Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan eksotoksin bakteri Gram positif Clostridium

tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora. Spora banyak terdapat di dalam tanah
dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka. Toksin
mempengaruhi saraf yang mengontrol fungsi otot.1
Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir kuno, tetapi isolasi C. tetani dari manusia baru
pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato. Imunisasi pasif terhadap tetanus pertama
kali diperkenalkan oleh Nocard pada tahun 1897 dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada
tahun 1924 Descombey mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan digunakan secara
luas selama Perang Dunia II.2,3
Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang dengan
iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia,
dan negara-negara di Afrika. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang menjadi target
program imunisasi World Health Organization.3,4
Insidensi tahunan tetanus di dunia adalah 0,5-1 juta kasus dengan tingkat mortalitas sekitar
45%. Di Amerika Serikat pada tahun 1947 dilaporkan terdapat 560 kasus, sedangkan antara
1998-2000 hanya 43 kasus per tahunnya. Penurunan tersebut disebabkan oleh penemuan dan
penggunaan imunisasi aktif terhadap tetanus. Di negara berkembang tetanus banyak ditemukan
pada populasi neonatus dan merupakan salah satu penyebab mortalitas bayi yang penting. Di
negara maju tetanus terutama terjadi setelah luka tusuk yang tidak disengaja, misalnya saat
bertani atau berkebun, yang tidak mendapatkan perawatan luka yang adekuat.5,6
Lingkungan tanah Indonesia yang kaya akan C. tetani dan angka mortalitas yang tinggi
menuntut dokter umum untuk menguasai pencegahan dan penanganan tetanus.
1.2.

Tujuan
Memaparkan sejarah, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,

diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan pencegahan tetanus.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri
(biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab medis lain yang
tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau toksinnya dengan atau tanpa riwayat
trauma(3, 7).
2.2. Sejarah
Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya meregang. Penyakit ini telah
dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian
mendeskripsikan tetanus sebagai penderitaan manusia yang tiada akhir. Pada tahun 1884 Carle
dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik
dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil
menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato
berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa
organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga
melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh
tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada
tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama
Perang Dunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada
tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II (2, 3, 8).

Gambar 1. Lukisan Opisthotonus oleh Sir Charles Bell (1809), seorang dokter bedah dan ahli anatomi, yang
menggambarkan seorang tentara yang menderita tetanus.
Sumber: http://www.anatomyacts.co.uk

2.3. Epidemiologi

Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus terutama
ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat penduduk dengan
iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia
serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani. Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka
yang kotor (terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi
pada musim panas atau hujan. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia (2, 9).
Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak lengkap,
adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor risiko
lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi
telinga tengah (10).
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan di negara
kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50% mortalitas akibat
tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk
dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega)
pada tali pusat bayi di India (6, 11).
Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya imunisasi aktif.
Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun 1974 terjadi 101 kasus,
tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus
per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status
imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang
yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus
terjadi antara bulan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia
neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual jarang
ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan
tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung (5, 6).
2.4. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk, yaitu
bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul,
motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses
pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat

menimbulkan tetanus (2).


Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu ujungnya
sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif resisten terhadap
desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan
kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit
dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan
15 lbs selama 15-20 menit pada suhu 121C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan.
Sterilisasi menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu
160C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat
membunuh spora (5).
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah yang
mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora dapat bertahan
beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi
reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi (2).
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai
kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat
penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed
injury, dan (c) infeksi supuratif (2).

Gambar 2. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki kecenderungan
variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil. Endospora dibentuk secara intraseluler pada
ujung sporangium dan memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai stik drum. Sumber: Todar, 2007 (12)

Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk vegetatif C.
tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin
merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi perannya dalam

patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus.
Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring
pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang
paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat
badan (2).
2.5. Patogenesis
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara inokulasi spora
dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu. Spora hanya
dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling sering terjadi pada luka dengan
nekrosis jaringan dan benda asing. Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora
ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari
sistem saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis (5).

Gambar 3. Gambar skematis struktur tetanospasmin (Sumber: Wikipedia)

C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadirannya di


jaringan sulit dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur dari darah. Bakteri
ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa supurasi. Spora yang
mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang
bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima

persen dari berat bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan
berat molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit
oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan
dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari
rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk
masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi
tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri (5, 6, 13).
Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor melalui akson
secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor
awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika
mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila
terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan
dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan
memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting
dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek
predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang
menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis
dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada
neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang
terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau
cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan
toksin mencapai batang otak dan diensefalon

(6, 13)

. Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan

striknin(2, 5).
Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah
neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan
gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron
melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah
akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat
menyebabkan terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis
nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah

penyembuhan (13).
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada
medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat
menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat
menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang
pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot
tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh.
Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan
overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat
pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat
ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga
perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai (3, 11, 13).

Gambar 4. Mekanisme kerja tetanospasmin.

2.6. Manifestasi klinis


Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana pertumbuhan
bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah luka pada ekstremitas
bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi intramuskular nonsteril, dan fraktur

terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30%
pasien tidak tampak adanya tempat masuk (portal of entry). Tetanus telah diidentifikasi setelah
berbagai cidera jaringan, termasuk injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur, tindik
telinga, dan bahkan luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti
otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk
berdasarkan manifestasi klinisnya (5, 10).
2.6.1.Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan tetanus lokal
mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat
infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu
sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general
tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas
akibat tetanus lokal hanya 1% (2, 5).
2.6.2.Tetanus sefalik
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar 6%)
dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot nervus kranialis
terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun
cidera kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi
klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat
paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta
ptosis akibat paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.
Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30% (2, 3, 11).

Gambar 5. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus sefalik.
Sumber: Cook, 2001

2.6.3.Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus

general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme
otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan,
rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4C di atas suhu normal. Spasme
otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai
risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh
penderita membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan
fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan (5).
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh merupakan
karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara intermiten, ireguler, tidak
dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada
awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama
kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi
secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika
urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang
paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk
minum dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat
terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan
manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa.
Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua atau
pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi
ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia,
berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung (5).
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami nyeri
hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah
antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi
dalam beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi
pembentukan neuromuscular junction yang baru (2).

(a)

(b)

(c)
Gambar 6. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang menangis akibat kontraksi
otot yang nyeri. Sumber: Cook, 2001

2.6.4.Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun obat-obatan yang
terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan
obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor utama dalam terjadinya tetanus
neonatorum (14).
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala awal
ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain
termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan
rigiditas, dan opistotonus (3).

Gambar 6. Tetanus neonatorum (Sumber: Ang, 2004)

2.7. Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dibandingkan
berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah dengan insiden
tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara berkembang dimana tetanus jarang
ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks
tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan
sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun
general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum
tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (5, 8).
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar
sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani dari
luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C.
tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set
spesimen pada suhu 80C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif
mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi (5).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan
serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi
dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis. Pada kasus tertentu
apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T.
Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada
pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi.
Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL
dianggap protektif (5, 9).
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa
sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan
Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis (11, 15).
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus
Parameter
< 48 jam

Nilai
5

Masa inkubasi

Lokasi infeksi

Status imunisasi

Faktor pemberat

2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
> 14 hari

4
3
2
1
5
4
3
2
1

Internal dan umbilikal


Leher, kepala, dinding tubuh
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Tidak diketahui

10
8
4
2
0

Tidak ada
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus)
> 10 tahun yang lalu
< 10 tahun yang lalu
Imunisasi lengkap

10
8
4
2
1

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa


Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa
Keadaan yang tidak mengancam nyawa
Trauma atau penyakit ringan
ASA derajat I

Sumber: Farrar et al, 2000

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat. Skor
dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9
tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
Grade III A (berat)

Grade III B (sangat


berat)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres


pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit.
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia
bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya
dapat menjadi persisten.

Sumber: Cottle, 2011

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut beberapa
literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan

(9,13,16)

. Udwadia (1992)

kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia (17).

Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia


Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
Grade III (berat)

Grade IV (sangat berat)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres


pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit, keringat
berlebih, dan peningkatan salivasi.
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100
mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau
hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.

Sumber: Udwadia, 1992.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada
tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul
gejala klinis pertama (9).
Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus
Faktor prognostik

Skor 1

Skor 0

Masa inkubasi
Periode onset

< 7 hari
< 2 hari
Umbilikus, luka bakar, uterus,
fraktur terbuka, luka operasi,
injeksi intramuskular
Ada
> 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit

7 hari atau tidak diketahui


2 hari

Tempat masuk
Spasme
Demam
Takikardia

Penyebab lain dan penyebab yang


tidak diketahui
Tidak ada
< 38.4oC
Dewasa < 120 kali/menit
Neonatus < 150 kali/menit

Sumber: Ogunrin, 2003.

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:

Skor 0-1
Skor 2-3
Skor 4
Skor 5-6

: tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%


: tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
: tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
: tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

2.8. Diagnosis banding


Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus. Kondisi
lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar. Anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat menentukan adanya abses
alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan pemeriksaan cairan serebrospinal.

Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya
berkabut. Rabies harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak
ada trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan
otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus
dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus,
dan kadar kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi terhadap
fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang tidak ditemukan
pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada keracunan striknin harus digali
kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada keracunan
striknin trismus muncul lebih lambat serta tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan
tetanus (5). Berbagai kelainan yang merupakan diagnosis banding tetanus dirangkum dalam tabel
5.
Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.
Penyakit
INFEKSI
Meningoensefalitis
Polio
Rabies
Lesi orofaring
Peritonitis
KELAINAN METABOLIK
Tetani
Keracunan striknin
Reaksi fenotiazin
PENYAKIT SISTEM SARAF PUSAT
Status epileptikus
Perdarahan atau tumor (SOL)
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria
KELAINAN MUSKULOSKELETAL
Trauma

Gambaran diferensial
Demam, trismus ridak ada, penurunan kesadaran, cairan
serebrospinal abnormal.
Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya spasme
orofaring.
Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh tubuh tidak
ada.
Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.
Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal, hipokalsemia.
Relaksasi komplit diantara spasme.
Distonia, menunjukkan respon dengan difenhidramin.
Penurunan kesadaran.
Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara spasme.
Hanya lokal.

Sumber: Ritarwan, 2004

2.9. Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan
mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring
dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis.

Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif
untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris
yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki
ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan
gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien
harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara
hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil
pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi (11, 18).
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin
dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif
sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme (5).
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus
immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus.
Bhatia(11) menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intramuskular, sedangkan
dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU (19). Waktu
paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan
diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin
yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus
serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu
20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara
intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU)
diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda sehingga
berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului
oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan
perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap
tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf (14, 16).
Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen luka.
Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis)
dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga
dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik
pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan
anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena

atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap
Metronidazole adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida,
Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka dilakukan
debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka.
Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka
dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik (14, 16).
Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen instabilitas
autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti
midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai sedasi. Dosis
benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena. Antikonvulsan seperti
fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek
sedasi dan digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk
dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme menjadi
lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg intravena dan
ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari diberikan intravena.
Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150 mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam
dapat digunakan untuk mengendalikan kejang tetani (5, 19).
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin. Meskipun
morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek dan analgesik
penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan dengan beberapa efek samping.
Propofol juga telah digunakan dalam manajemen tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena
untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekuat membutuhkan ventilasi mekanis (19).
Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah magnesium sulfat dan
baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium dan dalam penggunaannya harus
dimonitor refleks patella, respiratory rate, serta tanda-tanda hipokalsemia seperti tanda Chvostek
dan Trousseau yang positif. Pemberiannya didahului dengan loading dose 5 mg diberikan selama
20 menit diikuti maintenance dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak boleh digunakan pada
pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan agonis GABA fisiologis yang
menstimulasi reseptor GABA post-sinaptik sehingga mengembalikan inhibisi fisiologis
motorneuron. Pemberiannya secara intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk
orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya
dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau diberikan dengan

infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan relaksan otot kerja langsung yang
bekerja dengan menginhibisi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan seara langsung
mempengaruhi coupling eksitasi-kontraksi. Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus
dan memiliki keuntungan karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi Dantrolene
belum dapat direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian
melibatkan obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak
dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen blokade
neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium memiliki sifat kardiostabil
(11, 19)

.
Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh

instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu oleh kadar
katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang
memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat
menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal
oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan
manifestasi utama (19).
Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik terutama
menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Blokade beta, meskipun
secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi dan takikardia, berhubungan dengan kolaps
kardiovaskular tiba-tiba, edema pulmoner, dan kematian. Obat lain yang telah digunakan termasuk
klonidin dan magnesium. Klonidin merupakan agonis 2-adrenergik yang menurunkan aliran
simpatis, tekanan arteri, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat diberikan
secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi multimodal
tetanus. Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok pelepasan katekolamin
dari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin. Magnesium
juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga berguna untuk mengontrol rigiditas
dan spasme. Dosis yang direkomendasikan adalah 20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai
konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter. Konsentrasi kalsium plasma harus dimonitor selama
pemberian magnesium karena dapat menghambat pelepasan hormon paratiroid (19).
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat. Kebutuhan
energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan overaktivitas sistemik. Pemberian
nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur enteral untuk mempertahankan integritas

gastrointestinal. Pada penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur
enteral maupun parenteral. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat
diberikan lewat pipa lambung maupun gastrostomi (10, 14, 15, 19).
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi tetanus
ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan tetanus tidak cukup
untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau
melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan (2).
2.10. Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari toksin seperti
aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi sekunder akibat
imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus dekubitus, pneumonia akibat
ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur tendon akibat spasme otot

(2, 11)

Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum dalam tabel 6.


Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus
Sistem organ
Jalan napas
Respirasi
Kardiovaskular
Renal
Gastrointestinal
Muskuloskeletal
Lain-lain

Komplikasi
Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi akibat ventilasi
mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia, asistol, gagal
jantung.
Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Stasis, ileus, perdarahan.
Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat spasme.
Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom disfungsi
multiorgan.

Sumber: Ang, 2003

2.11. Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal
pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, serta penyulit
yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk menilai berat penyakit juga
bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang dapat digunakan antara lain skor
Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negaranegara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas.
Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun(11).
2.12. Pencegahan

Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan


morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu perawatan luka
yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif (15).
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan merangsang
tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan
dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT).
Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.
Tabel 7. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus
Bayi dan anak normal.

Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.


Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan
diulang setiap 10 tahun sekali.

Bayi dan anak normal


sampai usia 7 tahun yang
tidak diimunisasi pada
masa bayi awal.

DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4 bulan setelah


injeksi pertama.
Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan
diulang setiap 10 tahun sekali.

Usia 7 tahun yang


belum pernah
diimunisasi.

Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada kunjungan


pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan 6-12 bulan setelah
injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Ibu hamil yang belum


pernah diimunisasi.

Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima 2 dosis


injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2 trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2
untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah diimunisasi
tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250
IU human tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga
harus diberikan.

Sumber: Edlich, 2003

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan trauma.
Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan
terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa memperhatikan status imunitas aktif
pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik

aseptik yang hati-hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus (20).
Tabel 8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)
Tampilan klinis
Usia luka
Konfigurasi
Kedalaman
Mekanisme cidera

Luka rentan tetanus


> 6 jam
Bentuk stellate, avulsi
> 1 cm
Misil, crush injury, luka
bakar, frostbite
Ada
Ada
Ada

Luka tidak rentan tetanus


< 6 jam
Bentuk linier, abrasi
1 cm
Benda tajam (pisau, kaca)

Tanda-tanda infeksi
Jaringan mati
Kontaminan (tanah, feses,
rumput, saliva, dan lain-lain)
Jaringan denervasi/iskemik
Ada
Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah reaksi
neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek samping lokal tidak menjadi
alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut adalah panduan pemberian profilaksis
tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang
inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus
diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui (20).
Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma (20)
Riwayat imunisasi tetanus
sebelumnya (dosis)
Tidak diketahui atau < 3
3 dosis

Luka rentan tetanus


TT
HTIG
Ya
Ya
Tidak
Tidak
(kecuali 5 tahun sejak
dosis terakhir)

Luka tidak rentan tetanus


TT
HTIG
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
(kecuali 10 tahun
sejak dosis terakhir)

Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis profilaksis HTIG
yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular. Apabila diberikan imunisasi
tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan
tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum
(ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan
reaksi hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien

dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya
diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang potensial
terhadap produk ini (5, 20, 21).
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan, artinya
penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita tetanus seperti orang lain
yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh
dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan
antitoksin. Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi yang
sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke dalam tubuh dan
menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas aktif penderita (14).
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang tidak memiliki
riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik sebagai respon imun
sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal
ini disebut sebagai imunitas alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi
dari feses manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen usus merangsang terbentuknya imunitas
pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa
negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak terlaksana dengan baik (14).

BAB IV
KESIMPULAN
Tetanus yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani merupakan penyakit yang telah
dikenal sejauh peradaban manusia, tetapi sampai sekarang belum berhasil dieradikasi karena sifat
alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan. Tetanus dapat dicegah

melalui pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid, higiene persalinan yang baik, dan manajemen
perawatan luka yang adekuat.
Pemberian imunitas pasif tetanus dengan antitetanus serum (ATS) sudah tidak dianjurkan
karena risiko reaksi alergi tinggi, tetapi kebanyakan dokter umum di Indonesia pasti akan
berhadapan dengan penggunaan ATS. Hal yang perlu diingat adalah melakukan tes sensitivitas
sebelum pemberian ATS. Desensitisasi dengan metode Bedreska dapat digunakan untuk pasien
yang sangat membutuhkan antitoksin (ATS) tetapi hasil tes sensitivitas positif.
Skor Phillips masih merupakan pilihan dalam menentukan derajat keparahan penyakit
tetanus pada saat pasien masuk dan juga dapat digunakan untuk menilai kemajuan perjalanan
penyakit selama perawatan karena menilai banyak parameter dan penilaian unsur-unsurnya
bersifat objektif.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Blackmore C, Janowski HT. 2000. Tetanus. (Online).


http://www.doh.state.fl.us/disease_ctrl/epi/htopics/reports/tetanus.pdf, diakses 17 Agustus
2011.

2.

Ang J. 2003. Tetanus. (Online). www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf,


diakses 17 Agustus 2011.

3.

Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine. (Online).


http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview, diakses 17 Agustus 2011.

4.

Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, (editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.

5.

Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical Implants.
2003;13(3):139-54.

6.

Hinfey PB. Tetanus. (Online). http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview,


diakses 17 Agustus 2011.

7.

Anonym. Public Health Notifiable Disease Management Guidelines - Tetanus. (Online).


www.health.alberta.ca/documents/Guidelines-Tetanus-2011.pdf, diakses 17 Agustus 2011.

8.

Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological Aspects of
Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2000;69:292301.

9.

Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of


Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.

10. Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. (Onine)
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection, diakses 8 Oktober 2011.
11. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.
12. Todar K. 2007. The Microbiological World: Tetanus. (Online)
http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Tetanus.html, diakses 8 Oktober 2011.
13. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British Journal of
Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.
14. Ritarwan K. 2004. Tetanus. (Online).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf, diakses 17
Agustus 2011.
15. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.

16. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA Health Threat After
Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med. 2011;154:329-35.
17. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic Studies
During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of Medicine, New Series.
1992;83(302):449-60.
18. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of Emergency Medicine.
2001;3(1):47-50.
19. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain.
2006;6(3):101-4.
20. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).
http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 8 Oktober 2011.
21. Anonym. 2007. Tetanus Prophylaxis in Wound Management. (Online).
http://www.cdph.ca.gov/programs/immunize/Documents/IMM-154_WEB.pdf, diakses 17
Agustus 2011.

Anda mungkin juga menyukai

  • Metode Penelitian
    Metode Penelitian
    Dokumen5 halaman
    Metode Penelitian
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Diare
    Diare
    Dokumen2 halaman
    Diare
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • BAB I Hipertensi
    BAB I Hipertensi
    Dokumen17 halaman
    BAB I Hipertensi
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Saraf
    Cover Referat Saraf
    Dokumen6 halaman
    Cover Referat Saraf
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Filariasis
    Filariasis
    Dokumen2 halaman
    Filariasis
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • FORMAT Cover
    FORMAT Cover
    Dokumen4 halaman
    FORMAT Cover
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Engel Turangan
    Belum ada peringkat
  • Filariasis
    Filariasis
    Dokumen2 halaman
    Filariasis
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Referat Narkoba Dan Zat Adiktif
    Referat Narkoba Dan Zat Adiktif
    Dokumen14 halaman
    Referat Narkoba Dan Zat Adiktif
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Phbs
    Phbs
    Dokumen4 halaman
    Phbs
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Referat Dakriosistitis
    Referat Dakriosistitis
    Dokumen20 halaman
    Referat Dakriosistitis
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Tetanus
    Tetanus
    Dokumen14 halaman
    Tetanus
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Etika Bisnis Dan Pengrusakan Lingkungan Hidup
    Etika Bisnis Dan Pengrusakan Lingkungan Hidup
    Dokumen8 halaman
    Etika Bisnis Dan Pengrusakan Lingkungan Hidup
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • IPW Soal Keppres No 61
    IPW Soal Keppres No 61
    Dokumen105 halaman
    IPW Soal Keppres No 61
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Draft Bab 3
    Draft Bab 3
    Dokumen17 halaman
    Draft Bab 3
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Bab I Ta
    Bab I Ta
    Dokumen3 halaman
    Bab I Ta
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapsus
    Cover Lapsus
    Dokumen3 halaman
    Cover Lapsus
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Anak
    Laporan Kasus Anak
    Dokumen23 halaman
    Laporan Kasus Anak
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • BAB II Lapsus Anak
    BAB II Lapsus Anak
    Dokumen33 halaman
    BAB II Lapsus Anak
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen11 halaman
    Bab Ii
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Kista Ovarii
    Kista Ovarii
    Dokumen21 halaman
    Kista Ovarii
    Cacha Resty
    Belum ada peringkat
  • Isi Propil
    Isi Propil
    Dokumen23 halaman
    Isi Propil
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Infertilitas
    Infertilitas
    Dokumen26 halaman
    Infertilitas
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Pendekatan Terhadap Pasien Diare Berulang
    Pendekatan Terhadap Pasien Diare Berulang
    Dokumen3 halaman
    Pendekatan Terhadap Pasien Diare Berulang
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Kista Ovarium
    Kista Ovarium
    Dokumen24 halaman
    Kista Ovarium
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Home Visitilmu Kesehatan Masyarakat
    Home Visitilmu Kesehatan Masyarakat
    Dokumen49 halaman
    Home Visitilmu Kesehatan Masyarakat
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Telaah Jurnal
    Telaah Jurnal
    Dokumen3 halaman
    Telaah Jurnal
    Dita Nurul
    Belum ada peringkat
  • 2 Kata Pengantar Case Forensik 14
    2 Kata Pengantar Case Forensik 14
    Dokumen3 halaman
    2 Kata Pengantar Case Forensik 14
    Berliany L Ganie Fhatwa
    Belum ada peringkat
  • Luka Tembak
    Luka Tembak
    Dokumen15 halaman
    Luka Tembak
    Otchi Pudtrie Wijaya
    100% (2)