogen activator inhibitor-1,
yang

merupakan

substansi

inhibitor

yang

kuat,

dan

menyebabkan

disrupsi activated protein C dan antitrombin III. Activated Protein C, yang


merupakan co-factor dari protein S, mencegah pembentukan trombin melalui
pemecahan faktor Va dan VIII a, selain itu activated protein C juga
mempertahankan

integritas

sistem

fibrinolisis

melalui

penghambatan

terhadap plasminogen activator inhibitor-1. Akhir dari proses inflamasi dan


koagulasi tersebut menyebabkan insufisiensi kardiovaskuler, multiple organ
failure (MOF) dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Insufisensi
kadiovaskuler bisa terjadi secara langsung pada level miokardium sebagai
akibat dari efek langsung TNF- atau pada level pembuluh darah sebagai
akibat dari vasodilatasi dan kebocoran kapiler.
Hubungan antara sepsis dengan jumlah bakteri dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti imunitas dan keadaan penyakit itu sendiri. Secara
umum,bakteri gram positif sangat sering di temukan sebagai pemicu
terjadinya sepsis. Bakteri yang sering di temukan pada urine pasien dengan
penyakit infeksi saluran kemih adalah Eschericia Coli.Perjalanan sepsis akibat
bakteri di awali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakterimia,yang
kemudian berubah menjadi SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrom ).
Jika sudah berat,maka sepsis bisa sampai pada tahap shock sepsis, dan itu bisa
menuju kepada kematian bagi pasien.
2.5

Gejala Klinis
Reaksi inflamasi yang timbul akan mengakibatkan suatu sindroma
yang terdiri dari gangguan hemodinamik disertai dengan disfungsi sistem
organ. Infeksi yang tidak ditanggulangi akan berkembang menjadi systemic
5

inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, severe sepsis dan syok


septik. Diagnosis SIRS ini ditegakkan oleh sekurang-kurangnya dua kriteria
yaitu:
1.
2.
3.
4.

Temperatur > 380C


Detak jantung > 90 / menit
Frekwensi pernafasan > 20 / menit atau PCO2 arteri <32 mmHg
Jumlah lekosit > 12000/l atau < 4000/l dengan >10% bentuk
imatur.
Bila sepsis ini berkembang serta menimbulkan disfungsi organ,

disebut sepsis berat dan bila ada komplikasi hipotensi yang tidak membaik
setelah resusitasi volume cairan intra-vaskuler maka akan jatuh kedalam
septik syok yang berakibat fatal. Definisi Gradasi Sepsis yang dipakai sampai
saat ini adalah: 7,8

Infeksi :
Reaksi inflamasi yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme atau
invasi organ steril oleh mikroorganisme.
Bakteriemia : adanya bakteria dalam darah.
Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) : Reaksi inflmasi
sebagai reaksi terhadap adanya berbagai penyakit/ kondisi dengan

diagnosis seperti telah disebutkan diatas.


Sepsis (SIRS + Infeksi) adalah SIRS yang disebabkan oleh faktor infeksi.
Sepsis berat / Severe sepsis : Sepsis dengan tanda tanda disfungsi organ
atau penurunan perfusi organ (asidosis laktat, oliguri <30 ml/jam atau 0,5
ml/kg berat badan/jam, hipotensi <90 mmHg atau penurunan >40 mmHg)

dan perubahan mental.


Syok septik : Sepsis berat dan hipotensi yang persisten, meskipun telah
diberikan cairan yang adekuat, dan setelah menyingkirkan penyebab

hipotensi yang lainnya.


Sindrom disfungsi organ multipel (MODS), adanya gangguan fungsi multi
organ pada pasien dengan sakit berat akut dimana hemostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi

2.6

Diagnosis
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan gabungan temuan faktor
predisposisi dengan manifestasi klinis berupa SIRS. Berdasarkan hal itu bisa
dikategorikan adanya infeksi, bakteremia, sepsis, sepsis berat, syok septik
sampai MODS (multiple organ dysfunction syndrome) atau MOF (multiple
organ failure). Kuman penyebab dapat diidentifikasi dari pemeriksaan
laboratorium lengkap yang meliputi pemeriksaan darah, urin, dan kultur dari
berbagai cairan tubuh dan amniosentesis bila dicurigai adanya infeksi intra
uterin.
Hasil kultur darah yang positif menguatkan adanya infeksi yang serius.
Karena keterbatasan teknik kultur hanya 30% kuman penyebab dapat dikenali
disamping secara klinis infeksi bisa masih terbatas lokal dan belum
menstimulasi reaksi sistemik. Pemeriksaan kultur darah dilakukan sesegera
mungkin begitu muncul gejala panas. Pemeriksaan rutin Candida tidak
dianjurkan.

2.7

Tatalaksana
Begitu diagnosis ditegakkan maka rangkaian terapi harus dimulai
secara agresif dan adekuat dalam waktu kurang dari 6 jam. Patokan yang
disebut denganEarly goal directed therapy telah terbukti dapat menurunkan
angka kematian ibu secara bermakna. Pendekatan tersebut terdiri dari :
pemberian cairan intra vena, peningkatan pemberian oksigen, pemberian obat
obat vasopresor, pemberian obat obat inotropik, pemberian tranfusi darah,
pemberian ventilasi mekanik dan pemakaian kateter arteri. Pendekatan ini
bertujuan

untuk

melakukan

penyesuaian

kembali, cardiac

preload,

afterload dan kontraktilitas jantung untuk tujuan akhir yaitu tercapainya


keseimbangan antara oxygen delivery dan oxygen demand.5
1. Pengobatan dengan antibiotika
7

Pemberian antibiotika hendaknya mempertimbangkan spektrum yang


mencakup kemungkinan kuman penyebabnya, farmakokinetik, dosis, cara
pemberian, keamanan serta biaya. Pemberian antibiotika segera harus
dilakukan tanpa menunggu hasil kultur dan dapat dimulai secara empiris
dengan antibiotika spektrum luas. Apabila hasil kultur dan tes sensitifitas
sudah ada, maka jenis antibiotika harus disesuaikan dengan hasil tes
sensitifitas yang ada, untuk menghindari timbulnya resistensi antibiotika
tersebut. Pada infeksi yang berat dipilih cara pemberian intravena untuk
mempercepat kerja obat. Beberapa pilihan antibiotika pada sepsis/sepsis
berat/syok septik sebagai berikut :
a. Pada umumnya untuk infeksi yang terkait dengan kehamilan dan
persalinan, yang dicurigai dengan infeksi aerob dan anaerob masih dapat
diberikan kombinasi penisilin, aminoglikosid dan klindamisin atau
metronidazole.
b. Sebagai alternatif, pada pasien pasien yang tidak mengalami neutropenia
dapat diberikan sefalosposrin generasi ke dua atau ke tiga. Sepalosporin
generasi

ketiga

Cefoperazone,

atau

keempat,

Ceftriaxone,

sepeti Cefotaxime,
Cefpirone,

Ceftizoxime,
Cefepine atau

Ceftazidime serta Meropenem dapat dipertimbangkan pada infeksi yang


berat atau pada infeksi oleh berbagai macam strain bakteria gram negatif.
c. Pada sepsis berat yang mengancam nyawa direkomendasikan kombinasi
sefalosporin generasi ke tiga atau keempat dengan aminoglikosida.
d. Pada beberapa rumah sakit, terdapat bakteri gram negatif yang resisten
terhadap aminoglikosida dan sefalosporin generasi ke dua, tiga dan empat.
Pada kondisi ini dapat diberikan Meropenem atau Ciprofloxacin.

e. Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap gentamisin, dapat


diberikan Amikasin, Ceftazidime, Cefepime, Meropenematau Tobramisin.
Strain Enerokokal yang saat ini resisten dengan banyak antibiotika dapat
diberikan klorampenikol, Doksisiklin atau Fluorokuinolon.
f. Obat anti jamur tidak dianjurkan untuk diberikan secara rutin, kecuali
pada pasien pasien yang mengalami penurunan imunitas dan kondisi
kondisi tertentu yang memudahkan terjadinya infeksi jamur dan dapat
diberikan Ampotericin B atau Flukonasol.6
2. Resusitasi Cairan
Salah satu komplikasi utama pasien sepsis adalah adanya vasodilatasi
umum yang diakibatkan oleh pelepasan Nitric Oxide (NO) dalam jumlah
besar. Disamping itu pada sepsis, syok hipovolemik juga bisa disebabkan oleh
adanya peningkatan kapasitas vaskular (penurunan venous return), dehidrasi
(karena asupan yang menurun, kehilangan cairan melalui keringat dan
pernapasan), atau karena adanya perdarahan dan kebocoran plasma.
Stabilisasi hemodinamik bertujuan untuk mempertahankan perfusi jaringan
dan menormalisasi metabolisme selular. Pemberian cairan kristaloid/ koloid
untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik diberikan secara bolus 250
1000 mL selama 5-15 menit, setelah itu dipertahankan sesuai dengan tekanan
darah, yaitu mempertahankan tekanan darah sistolik minimal 90 mmHg atau
tekanan arterial rata-rata (MAP) 60-65 mmHg, dan volume urine 0,5 mL/kg
berat badan/jam. Bila setelah pemberian cairan tersebut secara klinis, tekanan
darah tidak ada perubahan/masih hipotensif, frekuensi denyut jantung tidak
menurun, isi nadi tidak cukup, kulit dan ekstermitas dingin, produksi urin
tidak membaik dan kesadaran tidak membaik, maka pemberian cairan
selanjutnya sebaiknya dimonitor dengan pemasangan Central Venous
Pressure (CVP) yang dipertahankan pada tekanan 8-12 mmH2O, atau yang

lebih tepat dengan memonitor tekanan ventrikel kiri dan tekanan diastolik
dengan pemasangan Pulmonary Capillry Wedge Pressure (PCWP) yang
dipertahankan pada tekanan 12-16 mmHg. Suplai oksigen sistemik tergantung
dari cardiac output dan oxygen carrying capacity dari darah. Kadar Hb yang
ideal untuk pasien sepsis adalah 8 hingga 10 gr/dl tergantung keadaan klinis
penderita. Semua tindakan ini dilakukan di ruang perawatan intensif dengan
monitoring yang ketat. Apabila tekanan darah tetap tidak naik setelah
pemberian cairan dan peningkatan hemoglobin, maka diperlukan pemberian
obat vasopresor. Vasopresor yang dipilih harus mempertimbangkan efek
kardiak dan vaskular perifer dari obat tersebut. Norepinefrin lebih sering
dipakai karena tidak banyak menyebabkan peningkatan frekuensi denyut
jantung.

Pada

syok

septik,

norepinefrin

juga

lebih

baik

dalam

meningkatkan cardiac output dibandingkan dengan dopamin, demikian juga


dalam perbaikan aliran darah ke ginjal dan produksi urin. Bila cardic
output tetap tidak baik,yang ditandai oleh perfusi perifer yang tidak adekuat,
serta indek kardiak <2,5 L/min/m2, maka dapat diberikan obat obat inotropik,
seperti Dobutamin, yang dimulai dengan dosis 2,5 g/kg berat badan/ menit
dan dinaikkan setiap 30 menit, sampai tercapai perfusi yang normal atau
frekuensi jantung >140 x/menit atau hilangnya hipotensi. Akhirnya apabila
kombinasi vasopresor dan obat intropik sudah diberikan dan hasilnya belum
optimal maka dapat diberikan Vasopresin dengan dosis 0,01 sampai 0,04
unit/menit dengan tujuan untuk mencegah iskemiia arteria koroner dan
splanikus. Pemberian bikarbonat pada asidosis tidak dianjurkan.7,8 , Pemberian
resusitasi cairan harus dilakukan dengan pengawasan hemodinamik yang ketat
yaitu, tekanan darah, nadi, cardiac output, PCWP, produksi urine dan kadar
asam laktat darah. Hati-hati dalam pemberian cairan koloid pada pasien yang
mengalami gangguan fungsi ginjal, sebab dapat mempengaruhi fungsi filtrasi
ginjal yang pada akhirnya dapat mencetuskan terjadinya gagal ginjal akut.

10

3. Kontrol Sumber Infeksi


Sumber infeksi harus segera dihilangkan begitu kondisi pasien
mengijinkan. Pada kasus kasus infeksi luka atau fasciitis dapat dilakukan
debridement, evakuasi produk konsepsi yang tersisa dengan kuretase, drainase
pada abses pelvik, laparatomi dan bahkan dilakukan histerektomi apabila
diperlukan.7 Bila sumber infeksi intrauterin pada saat kehamilan (misalnya
khorioamnionitis pada ketuban pecah dini), maka kehamilan harus diterminasi
sesuai dengan persyaratan yang ada.
4. Pengobatan Mencegah Gagal Nafas
Pada pasien sepsis yang mengalami ancaman gagal nafas (frekuensi nafas >35
kali/menit), penurunan kesadaran, dan hipoksemia berat, maka dilakukan
intubasi endotrakeal dan pemasangan ventilasi mekanik. Adapun kriteria yang
dapat dipakai untuk menentukan apakah seseorang sudah ada dalam kondisi
kegagalan nafas yang mengancam adalah sebagai berikut :
1

Mekanikal :
a. Kapasitas Vital < 15 mL/kg
b. Maternal inspiratory force (MIF) < - 25 cm H20
c. Frekuensi nafas > 35 kali/menit

Oksigenasi :
a. Pa 02 < 70 mmHg dengan FiO2 0,4
b. P(A-a)02 > 350 mmHg dengan FiO2 1,0

Ventilasi :
a. Pa CO2 > 55 mmHg (pada keadaan akut)
b. Dead space/ tidal volume ( Vd/Vt > 0,6)

End Respiratory lung inflation inadequate for adequate gas exchange.


11

Pemberian Kortikosteroid7
Meskipun masih kontroversi penggunaan kortikosteroid dosis kecil
jangka panjang menunjukkan perbaikan hemodinamik dan menurunkan
kebutuhan obat vasopressor, serta menurunkan secara bermakna angka
kematian

pasien

di

ruang

intensif

serta

mengurangi

hari

rawat

pasien. Penggunaan kortikosteroid ini juga tidak terbukti menimbulkan


perdarahan saluran cerna, terjadinya superinfeksi dan hiperglikemia. Dengan
demikian maka terapi kortikosteroid dapat diberikan pada pasien pasien sepsis
dan syok septik. Rekomendasi dosis yang dberikan adalah hidrokortison 50100 mg intravena setiap 6-8 jam atau 0,8 mg/kg BB/jam per infus
ditambahkan

dengan

fludokortidon

dilakukan tappering-off secara

bertahap

50

ug/hari,

sesuai

untuk

dengan

kemudian

kondisi

klinis.

Pemberian physiologic doses of corticosteroid tersebut, dapat diberikan pada


kadar kortisol yang normal atau tinggi, dengan asumsi terjadi efek down
regulasi reseptor adrenergic disertai dengan respon desensitisasi 7,8
6. Pemberian Antikoagulan5
Sesuai dengan tersedianya fasilitas pada pasien dengan sepsis berat
syok septik dan pasien dengan resiko kematian tinggi (APACHE II >25) dapat
diberikan recombinant actvated protein C (rh APC). Efek terapi yang
diharapkan dari rhAPC ini adalah efek antikoagulan dan antifibrinolitik,
sehingga dapat memperbaiki kondisi konsumtif koagulopati dan menghambat
kaskade inflamasi. Perdarahan merupakan risiko mayor pemberian activated
protein C, seperti perdarahan intrakranial.

6. Pengendalian Gula Darah


Untuk mencegah terjadinya

kematian

akibat multiple

organ

dysfunction syndromes (MODS), dilakukan pemberian terapi insulin untuk


mengendalikan kadar gula darah pada kadar 80- 100 mg/dL, dan harus
12

dilakukan monitoring ketat terhadap adanya tanda tanda hipoglikemik Pada


pasien pasien sepsis yang mengalami hiperglikemia terjadi penurunan fungsi
fagositosis netropil, dan pemberian insulin mampu meningkatkan fungsi
tersebut. Potensi insulin yang lainnya adalah kemampuan insulin untuk
menurunkan kejadian apoptosis sel dengan cara mengaktivasi pospatidil
inositol3-kinase. Tanpa memandang apapun mekanismenya, pengendalian
gula darah pada pasien pasien kritis penting dilakukan, dengan catatan tetap
melakukan monitoring adanya hipoglikemik yang dapat membahayakan
jaringan otak (Hypoglycemic brain injury). Kadar gula darah yang
direkomendasikan adalah antara 80-110 mg/dl. 8
7. Penatalaksanaan Koagulasi Intravaskuler Diseminata (Kid)
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) adalah

proses

trombohemoragik sistemik yang terkait dengan kondisi klinis tertentu dengan


adanya bukti-bukti laboratorik seperti (1). aktivasi prokoagulan, (2). aktivasi
fibrinolitik, (3). konsumsi inhibitor dan (4). kegagalan organ. Diagnosis KID
pada sepsis seringkali sulit ditegakkan hanya berdasarkan pemeriksaan
laboartorium saja, oleh karena hampir semua uji laboartorik memberikan hasil
abnormal. Sebaliknya bila hasil uji laboratoriknya masih belum menunjukkan
gangguan, maka pemeriksaan ulang dilakukan dalam 24-48 jam sesuai
keadaan klinis penderita, sehingga sebelum memutuskan terapi hendaknya
perlu diperhatikan keadaan klinis penderita. Pada pertemuan consensus
International Society on Thrombosis and Hemostasis (ISTH) ke-47 tahun
2001, diajukan sistem penilaian untuk menetapkan diagnosis KID. Bila skor 5
atau lebih sugestif DIC,bila kurang dari 5 perlu diulang dalam 1 2 hari.8
KID yang disebabkan oleh sepsis hal yang terpenting adalah mengatasi
penyebabnya

yaitu

sepsis

itu

sendiri. Terapi

antifibrinolitik

(asam

traneksamat/asam aminokaproat) tidak dianjurkan karena mengganggu proses


fibrionolisis dan dapat memperberat kegagalan organ. Rekomendasi
pemberian heparin adalah bila terdapat bukti terjadinya tromboemboli

13

(penurunan kesadaran, iskemik fokal, gangren superfisial, oliguria, azotemia,


nekrosis kortikal, ARDS, perdarahan /ulserasi saluran cerna atas akut, anemia
hemolitik). Heparin diberikan secara intravena dengan dosis 100 IU/kgBB
bolus dilanjutkan dengan 15-25 IU/kgBB/ jam (750-1250 IU/jam) dengan
infus kontinyu dan dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5
2 kali kontrol. Pemberian plasma Fresh Frozen Plasma (FFP) dan konsentrat
trombosit bila didapatkan perdarahan dan risiko terjadi perdarahan (akan
menjalani tindakan invasif). Pemberian antitrombin III direkomendasikan
sebagai terapi substitusi bila aktivitas AT III < 70% dengan tujuan
memperbaiki keadaan KID dan disfungsi organ. Antitrombin III diberikan
dengan dosis awal 3000 IU(50 IU/kgBB) diikuti 1500 IU setiap 8 jam dengan
infus kontinyu selama 3-5 hari. Substitusi AT III juga dapat diberikan
berdasarkan rumus 0,6 x berat badan (kg) x (aktivitas yang diinginkan aktivitas awal), aktivitas AT III yang diinginkan adalah >120%. pemakaian
konsentrat AT III bersamaan dengan heparin tidak dianjurkan karena tidak
memperbaiki mortalitas dan malah meningkatkan risiko perdarahan. Bila
memungkinkan dianjurkan untuk memantau AT II setiap 8 jam,atau bila
terjadi perbaikan klinis, atau menilai kembali skor KID.6
9. Pengakhiran Kehamilan
Terdapat beberapa pengaruh sepsis terhadap kehamilan, seperti
misalnya terjadinya penurunan sirkulasi uteroplasenta dan persalinan preterm,
yang disebabkan oleh hipoksemia maternal dan asidosis, Keputusan untuk
melahirkan tetap mempertimbangkan kondisi pasien dan umur kehamilan
(kecuali intra uterine infection). Apabila pemberian terapi yang adekuat
terhadap sepsis tetap tidak memberikan perbaikan kondisi ibu, atau terjadi
perburukan kondisi ibu, maka melahirkan/mengosongkan uterus dengan
segera dapat dipertimbangkan karena dapat memperbaiki venous return dan
volume paru. Pada ibu hamil dengan sepsis dapat dilakukan partus
perabdominal, tetapi harus menunggu keadaan ibu stabil terlebih dahulu dan
14

gejala sepsis berkurang karena tindakan partus perabdominal dapat


menyebabkan perburukan kondisi ibu.
2.9

Prognosis
Bila tidak sangat terlambat maka prognosa ibu dengan sepsis lebih
baik dibandangkan pada sepsis karena non-obstetrik. Hal itu disebabkan
karena umur rata-rata usia reproduksi adalah relative muda dan kesediaan
berbagai macam antibiotika yang sensitive terhadap mikroorganisme
penyebabkan.

BAB III
KESIMPULAN
1. Berbagai penanganan obstetri yang aman dan bersih, tindakan pencucian tangan serta
sterilisasi alat-alat, perlakuan partograf WHO serta pengembangan dan penemuan
antibiotika menyebabkan faktor infeksi telah relatif menurun sebagai penyebab AKI.
15

Tetapi bila sampai terjadi dan bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat maka
masalahnya akan menjadi serius dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
ibu dan bayi.
2. Sepsis maternal harus segera dikenali dengan memperhatikan adanya faktor risiko
dan munculnya tanda SIRS.
3. Kecepatan melakukan tindakan secara agresif sangatlah penting, golden periodnya
adalah dalam waktu 6 jam pasien harus sudah mendapatkan penanganan intensif
dengan didahului pemberian cairan yang cukup serta antibiotika yang tepat.
4. Pada dasarnya pengelolaan sepsis maternal memerlukan perawatan intensif,
pendekatan multi-disiplin serta pengawasan yang ketat dan oleh karenanya sesuai
dengan algoritma pengelolaan, setelah mendapatkan penanganan pendahuluan maka
sebaiknya segera dirujuk ke senter yang mempunyai fasilitas penanganan lebih
lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
1. Saifudin AB, Adrianz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D (Eds). Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi pertama, Jakarta,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2003:3-9.
2. Kornia Karkata, Sepidiarta. Pergeseran Kausa Kematian Ibu Bersalin di RSUP
Sanglah Denpasar, Selama Lima Tahun 1996 2000., Maj Obstet Ginekologi
Indonesia Vol. 30 No. 3 Juli 2006: 175-78.
3. Kvale G, Olsen BE, Hinderaker SG, Ulstein M, Bergsjo P. Maternal deaths in
developing countries : A preventable tragedy. Norsk Epidemiology 2005; 15 (2) :
141-149.

16

4. Dolea C, Stein C. Global Burden Of Maternal Sepsis in the year 2000.


Epidemiology and Burden of Disease WHO Geneva, July 2003.
5. Saude GR. Maternal sepsis. Obstetric Intensive care manual. 2nd Edition. The Mc
Graw-Hill Companies Ltd, 2004 : 113 118.
6. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, fein AM, Knaus WA et al.
Definitions and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in
sepsis. The ACCP/SCCM Concensus Coference Committee. American College
Of Chest Physi\cians/ Society of Critical medicine. Chest 1992; 101; 1664-1655,
Down load from chestjournal.org on August 21, 2008.
7. Hochkiss RS, Karl IE. The Pathophysiolgy and treatment of sepsis. The New
Englad Journal of Medicine, 348:2, January, 9, 2003; 138- 148.
8. Chen K, Widodo D. Patofisiologi Sepsis. Peran Mediator Inflamasi. Bunga
Rampai Penyakit Infeksi. Pusat Informasi dan Penelitian Depertemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004. 54-60.

17

Anda mungkin juga menyukai