Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2
Faring dan laring adalah sistem organ yang berperan dalam 2 sistem yaitu sistem
respirasi dan sistem pencernaan. Keduanya memiliki fungsi fisiologis yang sangat
essensial. Secara embriologis mereka terbentuk dari celah faring yang akhirnya terus
berkembang hingga menjadi kondisi normal seperti sekarang ini. Jika ada kesalahan
dalam proses diferensiasi organ tersebut maka akan muncul kelainan kongenital baik
karena genetik maupun terpapar zat-zat berbahaya yang menggangu proses tersebut.
Secara anatomis faring dibedakan menjadi tiga, yaitu nasofaring, orofaring, dan
laringofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang berhubungan dengan nasal,
orofaring merupakan bagian yang menghubungkan oral dengan faring, dan yang terakhir
adalah laringofaring yang merupakan tempat pertemuan faring dengan laring. Banyaknya
tonsil yang berada di faring yang berperan dalam proses pertahanan tubuh, terutama saat
masa kanak-kanak. Sedangkan laring merupakan daerah tempat adanya plica vocalis yang
berperan dalam proses fonasi atau suara.
Ada banyak sekali gangguan dan kelainan yang mengenai faring dan laring. Baik
itu kelainan kongenital, trauma, neoplasma, peradangan, dan kelainan-kelainan lainnya
yang menyebabkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Tonsilitis dan faringitis
merupakan peradangan yang lazim terjadi. Neoplasma yang sering ditemukan adalah Ca
nasofaring yang merupakan keganasan dari epitel transisional. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi semua itu terutama perokok dan terpajan zat karsinogenik lainnya.
Trauma sendiri dapat dibedakan menjadi trauma tumpul dan trauma tajam.

2.1 Embriologi Faring

1 | Kelompok VI

Rongga mulut, faring, dan esofagus berasal dari foregut embriogenik. Foregut
juga berkembang menjadi rongga hidung, gigi, kelenjar liur, hipofise anterior, tiroid dan
laring, trakea, bronkus, dan alveoli paru. Perkembangan lengkung faring terjadi
bersamaan

dengan

perkembangan

sistem

pencernaan.

Secara

embriologis,

perkembangannya dimulai pada minggu ke-4 pada masa janin sebagai salah satu cikal
bakal sistem pencernaan.
Lengkung faring muncul pada minggu ke-4 pada masa embrio. Lengkung faring
ini berupa kumpulan jaringan mesenkim yang dipisahkan oleh celah-celah yang kita kenal
dengan celah faring. Di saat perkembangan keduanya, di dinding lateral bagian dalam
lengkung faring itu muncul lagi yang namanya kantong faring.

Gambar 1.2 Lengkung faring

Perkembangan lengkung faring, celah faring dan kantong faring adalah


sebagai berikut:
1. Lengkung faring
Secara umum, lengkung faring itu ada 3 lapis, lapis terluar berasal dari
ektoderm (pembungkus), bagian tengah atau inti berasal dari mesoderm (nanti
menjadi inti mesenkim), sedangkan bagian dalam berasal dari endoderm. Lengkung
faring pada masa embrio ada 5, yakni lengkung faring 1, 2, 3, 4, dan 6.

2 | Kelompok VI

a. Lengkung faring 1 membentuk incus dan malleus (asalnya dari tulang rawan
Merckel/

prominensia

mandibularis,

yang

hilang

pada

perkembangan

selanjutnya).
b. Lengkung faring 2 membentuk stapes, processus styloideus ossis temporalis,
ligamentum stylohyoideus, cornu minus dan bagian atas corpus hyoid. (asal:
tulang rawan Reichert).
c. Lengkung faring 3 membentuk bagian bawah corpus dan cornu mayus ostium
hyoid.
d. Lengkung faring 4 dan 6 bersatu membentuk tulang rawan thyroid, cricoids,
arithenuid, corniculata dan cuneiform dari laring.
2. Celah faring
Sempurna membentuk 4 celah faring pada minggu ke-5.
a.

Celah faring 1 nanti bergabung dengan kantong faring 1 membentuk meatus

b.

acusticus externus.
Celah faring 2: bagian dari celah faring 2, yakni ujung dari lengkung faring kedua
sebelah bawah, yang notabene terdiri dari jaringan mesenkim yang aktif
berproliferasi, tumbuh dengan cepat, sehingga bertemu dengan rigi epikardium di

c.

bagian bawah leher (dibawah celah faring 4).


Celah faring 3 dan 4, nanti akan tertutup oleh pertumbuhan jaringan mesenkim
lengkung faring 2 tersebut diatas, sehingga membentuk sinus servikalis, namun
nanti bakal hilang pada perkembangan selanjutnya.

3. Kantong faring
Kantong faring yang terbentuk ada 5:
a. Kantong faring 1: bertemu dengan celah faring 1 membentuk meatus acusticus
b.
c.
d.
e.

externus.
Kantong faring 2 : menjadi tonsila palatine
Kantong faring 3: membentuk glandula parathyroidea inferior dan kelenjar timus
Kantong faring 4: membentuk glandula parathyrioidea superior .
Kantong faring 5 (biasanya dianggap sebagai bagian dari kantong faring 4):
membentuk corpus ultimobrachiale yang kelak bersatu dengan glandula thyroid.

2.2 Embriologi Laring

3 | Kelompok VI

Faring, laring, trakea, dan paru-paru merupakan derivat forgut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama kemudian, terbentuk alur faring
median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring.
Sulkus atau alur laringotrakea menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio.
Perluasan alur ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan
berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. Bagian
yang paling proksimal dati tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran
aritenoid dan lamina epitelial dapan dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot
dan sebagian besar pita suara (korda vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu
berikutnya.
Hanya kartilago epiglotis yang tidak berbentuk hingga masa midfetal. Karena
perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arkus brankialis embrio, maka
banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis.
Gangguan perkembangan dan berakibat berbagai kelainan yang dapat didiagnosis
melalui pemeriksaan laring secara langsung, laring sendiri mungkin kecil atau mungkin
terdapat berbagai tingkatan selaput di antara korda vokalis sejati.

Gambar 1.3.1 Embriologi Laring

2.3 Anatomi Faring


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong dengan
bagianatas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan ruang utama
traktusresporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar
tengkorak danterus menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6.
Ke atas. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Ke depan
4 | Kelompok VI

berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring
dibawah berhubungan dengan aditus laring dank e bawah berhubungan dengan
esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm;
bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk
oleh(dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian
fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.

Gambar 1.4.1 Faring

Berdasarkan letaknya faring dibagi atas :


1.Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal.
Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring

5 | Kelompok VI

dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui
oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus Vags dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial
dan vena jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara
tuba Eustachius.
2.Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis ke depan adalah rongga mulut sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikalis.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang
akut atau radang kronik faring, Abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan gangguan n.vagus.
3.Laringofaring
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior
ialah laring, batas inferior ialah esophagus, sertas batas posterior adalah vertebra servikal.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur
pertama yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula.

6 | Kelompok VI

Gambar 1.4.2 Bagian dari Anatomi Faring

2.4 Anatomi Laring


Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu
rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis
IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada
umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan
makanan.
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya
kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia
Laring atau disebut juga Adams apple atau jakun.
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang
berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago
krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra
cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah
anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral
ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid.
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di
sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan
laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan
ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.
7 | Kelompok VI

Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otototot.
1. Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
a.

Kelompok kartilago mayor, terdiri dari : Kartilago Tiroidea, 1 buah


Kartilago Krikoidea, 1 buah Kartilago Aritenoidea, 2 buah

b.

Kartilago minor, terdiri dari :


Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2
buah Kartilago Epiglotis, 1 buah

Gambar 2.1.1 Tulang dan kartilago laring tampak lateral

2. Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.
a.

Nn. Laringeus Superior.


Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan
dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang
dua, yaitu :
Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis
dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
8 | Kelompok VI

Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m.


Konstriktor inferior.
b. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan yang
panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.
Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan
berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya
akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan
persarafan :
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea
3. Vaskularisasi
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior
sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.
Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus
pyriformis.
Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area
Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus
Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan
memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.

9 | Kelompok VI

Gambar 2.1.1 Laryngeal Arterial System

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V.


Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis
Interna.

Gambar 2.1.2 Laryngeal Venous System

4. Siatem limfatik
Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu :
a. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran
yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior profunda.
Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node.
10 | K e l o m p o k V I

b. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle
jugular node, dan inferior jugular node.
c. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe
esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring dan
menentukan terapinya.

Gambar 2.1.3 Laryngeal Lymphatic System

2.5 Fisiologi Faring


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi.
1. Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal dan fase
esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini
disengaja (voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan
melalui faring. Gerakan disini tidak sengaja (involuntary). Fase esofagal disini
gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara
peristaltic di esophagus menuju lambung.

11 | K e l o m p o k V I

Gambar 2.2.1 Fisiologi Menelan

2. Fungsi faring dalam proses bicara.


Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpada dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mulamula m.salpingofaring dan m.palatofaring. kemudian m.levator veli palatini bersamasama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator
vveli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding
posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) passavant pada
dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan
faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh
kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mingkin kedua gerakan ini bekerja tidak
pada waktu yang bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada pada
periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum
2.6 Fisiologi Laring
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :
1. Fungsi Fonasi.
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara
12 | K e l o m p o k V I

udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara
pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga
mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan
dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan
tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk :
a. Teori Myoelastik Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan
plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis.
Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan
menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya
melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka
dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis
yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus
getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang
dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika
vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran
udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek
Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara
ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
b. Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran
plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk
mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring
mencerminkan banyaknya/frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan
audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada
pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).
2. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan
berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis,
plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N.
Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring
13 | K e l o m p o k V I

ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah.
Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus
piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga
dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan
rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO 2 dan O2 arteri serta
pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila
pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO 2 arterial
dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan
pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring
terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini
dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan
Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila
laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya
proses menelan, yaitu :
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.
Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglottis.
14 | K e l o m p o k V I

Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus


laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring
dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga
tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk
yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau
membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu
menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

15 | K e l o m p o k V I

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KELAINAN FARING
2.1.1 Kelainan kongenital
1.
Atresia Koana
a. Definisi
Atresia koana adalah suatu kelainan congenital yang ditandai dengan kegagalan
perkembangan rongga hidung untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan
nasofaring dengan perubahan fisiologi dan anatomi yang signifikan dari kompleks
dentofacial. defenisi lain menyebutkan atresia koana adalah adanya kehilangan atau
adanya penghalang dari bagian posterior hidung. Atresia koana lebih sering
dikaitkan dengan kelainan CHARGE (C=Coloboma, H=Heart Disease, A= atresia
choanae, R= retarded growth and development, G= genital hipoplasia, E=ear
deformities or deafness),
b.

Epidemiologi
Atresia koana terjadi hampir jarang terjadi pada setiap kelainan congenital,

berdasarkan penelitian dari 5000 sampai 8000 kelahiran hanya sekitar 1 kelahiran
yang menderita kelainan kongenital ini. Dengan angka kejadian bayi perempuan
lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan pada bayi laki-laki. Kejadian atresia koana
biasanya dapat mengikuti kelainan kongenital lain seperti contohnya sindroma
down, sindroma DiGeorge, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelitian lain menyebutkan sekitar 0,82 kasus dari 10.000 kasus
adalah atresia koana, dengan atresia koana yang unilateral lebih sering
dibandingkan bilateral yakni 2:1, namun resiko terjadi keduanya juga cukup besar.
Adanya kelainan kromosom ditemukan pada bayi baru lahir sekitar 6% menderita
atresia koana. Dengan setiap ras memiliki frekuensi yang sama. Dan 50% anak
dengan CHARGE menderita atresia koana hampir seluruhnya.
c.

Etiologi
Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak

dugaan dari pada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Yakni pada
masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membrane yang
terdiri atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang
16

kemudian menjadi atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain
adanya keterlibatan kromosom 22q11.2 yang dapat menyertai kelainan kongenital
lain seperti facial, nasal dan palatal deformities, polydactylism, congenital heart
disease, coloboma of the iris and retina, mental retardation, malformations
external ear, esophageal atresia, craniosynostosis, tracheoesophageal fistula dan
meningocele.
d.

Patofisiologi
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun

belum ada teori pasti tentang kelainan ini. Teori tersebut antara lain:
-

Membran buccopharyngeal yang persisten


Kegagalan membrane buccopharyngeal dari hochstetter yang ruptur
Bagian medial yang tumbuh keluar dari vertikal dan horizontal tulang palatine
Abnormal mesodermal yang adhesi pada area koana, dan
Misdirection dari aliran mesodermal akibat faktor local
e.

Gejala Klinis
Pada setiap bayi baru lahir ahrus bernafas melalui hidung, namun pada bayi

yang menderita atresia koana terjadi distress respirasi bisa karena atresia koana
yang bilateral atau dapat pula terjadi napas memendek.
Presentasi lain adalah bayi selalu sianosis saat menangis, adanya obstruksi
dari saluran napas saat bayi makan dan berkurang saat bayi menangis karena
adanya pengambilan udara dari mulut karena adanya sumbatan pada hidung.
Kebanyakan atresia koana bilateral didiagnosa saat bulan pernah kehidupan.
Pasien dengan atresia koana unilateral jarang menyebabkan obstruksi saluran
napas yang parah. Normalnya gejala baru akan tampak setelah 18 bulan kehidupan
yang ditandai dengan adanya kesulitan makan dan keluarnya cairan dari hidung.
f.

Diagnosis
Dari anamnesis didapati riawayat kesulitan bernapas dan bernapas dari

hidung saat baru lahir dan makin memberat dalam beberapa bulan ini. Biasanya
pasien dengan atresia koana bilateral dibawa setelah 1 bulan kelahiran sedangkan
pasien atresia koana unilateral dating setelah beberapa bulan kelahiran. Pasien juga
kesulitan dalam pemberian makan karena akan mengganggu pernapasan dan

17

semakin memberat apabila pasien menangis. Pada pasien juga didapati riwayat biru
saat menangis akibat kurangnya pengambilan oksigen.
Pada inspeksi didapati pasien cenderung mengambil nafas dari mulut akibat
adanya obstruksi pada hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior cenderung
dalam batas normal, namun kadang dijumpai adanya secret yang keluar dan
bertahan. Riwayat keluar cairan dari hidung serta aliran udara dari hidung yang
kurang atau tidak ada sama sekali. Pada pemeriksaan posterior dengan
menggunakan kaca laring didapati adanya aliran udara yang keluar dari mulut,
namun belum dapat secara pasti menegakkan suatu atresia ataupun stenosis.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi yang keras maupun
fleksibel, namun yang paling sering digunakan adalah endoskopi fiberoptik yang
fleksibel karena dapat menilai patensi nasal dan anatominya seperti vestibule,
septum nasi dan dinding lateral nasal. Biasanya, pada kelainan jalan napas yang
disebabkan oleh karena obstruksi kongenital, septum deviasi, kista duktus
nasolakrimalis, dan lain-lain bisa tidak terlihat. Pada pasien dengan atresia koana
dengan menggunakan endoskopi dapat dilihat adanya discharge yang bersifat
mukoid dan terlihat adanya atresia koana lebih jelas tampak.
Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan CT-scan, hal ini khusus untuk
melihat bagian aksial, prosedur radiografi ini merupakan pilihan terhadap kelainan
dari tulang dan membrane, untuk menilai posisi dan ketebalan dari segmen yang
obstruksi, sehingga dapat dilakukan operasi yang sesuai untuk memperbaiki
keadaan ini. CT-scan juga berperan untuk mendeteksi kelainan lain yang menyertai
atresia koana, seperti encephalocele, glioma, defek tengkorak anterior. CT scan
juga dapat menunjukkan luas dari bagian posterior septum dan densitas tulang
padat yang menyangga lateral. Dengan menggunakan vasokonstriktor drop dan
nasal toilet, sedasi atau anastesia umum pada bayi baru lahir akan memberikan
kualitas gambar CT-scan yang baik, data normative dapat digunakan untuk
neonates hingga umur 6 bulan, mengenai ukuran dari lubang hidung.
g.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bervariasi dam tergantung dari umur, tipe dari atresia dan

keadaan umum dari pasien. Karena pada bayi harus bernapas dari hidung,
sedangkan pada atresia koana yang bilateral keadaan ini tidak dapat terjadi,
sehingga butuh penanganan segea, sebelum jatuh kedalam keadaan asfiksia berat
18

dan kematian segera setelah lahir. Pada bayi dengan atresia koana yang bilateral
biasanya langsung menunjukkan keadaan kesulitan bernapas, dan penatalaksanaan
selanjutnya diperlukan. Seperti latihan bernapas melalui mulut, McGovern nipple
atau dengan oropharyngeal airway. McGovern nipple adalah suatu seperti ujung
botol dengan sebuah lubang yang cukup besar dan dapat digunakan untuk
pemberian makan. Pasien dapat makan sambil menjaga jalan napas, sebelum
dilakukan penatalaksanaan lebih lanjut.
Intubasi endotrakea biasanya kurang bermanfaat jika dibandingkan pemberian
ventilasi mekanik pada bayi. Jika didapati distress pernapasan yang parah dan jalan
napas tidak dapat dilakukan dengan intubasi endotrakea, perlu dilakukan
trakeotomi

pada

keadaan

emergensi

sebelum

dilakukan

evaluasi

dan

penatalaksanaan selanjutnya. Pembedahan merupakan satu-satunya cara yang


paling tepat dalam keadaan atresia koana bilateral.
Pada atresia koana yang bersifat unilateral jarang terjadi keadaan emergensi.
Karena pada atresia koana ini secara umum dapat ditunda melakukan operasi
menunggu keadaan umum terlebih dahulu sampai dengan batas 1 tahun. Keadaan
ini diperlukan karena perlunya pembesaran dan pengurangan resiko pasca-operasi
dari stenosis, jika pasien kesulitan untuk makan.
Beberapa teknik operasi antara lain adalah transnasal dan transpalatal dapat
digunakan. Pendekatan transnasal adalah dengan menggunakan teleskop lensapancing dan metode ini merupakan pilihan karena biasanya sukses dilakukan pada
infant dan cocok pada membrane atau tulang atresia yang masih tipis. Sedangkan
metode transpalatal normalnya digunakan pada anak yang lebih tua, tulang yang
mulai padat atau pada kasus dengan stenosis berulang. Instrumen pendukung lain
adalah endoskopi sinus operasi dan CT scan. Metode transnasal merupakan metode
yang paling popular dikerjakan.
h. Komplikasi dan Prognosis
Pada pasien atresia koana memiliki komplikasi yang berbeda pada atresia koana
bilateral dan unilateral. Pada atresia koana bilateral cenderung memiliki komplikasi
yang terberat yakni distress pernapasan, asfiksia yang terakhir berujung pada
kematian. Perlu diagnosis dan penatalaksanaan segera dalam mengantisipasi
keadaan ini. Berbeda halnya dengan atresia koana unilateral yang masih dapat
ditunda pelaksanaan operasi hingga setahun kedepan. Komplikasi kemungkinan
19

adalah kurangnya asupan makan akibat kesulitan bernapas hanya berdampak pada
pertumbuhan dan perkembangan bayi yang cenderung terhambat. Namun sekitar
50% atresia koana dapat diikuti kelainan kogenital lain sehingga biasanya pasien
justru jatuh ke dalam keadaan komplikasi dari penyakit lain.
2.1.2 Peradangan
1. Tonsilitis
a. Definisi
Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (leteral band
dinding faring/ Garlach tonsil.
Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama apda anak.
1. Tonsillitis akut
a. Tonsiitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka
kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Terapi
Istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika gatal berat.
b. Tonsillitis bacterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus hemolitikus
yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, streptokokus viridian dan
streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear
sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri
yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus
tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur

20

maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar
sehingga terbentuk semacam membrane semu (pseudommebrane) yang
menutup tonsil.
Gejala dan tanda
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah
nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di
telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain)
melalui saraf n.glossofaringeus (n.IX). pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau
tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submanibula membengkak dan nyeri
tekan.
Terapi
Antibiotika spectrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat
kumur yang mengandung disinfektan.
Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis,
abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronchitis, glomelurosnefritis
akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi v. jugularis interna
(sindrom Lemierre).
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut,
tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).
2.

Tonsilitis membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa ialah (a)

Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septic (septic sore throat), (c) Angina Plaut Vincent,
(d) Penyakit kelainan darah seperti leukimia akut, anemia pernisiosa, neutropenia
maligna seperti infeksi mono-nukleosis, (e) Proses spesifik lues dan tuberculosis,
(f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus
morbili, pertussis dan skarlatina.
a. Tonsiitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada
bayi dan anak. Penyebab tonsillitis difteri ialah kuman Corynebacterium
diphteriae, kuman yang termauk Gram positif dan hidung disaluran napas
21

bagian atas yaitu hidung, faring, dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi
oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes
Schik.
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.
Gejala dan tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala local,
dan gejala akibat eksotoksin.
a) Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan.
b) Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membenetuk membrane
semu. Membrane ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring,
laring, trakea, dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membrane
semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bia infeksinya berjaan terus,
kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.
c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis

samapi

deompensatio

cordis,

mengenai

saraf

kranial

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada


ginjal menimbulkan albuminuria.
Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.
Terapi
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.

22

Antibiotika penicillin atau eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi


dalam 3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1.2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk
simptomatis. Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan
harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
Komplikasi
Laryngitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin
cepat timbul kompikasi dini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung
atau dekompensasio cordis.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke
ginjal.
3. Tonsillitis kronis
Fakto predisposisi timbulnya tonsillitis kronis ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Kuman
penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah
menjadi kuman golongan Gram negative.
Patologi
Karena proses sedang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami perubahan sehingga kripti
melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proes berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submandibular.
Gejala dan tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang
mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorokan dan napas berbau.
Terapi
Terapi local ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap.
Komplikasi
23

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya


berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitits media secara perkontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endocarditis, artritis myositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
Indikasi tonsilektomi
The American Academy Of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical
Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan :
1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmonale.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus
hemoliticus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif.
2. Faringitis
a. Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan
oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain.
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi
inflamasi local. Infeksi bakteri grup A Streptokokus

hemolitikus dapat

menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepaskan


toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan
katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu
akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang
anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3
tahun. Penularan infeksi melalui secret hidung dan ludah (droplet infection)
b. Etiologi
24

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan


akibat infeksi maupun non infeksi. Banyak microorganism yang dapat
menyebabkan faringitis, virus (40-60%) bakteri (5-40%). Respiratory viruses
merupakan penyebab faringitis yang paling banyak teridentifikasi dengan
Rhinovirus (20%) dan coronaviruses (5%). Selain itu juga ada
Influenzavirus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type
1&2, Coxsackie virus A,cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV). Selain
itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis. Faringitis yang
disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup S.pyogenes dengan 515% penyebab faringitis pada orang dewasa. Group A streptococcus
merupakan penyebab faringitis yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun,
ini jarang ditemukan pada anak berusia <3tahun.
Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%) antara lain Neisseria
gonorrhoeae,Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium ulcerans, Yersinia
eneterolitica dan Treponema pallidum, Mycobacterium tuberculosis. Faringitis
dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita
faringitis.Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya
daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang
berlebihan.

Tabel 2.1.2.1 Penyebab Faringitis

Pada Faringitis kronik, faktor-faktor yang berpengaruh:


1) Infeksi persisten di sekitar faring. Pada rhinitis dan sinusitis kronik,
mucus purulent secara konstan jatuh ke faring dan menjadi sumber
infeksi yang konstan. Tonsillitis kronik dan sepsis dental juga
bertanggung jawab dalam menyebabkan

faringitis

kronik dan

odinofagia yang rekuren.


25

2) Bernapas melalui mulut. Bernapas melalui mulut akan mengekspos


faring ke udara yang tidak difiltrasi, dilembabkan dan disesuaikan
dengan suhu tubuh sehingga menyebabkan lebih mudah terinfeksi.
Bernapas melalui mulut biasa disebabkan oleh :
a. Obstruksi hidung
b. Obstruksi nasofaring
c. Gigi yang menonjol
d. Kebiasaan
3) Iritan kronik. Merokok yang berlebihan, mengunyah tembakau,
peminum minuman keras, makanan yang sangat pedas semuanya dapat
menyebabkan faringitis kronik.
4) Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan yang berdebu atau uap
industry juga menyebabkan faringitis kronik.
5) Faulty voice production. Penggunaan suara yang berlebihan atau faulty
voice production juga adalah salah satu penyebab faringitis kronik.
c. Epidemiologi
Di USA, faringitis terjadi lebih sering terjadi pada anak-anak
daripada pada dewasa. Sekitar 15 30 % faringitis terjadi pada anak usia
sekolah, terutama usia 4 7 tahun, dan sekitar 10%nya diderita oleh
dewasa. Faringitis ini jarang terjadi pada anak usia <3 tahun.
Penyebab tersering dari faringitis ini yaitu streptokokus grup A,
karena itu sering disebut faringitis GAS (Group A Streptococci). Bakteri
penyebab tersering yaitu Streptococcus pyogenes. Sedangkan, penyebab
virus tersering yaitu rhinovirus dan adenovirus. Masa infeksi GAS paling
sering yaitu pada akhir musim gugur hingga awal musim semi.
d.Patogenesis
Bakteri S. Pyogenes memiliki sifat penularan yang tinggi dengan
droplet udara yang berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan
melalui batuk dan bersin. Jika bakteri ini hinggap pada sel sehat, bakteri ini
akan bermultiplikasi dan mensekresikan toksin. Toksin ini menyebabkan
kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada orofaring dan tonsil.
Kerusakan jaringan ini ditandai dengan adanya tampakan kemerahan pada
faring. Periode inkubasi faringitis hingga gejala muncul yaitu sekitar 24 72
jam.
Beberapa strain dari S. Pyogenes menghasilkan eksotoksin
eritrogenik yang menyebabkan bercak kemerahan pada kulit pada leher,

26

dada, dan lengan. Bercak tersebut terjadi sebagai akibat dari kumpulan
darah pada pembuluh darah yang rusak akibat pengaruh toksin.
Faktor risiko dari faringitis yaitu:

Cuaca dingin dan musim flu

Kontak dengan pasien penderita faringitis karena penyakit ini dapat


menular melalui udara

Merokok, atau terpajan oleh asap rokok

Infeksi sinus yang berulang

Alergi

e. Klasifikasi
Faringitis dibagi menjadi:
1.
a.
b.
c.
d.
2.
a.
b.
3.
a.
b.
I.
a.

Faringitis akut
Faringitis viral
Faringitis bacterial
Faringitis gonorrhoeae
Faringitis fungal
Faringitis kronik
Faringitis kronik hiperplastik
Faringitis kronik atrofi
Faringitis spesifik
Faringitis leutika
Faringitis tuberkulosa

Faringitis akut
Faringitis viral
Faringitis virus akut adalah penyakit yang sangat sering. Penyebab

faringitis akut dapat bervariasi dari organisme yang menghailkan eksudat saja
atau perubahan kataral sampai yang menyebabkan edema dan bahkan ulserasi.
Penyebab dari faringitis akut viral adalah rinovirus yang menimbulkan
gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan faringitis. Selain
rinovirus, ada juga virus influenza, coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat. Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di
orofaring dan lesi kulit berupa mauclopapular rash.
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat

27

pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan


hepatosplenomegali.
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,
nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,
terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.
Terapinya adalah istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air
hangat. Analgetika jika perlu dan tablet isap. Antivirus metisoprinol
(Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada
anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.

Gambar 2.1.2.1 Faringitis akut virus tampak faring membengkak dan hiperemis.

b. Faringitis bacterial
Infeksi grup A Streptokokus

hemolitikus merupakan penyebab faringitis

akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan tandanya adalah
nyeri kepala yang hebat, muntah kadang-kadang disertai demam dengan suhu
yang tinggi, jarang disertai batuk.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat di permukaannya.Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal, dan nyeri pada penekanan.
e. Diagnosis
Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :

28

Penilaian skornya:
-

0: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 1%-2.5%. Tidak perlu

pemeriksaan lebih lanjut dan antibiotic.


1: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 5%-10%. Tidak perlu

pemeriksaan lebih lanjut dan antibiotic.


2: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 11%-17%. Kultur bakteri

faring dan antibiotic hanya bila hasil kultur positif


3: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 28%-35%. Kultur bakteri

faring dan antibiotic hanya bila hasil kultur positif


4-5: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 51%-53%. Terapi empiris
dengan antibiotic dan atau kultur bakteri faring.

Tabel 2.1.2.2 Tabel skor centor criteria.

f. Terapi
a. Antibiotik. Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup
A Streptokokus

hemolitikus. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM

dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama


10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hariatau eritromisin 4 x
500 mg/hari

29

b.

Kortikosteroid: deksametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak 0.08-0.3

c.
d.

mg/kgBB, IM, 1 kali.


Analgetika
Kumur dengan air hangat atau antiseptic.

Gambar 2.1.2.2 Streptococcus faringitis

c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.Keluhan nyeri
tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring
dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar
Saburoud dextrose. Terapi dengan Nystatin 100.000-400.000 2 kali/hari dan
analgetika.

Gambar 2.1.2.3 Faringitis fungal

d. Faringitis gonorea
30

Disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Bakteri menyebar melalui


oral seks dengan pasangan yang terinfeksi. Sebagian besar infeksi tenggorokan
tidak menghasilkan gejala (asimtomatik).
Penyakit ini paling sering terjadi pada pria yang homoseksual. Faktor risiko
nya yaitu, aktivitas seksual dengan banyak pasangan, dan melakukan seks oral.
g. Diagnosis
Kultur adalah tes diagnostik yang paling umum untuk gonore, yaitu dengan
asam deoksiribonukleat (DNA) probe dan kemudian polymerase chain reaction
(PCR) assay dan ligand chain reaction (LCR). Probe DNA adalah tes deteksi
antigen yang menggunakan probe untuk mendeteksi DNA gonore dalam
spesimen.
Kultur swab dari tempat infeksi merupakan standar kriteria untuk diagnosis
di semua tempat potensial infeksi gonokokal. Kultur sangat berguna ketika
diagnosis klinis tidak jelas, ketika kegagalan pengobatan telah terjadi, ketika
pelacakan kontak yang bermasalah, dan ketika pertanyaan hukum muncul.
h. Terapi
-

Ceftriaxone 250 mg intramuscular (IM) single dose PLUS,

Azithromycin 1 g PO single dose OR

Doxycycline 100 mg PO twice a day for 7 days

2.

Faringitis kronis
a.

Definisi
Faringitis kronis atau persisten merupakan masalah menjengkelkan dan

menyakitkan bagi pasien. Hal ini dapat bertahan selama lebih dari 3 bulan dan
sangat menggangu kehidupan sehari-hari. Faringitis kronis bisa disebabkan karena
induksi yang berulang-ulang faringitis akut atau karena iritasi faring akibat
merokok berlebihan dan penyalahgunaan alkohol, sering konsumsi minuman
ataupun makanan yang panas, dan batuk kronis karena alergi. Bernafas melalui
mulut, ini dapat disebabkan oleh : kelainan pada nasofarings, obstruksi pada
hidung, dan protruding teeth.
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik
atrofi. Factor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rhinitis kronik,
sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap yang merangsang
31

mukosa faring dan debu. Factor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah
pasien yang biasa bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular.
Gejalanya pasien sering mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan
akhirnya batuk yang bereak.
Terapi local dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan
simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit di hidung dan sinus
paranasal harus diobati.
b. Faringitis kronik atrofik
Faringitis kronik atrofik merupakan keadaan yang berlawanan dengan
faringitis kronik hipertrofi. Berbagai derajat atrofi elemen mukosa faring
seringkali ditemukan secara kebetulan. Pada kasus yang ringan, mukosa tampak
tipis dan berkiau atau seperti kaca, dengan tidak tampaknya semua jaringan
tetapi hanya sejumlah kumpulan jaringan limfoid yang tampak pada faring
normal. Pada inspeksi yang teliti, seseorang biasanya dapat melihat adanya
lapisan mucus, yang normal transparan, tampak lebih tebal dan semitransparan.
Mucus ini mungki meninggikan permukaan dalam bercak-bercak.
Pada bentuk faringiti atrofika yang lanjut, kekeringan mejadi menyolok,
lapisan mucus konsisteninya seperti lem, dan sewaktu-waktu tampak krusta.
Jika sekresi ini diangkat, membrane mukosa di bawahnya tampak kering,
berkerut. Stadium lanjut faringitis atrofika ini disebut faringitis sika.
b. Etiologi
Penyebab faringitis atrofik tidak diketahui dengan pasti. Diduga ini
disebabkan oleh udara yang tidak cukup dihangatkan dan dilembabkan oleh
mukosa hidung, seperti yang terjadi pada pernapasan mulut kronis dan pada
keadaan rhinitis atrofika di mana fungsi pelembaban dari hidung tidak
berfungsi. Kelihatannya, bagaimanapun juga, terdapat perubahan trofika pada
32

mukosa yang akibat dari hiposekresi mucus dan yang dipengaruhi oleh
beberapa factor yang tidak dimengerti.
c. Gejala-gejala
Gejala utama dari faringitis atrofika adalah rasa kering dan tebal pada faring
dan bagian atas. Usaha pasien untuk mengeluarkan sekresi yang melekat terdiri
dari usaha untuk mebersihkan tenggorokan, biasanya dengan membatukkan.
Berbagai derajat rasa sakit adalah tidak jarang. Keparauan dengan derajat
ringan dapat menyertai penyakit ini, karena perluasan dari proses ke laring dan
iritai dari usaha sering untuk membersihkan atau membatukkan sekresi yang
melekat. Dalam beberapa hal terjadi fetor.
d. Penanganan
Jika rhinitis atrofik terdapat bersamaan dengan faringitis atrofik, ini juga
sebaiknya mendapat perhatian terapeutik. Aplikasi local dari pengobatan
Mandls pada faring adalah bermanfaat. Tujuan obat-obatan ini adalah untuk
merangsang sekresi. Kalium iodide dapat diberikan secara interminal untuk
memperoleh efek yang sama. Dosis rata-rata adalah 10 tetes dari cairan yang
sudah disaturasi tiga kali sehari bersama makanan. Kombinasi aplikal local dari
obat tenggorokan dan pemberian iodide secara internal adalah diiginkan.
Pernapasan udara lembab yang hangat, dapat diperoleh dengan cara meletakkan
handuk tebal yang panas, lembab pada hidung dan mulut, membantu
melembabkan sekresi yang kental. Dua puluh sampai 30 menit sekali atau dua
kali sehari adalah diperlukan sekali. Perhatian juga sebaiknya diberikan pada
kesehatan umur
.
3. Faringitis spesifik
a. Faringitis luetika
Faringitis leutika atau faringitis syphilis ini dapat disebabkan oleh
Treponema palidum yang dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti
penyakit lues di organ lain. Gambaran kliniknya tergantung pada stadium
penyakit primer, sekunder atau tertier.
1) Stadium priemer
33

Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole,


tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan.Bila infeksi
terus berlangsung maka timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada
genitalia

yaitu

tidak

nyeri.Juga

didapatkan

pembesaran

kelenjar\

mandibular yang tidak nyeri tekan.


2) Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan.Terdapat eritema pada dinding faring
yang menjalar kearah laring.
3) Stadium tertier
Pada stadium ini terdapat guma.Predileksinya pada tonsil dan
palatum.Jarang pada dinding posterior faring.Guma pada dinding posterior
faring dapat meluas ke vertebra servikal dan bila pecah dapat menyebabkan
kematian. Guma yang terdapat di palatum mole, bila sembuh akan
terbentuk jaringan parut yang dapat menimbulkan gangguan fungsi palatum
secara permanen.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologic. Terapi
penisilin dalam dosis tinggi merupakan obat pilihan utama.

Gambar 2.1.2.4 Faringitis leutika

b. Faringitis tuberculosis
Faringitis tuberculosis merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru.
Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberculosis faring
primer.Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung
kuman atau inhalasi kuman melalui udara.Cara infeksi endogen yaitu
penyebaran melalui darah pada tuberculosis miliaris.Bila infeksi timbul secara
hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan
34

pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring,
palatum mole, dan palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak. Saat
ini juga penyebaran secara limfogen.
Gejalanya yaitu keadaan umum pasien buruk karena anoreksia dan
odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang gebat di tenggorok, nyeri di telinga
atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan sputum basil tahan
asam, foto toraks untuk melihat adanya tuberculosis paru dan biopsy jaringan
yang terinfeksi untuk menyingkirkan proses keganasan serta mencari kuman
basil tahan asam di jaringan.
Pengobatan dengan isoniazid dan rifampisin selama 9 sampai 12 bulan
merupakan terapi yang paling efektif dan mampu mencapai hasil yang
diinginkan dalam 99% dari pasien . Sumber lain menyebutkan terapi sesuai
dengan terapi tuberkulosis.
f.Pemeriksaan penunjang
1. Kultur Swab tenggorokan (Gold standard)
2. Darah Rutin
3. Kultur BTA untuk diagnosis Faringitis Tb
4. Tes infeksi jamur dengan menggunakan pewarnaan KOH
5. Tes Antigen
6. ELISA\
g.

Komplikasi
Adapun komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis,

mastoiditis, pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu juga


dapat terjadi komplikasi lain berupa septikemia, meningitis, glomerulonefritis,
demam rematik akut. Hal ini terjadi secara perkontuinatum, limfogenik maupun
hematogenik
h.

Prognosis
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik, akan tetapi

tergantung dari berat ringan nya infeksi. Pasien dengan faringitis ringan biasanya
sembuh dalam waktu 1-2 minggu.
2.1.3 Neoplasma
Karsinoma Faring
a. Definisi
35

Carsinoma faring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang
melapisi faring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma.
b. Etiologi
Penyebap pasti karsinoma faring tidak di ketahui namun ada beberapa
faktor yang diduga dapat memicu terjadinya kanker faring yaitu :
1. Kerentanan Genetik, walaupun karsinoma faring tidak termasuk tumor
genetic, tetapi kerntanan terhadap karsinoma faring pada kelompok masyrakat
tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma faring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma faring.
2. Virus Eipstein-Barr, Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung
antara karsinoma faring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr
(EBV). Serum pasien-pasien orang asia dan afrika dengan karsinoma faring
primermaupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap
antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA);
dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi.
Hubungan ini juga terdapat pada pasien Amerika yang mendapat karsinoma
faring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma
faring tak berdifrensiasi dan karsinoma faring non-keratinisasi yang aktif
(dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa
atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma.
3. Faktor Lingkungan, menurut laporan luar negeri, orang cina generasi
pertama (Umumnya penduduk kanton ) yang bermigrasi ke Amerika Serikat,
Kanada memiliki angka kematian akibat karsinoma faring 30 kali lebih tinggi
dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun
menjadi 15 kali, generasi ketiga belum ada angka pasti, tetapi secara
keseluruhan cenderung menurun. Dalam pada itu, orang kulit putih yang lahir
d Asia Tenggara, angka kejadian faring meningkat. Sebabnya selain pada
sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah, jelas factor lingungan
juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut
berkaitan dengan timbulnya karsinoma faring:
1. Golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin.
2. Hodrokarbon aromatic
3. Unsur Renik, diantaranya nikel sulfat

36

c. Patofisiologi
Karsinoma faring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun.
Kebanyakan pada orang laki-laki. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan
merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat.
Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli. Kanker kepala
dan leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan. Terutama
neoplasma laryngeal, 95% adalah karsinoma sel skuamosa. Bila kanker terbatas
pada pita suara (intrinsik) menyebar dengan lambat. Pita suara miskin akan
pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase ke arah kelenjar limfe. Bila
kanker melibatkan epiglottis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi. Tumor
superglotis dan subglotis harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga
mengakibatkan suara serak. Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini
biasanya pada waktu pita suara masih dapat digerakan.
d. Manifestasi
Hidung tersumbat
Ingus kental
Sesak dan nafas bau
Adanya benjolan di leher, penurunan BB dan nyeri yang menjalar ke telinga
dapat menandakan adanya metastasis (transfer penyakit dari satu organ ke
organ lain).
e. Tes Diagnostik
Persoalan diagnostic sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan

terlalu

sulit

ditemukan.

Pemeriksaan

foto

tengkorak

potongan

anteroposterior, lateral dan waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah


faring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah
fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal, dll dilakukan
untuk mendeteksi metastasis. Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA
untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma faring. Tetapi pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan
prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy faring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke
37

faring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsi melalui
mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung
dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem bersamsama ujung kateter yang di hidung.
Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum
mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah faring. Biopsi
dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai faringoskop
yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi
tumor faring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral faring dalam narcosis
f. Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan
tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap
terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan). Bebagai macam kombinasi
diebangkan, yang trbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum
sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil
saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan
mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang
bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi
38

g. Komplikasi
Gejala metastasis jauh, karena 95% lebih sel kanker faring berdiferensiasi
buruk, dengan derajat keganasan tinggi, waktu diagnosis ditegakkan, 4,2% kasus
sudah menderita metastasis jauh, Dari kasus wafat setelah radioterapi, angka
metastasis jauh 45,5%. Lokasi metastasis paling sering ke tulang, paru hati.
Metastasis tulang paling sering ke pelvis, vertebra, costa, dan keempat ekstremitas.
2.2 KELAINAN LARING
2.2.1 Kelainan kongenital
Laring bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan
orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat
ditekan oleh tekanan jalan napas. Pada bayi, laring terletak setinggi C2
hingga C4, sementan laring dewasa terletak di depan C4 hingga C6. Ukuran
laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm
ke arah lateral. Gejala-gejala yang timbul akibat penyakit pada daerah ini
termasuk obstruksi jalan napas, disfagia, kualitas tangisan atau suara berisik
yang dihasilkan dan kegagalan tumbuh kembang. Obstruksi jalan napas
sendiri

dapat menyebabkan

kegagalan tumbuh kembang,

yang dapat

berwujud lebih nyata daripada obstruksi jalan napas.


1. Laringomalasia
Tidak ditemukan gangguan patologi dasar ataupun gangguan yang
bersifat progresif pada laringomalasia. Kondisi ini lebih merupakan keadaan
laring neonatus yang terlalu lunak dan kendur dibandingkan norrnalnya.
Saat bayi menarik napas, maka laring yang lunak akan saling menempel,
mempersempit aditus dan timbul stridor. Proses menelan tidak terganggu.
Proses menangis mestinya norrnal. Pertambahan

berat dan perkembangan

bayi-bayi ini biasanya normal. Stridor merupakan gejala utama, dapat


berlangsung konstan atau hanya terjadi saat bayi tereksitasi. Bersama stridor
dapat timbul retraksi sternum dan dada; laringomalasia telah disebut sebagai
suatu penyebab

pektus ekskavatum. Berbeda

dengan

sindrom

gawat

pernapasan pada neonatus, bayi biasanya berumur beberapa minggu saat


mulainya laringomalasia. Pada pemeriksaan langsung, dokter dapat melihat
39

laring yang saling menempel pada saat menarik napas. Daerah subglotis
tampak

nornal,

dan stridor mereda

jika laring

dipertahankan

terbuka

memakai laringoskop. Prognosis anomali laring yang tersering ini cukup


baik karena kartilago akan menjadi kaku, Sebagian besar pada bayi stridor
menghilang menjelang bulan keduabelas hingga kelimabelas. Dua puluh
persen bayi dengan laringomalasia juga memiliki penyebab obstruksi jalan
napas lainnya.
2. Sienosis Subglotis Kongenital
Stenosis subglotis kongenital didefinisikan sebagai suatu diameter
subglotis yang kurang dari 4mm. Laring neonatus normal dapat dilalui
bronkoskop 3,5 mrn. Sebagian neonatus mengalami stridor tidak lama setelah
lahir, sedangkan bayi lainnya mengalami episode laringotrakeitis berulang.
Diagnosis dibuat secara endoskopis. Kasus ringan hanya perlu pengamatan,
namun sebagian besar kasus perlu trakeostomi. Pertumbuhan cenderung
dapat mengatasi stenosis relatif, namun barangkali diperlukan eksisi laser
atau bedah rekonstruktif. Anak dapat mengalami lebih dari satu anomali
kongenial pada jalan napasnya.
3. Selaput (Webs)
Selaput kongenital dapat pada glotis (75 persen), subglotis (12
penen) atau supraglotis (1.2 persen). Selaput ini biasanya mempengaruhi
jalan napas, suara atau tangisan, di mana gejala mulai timbul pada saat lahir.
Selaput pertama-tama harus

didiagnosis melalui visualisasi

endoskopis.

Selanjutnya dapat dilakukan terapi dengan eksisi bedah atau laser, dilatasi
berulang, atau trakeotomi

dan pemakaian

alat selipan laring. Prognosis

jangka panjang untuk selaput laring kongenital adalah baik.


4. Kista Kongenital
Neonatus dengan kista kongenital biasanya mengalami obstruksi
jalan napas atau gangguan pertumbuhan. Episode obstnrksi jalan napas
dapat membingungkan dan dianggap sebagai akibat suatu gangguan kejang.
Suara dan proses menelan biasanya normal. Kista dapat berasal dari pangkal
lidah, plika ariepiglotika atau korda vokalis palsu. Bilamana mungkin, kista
harus dieksisi, lebih baik secara endoskopis. Jika hal ini tidak mungkin, maka
40

dilakukan aspirasi atau marsupialisasi. Pada pasien tertentu diperlukan


trakeotomi dan pembedahan luar.
5. Hemangioma
Hemangioma pada daerah subglotis pada laring dibicarakan di sini
karena merupakan suatu tumor yang terutama terjadi pada bayi di bawah
usia enam bulan. Separuh penderita hemangioma laring juga memiliki suatu
hemangioma eksterna pada kepala atau leher. Stridor plus hemangioma
yang nyata sangat kuat menyokong diagnosis. Tumor-tumor ini bukanlah
neoplasma

sejati namun

lebih merupakan kelainan vaskular,

tumor

cenderung beregresi biasanya menjelang usia 12 bulan. Gejala hemangioma


tidak berupa perdarahan, namun berupa sumbatan jalan napas. Suara dan
proses menelan biasanya normal. Hemangioma terletak sangat dekat dengan
korda vokalis, yaitu di atas lokasi

trakeotomi dan benar-benar subglotis.

Radiogram lateral dapat memperlihatkan suatu massa dalam jalan napas.


Secara endoskopis, ditemukan massa yang licin dan dapat ditekan, seringkali
pada dinding posterior atau lateral. Terapi seringkali dengan trakeotomi dan
membutuhkan

waktu untuk

regresi. Eksisi

laser kini dapat dilakukan.

Radiasi dosis rendah juga telah dilakukan, namun kini dihindari karena
kekhawatiran akan timbulnya kaninoma tiroid lanjut.
6. Laringokel
Laringokel adalah sejenis kista kongenital khusus, yang berkembang
sebagai sisa-sisa dari suatu apendiks atau sakus kecil dari ventrikel laring.
Seperti juga duktus tiroglosus, laringokel dapat timbul pada usia berapapun,
namun berasal

kongenital. Dengan

timbulnya

kista,

rnaka mula-mula

menyebabkan suatu tonjolan pada korda vokalis palsu di satu sisi. Dengan
pembesaran, kista akan memotong sepanjang saraf dan pembuluh laringeus
superior, dan tampak sebagai suatu massa di leher. Karena kista ini dapat
berhubungan dengan jalan napas, maka radiogram dapat memperlihatkan
suatu batas udara-cairan. Kista-kista ini tidak harus berisi udara, namun dapat
padat dan hanya terisi cairan. Dengan pembesarannya, kista mengganggu
jalan napas dan dapat menimbulkan stridor serta obstruksi jalan napas.
Diagnosis dapat diperkirakan dengan melakukan aspirasi pada massa dengan
suatu jarum besar. Satu-satunya terapi yang efektif pada laringokel adalah
41

diseksi kista dengan pendekatan eksternal. Tindakan ini biasanya dilakukan


bersama trakeostomi sementara.
7. Celah Laringotrakeoesofagus
Kelainan kongenital yang jarang ini adalah akibat kegagalan fusi
bagian dorsal dari kartilago krikoidea. Selain itu septum trakeoesofagus juga
gagal menufup, sehingga terbentuk alur pada daerah kartilago krikoidea,
yang dalam banyak hal menyerupai fistula trakeoesofagus tipe H yang lebih
lazim ditemukan. Bayi dapat mengalami sianosis, distres pernapasan, dan
episode pneumonia berulang. Di samping itu, terdapat
dikaitkan

suara

tangisan

mengungkapkan keadaan
berguna

dan stridor inspirasi.

laring

dalam menentukan

perubahan yang

Laringoskopi direk

yang normal. Sineradiografi mungkin

posisi fistula. Pemeriksaan endoskopi

juga

bermanfaat, namun dokter perlu mencari abnormalitas jarang ini secara


spesifik atau lokasi fistula tidak akan ditemukan.
8. Gangguan Neurogenik pada Neonatus
Bayi dapat mengalami paralisis korda vokalis akibat trauma jalan
lahir. Gangguan kongenital yang melibatkan sistem saraf pusat atau dada,
seperti meningokel atau massa mediastinum juga menyebabkan paralisis
korda vokalis. Peningkatan tekanan intrakranial dengan berbagai penyebab,
terutama pada anak, dapat mengakibatkan disfungsi

korda vokalis. Bayi

dengan paralisis korda vokalis unilateral dapat memperlihatkan berbagai


gejala. Pada banyak kasus, paralisis korda vokalis terletak cukup lateral,
sehingga bayi akan menangis dengan suara pernapasan yang buruk namun
tanpa distres pernapasan. Bayi lain dapat mengalami paralisis yang cukup
korda median sehingga membatasi perubahan respirasi. Timbul stridor
terutama

saat menangis

atau beraktivitas. Bayi

dengan paralisis korda

vokalis bilateral dapat menangis secara normal, namun dengan perubahan


respirasi yang buruk dan memerlukan bantuan saluran pernapasan segera.
Suatu tuba endotrakea yang diselipkan di antara korda vokalis dapat
membantu

untuk sementara waktu,

tetapi akhirnya

tetap memerlukan

trakeotomi. Paralisis seringkali menyembuh dalam 6 hingga 9 bulan, namun


dapat pula berlangsung hingga

14 bulan. Trakeotomi

dibiarkan

tetap

42

terpasang hingga jalan napas melebar dengan pertumbuhan, persarafan


kembali atau melalui suatu prosedur lateralisasi.
2.2.2 Peradangan
1. Croup Syndrome
Croup adalah suatu infeksi laring yang berkembang cepat,
menimbulkan stridor dan obstruksi jalan napas. Walapun dapat terjadi pada
usia berapun, bahkan pada dewasa, croup terutama menyerang pada anak
di bawah usai enam tahun.
Permukaan laryngeal dari epiglottis dan daerah tepat di bawah korda
vokalis pada laring mengandung jaringan areolar longgar yang cenderung
membengkak bila meradang. Maka, croup dapat dibedakan menjadi
supraglotis (rpiglotis) akut dan laryngitis subglotis akut. Meskipun
keduanya dapat bersifat akut dan berat, namun epiglottis cenderung lebih
hebat, seringkali berakibat fatal dalam beberapa jam tanpa terapi. Secara
klinis, kedua penyakit ini tampak serupa- di mana pasien gelisah, cemas,
stridor, tertaksi, dan sianosis- namun terdapat beberapa perbedaan ringan.
Anak dengan epiglottitis cenderung duduk dengan mulut terbuka dan dagu
mengarah ke depan, tidak serak dan cendering tidak disertai batuk croupy,
namun kemungkinan besar mengalami disfagia. Karena nyeri untuk
menelan, amaka anak cenderung mengiler. Disfagia pada epiglottitis dapat
merupakan pertanda kolaps yang membakat. Kolapas merupakan akibat
perluasan inflamasi sepanjang mulut esophagus, dan berarti proses
inflamasi telah menyebabkan pembengkakan epiglottis yang nyata.

supraglotitis

Laringotrakeobronkitis Trakeitis

Croup

(infraglotitis)
bakterialis
spasmodic
3-6 tahun
Di bawah 3 tahun
8-15 tahun
1-5 tahun
Awitan dalam Awitan
dalam 1-2
minggu Awitan cepat,
suara jernih

beberapa hari

masa

infeksi biasanya

pernafasan yang malam hari


dengan
Suara jernih

Serak

cepat

memburuk
Batuk menyalak

Tidak

ada

infeksi
penyerta
43

Disfagia

Tidak ada

Stridor inspirasi

Paparan
terhadap
kelembaban
dan

udara

dingin
Mengiler

melegakan
Dapat berupa

Tidak ada

edema

non-

inflamasi pada
daerah
subglotis
Posisi duduk

Berbaring

Berbaring

Jarang kambuh

Dapatkambuh

Intubasi
diperlukan
untuk
mengeluarkan
secret

atau

pseidomembran
Perjalanan

Beberapa hari hingga

cepat
Radiogram

beberapa minggu
Foto leher normal

Radiogram traea

lateral

memperlihatkan

memperlihatkan

batas

edema

ireguar

supraglotis
Etiologi

Etiologi virus

yang

Stapghylococcu

seringkali

s aureusI paling

Haemophilus

khas;

influenza;

streptococcus ;

streptococcus

H.

dan virus lebih

lebih jarang

influenza

jarang
Table 2.2.2.1 Gambaran Klinis Croup

44

Anak dengan laryngitis subglotis akut biasanya serak dengan batuk croupy
yang sangat dan biasanya ingin berbaring.
Anak-anak ini harus segera ditangani tanpa menunggu di bagian
gawat darurat atau radiologi, dan tidak boleh dibuat gelisah atau agitasi.
Radiogram le=ateral

karingan lunak leher dapat memperlihatkan

penyempitan daerah subglotis atau epiglottis yang membengkak.


Radiogram dada seharusnya normal, namun perlu diperlukan untuk
menyingkarkan pneumoni, adanya benda asing atau asma. Pemeriksaan gas
darah dan temuan leukositosis menarik untuk kepentingan akademis
namuan pada anak yang cepat berubah, hasil-hasil ini tidak diperoleh pada
waktunya guna membantu perencanaan terapi. Tindakan menekaln lidah
untuk melihat epiglottis, dapat mendorong epiglottis yang membengkak ke
dalam laring seperti suatu sumbat gabus dan seharusnya idak dilakukan
kecuali pemeriksa siap untuk menyelipkan suatu bronkoskop atau tuba
endotrakea.
Teraoi harus segera dimulai. Pemberian cairan intravena dimulai
untuk mencegah dehidrasi dan pengeringan secret. Udara dingin dan
lembab perlu pula diberikan, sebaiknya dengan uap air berukuran partikel
kecil. Terapi antibotik erhadap Haemophilus dan Staphyllococcus dimulai
sambil menunggu hasil biakan. Antibiotic seharusnya tidak boleh ditunda,
karena secar klinis sulit untuk membedakan jenis croup dan perjalanan
penyakit dapat sangat dengan cepat. Sementara sediaan apus dan biakan
sebaiknya dilakukan, hasilnya mungkin terlambat lambat untuk dianggap
bernilai. Steroid diberikan dalam disis tinggi untuk mengurangi inflamasi.
Pasien peril damati secara cermat dan dipertimbangkan untuk trakeostomi
dan intubasi. Indikasi bantuan pernapasan adalah kemunduran meskipun
telah diberikan kelembaban, antibiotic, dan steroid. Pemantauan croup
termasuk denyut nadi, frekuensi pernapasan, derajat kegelisahan dan
kecemasan, penggunan otot assesorius pada pernapasan, derajat sianosis,
derajat retraksi dan kemunduran pasien secara menyeluruh. Jika pasien
dapat tidur, bantuan jalan napas tidak diperlukan. Sebaliknya, frekuensi
pernapasan di atas 40, denyut nadi di atas 160, dan kegelisahan serta
retraksi yang makin hebat mengindikasikan perlunya bantuan pernapasan.
Beberapa ahli menganjurkn tindakan sedasi pada pasien croup,
namun sebaiknya sedari ataupun narkotik tidak diberikan. Keadaan pasien
45

sebaiknya diwasi setiap saat. Croup merupakan salah satu dari beberapa
penyakit yang memerlukan pengawasan langsung oleh dokter secara terus
menerus. Epineprin rasemat yang diberikan per inhalasi terbukti
bermanfaat, terutama pada laringotrakeobronkitis, dan telah mengurangi
kebutuhan akan banuan jalan napas. Jika anak kolaps, gunakan respirator
ambu bertekanan positif untuk memaksa oksigen melalui jalan napas yang
edematosa. Intubasi hidung dapat dilakukan dan dapat dibiarkan selama
beberapa hari. Laring anak membutuhkan intubasi lebih panjang
dibandingkan orang dewasa. Bila trakeotomi harus dilakukan, maka
sebaiknya dengan cara sistematik dalam kamar operasi dengan memakai
tuba trakeal. Kasus-kasus croup umumnya menyembuh dalam 48-72 jam
dan kemungkinan dapat dilakukan ekstubasi. Radiogram dada perlu
dilakukan setelah trakeotomi, karena pleura menonjol mencapai leher,
terutama pada anak. Cedera pleura dapat menyebabkan pneumothoraks.
2. Laringitis
a. Definisi
Adalah peradangan yang terjadi pada pita suara (laring) bisa
disebabkan karena terlalu banyak digunakan untuk bersuara keras, karena
iritasi maupun infeksi.
b. Etiologi
Biasanya infeksi virus menyebabkan laringitis akut. Infeksi bakteri
seperti difteri juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi.
Laringitis akut dapat juga terjadi saat menderita suatu penyakit atau setelah
sembuh dari suatu penyakit, seperti salesma, flu atau radang paru-paru
(pnemonia).
Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk juga iritasi
yang terus menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang berlebihan,
banyak merokok atau asam dari perut yang mengalir kembali ke dalam
kerongkongan

dan

tenggorokan,

suatu

kondisi

yang

disebut

gastroeosophageal reflex disease (GERD). Tanpa mengkesampingkan


bakteri sebagai penyebabnya.
c.

Klasifikasi
46

AKUT
Laringitis akut
Radang akut pada laring, umumnya

adalah lanjutan dari

rinofaringitis ( common cold). Disebabkan biasanya oleh bakteri, yang


menyebabkan radang lokal atau virus yang menyebabkan

peradangan

sistemik.
Gejala klinis dari laringitis akut bisa ditandai dengan demam,
malaise, dan gejala lokalnya seperti suara parau sampai tidak bersuara
(afoni), nyeri menelan (disfagi) atau berbicara, serta gejala-gejala sumbatan
laring, pada anak-anak, laringitis akut ini dapat menimbulkan sumbatan
jalan nafas, pada dewasa tidak secepat pada anak-anak.
Pada pemeriksaan dengan laringoskopi tampak mukosa laring yang
hiperemis, membengkak, terutama di atas dan bawah pita suara. Biasanya
terdapat tanda- tanda penyakit yang mendasarinya seperti faringitis, rhinitis,
sinusitis atau pneumonia
Penatalaksanaan dengan istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3
hari. Menghirup udara lembab. Menghindari dari iritasi pada faring dan
laring, seperti rokok, makanan pedas atau minum es. Antibiotika
diindikasikan untuk infeksi virus yang diikuti oleh infeksi bakteri, preparat
steroid juga diindikasikan untuk mukosa yang edema. Bila terdapat
sumbatan laring, dilakukan pemesangan endotrakea atau trakeostomi.
KRONIK
Non-Spesifik laringitis kronis
Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada
saluran pernapasan, seperti selesma,influensa,bronkhitis atau sinusitis.
Akibat paparan zat-zat yang membuat iritasi,seperti asap rokok, alkohol
yang berlebihan, asam lambung atau zat-zat kimia yang terdapat pada
tempat kerja.Terlalu banyak menggunakan suara, dengan terlalu banyak
bicara, berbicara terlalu keras atau menyanyi (vokal abuse). Pada

47

peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis, permukaan yang tidak rata
dan menebal.
Gejala klinis

yang

sering timbul adalah

berdehem untuk

membersihkan tenggorokan. Selain itu ada juga suara serak, Perubahan


pada suara dapat berfariasi tergantung pada tingkat infeksi atau iritasi, bisa
hanya sedikit serak hingga suara yang hilang total, rasa gatal dan kasar di
tenggorokan, sakit tenggorokan, tenggorokan kering, batuk kering, sakit
waktu menelan. Gejala berlangsung beberapa minggu sampai bulan.
Pada pemeriksaan ditemukan mukosa yang menebal, permukaannya
tidak rata dan hiperemis. Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai
tumor, maka perlu dilakukan biopsi.
Pengobatan yang dilakukan tergantung pada penyebab terjadinya
laryngitis dan simtomatis. Pengobatan terbaik untuk langiritis yang
diakibatkan oleh sebab-sebab yang umum, seperti virus, adalah dengan
mengistirahatkan suara sebanyak mungkin dan tidak membersihkan
tenggorokan dengan berdehem. Bila penyebabnya adalah zat yang dihirup,
maka hindari zat penyebab iritasi tersebut. Dengan menghirup uap hangat
dari baskom yang diisi air panas mungkin bisa membantu. Bila anak yang
masih berusia batita atau balita mengalami langiritis yang berindikasi
karahcroup, bisa digunakan kortikosteroid seperti dexamethasone. Untuk
laringitis kronis yang juga berhubungan dengan kondisi lain seperti rasa
terbakardi uluh hati, merokok atau alkoholik, harus dihentikan.
Untuk mencegah kekeringan atau iritasi pada pita suara :
1.

Jangan merokok, dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok
tidak

langsung.

Rokok

akan

membuat

tenggorokan

kering

dan

2.

mengakibatkan iritasi pada pita suara.


Minum banyak air . Cairan akan membantu menjaga agar lendir yang

3.

terdapat tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.


Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan

4.

kering . Bila mengalami langiritis, hindari kedua zat tersebut diatas.


Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Berdehem tidak akan
berakibat baik, karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi
48

abnormal peda pita suara dan meningkatkan pembengkakan . Berdehem


juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir dan
merasa lebih iritasi , membuat ingin berdehem lagi.
Laringitis kronis spesifik
-

Laringitis Tuberkulosa
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat dari tuberkulosis paru.
Sering kali setelah diberikan pengobatan, tuberkulosisnya sembuh tetapi
laringitis tuberkulosanya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa
laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik
paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih
lama. Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum
yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfe.
Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di
fossa inter aritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis,
epiglotis, serta subglotik.
Secara klinis, laringitis tuberkulosis terbagi menjadi 4 stadium yaitu :

Stadium infiltrasi. Mukosa laring posterior mengalami pembengkakan dan


hiperemis, kadang pita suara terkena juga, pada stadium ini mukosa laring
tampak pucat. Kemudian di daerah sub mukosa terbentuk tuberkel, sehingga
mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel itu
makin besar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga
mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka
akan pecah dan timbul ulkus. Pada stadium ini pasien dapat merasakan
adanya rasa kering ditenggorokan, panas dan tertekan di daerah laring, selain

itu juga terdapat suara parau.


Stadium ulcesari. Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar.
Ulkus ini dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkejuan, serta dirasakan nyeri
waktu menelan yang hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena radang

(khas), dapat juga terjadi hemoptisis.


Stadium perikondritis. Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago
laring, dan yang paling sering terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis.
Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah
49

yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium
ini pasien dapat terjadi afoni dan keadaan umum sangat buruk dan dapat
meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut
dan masuk dalam stadium fibrotuberkulosis.
Stadium fibrotuberkulosa. Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada

dinding posterior, pita suara dan subglotik.


Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan
THT termasuk pemeriksaan laring tak langsung untuk melihat laring
melalui kaca laring, maupun pemeriksaan laring langsung dengan
laringoskopi. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dapat di
temukannya tes BTA positif, dan patologi anatomi.
Penatalaksanaannya berupa pembeian obat antituberkulosis primer
dan sekunder. Selain itu pasien juga harus mengistirahatkan suaranya.
Beberapa macam dan cara pemberian obat antituberkulosa :

Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,


Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang
masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan

obat-obat ini.
Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin.
Pemberian terapi OAT terbagi atas 3 kategori yaitu :
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3. Pemberian selama 2 bulan HRZE setiap hari
dan dilanjutkan pemberian INH 3x semingu dan Rifampisin 3x seminggu
selama 4 bulan, diberikan kepada penderita TBC aktif dengan BTA positif
dan TB ekstraparu berat
Katagori 2 : HRZE / 5H3R3E. Diberikan kepada penderita yang kambuh,
gagal terapi dan penderita putus obat
Katagori 3 : 2HRZ / 4H3R. Diberikan pada penderita dengan BTA positif
dan Ro paru mendukung.

Obat

Dosis harian

Dosis 2x/minggu

Dosis 3x/minggu
50

(mg/kgbb/hari)

(mg/kgbb/hari)

(mg/kgbb/hari)

15-40 (maks. 900

15-40 (maks. 900

mg)

mg)

10-20 (maks. 600

10-20 (maks. 600

15-20 (maks. 600

mg)

mg)

mg)

Pirazinamid

15-40 (maks. 2 g)

50-70 (maks. 4 g)

15-30 (maks. 3 g)

Etambutol

15-25 (maks. 2,5 g)

50 (maks. 2,5 g)

15-25 (maks. 2,5 g)

Streptomisin

15-40 (maks. 1 g)

25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

INH

5-15 (maks 300 mg)

Rifampisin

Tabel 2.2.2.2 Dosis obat antituberkulosis (OAT)

Laringitis Luetika
Disebabkan oleh kuman treponema palidum, sudah sangat jarang
dijumpai pada bayi ataupun orang dewasa. laring tidak pernah terinfeksi pada
stadium pertama sifilis. Pada stadium kedua, laring terinfeksi dengan tandatanda adanya edema yang hebat dan lesi mukosa berwarna keabu-abuan.
Sumbatan jalan nafas dapat terjadi karena adanya pembengkakan mukosa.
Pada stadium ketiga, terbentuknya guma yang nanti akan pecah dan
menimbulkan ulcerasi, perikondritis dan fibrosis.
Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis.
Disfagia timbul bila gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit
ini, pasien tidak merasakan nyeri, mengingat kuman ini juga menyerang sarafsaraf di perifer.
Pada pemeriksaan, bila guma pecah, maka ditemukan ulkus yang
sangat dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta
mengeluarkan

eksudat

yang

berwarna

kekuningan.

Ulkus

ini

tidak

menyebabkan nyeri dan menjalar sagat cepat, sehingga bila tidak terbentuk
proses ini akan menjadi perikondritis.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes serologi (RPR,VDRL, dan
FTA-ABS) dan biopsi.

51

Penatalaksanaan dengen pemberian antibiotika golongan penicilin dosis


tinggi, pengengkatan sekuester, bila terdapat sumbatan laring karena stenosis
dapat dilakukan trakeostomi dan operasi rekonstruksi
Prognosis pada penyakit ini kurang bagus pada gumma yang sudah
pecah, karena menyebabkan destruksi pada kartilago dan bersifat permanen.
3. Pseudocroup ( Acute Laryngotracheobrochitis)
Adalah infeksi akut pada saluran pernafasan bawah yang disebabkan
oleh infeksi pada laring yang turun ke trakea hingga bonkus, penyakit ini
endemi sepanjang tahun tetapi banyak insiden penyakit ini pada musim dingin.
Disebabkan oleh virus Parainfluenza tipe 1 sampai 4, H. Influenzae,
streptocoocus, staphylococcus dan pnemococcus. Insiden banyak pada anakanak umur 1 sampai 3 tahun.
Pathofisiologinya adalah turunnya inflamasi pada membran mukosa ke
saluran nafas bawah, diikuti dengan kongesti, edema dan sekret yang berupa
eksudat.
Gejala klinis pada awalnya seperti flu biasa (rhinofaringitis) disertai
dengan batuk yang berdahak, mual dan demam, lalu timbulnya suara parau,
lemas dan stridor karena meningkatnya congesti dan edema.
Pada pemeriksaan fisik bila ditemukan tanda-tanda seperti bibir pucat
dan sianosis lalu suara nafas yang menurun pada auskultasi, maka jalan nafas
harus segera di perbaiki untuk mencegah kematian, tekanan darah sampai
dengan 140 mm hg dan laju nafas sampai dengan 80x/ menit menandakan
peningkatan CO2. Pada laringoskopi dapat ditemukan kongesti mukosa, edema
dan sekret eksudat. Pada foto AP di leher bisa didapatkan steeple-sign
( subglittic narrowing due to edema)
Penatalaksanaannya dengan antibiotik sesuai dengan hasil kultur
bakterinya, sebagai contoh ampicillin/ sulbactam, cefuroxime, atau ceftriaxone.
Aztreonam dan chloramphenicol dapat di berikan bila pasien alergi terhadap
golongan penicilin atau sepalosporin. Kortikosteroid dapat diberikan
mengingat adanya edema, preparat sedasi tidak boleh diberikan mengingat
52

efeknya dapat mengkompresi pernafasan, bila sudah terdapat tanda-tanda


obstruksi jalan nafas, segera lakukan intubasi atau tracheotomy , berikan O2,
epinephrine secara intermitten, dan observasi pada tanda vitalnya. Ultrasonic
humidification juga dapat digunakan sebagai terapy.
4. Epiglottitis akut
Merupakan bentuk yang khusus dari laringitis akut yang progresif yang
ditandai dengan inflamasi pada epiglotis, sering terjadi pada anak umur 2
sampai 7 tahun, ada kemungkinan dapat mengenai bayi, remaja ataupun
dewasa. Penyebab utama epiglotitis adalah hemophilus influenzae, masuk ke
dalam mukosa yang teriritasi karena tergesek oleh makanan atau benda yang
mempunyai permukaan yang tajam.
Gejala klinis yang ditemukan seperti disfagia dan sulit menelan, yang
kemudian pada anak-anak mempunyai gejala penurunan nafsu makan, bisa
disertai dehidrasi, demam, takikardi, lemas, lelah bernafas dan tekanan darah
yang turun. Suara tidak parau melaikan seperti hot potato voice, biasanya
pasien lebih suka untuk duduk dikarenakakan stridor bila berbaring. Sesak
yang progresif terutama pada anak akan berakibat fatal dalam beberapa jam,
maka dari itu harus cepat terdiagnosa.
Pada pemeriksaan fisik yang penting ditemukannya epiglotis yang
bengkak dan berwarna merah terang cherry red yang mengobstruksi faring di
dasar lidah. Pada foto AP leher dapat ditemukan epiglotis yang seperti ibu jari
thumbprinting. Pada kultur darah didapatkan adanya H. Influenzae tipe B.
Penatalaksanaan. Pada kasus gawat darurat karena sumbata jalan nafas,
dapat dilakukan intubasi orotracheal atau tracheostomi, dengan pengawasan
ketat di ruang ICU untuk mencegah adanya self-extubation. Pasien diobservasi
24 sampai 48 jam. Antibiotika pilihan yang diberikan adalah golongan
penicilin dan sefalosporin, diberikan selama 10 hari. Steroid dapat diberikan
untuk menenangkan inflamasinya dan edema.
2.2.3 Neoplasma
a. Nodulus vocal

53

Terdapat berbagai sinonim klinis untuk polip nodular vokalis,


termasuk screamers nodule, singers node, atau teachers node.
Nodulus jinak dapat unilateral dan timbul akibat penggunaan korda
vocalis yang tidak tepat atau berlagsung lama. Seringkali bilamana
disertai peradangan, maka korda vocalis akan saling melekat kuat,
sehingga terbentuk suatu polip atau nodul. Nodul dapat bervariasi
secara histologis sari suatu tumor edematosa yang longer dan lunak,
hingga massa fibrosa yang padat, atau suatu lesi vascular dengan
banyak pembuluh kecil sebagai gambaran utamanya. Beberapa pasien
berespon baik dengan pembatasan dan re-edukasi vocal, namun banyak
juga yang memerlukan pembedahan endoskopik.
b. Polyposis korda vokalis difus
Degenerasi polipoid di sepanjang korda vocalis biasanya dengan
penggunaan vocal yang lama, merokok, dan radang yang menetap.
Pengangkatan bedah harus dilakukan pada satu sisi berturut0turut,
untuk mencegah pembentukan sinekia pada komisura anterior.
Pembedahan harus diikuti menghentikan merokok dan re-edukasi
vocal. Jika tidak demikian, mungkin akan terjadi kekambuhan jaringan
polipoid yang tebal sepanjang korda vocalis.
c. Ulkus kontak
Kerja mekanis korda vocalis terhadap pasangannya lebih cenderung
membentuk nodulus vocalis pada wanita dan anak-anak, sedangkan
pada pria kemungkinan besar membentuk ulkus kontak. Gerakan korda
vocalis pria yang kuat menyebabkan kedua kartilago aritenoidea
bersentuhan, dan iritasi yang terjadi membentuk suatu granulamo yang
disebut ulkus kontak. Secara khas, pasien mengeluh nyeri dan namun
perubahan suara hanya rngan. Ulkus kontak menyembuh dengan
lambat, biasanya dalam dua hingga tiga bulan. Tetapi bicara lazimnya
dapat membantu kesembuhan. Biopsy berguna untuk mengurangi
jaringan granulasi yang berlebihan dan memberi keyakinan pada pasien
bahwa granuloma tersebut tidak ganas.
d. Papilloma juvenilis
Papiloma merupakan tumor laring yang paling lazim pada anak.
Awitan papilloma biasanya terjadi pada anak berusia antara 18 bulan
54

dan 7 tahun, dan seringkali terjadi involusi pada pubertas. Lama


penyakit dapat memanjang hingga 10 tahun dengan berulagnya
pailoma. Beberapa anak membutuhkan beberapa kali perawatan di
rumah sakit ntuk dapat mempertahankan jalan napas dan suaranya.
Suara serak dan tangisan yang abnormal merupakan gejala awal.
Terkadang dapat dicurigai sebagai croup, namun didiagnosa sebagai
papilloma bila tidak berespon terhadap tereapi. Papilloma dapat
membesar menyebabkan obstruksi jalan napas dan tampak sebagai
kasus darurat yang memerlukan trakeostomi. Papilloma dapat
tergantung pada hormone, di mana akan beregresi saat hamil atau pada
pubertas. Jika menetap hingga dewasa, cenderung kurang agresif dan
lebih lambat tumbuh. Papilomadianggap beretiologi virus, meskipun
virus belum dapat diisolasi.
Berbagai macam terapi telah dianjurkan dalam mengatasi
penyakit yang secara social sangat menyengsarakan dan memerlukan
puluhan kali perawatan di rumah sakit pada beberapa penderita.
Radiasii telah ditinggalkan karena perkembangan karsinoma lanjut.
Terapi mutakhir yang paling lambat efektif adalah pengangkatan bedah
dengan tepat, seringkali menggunakan mikroskop dan laser CO2. Pada
beberapa kasus, trakeostomi erlu dipertahankan selama beberapa tahun.
Eksisi bedah berulang dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut
atau lipatan laring. Terapi lain berupa tetrasiklin, steroid, vaksin cacar,
vaksin autolog, dan interferon alfa N1. Untunglah bahwa papilloma
tidak sering ditemukan. Perubahan menjadi ganas tanpa adanya radiasi
adalah jarang, dan biasanya terjadi pada pasien tua dengan riwayat
merokok dan papilloma yang lama.
e. Mioblastoma sel granular
Tumor ini cenderung timbul pada lidah dan laring. Suara serak
merupakan gejala utama tumor kecil ini, dan tidak sering rekurens
setelah pengangkatan secara endoskopi. Mukosa yang menutup
mioblastoma

sel

granular

dapat

memperlihatkna

hyperplasia

pseudoepitelial, yang dapat dikelrikukan dengan karsinoma.


f. Kondroma

55

Kondrouma merupakan tumor kartilago hialin yang tumbuh lambat,


dapat berasal kartilago krikoid, tiroidea, artenoidea, dan epiglotika.
Siara serak akibat keterbatasan gerak krda vokalis dan dyspnea
disebabkan ostruksi jalan napas rupakan hejala utama. Banyak tumor
kemudian

mengalami

klasifikasi

dan

dapat

dicurigai

melalui

pemeriksaan radiografik. Terapi bersifat bedah, di mana asal dan


besarnya tumor menentukan tekhnikbedah. Karena tumor ini tumbuh
lambat, maka terkadang dapat diangkat sebagian guna meringankan
ejala penderita, tanpa perlu mengorbankan laring.
g. Leukoplakia dan eritroplakia
Iritasi laring yang menetap terutama akibat merokok, dapat
berakibat timbulnya suatu daerah keputih-putihan. Secara klinis, daerah
putih ini disebut leukoplakia. Sebaliknya daerah dengan makna klinis
dan histologis seringkali tampak kemerahan (eritoplakia). Tiap daerah
laring dapat terlibat, namun biasanya korda vokalis paling sering
terserang. Keluhan umumnya berupa suara serak. Biopsy daerah ini
memperlihatkan hyperkeratosis, karsinoma in situ atau karsinoma
sejati. Hyperkeratosis ditemukan pada hamper seluruh biopsy.
Terapinya adalah dengan pengangkatan total secara endoskopis, dan
pengawasan pasien dengan cermat. Merokok harus dikurangi.
Hiperkeratosis dapat menjadi karsinoma invasive setelah beberapa
waktu, namun hal ini tidak sering terjadi. Kebanyakan ahli
memperkirakan angka insidens sebesar 15 persen atau kurang.
2.2.4 Trauma
a. Definisi
Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu
kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan
penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas,
pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu, sehingga dapat
menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.

56

b. Epidemiologi
Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan
pasien, 1 dari 14.000-42.000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari
keseluruhan

kejadian

trauma

tumpul.

Jarangnya

trauma

ini

ditemukan

kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di


sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis di posterior dan mandibula yang
tergantung di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi dari
leher. Proteksi laring ini lebih besar lagi pada anak-anak dimana laring pada anakanak lebih superior dan sifatnya yang masih elastis.
Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak,
trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring
akibat trauma tumpul semakin menurun karena perkembangan yang maju pada
sistem

pengaman

kendaraan

(automobile

safety).

Sementara

itu

angka

kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga persentase kejadian trauma


tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan
jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.
c. Patofisiologi
Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau
trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu
sebagai berikut:
Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea
dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri
subklavia, arteri karotis komunis, trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus
torasikus, kelenjar tiroid dan medula spinalis.
Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini
berisi arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis
interna, laring, hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula spinalis.
Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi
arteri karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan
medula spinalis

57

Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya.
Pada setiap cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada
tulang, secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid
1) Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung
menciderai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas bawah. Daerah
yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan
defek stenosis pada daerah yang terkena.
2) Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering
disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma
benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang kemudian
membentur kemudi, handle bars atau dashboard. Trauma tumpul lebih sering
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara jok
mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan terhimpit di antara kepingan
kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan
laring, sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan
trakea atau laring. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea
tertekan di antara manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada
dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea pars membranosa atau bronkus,
biasanya 2,5 cm dari karina.

Gambar 2.2.4 Mekanisme trauma tumpul

58

Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada


trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan
tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada
bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang
bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin trakea
dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang mendadak.
3) Trauma Tajam
Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling
banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah
belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma
tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma
tembus peluru dibanding trauma tusuk
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas,
trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan.
Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan
sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan
trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang
akibat trauma saluran nafas itu sendiri.

4) Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan
gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat
diakibatkan oleh intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena
balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder
akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan
cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi
pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi.
Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada
kelompok usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam
menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila
didapatkan pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh
diri dengan menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon.

59

d. Diagnosis
Trauma menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung mekanisme
traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma laring
adalah mekanisme cidera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal,
emfisema subkutis, perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress
pernafasan dan hemoptisis.
e. Gejala Klinis
Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah
sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada), sianosis,
gangguan suara juga merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan
jalan nafas. Tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring adalah
adanya kebocoran udara atau suara mendesis pada tempat trauma. Pada trauma tembus,
kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di tempat luka, sedangkan pada trauma
tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang mengembang pada saat batuk.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat
hantaman benda tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan
penonjolan tulang, hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi, diskontinuitas, nyeri
tekan pada daerah laring, emfisema subkutis maupun emfisema mediastinum jika
cidera lebih ke distal.
Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cidera yang menentukan
indikasi operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis
walaupun ringan memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dapat
dibagi menjadi 5 grup, sebagai berikut :
Grup I

: Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur

Grup II

: Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada expose


tulang rawan, fraktur nondisplaced.

Grup III : Edema

berat

robekan

mukosa

dengan

expose

tulang

rawan.

Fraktur displaced pada CT Scan.


Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak beraturan.
Grup V

: Terputusnya laring komplit.

60

f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma
leher yang mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma tumpul
ataupun yang sudah terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat terlihat adanya
bayangan udara terperangkap di prevertebra dan leher bagian dalam atau
peninggian/elevasi tulang hyoid pada kasus separasi krikotrakea.
Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan letak
luka, luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT guna
menjamin jalan nafas. Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma tembus.
Tindakan panendoscopy dan arteriografi disarankan dilakukan pada trauma tembus
leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan tersebut di atas selain efektif juga
sensitifitasnya tinggi untuk menghindari eksplorasi yang berlebihan.
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras,
computed tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan telah
berperan banyak dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu menurunkan
angka eksplorasi bedah karena mampu mendeteksi lebih rinci dan non invasif. CT
diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan trauma laring hanya dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya menunjukkan satu gejala/tanda. CT
mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan midline displaced yang minimal namun
berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini sangat menguntungkan pasien karena
jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan fonasi jangka panjang. CT kurang
berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan seperti pada kartilago yang
terekspose atau displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.
g.

Penatalaksanaan
Bila ada trauma laring, luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi

dengan seksama. Pada prinsipnya, penatalaksanaan trauma harus sistematis dimulai


dari penilaian dan pengamanan jalan nafas agar tetap adekuat.
1) Manajemen Jalan Nafas
a.Trakeostomi

61

Trakeostomi adalah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke


trakea untuk mengatasi asfiksi apabila ada gangguan pertukaran udara pernapasan.
Trakeostomi diindikasikan untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas,
melindungi trakea serta cabang-cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya
discharge bronkus, serta penanganan terhadap penyakit (keadaan) yang
mengakibatkan insufisiensi respirasi.
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada
perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera
yang harus dilakukan adalah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang
memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Pada trauma tumpul, tindakan
pengamanan jalan nafas dengan trakeostomi lebih cenderung dipilih dibanding
dengan orotracheal tube maupun krikotiroidotomi. Tindakan trakeostomi akan
menurunkan jumlah udara residu anatomis paru hingga 50 persennya. Sehingga,
pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk bernafas dan
meningkatkan ventilasi alveolar. Menurut lamanya pemasangan, trakeostomi dibagi
menjadi:
1. Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan trakeostomi permanen. Kartilage
trakea diarahkan ke permukaan kulit dan dilekatkan pada leher. Rigiditas
cartilage mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga tidak diperlukan
trakeostomy tube (canule).
2. Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan trakeostomi temporer. Trakea
dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat obstruksi. Digunakan
trakeostomi tube (canule) terbuat dari metal atau Non metal (terutama pada
penderita yang sedang mendapat radiasi dan selama pelaksanaan MRI scanning).
Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan
mengikat pembuluh darah yang cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan
yang robek. Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah :
a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
b. Emfisema subkutis yang progresif.
c. Laserasi mukosa yang luas.
62

d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.


e. Paralisis bilateral pita suara
b.Montgomery T-Tube
Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan khususnya
dalam pembedahan di bagian kepala dan leher. T-tube awalnya diperkenalkan pada
pertengahan tahun 1960 dan digunakan untuk menyokong trakea setelah tindakan
laryngotracheoplasty. Alat ini memiliki 2 cabang, cabang utama yang lebih
panjang dimasukkan dalam trakea, sedangkan cabang yang lebih pendek diproyeksi
melalui stoma trakeostomi. Saat ini, T-tube dipergunakan pada pasien dengan
cidera trakeal akut, penyokong trakea pasca rekonstruksi, maupun sebagai
pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Diameter eksternal Ttube berukuran mulai dari 4,5 16 mm, sedangkan diameter internal dan
ketebalannya bervariasi. Alat ini terbuat dari bahan silicon sehingga dapat
mengurangi pembentukan mucus yang berlebihan.

Gambar 2.2.4.2 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube. (B) Montgomery T-tube.

Setelah pemasangan dilaksanakan, edukasi terhadap pasien dan keluarga


harus diperhatikan terutama mengenai perawatan T-tube untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Salah satu langkah sederhana dalam perawatan T-tube
adalah dengan melakukan irigasi mempergunakan 2-3 ml larutan normal saline 2-3
kali sehari serta menjaga bagian eksternal dari T-tube tetap bersih. Nebulizer
63

dengan acetylcysteine 10% atau albuterol dapat diberikan 3 kali sehari untuk
membantu menekan produksi sekret serta membantu mengencerkan sekret yang
sudah terbentuk sehingga lebih mudah dikeluarkan. Beberapa keuntungan yang
diperoleh dengan pemasangan T-tube dibandingkan dengan trakeostomi dapat
dilihat pada table berikut:

Tabel 2.2.4 Perbedaan T-tube dan trakeostomi.

Penggunaan Montgomery T-tube masih terbilang jarang. Bahkan tidak


sedikit anestesiologis kesulitan dalam hal manajemen general anestesi pada pasien
dengan operasi laring yang mempergunakan T-tube. Metode standar dalam
pemasangan T-tube adalah dengan mempergunakan curved haemostatic forceps
dan diletakkan intratrakeal melalui trakeostomi. Kesalahan dalam meletakkan atau
memasang T-tube dapat mengakibatkan hilangnya kontrol terhadap jalan nafas
pasien. Pada kasus tersebut, T-tube harus dilepaskan dan dipasang ulang dengan
seksama di posisi yang tepat.
c. Laryngeal Mask Airway (LMA)
Laryngeal mask airway (LMA) atau dikenal pula dengan sebutan sungkup
laring, merupakan suatu alat untuk membantu jalan napas yang terdiri atas pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembangkempiskan seperti balon pada pipa trakhea. Tangkai pipa LMA dapat
berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya
lubang tetap paten. Terdapat 2 jenis LMA yang dapat dipergunakan, yaitu:
1.

LMA standar dengan satu pipa napas.


64

2.

LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan
yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.

Gambar 2.2.4.3 Laryngeal mask airway (LMA)

LMA dipergunakan selama operasi trauma laring yang sedang berlangsung


untuk menjaga jalan napas pasien tetap adekuat. LMA dikenal karena kemudahan
dalam pemasangannya serta kemungkinan terjadinya trauma trakea sangat rendah.
Dibandingkan dengan endotrakeal tube (ETT), LMA memiliki beberapa keuntungan,
yaitu dapat mengurangi insiden spasme laring, batuk-batuk, serta suara serak pasca
operasi.
Pemilihan ukuran LMA sangat penting untuk diperhatikan mengingat
perbedaan dari sisi anatomis pada pasien anak-anak dan dewasa. Berikut adalah tabel
pemilihan ukuran LMA berdasarkan usia dan estimasi berat badan:
Ukuran

Usia

Berat badan (kg)

1.0

Neonatus

<3

1.3

Bayi

3 10

2.0

Anak kecil

10-20

2.3

Anak

20 30

3.0

Dewasa kecil

30 40

4.0

Dewasa normal

40 60

5.0

Dewasa besar

> 60

65

Penggunaan LMA sebelum pemasangan Montgomery T-tube dapat menjadi


solusi bagi anestesiologis untuk tetap menjaga jalan nafas pasien tetap adekuat
selama proses pemasangan berlangsung. Selain itu, manajemen jalan nafas dengan
LMA tidak mengganggu proses rekonstruksi. Sehingga, meskipun dalam proses
pemasangan T-tube terjadi kesulitan ataupun keterlambatan (delay), keselamatan
pasien tidak terancam.
2).

Terapi Bedah
Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur

endoskopik dan radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam


merencanakan sebuah eksplorasi daerah leher. Bila jalan nafas mengalami sumbatan,
trakeostomi harus dilakukan dalam keadaan pasien sadar dan menggunakan anastesi
lokal dengan efek sedasi ringan. Biasanya, insisi trakeal dibuat pada posisi di bawah
trakeostomi standar. Insisi di bawah cincin ketiga dan keempat lebih disukai untuk
menolong pasien dengan trauma laring. Karena pada posisi ini, membantu mencegah
trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai laring.
Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi
membran krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang
hyoid di superior dan ke krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu
memperlihatkan cidera pada saraf, vaskular dan organ isceral. Otot-otot dipisahkan
di miline dan retraksi ke lateral agar tulang dapat di lihat dengan baik. Pada titik ini,
dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa fraktur pada kartilago laring yang
terlihat.
Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cideranya. Bisa dengan midline
tirotomi, ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid. Bila
kartilago tiroid telah terbuka, mukosa endolaring kemudian dipotong tajam.
Pemeriksaan endolaring kemudian dapat dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid
dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan mobilitasnya. Kord vokalis di perbaiki
menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0. Menyambung kembali kommissura
anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas suara.
Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk
66

meminimalisir fibrosis dan mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup,
maka dapat dipergunakan kulit atau membran mukosa sebagai graft.
3).

Terapi Medikamentosa
Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif

dan harus diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Pemberian
kortikosteroid mempunyai tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan
timbulnya edema laring pada fase akut. Jika edema jalan nafas cukup berat, dapat
diberikan dosis 1-20mg/kg BB bolus intravena. Pemberian kortikosteroid juga
bertujuan untuk mengurangi atau mencegah penambahan edema yang terjadi akibat
manipulasi saat operasi.

2.2.5 Kelainan pita suara


1. Nodul pita suara
Nodul pita suara adalah penebalan setempat yang hampir simetris pada pita
suara, diperbatasan sepertiga depan dan dua pertiga belakang pita suara asli. Nodul
ini menghalang-halangi getaran pita suara dan penurupan glotis, dengan akibat
suara menjadi parau. gangguan ini paling banyak terdapat pada wanita muda dan
anak-anak yang berusia 7 samapai 13 tahun. Tergantung pada edem lokal yang
terjadi, nantinya akan terjadi lebih banyak jaringan fibrotik. penyebabnya dalah
penggunaan suara yang berlebihan secara kronis dan/atau teknik bicara yang salah.
nodul terdapat ditempat pita suara yang beramplitudo getaran terbesar dan yang
paling tegang sehingga selaput lendir mengalami tekanan yang berat. Meskipun
demikian, yang disebut nodul penyanyi jarang ditemukan pada penyanyi yang
terlatih. kebayakan nodul didapatkan pada orang-orang yang pekerjaannya banyak
berbicara. Pada pemeriksaan sebelum diterima kerja, hal ini perlu diperhatikan.

67

Gambar 2.2.5.1 Nodul Pita Suara

Gejala klinis yang paling penting adalah suara parau, yang makin
bertambah setelah berbicara lama. Penegakan diagnosisnya pada umumnya tdak
sulit karena letak nodul adalah khas. Kadang-kadang kist pita suara yang kecil,
yang kebanyakakn konginetal, bereaksi pada pita suara yang sebelah, sehingga
bentuknya menyerupai nodul pita suara.
Terapi yang utama adalah istirahat bicara bahkan larangan bicara sama
sekali selam beberapa minggu. Larangan bicara dalam waktu yang lama harus
dihindari dengan cara mempelajari kebiasaan berbicara yang lain atau dengan
menggati pekerjaan atau aktivitas waktu senggang. denga terapi wicara (logopedis),
teknik wicara dapat diperbaiki sehingga kebanyakan nodul akan hilang dengan
spontan. Jarang sekali dibutuhkan mengangkat keluar nodul pita suara dengan
bedah mikro laring.
2. Polip pita suara
Polip pita suara ialah tonjolan selaput lendir pita suara asli, yang
kebanyakan hanya sebelah saja dan lokal. tidak jelas faktor penyebabnya. Rokok,
penyalahgunaan suara, dan batuk kronis dapat memainkan perannya. Satu-satunya
gejala adalah suara parau. Aspek polipnya berpariasi, mulai dari pucat mengkilat
samapai merah tua, bahkan dapat hemoragis.

68

Gambar 2.2.5.2 Polip Pita Suara


Eksisi dengan bedah-mikro perlu dilakukan. paerlu diperhatikan apakah
diperlukan terapi wicara (logopedik). perubahan menjadi ganas (maligna) tidak
ada.
3. Kista pita suara dan sulkus glotidis
Kista pita suara maupun kista retensi dapat disebabkan oleh saluran kelenjar
yang tersumbat seperti kebanyakan kista epidermoid konginetal. kista epidermoid
kongnetal dapat timbul setelah pita suara ruptur dan berubah menjadi sulkus
glotidis.

pasien

mengeluh

suara

parau.

Diagnosis

ditegakkan

dengan

mikrolaringoskopi dan, pada waktu itu juga, dilakuakan bedah mikrolaring dengan
mengeksisi kista. bentuk konginetal sulkus glotidis adalah saluran disumbu panjang
pita suara. Pada keadaan bentuk itu, suara yang dihasilkan suboptimal.
Pada saat melakukan laringoskopi, umunya tidak disangka-sangka
ditemukan kista retensi divalekula atau sekitarnya, didasar lidah, dan diepiglotis.
Kista ini tidak menimbulkan keluhan, kecuali bila terlalu besar. Jarang sekali
dilakukan tindakan.
4. Granuloma pita suara
Granuloma pita suara merupakan kelainana lokal pita suara yang kadangkadang tampak diprosesus vokalis salah satu atau kedua aritenoid. Kelaianan
tersebut merupakan reaksi lokal perikondrum terhadap trauma yang berlangsung
lama. lesi ini ditemukan setelah intubasi yang berlangsung lama akibat iritasi dari
pipa endotrakeal (setelah anestesia atau bantuan pernapasan, granuloma-intibasi),
tetapi juga dapat dijumpai pada penyalah gunaan suara, berusaha terlampau keras

69

(granuloma kontak), pada batuk kronis, dan kemungkinan pada mukositis akibat
refluks-gastro-oesofagal.

Gambar 2.2.5.3 Granuloma Pita Suara


Keluhannya adalah perubahan suara; kadang-kadang suara parau berat yang
disebabkan oleh granuloma atau pada saat yang sama terdapat laringitis. Kdangkadang pasien mengeluh nyeri tenggorok. Kelaianan ini kebanyakan tampak
sebagai polip berwarna merah dan agak tidak licin. Seringkali terdapat dibagian
atas prosesus vokalis.
Penatalaksanaannya pertama kali aadalah tindakan konservatif dengan obat
anti refluks. Akhirnya, diperlukan pembedahan dengan laser CO 2 untuk
mengeluarkannya. garanuloma oleh intubasi cenderung residif (kambuh),
dibandingkan

dengan

bentuk

lain.

penatalaksanaan

dengan

pemberian

kortikostreroid dan antibiotik tidak memeberi hasil yang baik. Pada pemakaian
suara yang salah, terapi wicara dapat diberikan sebagai terapi tambahan.
5. Laringokel
Laringokel ialah herniasi sinus morgagni, kemungkinan akibat tekanan
udara ekspirasi yang tinggi (pada peniup alat musik), pada pasien yang secara
herediter mempunyai sinus dalam. laringokel terisi udara, kadang-kadang terisi
nanah apabila ternyata terjadi infeksi sekunder. Laringokel yang terdapat didalam
merupakan pembengkakan suproglotik yang licin, sdangakn laringokel yang
terletak diluar merupakan pembengkakan kistik di depan m. sternokleidoastaoid.
Bentuk yang dilluar ini sering menjadi besar apabila pasien meniup alat musik tiup.
keluhannya adalah batuk iritatif serta suara parau. terapinya adalah reseksi dengan
pembedahan.

70

Gambar 2.2.5.4 Laringokel


6. Refluks gastroesofagus
Penyakit refluks gastroesofagus ( gastroesofageal reflux disease- GERD)
diatas introitus esofagus dapat menyebabkan banyak kluhan dan kelianan pada
faring, laring dan suara. Penyakit itu merupakn komplikasi dari iritasi kronis oleh
asam lambung. Keluhan yang terpenting adalah disfonia yang tidak intermiten,
keluhan berbicara (bersuara), globus, rasa tekanan pada leher, batuk yang iritatif,
serta sedikit nyeri untuk menelan. Pirosis atau ludah asam merupakan tanda yang
jelas, tetapi sudah lama tidak selalu ditemukan.
Penyebabnya adalah fungsi spingter esofagus atas dan bawah yang tidak
sempurna. Sebagai akibatnya, terjadi esofagitis dan gangguan gerakan esofagus.
Pada laringoskopi, tampak komisura posterior edema dan merah, dengan kadangkadang didapatkan lendir kental, tetapi sering juga tidak didapatkan kelinan yang
nyata. Suara parau merupakn komplikasi pada disfungsi laring yang reaktif. Pada
keadaan berat, dapat terjadi granuloma, erosi, atau ulkus selaput lendir disekitar
aritenoid pada prosesus vokalis atau edema Reinke. Lama-lama, dapat terjadi
pakhidermia, displasia epitel, dan spasm laring dengan pH esofagus dari faring
selam 24 jam, diagnosis dapat ditegakkan. penatalaksanaannya meliputi banyak
faktor, yaitu diet yang diarahkan untuk menjadi kurus dan mengurangi makanan
yang merangsang timbulnya sekresi asam lambung, tidur berbaring ditempat tidur
dengan kepala ditinggikan 25 cm, dan obat untuk menghentikan keasaman sekresi
lambung.
2.2.6 Gangguan saraf

71

Keluhan dan gejala yang disebabkan oleh terputusnya nervus vagus


tergantung pada tempat lesi, perluasan dan proses penyakit. Pada umumnya,
kelumpuhan hanya satu sisi. Paresis atau paralisis bilateral yang timbul spontan
merupakan pertanda suatu gangguan berat di tingkat sentral.
1. Nervus vagus terputus
Terputusnya batang pokok nervus vagus menyebabkan kelumpuhan
pada semua otot-otot pita suara ipsilateral. Setengah bagian laring yang terkena
tidak bergerak; pada mulanya letak pita suara di paramedian. Kepekaan daerah
supraglotika hilang, sehingga terjadi keluhan menelan dan dapat terjadi
aspirasi. Suara parau dengan terdengar udara kasar.
Penyebab terbanyak uialah pendarahan di medula oblongata atau
paralisis bulbar yang progresif. Paralisis N.X dapat tersendiri atau bersamasama dengan kelumpuhan saraf lain (N. IX; XI; XII). Paralisis tinggi N.X
menyebabkan paralisis komplit pada otot-otot faring oleh kelumpuhan pleksus
faringeus. Terutama pada lesi bilateral, terjadi gangguan menelan, aspirasi, dan
suara parau. Gejela aspirasi terjadi karena kurangnya dorongan propulsi bolus
makanan dan akibat kurang menutupnya glotis.
2. Gangguan setinggi foramen jugulare
Apabila terputusnya N.X berkombinasi dengan terputusnya N.IX dan
N.XI, terjadinya yang disebut sindrom-foramen-jugulare. Penyebab utamanya
ialah kompresi di dalam foramen oleh tumor, misalnya tumor glomus-jugulare.
Keadaan ini mengakibatkan paralisis pada semua percabangan nervus vagus.
3. Tumor leher
Tumor leher menyebabkan tekanan atau pertumbuhan ke dalam nervus
X. Gerak faring dan palattum molle tetap utuh, apabila terjadi pada cabangcabang distal rr. faringeus. Kadang-kadang, disamping itu, terjadi sindrom
Horner (miosis, ptosis, enoftalmus) karena tekanan pada garis batal simpatis.
4. Paralisis n. Laringeus superior
Pada saat melakukan tiroidektomi, kadang-kadang hanya cabang
motorik (r. Eksternus) dari n. Laringeus superior yang rusak. Demikian juga,
dapat terjadi pada trauma lain, tekanan dari tumor, suatu neuritis atau
idiopatik. Dengan demikian, hanya m. krikotiroid yang lumpuh, yang
menegangkan dan mengendurkan pita suara. Gejalanya ringan, tinggi nada
menjadi sukar diatur (pada waktu bernyanyi) dan suara kadang-kadang sedikit
72

kurang kuat. Dengan laringoskopi, sukar ditentukan. Kadang-kadang dapat


terlihat sedikit torsi glotis. Abduksi dan adduksi tetap baik.
5. Paralisis n. Laringeus inferior

Penyebab terpenting ialah :


a. Tiroidektomi
1-2% dari semua operasi tiroid yang disertai kelumpuhan nervus
laringeus inferior (n. rekurens). Kadang- kadang terjadi kelumpuhan
sementara pasca-operasi skibat edema, tertarik, atau hematom.
b. Tumor, peradangan, kompresi, atau cacat bekas-luka di sepanjang
jalannya nervus rekurens
Tumor di bagian atas mediastinum, terutama di sebelah kiri, karena
tumbuh ke arah nervus rekurens, dapat menyebabkan kelumpuhan saraf ini.
Hal tersebut dapat terjadi pada tumor paru (sindrom Pancoast), tumor
esofagus dan kelenjar tiroid, metastasus tumor, dan limfoma non-Hodgkin.
Di samping itu, nervus rekurens di sepnajng perjalanannya dapat
mengalami kerusakan pada waktu pembedahan, karena duktus botalli yang
terbuka, akibat tekanan oleh aneurisma aorta, akibat jaringan parut, atau
akibat kelenjar getah bening tuberkulosis.
c. Paralisis idiopatik atau paralisis nervus rekurens e.c.i (et causa ignota)
Terjadi sama dengan paralisis Bell pada nervus fasialis. Diagnosis
tersebut hanya bisa dibuat setelah menyingkirkan semua penyebab lain.
Karena nervus rekurens kiri lebih panjang dari sebelah kanan, maka
kelumpuhan sebelah kiri dua kali lebih sering daripada sebelah kanan.
Penyembuhan spontan didapatkan pada 80% kasus dalam jangka waktu
enam sampai dua belas bulan.
Dengan laringoskopi tak langsung (indirek), pemeriksa mudah
melihat untuk menentukan bentuk sisi laring yang tidak bergerak. Mulanya
pita suara dalam posisi paramedian, tetapi tidak selalu tepat. Sesudah lama
lumpuh, pita suara menjadi atrofik, yang menyebabkan rima glotis makin
tidak menutup. Gerakan faring dan palatum molle normal. Suara parau, tak
bertenaga, dan kehilangan udara liar karena penutupan glotis tidak
sempurna. Tinggi nada berkurang. Kerja sfingter kurang baik, sehingga
batuk pasien kurang kuat dan lebih cepat tersedak. Kelumpuhan terjadi
bersamaan, sehingga keluhan lebih sedikit dibanding pada keadaan akut.
Pada paralisis bilateral nervus rekurens (hampir selalu setelah
tiroidektomi), kedua pita suara hampir dalam posisi paramedian. Rima
73

glotis sangat sempit dan pasien stridor, terutama pada waktu bekerja atau
infeksi.
Penatalaksanaan paralisis pita suara adalah sebagai berikut :
1. Pada kira-kira 80% dari pasien dengan kelumpuhan idiopatik atau dengan
neuropraksi, spontan akan terjadi perbaikan dalam waktu 6-10 bulan. Pada
masa itu, pasien harus selalu menggunakan suaranya atau berlatih tanpa
memaksakan diri. Terapi logopedi dapat berhasil.
2. Kelumpuhan yang menetap pada penutupan glotis tak sempurna dan
menetap dapat ditolong dengan memberikan massa pada pita suara yang
atrofik. Caranya ialah, dengan teknik endoskopi, pita suara disemprot
teflon, kolagen, atau lemak. Alternatif lain ialah memindahkan pita suara ke
medial dengan cara tiroplastik menurut tipe I Isshiki.
3. Pada paralisis bilateral nervus rekurens, rima-glotis seringkali perlu
diperlebar dengan pembedahan atau diperlukan pemasangan trakeostoma.

74

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Faring dan laring adalah organ yang secara embriologis berasal dari forgut yang
berdiferensiasi menjadi faring dan laring. Faring dan laring memiliki peran penting
dalam proses respirasi, menelan, fonasi dan lainnya. Teerdapat pula tonsil dalam faring
yang berperan dalam pertahanan tubuh terutama pada anak kecil. Terdapat berbagai
kelainan pada faring dan laring antara lain yaitu kelainan kongenital, trauma,
neoplasma, dan peradangan. Kelainan kongenital yang lazim terjadi adalah atresia
kloana, neoplasma yang lazim terjadi pada faring adalah Ca nasofaring dan pada laring
adalah Ca laring yang dapat menggangu proses fonasi. Peradangan yang sering terjadi
adalah tonsilits atau yang orang awam menyebutnya amandel, sedangkan pada laring
perdangan yang lazim terjadi adalah croup, yang sangat berbahaya dan umumnya
menyerang anak-anak.

75

DAFTAR PUSTAKA
1. Ed Aru W. Sudoyo, et al. 2009. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid
II. Jakarta: Interna Publishing hlm :1671-1675
2. Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku: Patofisiologi Edisi Ketiga. Jakarta. EGC
hlm: 511-512
3. Claudia
Dima.
2012.
Mitral
Stenosis.
Diakses
di
http://emedicine.medscape.com/article/155724-overview Pada 19 Oktober
2014
4. Moore, Keith L.dan Anne M.R. Agur. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:
Hipokrates hlm : 54-67
5. Guyton and Hall. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran-edisi 11. Jakarta : EGC
Hlm : 107
6. Omran, AS. (2011) Echocardiography in mitral stenosis. Journal of the Saudi
Heart Association. 23 (1), 51-58
7. Soepardi, E., A., dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Teling Hidung Tengorok Kepala
Leher Edisi 6. FK UI 2007

76

Anda mungkin juga menyukai