JURNAL ILMIAH
Oleh:
NUR AMI AZYATI
NIM. 0910111037
Abstract:
Subtance about informed consent still needs to be analyzed in providing protection for
patiens, doctor, and hospital. This is evident from the emergence of several cases that weaken
the position of patient, doctor, and hospital in the event of medical risk.There for this study
tries to analyzed about substance in informed consent has met the principle agreement in
general and specifically on the rights and obligation between doctor and patien, and juridical
consequences in case of medical risks that are not set forth in the agreement. This research
was conducted using juridical-normative. Resul of this study concluded that the substance is
present in informed consent not meet the principle agreement in general and specifically on
the rights and obligation between doctor and patien, because of that it needs to make rule
about substance informed consent so that if there is a risk of medical can be evidence and
give patient and doctor more safe.
Key Words: Subtance, informed consent, doctor, patient, hospital, form informed consent,
medical risk
Abstraksi:
Subtansi mengenai formulir persetujuan tindakan medik masih perlu dianalisis dalam
memberikan perlindungannya terhadap dokter, pasien, maupun rumah sakit.Hal ini terlihat
dari munculnya beberapa kasus yang melemahkan posisi pasien, dokter dan juga rumah sakit
saat terjadi resiko medik.Oleh karena itu penelitian ini mencoba menganalisa mengenai
subtansi yang ada di dalam formulir persetujuan tindakan mediktelah memenuhi prinsip
perjanjian pada umumnya dan secara khusus mengenai keseimbangan hak dan kewajiban
antara dokter dan pasien, serta konsekuensi yuridis apa yang terjadi apabila terjadi resiko
medik yang tidak dituangkan didalam perjanjian. Penelitian dilakukan dengan metode
yuridis-normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Subtansi yang ada di dalam
Formulir Persetujuan Tindakan Medik belum memenuhi prinsip perjanjian pada umumnya
maupun secara khusus mengenai keseimbangan hak dan kewajiban antara dokter dan pasien
sehingga perlunya ketentuan khusus yang mengatur subtansi perjanjian persetujuan tindakan
medik agar apabila terjadi resiko medik formulir tersebut dapat menjadi alat bukti yang kuat
sehingga memberikan rasa aman bagi pasien, dokter maupun rumah sakit.
Kata Kunci: Subtansi, Persetujuan Tindakan Medik, Pasien, Dokter, Rumah Sakit, Formulir
Persetujuan Tindakan Medik, Resiko Medik.
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia hal ini telah diatur dalam UUD 1945 Pasal
28 huruf A serta Konversi PBB article 25 dimana manusia selain mempunyai hak untuk
mendapatkan kesehatan juga mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.Hubungan
antara pasien dengan dokter tidak sekedar hubungan medis, jika dilihat dari kacamata hukum
adanya hubungan kontraktual yang terjadi antara dokter dengan pasien yang dikenal dengan
terapeutik.
Perjanjian terapeutik ini mempunyai karakter yang berbeda dimana objeknya bukan
merupakan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan
pasien
sehingga
perjanjian
ini
termasuk
Inspanningverbintenis
atau
perikatan
upaya. Perjanjian terapeutik ini agar mempunyai kekuatan hukum yang mengikat maka harus
dipenuhinya syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHP.2
Dokter dalam melakukan tindakan medik yang harus meminta persetujuan dari pasien
atau keluarganya. 3Hal ini telah diatur didalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan No.290
Tahun 2008 yang berisi:
Persetujuan Tindakan Kedoktaran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik Kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Persetujuan tindakan medik ini dapat dilakukan secara lisan dan dapat dilakukan
secara tertulis yang dituangkan dalam formulir persetujuan tindakan medik.Informasi yang
diberikan dalam Persetujuan Tindakan Medik harus informasi yang selengkap-lengkapnya
yaitu informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan dan
resikomedikyang ditimbulkannya. Informasi yang harus diberikan adalah tentang keuntungan
dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilaksanakan, baik diagnostik maupun
terapeutik.4
Adanya persetujuan tindakan medik diberikan secara tertulis sangatlah penting baik
bagi pasien maupun dokter.Apabila terjadi resiko medik maka timbul konflik hukum, dokter
dapat mengatakan bahwa hal ini sudah dituangkan dalam informed consent, namun ternyata
formulir informed consent yang dibuat belum mewakili kebutuhan masyarakat. Selain itu
dalam penyampaian mengenai informasi yang berkaitan dengan persetujuan tindakan
1
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, PT.Rineka Cipt, Jakarta 2005, Hal 11.
Wila chandrawila supriadi, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001, Hal 59
3
Cecep Triwibowo& Yulia Fauziyah, Malpraktik & Etika Perawat-penyelesaian sengketa melalui mediasi,
Nuha Medika, Yogyakarta,2012, hal 33.
4
Cecep Triwibowo& Yulia Fauziyah, Op Cit, Hal 33.
2
mengenai
circumsisi
tersebut
menjelaskan
pentingnya
Informed
consenttertulis dalam dunia kesehatan.Pasien mempunyai hak integritas diri yaitu pengakuan
hak asasi manusia terhadap dirinya sehingga, dapat dikatakan bahwa pasien mempunyai hak
untuk menentukan nasib sendiri sehingga dokter meskipun dalam alasan profesional
keilmuannya tidak dapat memaksakan kehendak terhadap pasien. Hal ini menjadi dasar
terbentuknya keseimbangan antara dokter dengan pasien.6
Kasus tersebut menjelaskan pentingnya Informed consentyang tertulis dalam dunia
kesehatan informed consent merupakan sarana legitimasi bagi tenaga medik untuk melakukan
intervensi medik yang mengandung resikomedikserta akibat yang tak menyenangkan, oleh
karenanya hanya dapat membebaskan tenaga medik dari tanggungjawab hukum atas
resikomedikserta akibat yang tak menyenangkan saja7, sehingga informed consent tidak
hanya berguna bagi dokter sebagai tenaga medik namun juga berguna bagi pasien. Bagi
pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat
digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik
dokter dari maksud diberikannya persetujuan tindakan medik (informed consent)8
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang hendak diteliti oleh penulis
mengenai subtansi perjanjian didalam blanko perjanjian terapeutik tersebut telah memenuhi
prinsip perjanjian pada umumnya dan secara khususmengenai hak dan kewajiban antara
dokter dan pasien serta konsekuensi yuridis jika terjadi resiko medik yang tidak dituangkan
dalam perjanjian.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai subtansi formulir persetujuan tindakan
mediktelah memenuhi prinsip perjanjian pada umumnya dan secara khusus mengenai hak dan
kewajiban antara dokter dan pasien serta menganalisis konsekuensi yuridis jika terjadi resiko
medik yang tidak dituangkan dalam dalam perjanjian.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yakni penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.9Penggunaan jenis penelitian
6
Hendiyono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya,
2006, Hal 51.
7
Cecep Triwibowo& Yulia Fauziyah, Malpraktik & Etika Perawat-penyelesaian sengketa melalui mediasi,
Nuha Medika, Yogyakarta,2012, Hal.34.
8
Adami Chazamawi, Malpraktik Kedokteran, Bayu Media, Malang, 2007, Hal39.
9
Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, Hal. 34
yuridis-normatif dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan kasus ini digunakan
untuk membahas mengenai Apakah Subtansi Perjanjian Terapeutik yang Dituangkan dalam
Formulir Persetujuan Tindakan Medik telah Memenuhi Prinsip Perjanjian Pada Umumnya
dan secara khusus mengenai Hak dan Kewajiban antara Dokter dan Pasien serta Bagaimana
Konsekuensi Yuridis jika Terjadi Resiko Medik yang Tidak Dituangkan Dalam Perjanjian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam Analis terhadap Subtansi Perjanjian Persetujuan Tindakan Medik terdapat
beberapa hal yang menjadi masalah. Adanya formulir persetujuan tindakan mediktersebut
tidak memenuhisyarat sah perjanjian yaitu suatu hal tertentu hal ini berarti tidak
terpenuhinya asas konsensualisme dan formulir tersebut belum terpenuhinya asas
penghormatan hak dan kewajiban antara dokter dan pasien serta asas perlindungan hukum,
asas keseimbangan, asas keterbukaan, serta asas manfaat.
Analisis Perjanjian Formulir Persetujuan Tindakan Medik ditinjau dari Perjanjian
Pada Umumnya dan Perjanjian Terapeutik
Persetujuan tindakan medik dapat dikatakan sah jika memenuhi syarat sah perjanjian yang
terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan No.290
tahun 2008 menjelaskan
persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Dalam menyusun perjanjian persetujuan tindakan medik secara tertulis perlu diperhatikan
mengenai struktur dalam pembuatan perjanjian.Subtansi yang ada di dalam Blanko Perjanjian
terapeutik apabila di lihat dari struktur utama dalam pembuatan perjanjian menurut
Hikmahanto Juwana terdiri dari Bagian pendahuluan, Bagian isi, dan Bagian Penutup.
Subtansi blanko perjanjian terapeutik dilihat dari struktur perjanjian sebagai berikut10:
1. Bagian Pendahuluan
Dalam membuat perjanjian terdapat adanya kepala akta. Dimana dalam kepala akta
merupakan bagian pendahuluan dalam perjanjian, yang terdiri dari :
a.Subbagian Pembukaan
1. Judul akta atau nama perjanjian
10
Gamal Komandoko & Handri Rahardjo, Draf Lengkap Surat Perjanjian, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2010, Hal 17
merupakan
unsur
yang
penting
dalam
membuat
di brikan
kepada
11
Ibid hal 18
diantaranya asas keseimbangan dan asas manfaat serta asas penghormatan hak
dan kewajiban.
2. Bagian Isi
Bagian isi merupakan bagian dari badan akta. Bagian isi merupakan bagian yang
menyangkut apa yang diperjanjikan dimana hal ini sesuai dengan Pasal 1320
KUHPerdata mengenai suatu hal tertentu. Dalam bagian isi
Klausul Transaksi
Klausul
transaksi
berisikan
mengenai
transaksi
yang
akan
13
ini
tidak
14
Ibid., hal 17
Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesdaran dan tanpa paksaan
dan adapun formulir yang tidak mencantumkan mengenai kata penutup dalam
perjanjian bahwa dia menandatangani persetujuan tersebut dengan sadar dan tanpa
paksaan, hal ini berarti menimbulkan cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.
b.
satu pilihan yang ada dalam formulir, Adapun kalimat di dalam formulir
sebagai berikut:
untuk : Diri saya sendiri*/ Isteri*/ Suami*/ Anak*/ Ayah*/ Ibu saya*
Di dalam formulir yang ada juga dijelaskan mengenai keterangan pasien
tersebut di rawat dibagian mana.
4. Penjelasan mengenai tujuan perjanjian itu dibuat.
Tujuan dilakukan Perjanjian Persetujuan tindakan medik dilakukan untuk
memberikan informasi terhadap pasien mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan, berikut mengenai perlunya tindakan itu perlu dilakukan.
Didalam formulir persetujuan tindakan medik yang ada hanya
dituliskan sebagai berikut:
yang sifat dan tujuannya operasi, serta kemungkinan bisa menimbulkan
akibat-akibat telah dijelaskan sepenuhnya oleh dokter dan telah saya
mengerti seluruhnya
b. Badan akta :merupakan bagian isi dalam perjanjian yang menjelaskan mengenai
kehendak dan keinginan para pihak yang menncakup objek perjanjian, hak dan
kewajiban serta ganti rugi.
Di dalam formulir persetujuan tindakan medik yang ada di Rumah sakit islam
aisyiyah malang, upaya tindakan medik tidak ditulis tidak ditulis ataupun
dijelaskan, begitupula dengan resiko yang di alami, berikut kalimat yang ada di
dalam formulir tersebut:
yang tujuan, sifat, dan perlunya tindakan medis tersebut diatas, serta
resiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup oleh dokter dan telah saya
mengerti sepenuhnya. ..
Resiko merupakan salah satu informasi yang harus ada dalam bagian isi,
dan seharusnya ditulis.Namun di dalam formulir tersebut hal menenai resiko tidak
di jelaskan. Sedangkan formulir umum yang ada di Rumah sakit umum dr.saiful
anwar upayanya di tulis sudah baku bukan dijelaskan sendiri, berikut kalimatnya
sebaga berikut:
.Saya telah menyataakan telah memberikan persetujuan saya untuk suatu
perluasan tindakan operasi, apabila pada waktu pembedahan ditemukan hal-hal
yang membahayakan jiwa dan yang pada saat ini perlu penanganan segera dan
langsung untuk menyelamatkan jiwa. Saya juga menyatakan pula telah
memberikan persetujuan saya untuk tindakan anasthesi umum/local agar dapat
dilaksanakan operasi tersebut dan penjelasan tentang resiko atau akibat yang
mungkin timbul telah dijelaskan dan telah saya memahami seluruhnya
persetujuan tersebut merupakan tulisan baku dari rumah sakit yang ada di dalam
formulir dan apabila pasien yang disodorkan formulir tidak setuju dia berhak
menolak formulir tersebut. Hal mengenai resiko dalam formulir ini pun juga tidak
dijelaskan, sama halnya formulir yang ada di rumah sakit islam aisyiyah.Di dalam
formulir tersebut tidak dijelaskan secara tertulis mengenai diagnosis, tujuan,
alternative tindakan yang dilakukan, risiko, prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan serta perkiraan pembiayaan yang seharusnya dijelaskan dan dituangkan
di dalam blanko tersebut.
c. Penutup akta
Bagian penutup merupakan bagian akhir dimana dalam perjanjian tersebut
terdapat kalimat yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut dibuat dan ditanda
tangani oleh pihak yang mempunyai kapasitas tersebut.
Mengenai bagian penutup didalam formulir persetujuan tindakan medik
yang terdapat di Rumah sakit islam aisyiyah malang terdapat kalimat:
Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan
tanpa paksaan
hal ini memberikan penjelasan bahwa persetujuan ini dia berikan tanpa adanya
paksaan dan penuh kesadaran sedangkan di dalam formulir yang ada di Rumah
sakit umum saiful anwar hanya ada kalimat
saya menyatakan telah memberikan persetujuan .
Sehingga hal tersebut juga belum menjelaskan apakah perjanjian tersebut
dilakukan atas kemauannya atau paksaan.
Selain kalimat penutup di dalam formulir juga terdapat terdapat tanda
tangan para pihak dan saksi berikut dengan tanggal di bagian tempat tanda tangan.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP RESIKO MEDIK KETIKA TIDAK DIPENUHI
SYARAT
Pada setiap tindakan medik yang dilakukan oleh dokter, akan selalu mengandung
resiko yang melekat (risk of treatment)resiko tersebut dapat saja terjadi dapat pula tidak.
Dokter dalam bertindak harus dengan hati-hati dan melakukan tindakannya dan harus
berdasar-kan standar profesi medik. Apabila tindakan medik yang dilakukan terjadi resiko,
dan dokter mengatakan bahwa upaya, resiko tersebut sudah dijelaskan namun kenyataannya
penjelasan mengenai resiko dan informasi yang seharusnya di dapatkan oleh pasien tersebut
tidak dijelaskan dalam formulir.
Pelanggaran kewajiban hukum yang dilakukan dokter dalam perikatan hukum karena
perjanjian atau kesepakatan dalam perjanjian terapeutik menim-bulkan adanya wansprestasi
sedangkan pelanggaran kewajiban yang dilakukan dokter karena undang-undang membawa
suatu keadaan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).Di dalam blanko hal
mengenai wansprestasi maupun perbuatan melawan hukum tidak di jelaskan, sehingga oleh
karena itu mengikuti aturan umum yang terdapat di kitab undang-undang hukum perdata.
Tidak dituangkannya informasi yang kurang jelas di dalam informed consent, ketika
terjadi resiko timbul konsekuensi yuridis Seperti yang telah dijelaskan di latar belakang,
maka untuk mengetahui konsekuensi yuridis, berikut kasus yang terjadi :
1. Kasus mengenai tindakan Operasi Circumsisi yang tidak mendapatkan persetujuan
dari pasien (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.46 K/Pdt/2006 )
Pasien bernama Abraham Lodewyk Tahapary (Pemohon) , menggugat PT. SILOAM
HEALTHCARE Tbk Cq Rumah sakit Siloam Gleneagles Karawaci (Tergugat I) dan para
dokter yang bekerja di Rumah sakit tersebut antara lain dr. Rudi hartanto (tergugat II), dr.
Nanda Romli (tergugat III), dan dr. Rizal S.Pohan(tergugat IV).abraham memberikan
persetujuan secara lisan dan tertulis dengan menandatangani informed conesent yang
disodorkan oleh perawat untuk melakukan pencabutan pen diatas mata kaki kiri yang akan
dilakukan dr. Rizal S.Pohansebelum dilakukan pembiusan total, abraham juga tidak pernah
meminta, dan tidak pernah memberikan persetujuan tertulis maupun lisan untuk tindakan
operasi circumsisi (operasi sunat terhadap penis). tindakan yang dilakukan tergugat adalah
Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata yang telah
menimbulkan kerugian materiil yaitu adanya hilangnya sebagian jaringan tubuh pada penis
abrahamdan kerugian imateril diantaranya yaitu hilangnya martabat dan hak asasi untuk
menentukan sendiri apa yang dapat dilakukan atas tubuhnya sendiri serta hilangnya martabat
dan hak asasi manusia sebagai orang ambon yang menjalankan agama kristen protestan yang
tidak menyuruh umatnya untuk disunat.
Ditinjau dari Putusan Mahkamah Agung No.46K/Pdt/2008, menurut analisis penulis
sebagai berikut:
Akibat operasi circumsisi yang dilakukan oleh dokter tanpa adanya persetujuan pasien
sebelumnya mengakibatkan pasien mengajukan gugatan karena pasien merasa dia tidak
melakukan persetujuan atas tindakan circumsisi yang dilakukan oleh dr.rudi dan dia
merasakan dirugikan.
Kondisi pasien disini merasa dirugikan dimana seharusnya dia mempunyai hak untuk
mendapatkan informasi, seharusnya dokter sebelum melakukan tindakan pencabutan atas pen
sebelumnya diberi tahu tindakan atau upaya yang akan dilakukan. Operasi circumsisi yang
dilakukan oleh dr. Rudi juga tidak dijelaskan apa manfaatnya di dalam informed consent .
Walaupun pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri disini pasien mempunyai hak
untuk menentukan nasib terhadap tubuhnya namun di dalam kasus ini tidak dijelaskan bahwa
operasi ini merupakan tindakan darurat, sehingga sebelum diminta persetujuan untuk operasi
pencabutan pen dokter seharusnya dapat memberikan penjelasan bahwa akan dilakukan
tindakan operasi circumsisi.
Disini Termohon tidak bersedia memberikan bukti rekam medik karena dapat
digunakan sebagai alat bukti.sedangkan pasien seharusnya juga mempunyai hak dalam
menggunakan rekam medik sebagai alat bukti. Didalam Pasal 13 Huruf B menyatakan bahwa
rekam medik dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum
Adapun disini Hakim menyatakan:
Dalam hal ini Pemohon Kasasi tidak dapat dibebani pembuktian terhadap sesuatu hal
negatif atau pembutian terhadap sesuatu yang tidak pernah ada yaitu tidak memberikan
persetujuan terhadap tindakan circumsisi.Sedangkan dalil Termohon kasasi pembuktianya
merupakan pembuktian positif maka sudah sepatutnya para termhon kasasi yang
membuktikan bahwa persetujuan dari pemohonan kasasi benar-benar ada.
Seharusnya pasien mempunyai hak atas pembuktian dalam rekam medis, Dilihat dari
Teori Hukum objektif dimana prinsipnya undang-undang sendiri lah yang harus menentukan
baik secara langsung maupun tidak langsug atau secara sistematis bagaimana konkretnya
pembagian pembuktian itu harus dilaksanakan. 15
Di dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Kesehatan No.749A/ Men.Kes/ Per/ XII/1989
menentukan :
Rekam Medis dapat digunakan sebagai
a.
b.
c.
d.
e.
Di dalam Pasal 9 ayat (2) Permenkes No.290 tahun 2008 mengenai persetujuan
tindakan medik dimana dijelaskan
bahwa penjelasan mengenai tindakan medik dicatat dan di dokumentasikan dalam
berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan
mencantumkan tanggal, waktu, nama , dan tanda tangan pemberi penjelasan dan
penerima penjelasan.
15
Hal ini berarti Keharusan adanya persetujuan tindakan medik yang dibuat secara
tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukan tindakan medik tertentu yang
dilakukan di Medik atau klinik kesehatan sangat erat kaitannya dengan pendokumentasiannya
kedalam catatan medik (medical record), dalam mendokumentasikannya juga harus terdapat
tanda tangan pemberi penjelas dan penerima penjelas (pasien).
Dalam kasus ini Hakim juga menyatakan bahwa tindakan dokter bukan merupakan
perbuatan melawan hukum melainkan pelanggaran hukum.Menurut Adequate Theorie Suatu
kerugian merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum, kalau kerugian tersebut
menurut akal manusia yang sehat diharapkan suatu akibat dari pelanggaran hukum tersebut.
Adanya tindakan operasi circumsisi ini merugikan pasien, Pasien disini mempunyai
hak, dimana dalam melakukan tindakan medis dia berhak menerima ataupun menolak
tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan hal ini telah diatur didalam Pasal 32
Poin k UU No.44 tahun 2009 Tentang Medik. Sebelum dilakukan tindakan pasien juga harus
mendapatkan penjelasan terlebih dahulu mengenai tindakan medik (Pasal 1 ayat 1 Permenkes
No.290 tahun 2008).Sehingga disini dokter melanggar peraturan yang ada diundang-undang.
Adanya hak pasien untuk menerima maupun menolak dalam hal ini berarti pasien
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini didasari oleh teori menentukan
nasib sendiri yang dikemukakan oleh Veatch (Smid,1982 :175-192), dimana pasien dapat
menenentukan nasib sendiri namun asas manfaat bagi pergaulan hidup tidak boleh dilupakan
dimana dokter harus memberikan manfaat mengapa tindakan tersebut dilakukan sebelum
diberikannya persetujuan tindakan medik.
Hak menentukan nasib sendiri ini dapat memberikan dasar otonom, bagi syarat
informed consent , Oleh karena hak menentukan nasib sendiri yang dipakai dasar, maka
pemberian persetujuan dapat dipandang sebagai negoisasi mengenai suatu kontrak.16
2. Kasus mengenai Tidak adanya Doter Pengganti saat Pasien dalam Kondisi Kritis
(Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.25 /Pdt/2012)
Arif Sumarko merupakan suami dari Suwita Laksmi, pada tanggal 19 Maret dibawa
ke Rumah Sakit Telogerejo Semarang sampai dengan meninggal pada tanggal 23 April 2007
dan tidak ada penanganan terhadap pasien (suwita laksmi) oleh dr.Lestari Ningsih, Sp. PD,
KGH . KN (Tergugat III).
Dr. Lestari Ningsih mendiagnosa bahwa Suwita mengalami gangguan pencernaan dan
gangguan pada ginjal, kemudian pada tanggal 25 Maret 2007 pasien telah dilakukan operasi
16
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti, 2002,
Hal 114
perut oleh dr. Andy Melanchi dengan diagnose Illesius Obstricus atau penyumbatan di usus
halus dan telah melakukan operasi pada usus buntunya dengan hasil baik kemuan tergugat III
memberitahukan bahwa ginjal si pasien tidak masalah dan belum mengarah ke cuci darah
karena fungsi ginjal mengalami penurunan sehingga karna factor usia membutuhkan waktu
penyembuhan yang lama.pada tanggal 8 april 2007 dilakukan pemeriksaan CT Scan otaknya
tidak tampak kelaina
Pada tangggal 19 april 2007 pasien sangat membutuhkan penanganan, akhrnya arif
suami dari pasien menghubungi dr.lestari ningsih (tergugat III) dan diperoleh informasi
bahwa tergugat III tidak berada ditempat. Salah satu anak menelpon tergugat III untuk
menanyakan kondisi pasien, dan diperoleh jawaban bahwa pasien sehat karena usa lanjut
sehingga perlu penyembuhan. Sejak konsultasi lewat ponsel, tanggal 19 April 20007 Arif
(penggugat) dan anaknya tidak dapat menemui tergugat III bahkan sampai meninggalnya
pasien di Rumah Sakit.
Bahwa tergugat III merupakan dokter utama dan tidak menunjuk dokter penggganti
dan hal ini tidak memenuhi undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran
Pasal 40 ayat 1. Tanggal 22 april 2007 jam 23.00 pasien mengalami banyak kemunduran dan
penggugat telah berusaha berkali-kali meminta pertolongan ke perawat untuk dibantu Oxygen
Mask namun perawat hanya membantu fengan alat bantuan was dan dokter jaga tidak ada
Ditinjau dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.25 /Pdt/2012
menurut analisis penulis sebagai berikut:
Adapun putusan putusan Mahkamah Agung RI No. 1142 K/Pdt/2010 tangggal 25
November 2010 yang telah berkekuatan hukum maka menolak pemohonan kasasi dari Arif
Sunarko karena tindakan yang dilakukan oleh dr.Lestari Ningsih, Sp. PD, KGH . KN
menurut hakim sudah memenuhi SOP (Standar Operasional Prosedur) dimana Penggugat/
Pemohon Kasasi telah menyetujui Surat Persetujuan Tindakan Medik dan adanya bukti
bahwa Dr.Lestariningsih,Sp.PD.KGH mengambil cuti anggal 19 April s/d 28 April 2007
khusus untuk Ny.Suwati Laksmi (Pasien) oleh sejawat Dr.Arwendi Arwanto Sp.PD untuk
tanggal 19 April s/d 28 April 2007 . Dan pada tanggal 20 s/d 21 April 2007 Dr.Arwendi
Arwanto, Sp.PD. mengajukan permohonan ijin dan
sehingga selama dokter utama cuti untuk rawat inap diganti Dr.Suyono, Sp. PD. Dan
pemohonan peninjauan kembali Arif Suknarko tersebut tidak beralasan sehingga ditolak
Adanya Persetujuan Tindakan Medik yang di buat secara tertulis seharusnya
memberikan perlindungan bagi pasien, namun pada kenyataannya malah merugikan
pasien.Karena isi dari pada persetujuan tindakan medik tersebut tidak menjelaskan mengenai
tindakan, resiko maupun adanya dokter pengganti.
Disini penggugat mengatakan bahwa tidak
dokter pengganti rawat inap dan tidak pernah dikunjungi oleh dokter rawat inap sekalipun
atau menemui atau ketemu dengan keluar ga pasien yang setiap harinya menunggu pasien
ibu suwita laksmi begitu juga Dr.Arwendi Arwanto, Dr. Agus Suryanto. Sp.PD, dan
Dr.Lestariningsih,Sp.PD.KGH , dan juga pada tangal 21 s/d 23 April 2007 tidak pernah
menunjuk dokter pengganti.
Didalam Persetujuan Tindakan Medik memang tidak ada informasi mengenai dokter
pengganti, yang seharusnya di informasikan secara lisan dan tertulis. Dilihat dari Peraturan
Menteri Kesehatan No.290 Tahun 2008 :
Pasal 7 ayat (1)
Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien
dan/atau keluarga dekatnya baik diminta maupun tidak diminta
Pasal 10
(1) Penjelasan yang dimaksud pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang
merawatnya
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berhalangan untuk memberikan penjelasan
secara langsung, maka pemberian penjelasan harus dideligasikan kepada dokter
atau dokter gigi yang kompeten
(3) Tenaga Kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya
(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) adalah
tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung
kepada pasien.
Mengenai pemberian wewenang di atur didalam Permenkes No.512/Menkes/Per/IV/2007
tntg izin praktek kedokteran Pasal 15 ayat (1) dan (2)
Pasal 15
(1) Dokter dan dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran/
kedokteran gigi kepada perawat, bidan/tenaga kesehatan tertu lainnya secara
tertulis dalam melaksanakan tindakan kedokteran/ kedokteran gigi
(2) Tindakan kedokteran/ kedokteran gigi sebagai mana yang dimaksud pada ayat 1
harus sesuai dengan kemampuan/ kompetisi yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai
ketentuan perundang-undangan
Pelimpahan wewenang dokter kepada perawat secara yuridis dan moral
membebankan tanggung jawab pada doker karena dilakukan perawat merupakan instruksi
dokter, disamping itu perawat yang menerima pelimpahan wewenang dari dokter juga
bertanggung jawab apabla tindakan tidak sesuai dengan instruksi, Dalam Pasal 1367
KUHPerdata dijelaskan:
sesorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannnya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya
Hal ini berartidokter yang melakukan tindakan medis bertanggungjawab terhadap
kerugian yang disebabkan oleh tindakannya.Dan dokter bertanggung jawab terhadap kerugian
dan kelalaian yang ditimbulkan oleh perawat maupun tenaga kesehatan yang diberikan
Berdasarkan
aturan
tersebut
walaupun
17
Cecep Triwibowo & Yulia Fauziyah, Malpraktik & Etika Perawat-penyelesaian sengketa melalui mediasi,
Nuha Medika, Yogyakarta,2012. Hal 70
18
Y.A.Triana Ohotiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayu Media.2007, Hal 12, Hal 68
Ketentuan mengenai isi subtansi yang harus ada di dalam formulir belum
diatur.Seharusnya ada nya ketentuan khusus yang mengatur isi dari formulir persetujuan
tindakan medik agar apabila terjadi resiko medik yang mengakibatkan wansprestasi maupun
perbuatan melawan hukum, persetujuan tindakan medik ini dapat menjadi bukti yang kuat.
Pentingnya Persetujuan Tindakan Medik sebagai perlindungan hukum baik bagi pasien,
dokter, maupun rumah sakit , masing-masing dari mereka harus berperan aktif dengan itikad
baik dalam menjalankan perannya dalam informed consent sehingga hal ini bukan merupakan
formalitas saja dan Perlunya perbaikan mengenai subtansi yang ada di dalam formulir agar
apabila terjadi resiko medik menjadi bukti yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazamawi, Malpraktik Kedokteran, Bayu Media, Malang, 2007
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, PT.Rineka Cipt, Jakarta 2005
Cecep Triwibowo& Yulia Fauziyah, Malpraktik & Etika Perawat penyele- saian sengketa
melalui mediasi, Nuha Medika, Yogyakarta,2012.
Gamal Komandoko & Handri Rahardjo, Draf Lengkap Surat Perjanjian, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2010
Hendiyono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik,
Srikandi, Surabaya, 2006.
Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010
Peter Mahmud Marzuku, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2005
Salim, Hukum Kontrak-Teori &Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,
2003
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra
Aditya Bakti, 2002
Wila chandrawila supriadi, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001
Y.A.Triana Ohotiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayu Media.2007
Undang-undang Dasar (UUD) 1945
Declaration PBB
KItab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran