10 Oktober 2008
A. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dari berbagai ragam
kelompok suku, etnis, budaya, bahasa, agama dan lain-lain. Dengan
keragaman tersebut maka bangsa Indonesia dapat dikatakan sebagai bangsa
yang mempunyai "multikultural". Di sisi lain, kenyataan bahwa masyarakat
Indonesia yang multikultural tersebut dihadapkan pada kebutuhan yang
mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia"
yang diharapkan dapat menjadi "integrating force" yang mampu mengikat
keragaman menjadi sebuah kesatuan yang kokoh.
Dalam era Orde Baru, pengelolaan Keragaman Budaya nampaknya
dilakukan dengan tangan besi, serta dipaksakan oleh penguasa. Itulah
Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. Saat ini sedang
mengikuti Program Doktor (S.3) pada Universitas Negeri Malang.
sebabnya mengapa dengan lengsernya Pak Harto, maka dalam era reformasi,
tiba-tiba bangsa ini jadi kehilangan kendali, semua menjadi serba boleh dan
serba sesukanya. Tidaklah mengherankan jika kita terlatih hanya untuk
mendengarkan kepentingan diri sendiri, bahkan harus menuntut
pemenuhan kebutuhan kita dengan mempersetankan hak orang lain untuk
juga dipenuhi kebutuhannya, sehingga kehilangan untuk berempati, dan
cenderung menggunakan bahasa kekerasan, dan yang lebih parah lagi, tidak
perlu mempertanggungjawabkan apapun yang kita katakan dan lakukan itu,
secara pribadi. Bahkan apapun yang dikatakan oleh penguasa, termasuk
larangan untuk mencederai hal milik, bahkan hak hidup orang yang
kebetulan berbeda dari kita, selalu hanya terlontar sebagai retorika sehingga
secara tidak sengaja mengajarkan kepada kita untuk menjadi munafik1.
Senada dengan tulisan di atas, Azyumardi Azra mengatakan bahwa
dengan berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru
memaksakan keseragaman mono-kulturalisme telah memunculkan reaksi
balik, yang bukan tidak mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi
kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multikultural. Berbarengan
dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan,
terjadi pula peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang
tindih dengan etnisitas. Kecenderungan seperti ini, jika tidak terkendali
maka akan menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih
lanjut, tetapi juga disintegrasi politik 2
secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu
sama lain. Contoh-contoh kelompok seperti ini adalah masyarakat yang
ada pada sistem millet di Turki Usmani atau masyarakat Amish di
Amerika Serikat. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat
yang sama berusaha mempertahan-kan budaya mereka secara terpisah
dari masyarakat lain umumnya.
2.
3.
4.
Multikulturalisme kosmopolitan, yang berusaha menghapuskan batasbatas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di
mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya
tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimeneksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan
kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini
yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompokkelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist
memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih
dan ambil secara bebas.
C. Pendidikan Multikultural
Secara sederhana, pendidikan multikultural dapat dimaknai sebagai
proses untuk menumbuhkan kemampuan cara hidup menghormati, tulus,
dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah
masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya
kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik
sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan tercabik.
Menurut HAR Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari
berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang inter-kulturalisme seusai
Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran inter-kulturalisme
ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut
HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain,
juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai
akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke
Amerika Serikat dan ke Eropa 6.
6F
Multikultural.
12
oleh
bermartabat. 13
5. Tema Keadilan
Pengakuan terhadap pluralitas budaya merupakan suatu keadaran untuk
mengurangi batas atau sekat-sekat budaya dan itu bisa terwujud apabila
proses transpormasi antar budaya dibangun dengan citra dan cita-cita
yang penuh persahabatan dan perdamaian. Tema Keadilan, dimaksudkan
dapat membentuk sikap empati terhadap orang lain serta memiliki
kepekaan sosial terhadap sesama manusia, merasa sama dan sederajat
dalam hubungan sosial dan anti terhadap diskriminasi atau marjinalisasi.
F. Tantangan Pendidikan Multikultural
Anita Lie14 menyebutkan bahwa pendidikan multikultural di
Indonesia, khususnya dalam pendidikan formal, menghadapi tiga tantangan
mendasar sebagai berikut:
Pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan
akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa
tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi,
agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam
UU No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan
menerima siswa tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar
agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan
berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah
juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai
perbedaan menjadi amat langka.
Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum.
Penelitian Lie pada tahun 2001 atas kurikulum 1994, dengan menganalisis
isi 823 teks bacaan dalam 44 buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di
SMA berdasar jender, status sosio-ekonomi, kultur lokal, dan geografi.
Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini masih menunjukkan
13
14
DAFTAR PUSTAKA