Anda di halaman 1dari 15

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.

10 Oktober 2008

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL: USAHA MENUMBUHKAN


KEMAMPUAN UNTUK MENGHORMATI KERAGAMAN
Oleh: Hidayat Maruf
ABSTRAK
Kemampuan untuk menghormati keragaman dan perbedaan di
negara Indonesia yang plural menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditawartawar dan harus dimiliki oleh setiap warga negaranya, jika bangsa dan
negara ini ingin tetap eksis. Untuk menumbuhkan kemampuan tersebut,
jalur pendidikan - baik informal, formal, dan non formal - merupakan
media yang sangat strategis. Melalui jalur ini, pendidikan multikultural
merupakan tema yang harus diangkat untuk menumbuhkan kemampuan
untuk menghormati keragaman. Khususnya dalam pendidikan formal,
tema-tema yang terkait dengan pendidikan multikultural dapat dimasukkan
ke dalam proses pembelajaran anak baik melalui kegiatan akademik yang
terintegrasi ke dalam beberapa mata pelajaran maupun kegiatan nonakademik. Tema-tema tersebut diantaranya seperti tema agama/ketuhanan,
kemanusiaan, kebangsaan/ kerakyatan, demokrasi dan keadilan sosial
Kata-Kata Kunci: Multikulturalisme, pendidikan multikultural,
interkultural, Keragaman,

A. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dari berbagai ragam
kelompok suku, etnis, budaya, bahasa, agama dan lain-lain. Dengan
keragaman tersebut maka bangsa Indonesia dapat dikatakan sebagai bangsa
yang mempunyai "multikultural". Di sisi lain, kenyataan bahwa masyarakat
Indonesia yang multikultural tersebut dihadapkan pada kebutuhan yang
mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia"
yang diharapkan dapat menjadi "integrating force" yang mampu mengikat
keragaman menjadi sebuah kesatuan yang kokoh.
Dalam era Orde Baru, pengelolaan Keragaman Budaya nampaknya
dilakukan dengan tangan besi, serta dipaksakan oleh penguasa. Itulah

Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. Saat ini sedang
mengikuti Program Doktor (S.3) pada Universitas Negeri Malang.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

sebabnya mengapa dengan lengsernya Pak Harto, maka dalam era reformasi,
tiba-tiba bangsa ini jadi kehilangan kendali, semua menjadi serba boleh dan
serba sesukanya. Tidaklah mengherankan jika kita terlatih hanya untuk
mendengarkan kepentingan diri sendiri, bahkan harus menuntut
pemenuhan kebutuhan kita dengan mempersetankan hak orang lain untuk
juga dipenuhi kebutuhannya, sehingga kehilangan untuk berempati, dan
cenderung menggunakan bahasa kekerasan, dan yang lebih parah lagi, tidak
perlu mempertanggungjawabkan apapun yang kita katakan dan lakukan itu,
secara pribadi. Bahkan apapun yang dikatakan oleh penguasa, termasuk
larangan untuk mencederai hal milik, bahkan hak hidup orang yang
kebetulan berbeda dari kita, selalu hanya terlontar sebagai retorika sehingga
secara tidak sengaja mengajarkan kepada kita untuk menjadi munafik1.
Senada dengan tulisan di atas, Azyumardi Azra mengatakan bahwa
dengan berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru
memaksakan keseragaman mono-kulturalisme telah memunculkan reaksi
balik, yang bukan tidak mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi
kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multikultural. Berbarengan
dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan,
terjadi pula peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang
tindih dengan etnisitas. Kecenderungan seperti ini, jika tidak terkendali
maka akan menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih
lanjut, tetapi juga disintegrasi politik 2

T Raka Joni. Nurturing Cultural Diversity Competence in Indonesia. Paper


presented at the 5th Congress of the Asia Pacific Association of Psychotherapists (Jakarta:
Four Seasons Hotel, 2008)
2

Azyumardi Azra. Identitas Dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme


Indonesia. http://www.kongresbud.budpar.go.id/58%20azyumardi%20azra.htm.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

Untuk dapat mewujudkan dan mempertahankan keutuhan bangsa


dan negara Indonesia yang multikultural, maka harus ada upaya yang
sistematis, terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan. Langkah
strategis yang dapat dilakukan salahsatunya adalah melalui pendidikan
multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan,
baik formal, informal maupun non-formal.
B. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya
kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural. Multikulturalisme mengusung
kesadaran sosial bahwa di dalam ranah kehidupan masyarakat terdapat
keragaman budaya. Kesadaran tersebut berdimensi etis yang menuntut
tanggungjawab yang terarah pada ortopraksis (tindakan baik dan benar),
yang selanjutnya terwujud ke dalam berbagai bentuk penghargaan,
penghormatan, perhatian, kasih sayang, cinta, dan pengakuan akan
eksistensi terhadap sesama 3.
Pengertian multikulturalisme yang diberikan para ahli sangat
beragam. Multikulturalisme pada dasarnya merupakan pandangan dunia
(worldview), yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan
.
kebudayaan, yang menekankan penerimaan terhadap adanya
realitas
keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
Merebaknya
krisis sosio-kultural
dalam masyarakat dapat dilihat
masyarakat. Multi-kulturalisme dapat
juga dipahami
sebagai pandangan
berbagai
bentuk, misalnya;
yang bersumber
dunia (worldview) yang dalam
kemudian
diwujudkan
dalam disintegrasi
politics sosial-politik
of
4
dari
euforia
yang
nyaris
kebablasan;
hilangnya
kesabaran
sosial dalam
recognition
menghadapi sulitnya kehidupan menyebabkan masyarakat kita mudah
dan melakukan
berbagai tindakan
Karena pengertian mengamuk
multikulturalisme
sangat beragam,
kemudiananarkis, masyarakat mulai
kehilangan
kemampuan
untuk
berempati,
konsep dan prakteknya cenderung berkembang, maka Bikhu Parekh5 bersopan santun, saling
menghormati
terhadap perbedaan keragaman. Bangsa kita
membedakan multikulturalisme
ke dalam dan
lima menghargai
macam, yaitu:
mulai kehilangan identitas kultural nasional dan lokal; padahal identitas
nasional
dan lokal
sangat
diperlukan
untuk mewujudkan
integrasi sosial,
1. Multikulturalisme isolasionis,
mengacu
kepada
kehidupan
masyarakat
di
kultural
dan
politik
masyarakat
dan
negara-bangsa
Indonesia.
mana berbagai kelompok kultural yang menjalankan kehidupaannya
3

Lindra Darnela. Pembelajaran Multikultural:Belajar dari Pengalaman. http:


//syariah. uinsuka. ac.id /fileilmiah/ Pembelajaran%20 Multikultural,%20 Belajar %20
Dari%20. Pengalaman. pdf
4
5

Azyumardi Azra. Op. cit.

Bikhu Parekh. National Culture and Multiculturalism, http://catalogue.nla.


gov.au / Record / 72038#details.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu
sama lain. Contoh-contoh kelompok seperti ini adalah masyarakat yang
ada pada sistem millet di Turki Usmani atau masyarakat Amish di
Amerika Serikat. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat
yang sama berusaha mempertahan-kan budaya mereka secara terpisah
dari masyarakat lain umumnya.
2.

Multikulturalisme akomodatif, dalam masyarakat yang plural, mereka


yang memiliki kultur dominan membuat penyesuaian-penyesuaian dan
akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan
undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara
kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya
kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme
akomodatif ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara
Eropa lain.

3.

Multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural di mana


kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan
(equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan
otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.
Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk
mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama
dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural
dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua
kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme
didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompokkelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk bisa
menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam,
dan sebagainya.

4.

Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di


mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan
kehidupan kultural otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur
kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif
distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung
menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk
menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya
kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompok-kelompok
minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual
maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi
6

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang


egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme seperti ini, sebagai
contoh, diperjuangkan masyarakat kulit Hitam di Amerika Serikat,
Inggris dan lain-lain.
5.

Multikulturalisme kosmopolitan, yang berusaha menghapuskan batasbatas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di
mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya
tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimeneksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan
kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini
yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompokkelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist
memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih
dan ambil secara bebas.

C. Pendidikan Multikultural
Secara sederhana, pendidikan multikultural dapat dimaknai sebagai
proses untuk menumbuhkan kemampuan cara hidup menghormati, tulus,
dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah
masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya
kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik
sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan tercabik.
Menurut HAR Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari
berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang inter-kulturalisme seusai
Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran inter-kulturalisme
ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut
HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain,
juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai
akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke
Amerika Serikat dan ke Eropa 6.
6F

Mempertimbangkan semua perkembangan tersebut, maka pada


tahun 1940-an dan 1950-an, di Amerika Serikat berkembang konsep
pendidikan interkultural dan inter-kelompok (inter-cultural and inter6

HAR Tilaar. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik


Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002)

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

group education). Pendidikan interkultural pada hakikatnya merupakan


cross-cultural education untuk mengembangkan nilai-nilai universal yang
dapat diterima oleh berbagai kelompok masyarakat berbeda. Pada tahap
pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku
individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau
kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan
untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan
rasial, etnis, agama, dan lain-lain7

HAR Tilaar menyatakan bahwa pendidikan multikultural tidak


bertujuan untuk menghilangkan perbedaan akan tetapi menghilangkan
prasangka, menimbulkan dialog, mengenal perbedaan sehingga timbul rasa
saling menghargai dan mengapresiasi. Dari sini diharapkan akan muncul
modal kultural suatu bangsa karena bangsa yang kehilangan modal kultural
akan sangat rawan perpecahan. Modal kultural ini lahir dari kekayaan
kearifan lokal bangsa yang jika diangkat bisa menjadi kekuatan yang sangat
besar. Dalam konteks Indonesia yang dikenal amat majemuk, pendidikan
multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan
secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari
transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi
bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan8.
8F

Dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan


semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau
mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan
interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi
individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya
mainstream yang dominan, yang pada akhirnya dapat membuat orang-orang
7

Thomas La Belle, et. al. Multiculturalism and Education. (Albany: SUNY


Press, 1994)
8

HAR Tilaar. Op. cit.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.


Pendidikan interkultural seperti ini pada akhirnya memunculkan tidak hanya
sikap tidak peduli (indifference) terhadap nilai-nilai budaya minoritas, tetapi
bahkan cenderung melestarikan prasangka-prasangka sosial dan kultural
yang rasis dan diskriminatif. Dan dari kerangka inilah, maka pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti, atau
politics of recognition, politik pengakuan terhadap orang-orang dari
kelompok minoritas 9.
.
Tetapi, harus diakui, pada prakteknya pendidikan interkultural lebih
D. Lembaga Pendidikan Multikultural
terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagi pula, konflik dalam skala
luas, terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat
sehingga
dapatupaya
benar-benar
mengganggu
hubungan bersama di antara warga
Pendidikan multikultural
sebagai
menumbuhkan
kemampuan
masyarakat
negara-bangsa.
Sebab
itu
pula, pendidikan interkultural
untuk menghormati keragaman budaya memerlukan upaya yang sistematis,
dipandang
kurang
berhasil
dalam
mengatasi
terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan. Langkah strategisnya dapatkonflik antar golongan dan
dan kenyataan
inilah baik
pada formal,
gilirannya mendorong munculnya
diselenggarakan melalui masyarakat;
berbagai lembaga
pendidikan,
gagasan
tentang
pendidikan
multikultural.
informal maupun non-formal.
Secara lebih spesifik, T Raka Joni mengemukakan ada 4 (empat)
tataran yang secara terpadu harus dilakukan guna memfasilitasi tumbuhnya
kemampuan untuk menghormati keragaman. Empat tataran tersebut adalah:
1. Personal level (tataran personal), melalui pengasuhan (parenting) dalam
keluarga yang harus menyemaikan kemampuan serta kebiasaan
menghormati keragaman budaya.
2. Organizational level (tataran organisasional), baik pada jalur
pendidikan formal, maupun lembaga pemberi kerja (kantor-kantor
jawatan, dan perusahaan).
3. Societal level (tataran kemasyarakatan) dalam arti luas, yang
seyogyanya selalu harus mengedepankan penghormatan kepada
keragaman.
4. System level (tataran sistemik) melalui peraturan perundang-undangan10.
Khususnya pada tataran personal, penanaman kesadaran
multikultural sejak usia dini dalam masa parenting merupakan langkah yang
sangat kreatif dan strategis dalam usaha pengelolaan kemajemukan bangsa.
Seperti kata pepatah belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu

Charles Taylor. Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition.


(Princeton: Princeton University Press, 1994)
10

T Raka Joni. Op. cit.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

sehingga penghormatan terhadap perbedaan akan melekat sepanjang hayat


dalam diri seorang anak manusia.
Secara sederhana memperkenalkan paradigma multikulturalisme
pada anak dalam masa pengasuhan dapat dilakukan melalui berbagai cara,
diantaranya dengan cara menyampaikan pesan tentang multikulturalisme
dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari, atau dengan
menyampaikan cerita yang berisi pesan tentang multikulturalisme, antara
lain dari dongeng, legenda, dan fabel.
Dalam penelitiannya, Ratnayu Sitaresmi menyimpulkan bahwa fabel
atau dongeng binatang sangat mudah dipahami oleh anak, baik simbol
bahasa, karakter, perilaku maupun interaksinya. Penilaian dan argumentasi
yang kontekstual seperti dikatakan Sitaresmi sangat dibutuhkan dalam
membangun paradigma multikulturalisme. Tentu saja diperlukan bantuan
penjelasan tentang pengakuan adanya perbedaan yang melingkupi setiap
karakter dalam fabel, kesepakatan yang terjadi, serta akibat buruk yang
muncul kalau homogenitas dipaksakan menjadi penyelesaian akhir. Hal
demikian akan sangat membantu terbentuknya pemahaman tentang
paradigma multikulturalisme pada diri anak sejak usia dini11.
E. Muatan Pendidikan Multikultural
Pengetahuan multikultural hendaknya dimulai dari pengenalan,
penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi
yang membentuk diri sendiri, seperti keluarga dan lingkungan sosial
terdekat).
Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan,
pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan
menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain. Misalnya,
pengetahuan tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa
daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia.
Dalam tataran organisasional, khususnya pada jalur pendidikan
formal, pendidikan multikultural dapat diterapkan secara integratif ke dalam
semua mata pelajaran dan berbagai kegiatan lintas kurikulum. Menurut
11

Ratnayu Sitaresmi. Fungsi Fabel untuk Pendidikan


http://www.kompas. com/kompas-cetak/0207/31/Daerah/nime28.htm.

Multikultural.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

Anita Lie, sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai


beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah
dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik.. Muatan nilai,
pengetahuan, dan keterampilan multikultural disajikan dalam pembelajaran
secara terintegrasi, dan didesain sesuai tahapan perkembangan usia anak
didik pada setiap jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai tersebut perlu
dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong
terjadinya internalisasi nilai-nilai12.
Keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan berrmasyarakat
yang multikultura diantaranya seperti keterampilan bernegosiasi,
keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menghadapi perbedaan,
menyelesaikan konflik, bekerjasama, dan sebagainya. Keterampilan seperti
ini bisa dimasukkan ke dalam proses pembelajaran anak baik melalui
kegiatan akademik yang terintegrasi ke dalam beberapa mata pelajaran
maupun ke dalam kegiatan yang bersifat non-akademik.
Tema-tema dasar yang dapat diangkat ke dalam pendidikan multikultural adalah tema yang sesuai dengan filosofis dasar negara Indonesia,
yaitu Pancasila. Tema-tema tersebut
misalnya tema tentang
agama/ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan/kerakyatan, demokrasi dan
keadilan sosial.
1. Tema Keberagamaan/Ketuhanan
Tema keberagamaan/ketuhanan dapat diangkat dalam pendidikan multikultural sebab:
- Semua agama yang dijadikan sebagai pandangan hidup oleh
pemeluknya menjelaskan tentang keberadaan manusia di dunia,
menjelaskan arah dan tujuan hidup manusia.
- Agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
tetapi juga mengatur kehidupan manusia antara sesama manusia dan
juga dengan mahluk Tuhan lainnya. Dengan demikian agama juga
terkait erat dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat seperti
kekerabatan, kepemimpinan politik, ekonomi dan sebagainya,
sehingga agama bersifat operasional dalam kehidupan sosial manusia.

12

Anita Lie. Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural. http://


64.203.71.11 / kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htm.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

Ada keteraturan dan kedisiplinan yang semestinya ditaati oleh


manusia dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Tuhan
Yang Maha Esa.
2. Tema Kemanusiaan
Tema kemanusiaa yang dapat diangkat dalam pendidikan multikultural
misalnya:
- Manusia di dunia ini tidak hidup sendirian, tetapi dikelilingi
masyarakatnya, komunitasnya dan alam sekitarnya,

oleh

- Secara hakiki manusia mempunyai ketergantungan dengan


sesamanya, karena itu mereka harus berusaha memelihara hubungan
baik dengan sesamanya atas dasar sama rata dan sama rasa, dan oleh
sebab itu mereka harus sedapat mungkin bersifat konform, guyub,
berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam komunitas yang
berasas pada jiwa sama tinggi dan sama rendah. Karena itu tema
Kemanusiaan; dimaksudkan dapat membentuk sikap peduli dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dengan mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban sesama
manusia.
3. Tema Persatuan dan Kesatuan
Dalam tema ini diangkat tentang keharusan mengutamakan keutuhan
bangsa, yaitu dengan menciptakan kehidupan yang harmonis antar
sesama warga bangsa yang mempunyai keragaman budaya dalam rangka
mewujudkan bangsa yang bersatu.
4. Tema Kerakyatan
Salah satu bentuk budaya masyarakat Indonesia diantaranya adalah
budaya musyawarah dan mufakat. Nurkholis Madjid memformulasikan
elemen musyawarah sebagai faktor yang mampu menciptakan harmoni
ummat secara hakiki. Musyawarah mengundang partisipasi yang
egaliter dari semua anggota masyarakat, sekalipun dalam kenyataan
akan terdapat variasi pelaksanaan teknisnya. Tema Kerakyatan
diharapkan dapat membentuk sikap yang demokratis, terbuka terhadap
keragaman, menghargai aspirasi orang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran dalam mewujudkan masyarakat pluralis yang damai dan

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

bermartabat. 13

5. Tema Keadilan
Pengakuan terhadap pluralitas budaya merupakan suatu keadaran untuk
mengurangi batas atau sekat-sekat budaya dan itu bisa terwujud apabila
proses transpormasi antar budaya dibangun dengan citra dan cita-cita
yang penuh persahabatan dan perdamaian. Tema Keadilan, dimaksudkan
dapat membentuk sikap empati terhadap orang lain serta memiliki
kepekaan sosial terhadap sesama manusia, merasa sama dan sederajat
dalam hubungan sosial dan anti terhadap diskriminasi atau marjinalisasi.
F. Tantangan Pendidikan Multikultural
Anita Lie14 menyebutkan bahwa pendidikan multikultural di
Indonesia, khususnya dalam pendidikan formal, menghadapi tiga tantangan
mendasar sebagai berikut:
Pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan
akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa
tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi,
agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam
UU No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan
menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar
agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan
berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah
juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai
perbedaan menjadi amat langka.
Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum.
Penelitian Lie pada tahun 2001 atas kurikulum 1994, dengan menganalisis
isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di
SMA berdasar jender, status sosio-ekonomi, kultur lokal, dan geografi.
Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan

13

Madjid, Nurkholis. Masyarakat Religius. (Paramadina: Jakarta, 1997)

14

Anita Lie. Op. cit.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural


peserta didik.
Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk oleh apa yang
Anda baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahanbahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku),
maka siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka
negatif terhadap orang lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan
budaya Nusantara diakomodasi dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan
simbol budaya seperti pakaian, kesenian daerah, dan stereotip suku.
Tantangan terakhir dan terpenting adalah guru. Kelayakan dan
kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi
untuk mengelola pembelajaran multikulturalisme.
Oleh sebab itu, untuk melaksanakan pendidikan multikultural,
banyak pekerjaan rumah yang harus digarap mulai dari rancangan integrasi
kurikulum, standardisasi buku dan materi, pengembangan materi dan
kurikulum, pengembangan profesional dan pelatihan guru, rancangan
kegiatan, hingga rancangan monitoring dan evaluasi.
G. Penutup
Negara Kesatuan Indonesia, sebagai sebuah negara yang berdiri di
atas keanekaragaman suku, etnis, budaya, bahasa, agama dan lain-lainnya
meniscayakan pentingnya pemahaman, penerimaaan dan penghormatan akan
adanya keberagaman tersebut bagi seluruh rakyatnya. Dengan multikulturalisme maka prinsip bhineka tunggal ika seperti yang tercantum
dalam dasar negara kita akan menjadi tetap terpelihara dengan baik.
Keaneka-ragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi
inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945
dapat tercapai.
Mengingat pentingnya pemahaman multikulturalisme dalam
menjaga keutuhan bangsa, maka diperlukan upaya-upaya konkrit untuk
mewujudkan-nya, diantaranya melalui pendidikan multikultural. Kita perlu
menyebar-luaskan pemahaman multikulturalisme terhadap anak-anak,

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

generasi muda, dan masyarakat mulai dari tataran personal, organisasional,


kemasyarakatan, dan perundang-undangan.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. (2002). Identitas Dan Krisis Budaya: Membangun


Multikulturalisme Indonesia. ttp: //www. kongresbud. budpar.
go.id/58%20 azyumardi%20azra.htm. Diakses pada tanggal 1 Juni 2008
Darnela, Lindra. (2006). Pembelajaran Multikultural: Belajar dari Pengalaman.
http: //syariah. uin-suka. ac.id /file_ilmiah /Pembelajaran%20
Multikultural, %20 Belajar%20 Dari%20 Pengalaman.pdf. Diakses
pada tanggal 8 Juni 2008
Joni, T Raka. (2008). Nurturing Cultural Diversity Competence in Indonesia.
Paper presented at the 5th Congress of the Asia Pacific Association of
Psychotherapists. Four Seasons Hotel, Jakarta.
La Belle, Thomas J & Christopher Ward. (1994). Multiculturalism and
Education, Albany: SUNY Press.
Lie, Anita. (2006). Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural. http://
64.203.71.11/kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htm. Diakses pada
tanggal 8 Juni 2008
Madjid, Nurkholis. (1997). Masyarakat Religius. Paramadina. Jakarta
Parekh, Bikhu, (1997), National Culture and Multiculturalism, http://catalogue.
nla. gov.au/Record/72038#details. Diakses pada tanggal 7 Juni 2008
Tilaar, HAR. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo.
Taylor, Charles et al. (1994). Multiculturalism: Examining the Politics of
Recognition. Princeton: Princeton University Press.
Sitaresmi, Ratnayu. (2003). Fungsi Fabel untuk Pendidikan Multikultural.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0207/31/Daerah/nime28.htm.
Diakses pada tanggal 7 Juni 2008

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008

Suparlan, Parsudi. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.


http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm. Diakses pada
tanggal 1 Juni 2008

Anda mungkin juga menyukai