Gangguan Elektrolit Hipokalemi-Hiperkalemi Pda CKD
Gangguan Elektrolit Hipokalemi-Hiperkalemi Pda CKD
1. Keseimbangan cairan dan elektrolit cairan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ruang intrasel (2/3 cairan tubuh)banyak di otot
b. Ruang ekstraseluler (1/3 cairan tubuh) yang dibagi lagi menjadi 3 bagian,
yaitu:
Cairan intravaskuler (3 L)
Cairan interstisial (8 L)
Cairan transeluler (paling sedikit)
2. Pengaturan kompartemen cairan tubuh
a. Osmosis + osmolaritas (dari encer ke pekat)
b. Difusi (dari zat terlarut tinggi ke zat terlarut rendah)
c. Filtrasi (perpindahan dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah)
d. Pompa Na dan K (merupakan salah satu bentuk transport aktif melawan
gradient sehingga membutuhkan energy. Na bergerak dari intrasel ke
ekstrasel, K bergerak dari ekstrasel ke intraselNa di ekstrasel lebih
tinggi
3. Gangguan volume cairan
a. Hipovolemia
Kehilangan air+elektrolit dengan proporsi yang sama. Hal ini berbeda
dengan dehidrasi (kehilangan air dengan peningkatan Na serum).
Contoh: diare, mual, faktor resiko DM insipidus
Penatalaksanaan: berikan larutan isotonic (RL, NaCl 0,9 %) untuk
tatalaksana kehilangan cairan dan bisa digunakan pada hipotensi. Jika
sudah normal dapat diberikan larutan hipotonik (NaCl 0.45%)
*syok hipovolemik terjadi jika volume cairan hilang >25% volume
intravascular
Tahapan syok hipovolemik:
1: volume darah hilang <=15%, dikompensasi dengan konstriksi pembuluh
darah. Tanda dan gejala: BP normal, RR normal, kulit pucat, ansietas
(cemas awal)
2: volume darah hilang 15-30% (750-1500mL). CO tidak dapat
dikompensasi dengan konstriksi pembuluh darah arteri. Tanda dan gejala:
RR meningkat (takikardi), BP normal, Tekanan diastolic meningkat,
berkeringat (stimulasi dari sistem saraf simpatik), ansietas ringan,
kelelahan
3: volume darah hilang 30-45% (1500-2000mL). Tanda dan gejala:
tekanan sistolik turun sampai di bawah 100 mmHg, sudah ada tanda klasik
secara cepat
pH
pCO
HCO
Asidosis Respiratorik
Alkalosis Respiratorik
Asidosis Metabolik
Alkalosis Metabolik
5. Nilai normal
Na+ : 135-150 mEq/L
K+: 3,5-5
Ca+: 4,5-5,5
Bikarbonat sifatnya basa, asam karbonat sifatnya asam
6. Terapi cairan parenteral
Jenis larutan intravena
a. Cairan isotonis
Osmolalitasnya sama dengan serum NaCl 0,9%, RL, sebagai
rumatan di awal, tapi tidak boleh jadi rumatan rutin. Untuk
memperbaiki kekurangan Na+. jika dicampur dengan dekstrose
Haluaran
Urin: 1200-1500 mL
Feses: 100-200 mL
Paru: 400 mL
Kulit: 500-600 mL
Total: 2200-2700 mL
Chloride (Cl)
: 2-3 mEq/100 mL H2O/ hari
Metode 2:
10 kg pertama
: kalikan dengan 100 mL cairan
10 kg berikutnya
: kalikan dengan 50 mL cairan
Setiap tambahan/ kg : kalikan 15 mL cairan
Metode 3:
1 mL/kcal intake= ml cairan yang dibutuhkan per hari
Metode 4:
(kg BB-20) x 15 + 1500=mL/hari
Metode 5:
Dewasa normal
:30-35 mL/kg BB
Dewasa berusia 55-75 tahun : 30 mL/kg BB
Dewasa berusia > 75 tahun : 25 mL/kg BB
3. Menghitung BUN
BUN merupakan nitrogen urea darah yang terbentuk dari urea yang
merupakan hasil akhir dari metabolism protein (pembentukan urea,
protein di hati)
Kadar normal: 10-20 mg/dLSI=3,5-7 mmol/L
Kondisi yang dapat meningkatkan BUN: perdarahan GI,
Cairan isotonis
Cairan hipotonik
Cairan hipertonik
Terapi cairan
Resusitasi mengganti kehilangan akut. Penggantian deficit kristaloid dan atau
koloid.
Rumatan memasok kebutuhan harian. Kebutuhan harian kristaloid.
Kebutuhan cairan rumatan:
Berat
Kecepatan
10 kg pertama
4 ml/kg/jam
10-20 kg berikutnya
tambahkan
tambahkan
ml/kg/jam
Di atas 20 kg
ml/kg/jam
Kehilangan cairan normal:
Takipnea
Kebutuhan cairan menurun jika:
Lokal:
Flebitis
Infeksi
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit :
-
faktor,
termasuk
jenis
asidosis,
lamanya
perubhan
keadaan
perubahan kalium plasma lebih sedikit pada asidosis repiratorius daripada dengan
asidosis metabolik dan lebih sedikit pada alkalosis daripada asidosis.
KEHILANGAN KALIUM DAN HIPOKALEMI
1. Patogenesis
Hipokalemi adalah kehilangan kaliu sehingga kadar ion K serum <3,5 mEq/L.
Defisiensi kalium sering dijumpai pada gangguan gastrointestinal dengan muntah,
diare, atau hilangnya sekresi gastrointestinal adalah menonjol. Diare dapat
menyebabkan deficit kalium, karena konsentrasi kalium dalam cairan feces adalah
40 sd 60 mmol/L. Hilangnya sekresi lambung melalui
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin dan isufisensi ginjal. Kegagalan untuk
engenal deplesi kalium dapat menimbulan kordiotoksikosi diterapi dengan insuln
atau alkali. Konsentrasi plasma kalium yang normal pada pasien dengan diabeik
ketoasidosis, sangat menunjukkan deplesi kalium.
2. Gambaran Klinis
Gejala hipokalenia dan kehilangan kalium yang paling menonjol adalah gejalagejala neuromuskuler. Kehilangan dalam derajat sedang mungkin tdak bergejala,
terutama yang timbul secara lambat. Namun demikian, bberapa pasien
mengeluhkan kelemahan otot, terutama pada ekstremitas bawah. Pada tingkat
yang lebih berat atau akut, gejala kelemahan otot rangka yang menyeluruh dapat
mencolok hipokalemi yang sangat berat atau terjadi mendadak dapat terjadi
paralisis total, juga pada otot-otot pernapasan. Dapat terjadi rabdomiolisis. Pada
3. Diagnosis
Penyebab hipokalemia dan kehilangan kalium biasanya jelas dari anamnesis.
Namun
demikian,
pasien
yang
mengalami
defisiensi
kalium
akibat
Hipokalemi
a
Perkembangan
pergeseran sel (alkalosis
insulin, agonis, adrenergik, paralisis
Tekanan
darah
Normal
Hiperten
si
K+ urin
<25
mmol/l
Renin
Plasma
Tinggi
>25mmol/
l
HCO3serum
Aldosteron
plasma
HCO3serum
Renda
h/N
Tingg
i
Kehilan
gan
salu-ran
makaan
ba-wah
Diureti
k
(sebelu
mnya)
Renda
h
Asidosi
s
tubulus
ginjal,
diabeti
k
Tinggi
Tinggi
Renda
h
Muntah
diuretic
(sekara
ng), S.
barther
Hipertensi
malignan
tumor
penghasil
renin
4. Pengobatan
Rendah
Hiperaldost
eronis
me
>gluk
okortik
oid
licoric
e
seendiri-sendiri
dapat
membangkitkan
gejala.
Jadi,
pengobatan
HIPERKALEMIA
1. Patogenesis
Ekskresi ginjal yang tidak adekuat merupakan penyebab yang sering. Jika
oligouria atau anuriaa ada dengan semakin progresifnya gagal ginjal akut,
hiperkalemia pasti terjadi. Kalium plasma meningkat 0,05mmol/l per hari jika
tidak ada beban abnormal. Gagal ginjal kronik tidak menyebabkan hiperkalemia
berat atau progresif, kecuali jika oligouria jug ada. Perubahan adaptif
meningkatkan ekskresi kalium per nefron residual bila gagal ginjal kronik
semakin berlanjut.
Penurunan dalam volume sirkulasi yang efektif cenderung mengganggu ekskresi
kalium. Dalam keadaan seperti deplesi garam dan air atau gagal jantung kongestif,
laju filtrasi gloerulus berkurag dan reabsorbsi cairan meningkat. Penurunan
penghantaran cairan ke tubulus distal ini, membatasi sekresi kalium ke dalam air
kemih. Hiperkalemia dapat terjadi dalam beberapa pasien; biasanya sedang dan
tidak progresif, tetapi dapat menjadi berat jika beban kalium tinggi.
Sebab-Sebab Hiperkalemi
I. Ekskresi tidak adekuat
a. Gangguan ginjal
- Gangguan ginjal akut
- Gagal ginjal kronik berat
- Gangguan tubulus
b. Volume sirkulasi efektif menurun
c. Hipoaldosteronisme
- Penyakit adrenal
- Hiporeninemia
Menyertai penyakit tubulointerstinal ginjal
Akibat obat-obatan (anti inflamasi non steroid,penghambat enzim
konversi, antagonis dan adrenergic beta)
d. Diuretik yang menghambat sekresi kalium (spironolakton, triamteren,
amilorid)
II. Perpindahan kalium dari jaringan
a. Kerusakan jaringan (gencetan pada otot, hemolisis, perdarah internal)
b. Obat-obatan (suksinilkolin, arganin, digitalis, keracunan, antagois
adrenergic beta).
c. Asidosis
d. Hiperosmolalitas
e. Defisiensi insulin
f. Paralisis periodic hiperkalemik
III.
Asupan berlebihan
IV.
Pseudohiperkalemia
(trombositosis, leukositosis, teknik punksi vena yang buruk, hemolisis in
vitro).
2. Gambaran Klinis
Efek toksik terpenting dari hiperkalemia adalah aritmia jantung. Manifestasi
paling dini adalah munculnya gelombang T puncak tinggi, terutama menonjol
pada hantaran prekordial. Namuntidak seperti gangguan lain yang menyebabkan
gelombang T puncak tinggi. Hiperkalemia tidak memperpanjang interval QT.
Perubahan lebih lanjut antara lain peanjangan interval PR, blok jantung komplit
dan asistole atrium. Bila kalium plasma makin meninggi, kompleks-kompleks
ventrikule dapat memburuk. Kompleks QRS memanjang progresif, dan akhirnya
menyatu dengan gelombang T membentuk konfigurasi gelombang sinus. Akirnya
dapat terjadi fibrilasi dan henti ventrikel.
Terkadang, hiperkalemia sedang atau berat menimbulkan dampak yang nyata pada
otot-otot perifer. Kelemahan otot asenden dapat terjadi dan berkembang menjadi
kuadriplegia flaksid dan paralysis pernapasan. Fungsi syaraf-syaraf cranial dan
serebral adalah normal demikian juga esensial.
3. Diagnosis
Hiperkalemia yang berat atau progresif jarang terjadi tanpa adanya insufisiensi
ginjal. Karenanya kadar kreatinin plasma dan curahnya dalam air kemih perlu
segera ditentukan pada pasien hiperkalemia. Gagal ginjal akut, terutama dengan
oligouria akan menyebabkan hiperkalemia , penghambat adrenergic rogresif.
Pada semua pasien dengan hiperkalemia anamnesis perlu dipusatkan pada obatobat yang dapat meningkatkan kadar kaium misalnya penghambat kenversi,
antiinflmasi non steroid (AINS), penghambat adrenergic beta, dan diuretic hemat
kalium. Sumber-sumber asupan kalium diet perlu ditinjau, misalnya suplemen
kalium atau garam pengganti. Tanda-tanda kehilangan volume ekstraseluler,
penyakit Addison, atau keadaan-keadaan edema dengan penurna volume
ekstraseluler efektif perlu dicari pada pemeriksaan fisik.
Sebagai tambahan terhadap kreatinin plasma kadar gula darah dan bikarbonat
plasma harus ditentukan untuk mengevaluasi kemungkinan kontribusi diabetes
atau asidosis terhadap hiperkalemia. Pengukuran kalium air kemih hanya sedikit
nilainya dalam diagnosis banding. Rekaman elektrokardiagram penting dalam
mengevaluasi efek hiperkalemia. Pada pasien tanpa penjelasan adekuat tentang
hiperkalemia, terutama jia elektrokardiagram tidak memperlihatkan gambaran
hiperkalemik, kemungkinan hiperkalemik perlu dipertimbangkan.
4. Terapi
Dalam mempertimbangkan terapi, sangat bermanfaat untuk mengelompokkan
hipekalemia menurut derajat keparahan. Keserusan hiperkalemi paling baik
diperkirakan denan mempertimbangkan konsentrasi kalium plasma dan rekaman
elektrokardiagram. Jika kalium plasma 6 sampai dengan 8 mmol/l dan puncak
gelombang
merupakan
satu-satunya
abormalitas
elektrokardiografik,
hiperkalemianya sedang. Hiperkalemia berat ada jika kalium plasma lebih dari 8
mmol/l atau jika abnormalitas elektrokardiografi mencakup tidak adanya
gelombang P, pelebaran kompleks QRS atau aritmia ventrikuler.
Ginjal adalah organ yang mempunyai fungsi vital dalam tubuh manusia. Fungsi
utama ginjal adalah untuk mengeluarkan bahan buangan yang tidak diperlukan
oleh tubuh dan juga mensekresi air yang berlebihan dalam darah. Ginjal
memproses hampir 200 liter darah setiap hari dan menghasilkan kurang lebih 2
liter urin. Bahan buangan adalah hasil daripada proses normal metabolisme tubuh
seperti penghadaman makanan, degradasi jaringan tubuh, dan lain-lain. Ginjal
juga memainkan peran yang penting dalam mengatur konsentrasi mineral-mineral
dalam darah seperti kalsium, natrium dan kalium. Selain itu ia berfungsi untuk
mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam-basa darah,
serta sekresi bahan buangan dan lebihan garam (Pranay, 2010). Keadaan dimana
fungsi ginjal mengalami penurunan yang progresif secara perlahan tapi pasti, yang
dapat mencapai 60 % dari kondisi normal menuju ketidakmampuan ginjal ditandai
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia disebut dengan gagal ginjal kronik. Gagal Ginjal
Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) adalah gangguan fungsi
ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan
tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit gagal, menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah (Smeltzer, 2001).
The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National
Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku
kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate (GFR)
kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Berikut adalah tahap
yang telah ditetapkan menerusi (K/DOQI) pada tahun 2002 (Pranay, 2010):
Stage 1: Kidney damage with normal or increased GFR (>90 mL/min/1.73 m2)
Stage 2: Mild reduction in GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
Stage 3: Moderate reduction in GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
Stage 4: Severe reduction in GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Stage 5: Kidney failure (GFR <15 mL/min/1.73 m2 or dialysis)
6. Penyakit ginjal obstruktif seperti pembesaran prostat, batu saluran kemih, dan
refluks ureter.
Walaubagaimanapun, penyebab utama GGK adalah diabetes dan tekanan darah
yang tinggi. Diabetes terjadi apabila kadar gula darah melebihi paras normal,
menyebabkan kerusakan organ-organ vital tubuh seperti jantung dan ginjal, serta
pembuluh darah, syaraf dan mata. Tekanan darah yang tinggi atau hipertensi,
terjadi apabila tekanan darah pada pembuluh darah meningkat dan jika tidak
dikawal, hipertensi bisa menjadi punca utama kepada serangan jantung, strok dan
gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga bisa menyebabkan hipertensi (NKF,
2010).
1. Hipertensi sistemik
2.Nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal
3. Proteinuria
4. Hiperlipidemia
Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam darah. Ini
menyebabkan uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh penderita. Semakin
banyak timbunan produk bahan buangan, semakin berat gejala yang terjadi.
Penurunan jumlah glomerulus yang normal menyebabkan penurunan kadar
pembersihan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan
menurunnya LFG, ia mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin dan
peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan gangguan
metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea dan
vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin yang sampai ke otak bisa mempengaruhi fungsi
kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu
blood urea nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap
akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga
terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Penderita akan menjadi
sesak nafas, akibat ketidakseimbangan asupan zat oksigen dengan kebutuhan
tubuh. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal
ini menimbulkan risiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu
diperhatikan keseimbangan cairannya. Semakin menurunnya fungsi ginjal, terjadi
asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Juga terjadi penurunan produksi hormon eritropoetin yang
mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal
terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium.
Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis
berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan
adanya hipertensi (Smeltzer, 2001).
penyakit ini. Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada GGK
dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu untuk menentukan
derajat kegawatan GGK, menentukan gangguan sistem dan membantu
menegakkan etiologi. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dilakukan untuk mencari
apakah ada batuan, atau massa tumor, dan juga untuk mengetahui beberapa
pembesaran ginjal. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dilakukan untuk
melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia
dan gangguan elektrolit.
Pemeriksaan urin termasuk di dalam pemeriksaan laboratorium. Antara
pemeriksaan urin yang dilakukan adalah urinalisa dan juga kadar filtrasi
glomerulus. Analisis urin dapat mengesan kelainan-kelainan yang berlaku pada
ginjal. Yang pertama dilakukan adalah dipstick test. Tes ini mengguanakan reagen
tertentu untuk mengesan sunstansi yang normal maupun abnormal termasuk
protein dalam urin. Kemudian urin diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari
eritrosit dan leukosit dan juga apakah adanya kristal dan silinder. Bisanya
dijumpai hanya sedikit protein albumin di dalam urin. Hasil positif pada
pemeriksaan dipstick menunjukkan adanya kelainan. Pemeriksaan yang lebih
sensitif bagi menemukan protein adalah pemeriksaan laboratorium untuk estimasi
albumin dan kreatinin dalam urin. Nilai banding atau ratio antara albumin dan
kreatinin dalam urin memberikan gambaran yang bagus mengenai ekskresi
albumin per hari. Menurut Prodjosudjadi (2001) tahap keparahan penyakit ginjal
yang diukur berdasarkan Tes Klirens Kreatinin (TKK), diklasifikasikan gagal
ginjal kronik (chronic renal failure, CRF) apabila TKK sama atau kurang dari 25
ml/menit. Penurunan fungsi dari ginjal tersebut akan berterusan dan akhirnya
mencapai tahap gagal ginjal terminal apabila TKK sama atau kurang dari 5
ml/menit.
Laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah penunjuk umum bagi kelainan ginjal.
Dengan bertambah parahnya kerusakan ginjal, LFG akan menurun. Nilai normal
LFG adalah 100-140 mL/min bagi pria dan 85-115 mL/min bagi wanita. Dan ia
menurun dengan bertambahnya usia. LFG ditentukan dengan menentukan jumlah
bahan buangan dalam urin 24 jam atau dengan menggunakan indikator khusus
yang dimasukkan secara intravena (Pranay, 2010).
The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National
Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku
kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate (GFR)
kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Berikut adalah tahap
yang telah ditetapkan menerusi (K/DOQI) pada tahun 2002 (Pranay, 2010):
Stage 1: Kidney damage with normal or increased GFR (>90 mL/min/1.73 m2)
Stage 2: Mild reduction in GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
Stage 3: Moderate reduction in GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
Stage 4: Severe reduction in GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Stage 5: Kidney failure (GFR <15 mL/min/1.73 m2 or dialysis)
Estimated GFR (eGFR) dilakukan dengan menghitung anggaran GFR
menggunakan hasil dari pemeriksaan darah. Adalah penting untuk mengetahui
nilai estimasi GFR dan tahap atau stage GGK penderita. Ini adalah untuk
melakukan pemeriksaan tambahan lain dan juga upaya panatalaksanaan.
Pemeriksaan darah yang dianjurkan pada GGK adalah kadar serum kreatinin dan
blood urea nitrogen (BUN). Ia adalah pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk
monitor kelainan ginjal. Protein kreatinin adalah hasil degradasi normal otot dan
urea adalah hasil akhir metabolisme protein. Hasil keduanya meningkat dalam
darah jika adanya panyakit pada ginjal. Electrolyte levels and acid-base balance
ditentukan karena gagal ginjal akan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.
Terutamanya kalium, fosfor dan kalsium (Pranay, 2010). Hiperkalemia adalah
yang perlu diberi perhatian. Keseimbangan asam basa juga biasanya terganggu.
Blood cell counts dilakukan karena pada dasarnya, kerusakan ginjal menyebabkan
gangguan pada produksi eritrosit dan memendekkan jangka hayatnya. Ini
menyebabkan anemia. Setengah penderita juga mungkin mengalami defisiensi zat
besi karena kehilangan darah pada saluran gastrointestinal mereka.