PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2
Faring dan laring adalah sistem organ yang berperan dalam 2 sistem yaitu sistem
respirasi dan sistem pencernaan. Keduanya memiliki fungsi fisiologis yang sangat
essensial. Secara embriologis mereka terbentuk dari celah faring yang akhirnya terus
berkembang hingga menjadi kondisi normal seperti sekarang ini. Jika ada kesalahan
dalam proses diferensiasi organ tersebut maka akan muncul kelainan kongenital baik
karena genetik maupun terpapar zat-zat berbahaya yang menggangu proses tersebut.
Secara anatomis faring dibedakan menjadi tiga, yaitu nasofaring, orofaring, dan
laringofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang berhubungan dengan nasal,
orofaring merupakan bagian yang menghubungkan oral dengan faring, dan yang terakhir
adalah laringofaring yang merupakan tempat pertemuan faring dengan laring. Banyaknya
tonsil yang berada di faring yang berperan dalam proses pertahanan tubuh, terutama saat
masa kanak-kanak. Sedangkan laring merupakan daerah tempat adanya plica vocalis yang
berperan dalam proses fonasi atau suara.
Ada banyak sekali gangguan dan kelainan yang mengenai faring dan laring. Baik
itu kelainan kongenital, trauma, neoplasma, peradangan, dan kelainan-kelainan lainnya
yang menyebabkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Tonsilitis dan faringitis
merupakan peradangan yang lazim terjadi. Neoplasma yang sering ditemukan adalah Ca
nasofaring yang merupakan keganasan dari epitel transisional. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi semua itu terutama perokok dan terpajan zat karsinogenik lainnya.
Trauma sendiri dapat dibedakan menjadi trauma tumpul dan trauma tajam.
1 | Kelompok VI
Rongga mulut, faring, dan esofagus berasal dari foregut embriogenik. Foregut
juga berkembang menjadi rongga hidung, gigi, kelenjar liur, hipofise anterior, tiroid dan
laring, trakea, bronkus, dan alveoli paru. Perkembangan lengkung faring terjadi
bersamaan
dengan
perkembangan
sistem
pencernaan.
Secara
embriologis,
perkembangannya dimulai pada minggu ke-4 pada masa janin sebagai salah satu cikal
bakal sistem pencernaan.
Lengkung faring muncul pada minggu ke-4 pada masa embrio. Lengkung faring
ini berupa kumpulan jaringan mesenkim yang dipisahkan oleh celah-celah yang kita kenal
dengan celah faring. Di saat perkembangan keduanya, di dinding lateral bagian dalam
lengkung faring itu muncul lagi yang namanya kantong faring.
2 | Kelompok VI
a. Lengkung faring 1 membentuk incus dan malleus (asalnya dari tulang rawan
Merckel/
prominensia
mandibularis,
yang
hilang
pada
perkembangan
selanjutnya).
b. Lengkung faring 2 membentuk stapes, processus styloideus ossis temporalis,
ligamentum stylohyoideus, cornu minus dan bagian atas corpus hyoid. (asal:
tulang rawan Reichert).
c. Lengkung faring 3 membentuk bagian bawah corpus dan cornu mayus ostium
hyoid.
d. Lengkung faring 4 dan 6 bersatu membentuk tulang rawan thyroid, cricoids,
arithenuid, corniculata dan cuneiform dari laring.
2. Celah faring
Sempurna membentuk 4 celah faring pada minggu ke-5.
a.
b.
acusticus externus.
Celah faring 2: bagian dari celah faring 2, yakni ujung dari lengkung faring kedua
sebelah bawah, yang notabene terdiri dari jaringan mesenkim yang aktif
berproliferasi, tumbuh dengan cepat, sehingga bertemu dengan rigi epikardium di
c.
3. Kantong faring
Kantong faring yang terbentuk ada 5:
a. Kantong faring 1: bertemu dengan celah faring 1 membentuk meatus acusticus
b.
c.
d.
e.
externus.
Kantong faring 2 : menjadi tonsila palatine
Kantong faring 3: membentuk glandula parathyroidea inferior dan kelenjar timus
Kantong faring 4: membentuk glandula parathyrioidea superior .
Kantong faring 5 (biasanya dianggap sebagai bagian dari kantong faring 4):
membentuk corpus ultimobrachiale yang kelak bersatu dengan glandula thyroid.
3 | Kelompok VI
Faring, laring, trakea, dan paru-paru merupakan derivat forgut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama kemudian, terbentuk alur faring
median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring.
Sulkus atau alur laringotrakea menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio.
Perluasan alur ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan
berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. Bagian
yang paling proksimal dati tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran
aritenoid dan lamina epitelial dapan dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot
dan sebagian besar pita suara (korda vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu
berikutnya.
Hanya kartilago epiglotis yang tidak berbentuk hingga masa midfetal. Karena
perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arkus brankialis embrio, maka
banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis.
Gangguan perkembangan dan berakibat berbagai kelainan yang dapat didiagnosis
melalui pemeriksaan laring secara langsung, laring sendiri mungkin kecil atau mungkin
terdapat berbagai tingkatan selaput di antara korda vokalis sejati.
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring
dibawah berhubungan dengan aditus laring dank e bawah berhubungan dengan
esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm;
bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk
oleh(dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian
fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.
5 | Kelompok VI
dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui
oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus Vags dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial
dan vena jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara
tuba Eustachius.
2.Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis ke depan adalah rongga mulut sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikalis.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang
akut atau radang kronik faring, Abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan gangguan n.vagus.
3.Laringofaring
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior
ialah laring, batas inferior ialah esophagus, sertas batas posterior adalah vertebra servikal.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur
pertama yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula.
6 | Kelompok VI
Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otototot.
1. Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
a.
b.
2. Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.
a.
9 | Kelompok VI
4. Siatem limfatik
Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu :
a. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran
yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior profunda.
Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node.
10 | K e l o m p o k V I
b. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle
jugular node, dan inferior jugular node.
c. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe
esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring dan
menentukan terapinya.
11 | K e l o m p o k V I
udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara
pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga
mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan
dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan
tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk :
a. Teori Myoelastik Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan
plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis.
Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan
menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya
melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka
dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis
yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus
getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang
dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika
vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran
udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek
Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara
ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
b. Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran
plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk
mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring
mencerminkan banyaknya/frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan
audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada
pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).
2. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan
berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis,
plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N.
Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring
13 | K e l o m p o k V I
ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah.
Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus
piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga
dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan
rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO 2 dan O2 arteri serta
pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila
pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO 2 arterial
dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan
pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring
terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini
dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan
Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila
laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya
proses menelan, yaitu :
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.
Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglottis.
14 | K e l o m p o k V I
15 | K e l o m p o k V I
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KELAINAN FARING
2.1.1 Kelainan kongenital
1.
Atresia Koana
a. Definisi
Atresia koana adalah suatu kelainan congenital yang ditandai dengan kegagalan
perkembangan rongga hidung untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan
nasofaring dengan perubahan fisiologi dan anatomi yang signifikan dari kompleks
dentofacial. defenisi lain menyebutkan atresia koana adalah adanya kehilangan atau
adanya penghalang dari bagian posterior hidung. Atresia koana lebih sering
dikaitkan dengan kelainan CHARGE (C=Coloboma, H=Heart Disease, A= atresia
choanae, R= retarded growth and development, G= genital hipoplasia, E=ear
deformities or deafness),
b.
Epidemiologi
Atresia koana terjadi hampir jarang terjadi pada setiap kelainan congenital,
berdasarkan penelitian dari 5000 sampai 8000 kelahiran hanya sekitar 1 kelahiran
yang menderita kelainan kongenital ini. Dengan angka kejadian bayi perempuan
lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan pada bayi laki-laki. Kejadian atresia koana
biasanya dapat mengikuti kelainan kongenital lain seperti contohnya sindroma
down, sindroma DiGeorge, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelitian lain menyebutkan sekitar 0,82 kasus dari 10.000 kasus
adalah atresia koana, dengan atresia koana yang unilateral lebih sering
dibandingkan bilateral yakni 2:1, namun resiko terjadi keduanya juga cukup besar.
Adanya kelainan kromosom ditemukan pada bayi baru lahir sekitar 6% menderita
atresia koana. Dengan setiap ras memiliki frekuensi yang sama. Dan 50% anak
dengan CHARGE menderita atresia koana hampir seluruhnya.
c.
Etiologi
Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak
dugaan dari pada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Yakni pada
masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membrane yang
terdiri atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang
16
kemudian menjadi atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain
adanya keterlibatan kromosom 22q11.2 yang dapat menyertai kelainan kongenital
lain seperti facial, nasal dan palatal deformities, polydactylism, congenital heart
disease, coloboma of the iris and retina, mental retardation, malformations
external ear, esophageal atresia, craniosynostosis, tracheoesophageal fistula dan
meningocele.
d.
Patofisiologi
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun
belum ada teori pasti tentang kelainan ini. Teori tersebut antara lain:
-
Gejala Klinis
Pada setiap bayi baru lahir ahrus bernafas melalui hidung, namun pada bayi
yang menderita atresia koana terjadi distress respirasi bisa karena atresia koana
yang bilateral atau dapat pula terjadi napas memendek.
Presentasi lain adalah bayi selalu sianosis saat menangis, adanya obstruksi
dari saluran napas saat bayi makan dan berkurang saat bayi menangis karena
adanya pengambilan udara dari mulut karena adanya sumbatan pada hidung.
Kebanyakan atresia koana bilateral didiagnosa saat bulan pernah kehidupan.
Pasien dengan atresia koana unilateral jarang menyebabkan obstruksi saluran
napas yang parah. Normalnya gejala baru akan tampak setelah 18 bulan kehidupan
yang ditandai dengan adanya kesulitan makan dan keluarnya cairan dari hidung.
f.
Diagnosis
Dari anamnesis didapati riawayat kesulitan bernapas dan bernapas dari
hidung saat baru lahir dan makin memberat dalam beberapa bulan ini. Biasanya
pasien dengan atresia koana bilateral dibawa setelah 1 bulan kelahiran sedangkan
pasien atresia koana unilateral dating setelah beberapa bulan kelahiran. Pasien juga
kesulitan dalam pemberian makan karena akan mengganggu pernapasan dan
17
semakin memberat apabila pasien menangis. Pada pasien juga didapati riwayat biru
saat menangis akibat kurangnya pengambilan oksigen.
Pada inspeksi didapati pasien cenderung mengambil nafas dari mulut akibat
adanya obstruksi pada hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior cenderung
dalam batas normal, namun kadang dijumpai adanya secret yang keluar dan
bertahan. Riwayat keluar cairan dari hidung serta aliran udara dari hidung yang
kurang atau tidak ada sama sekali. Pada pemeriksaan posterior dengan
menggunakan kaca laring didapati adanya aliran udara yang keluar dari mulut,
namun belum dapat secara pasti menegakkan suatu atresia ataupun stenosis.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi yang keras maupun
fleksibel, namun yang paling sering digunakan adalah endoskopi fiberoptik yang
fleksibel karena dapat menilai patensi nasal dan anatominya seperti vestibule,
septum nasi dan dinding lateral nasal. Biasanya, pada kelainan jalan napas yang
disebabkan oleh karena obstruksi kongenital, septum deviasi, kista duktus
nasolakrimalis, dan lain-lain bisa tidak terlihat. Pada pasien dengan atresia koana
dengan menggunakan endoskopi dapat dilihat adanya discharge yang bersifat
mukoid dan terlihat adanya atresia koana lebih jelas tampak.
Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan CT-scan, hal ini khusus untuk
melihat bagian aksial, prosedur radiografi ini merupakan pilihan terhadap kelainan
dari tulang dan membrane, untuk menilai posisi dan ketebalan dari segmen yang
obstruksi, sehingga dapat dilakukan operasi yang sesuai untuk memperbaiki
keadaan ini. CT-scan juga berperan untuk mendeteksi kelainan lain yang menyertai
atresia koana, seperti encephalocele, glioma, defek tengkorak anterior. CT scan
juga dapat menunjukkan luas dari bagian posterior septum dan densitas tulang
padat yang menyangga lateral. Dengan menggunakan vasokonstriktor drop dan
nasal toilet, sedasi atau anastesia umum pada bayi baru lahir akan memberikan
kualitas gambar CT-scan yang baik, data normative dapat digunakan untuk
neonates hingga umur 6 bulan, mengenai ukuran dari lubang hidung.
g.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bervariasi dam tergantung dari umur, tipe dari atresia dan
keadaan umum dari pasien. Karena pada bayi harus bernapas dari hidung,
sedangkan pada atresia koana yang bilateral keadaan ini tidak dapat terjadi,
sehingga butuh penanganan segea, sebelum jatuh kedalam keadaan asfiksia berat
18
dan kematian segera setelah lahir. Pada bayi dengan atresia koana yang bilateral
biasanya langsung menunjukkan keadaan kesulitan bernapas, dan penatalaksanaan
selanjutnya diperlukan. Seperti latihan bernapas melalui mulut, McGovern nipple
atau dengan oropharyngeal airway. McGovern nipple adalah suatu seperti ujung
botol dengan sebuah lubang yang cukup besar dan dapat digunakan untuk
pemberian makan. Pasien dapat makan sambil menjaga jalan napas, sebelum
dilakukan penatalaksanaan lebih lanjut.
Intubasi endotrakea biasanya kurang bermanfaat jika dibandingkan pemberian
ventilasi mekanik pada bayi. Jika didapati distress pernapasan yang parah dan jalan
napas tidak dapat dilakukan dengan intubasi endotrakea, perlu dilakukan
trakeotomi
pada
keadaan
emergensi
sebelum
dilakukan
evaluasi
dan
adalah kurangnya asupan makan akibat kesulitan bernapas hanya berdampak pada
pertumbuhan dan perkembangan bayi yang cenderung terhambat. Namun sekitar
50% atresia koana dapat diikuti kelainan kogenital lain sehingga biasanya pasien
justru jatuh ke dalam keadaan komplikasi dari penyakit lain.
2.1.2 Peradangan
1. Tonsilitis
a. Definisi
Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (leteral band
dinding faring/ Garlach tonsil.
Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama apda anak.
1. Tonsillitis akut
a. Tonsiitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka
kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Terapi
Istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika gatal berat.
b. Tonsillitis bacterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus hemolitikus
yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, streptokokus viridian dan
streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear
sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri
yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus
tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur
20
maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar
sehingga terbentuk semacam membrane semu (pseudommebrane) yang
menutup tonsil.
Gejala dan tanda
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah
nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di
telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain)
melalui saraf n.glossofaringeus (n.IX). pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau
tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submanibula membengkak dan nyeri
tekan.
Terapi
Antibiotika spectrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat
kumur yang mengandung disinfektan.
Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis,
abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronchitis, glomelurosnefritis
akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi v. jugularis interna
(sindrom Lemierre).
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut,
tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).
2.
Tonsilitis membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa ialah (a)
Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septic (septic sore throat), (c) Angina Plaut Vincent,
(d) Penyakit kelainan darah seperti leukimia akut, anemia pernisiosa, neutropenia
maligna seperti infeksi mono-nukleosis, (e) Proses spesifik lues dan tuberculosis,
(f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus
morbili, pertussis dan skarlatina.
a. Tonsiitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada
bayi dan anak. Penyebab tonsillitis difteri ialah kuman Corynebacterium
diphteriae, kuman yang termauk Gram positif dan hidung disaluran napas
21
bagian atas yaitu hidung, faring, dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi
oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes
Schik.
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.
Gejala dan tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala local,
dan gejala akibat eksotoksin.
a) Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan.
b) Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membenetuk membrane
semu. Membrane ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring,
laring, trakea, dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membrane
semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bia infeksinya berjaan terus,
kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.
c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis
samapi
deompensatio
cordis,
mengenai
saraf
kranial
22
hemolitikus dapat
faringitis
kronik dan
26
dada, dan lengan. Bercak tersebut terjadi sebagai akibat dari kumpulan
darah pada pembuluh darah yang rusak akibat pengaruh toksin.
Faktor risiko dari faringitis yaitu:
Alergi
e. Klasifikasi
Faringitis dibagi menjadi:
1.
a.
b.
c.
d.
2.
a.
b.
3.
a.
b.
I.
a.
Faringitis akut
Faringitis viral
Faringitis bacterial
Faringitis gonorrhoeae
Faringitis fungal
Faringitis kronik
Faringitis kronik hiperplastik
Faringitis kronik atrofi
Faringitis spesifik
Faringitis leutika
Faringitis tuberkulosa
Faringitis akut
Faringitis viral
Faringitis virus akut adalah penyakit yang sangat sering. Penyebab
faringitis akut dapat bervariasi dari organisme yang menghailkan eksudat saja
atau perubahan kataral sampai yang menyebabkan edema dan bahkan ulserasi.
Penyebab dari faringitis akut viral adalah rinovirus yang menimbulkan
gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan faringitis. Selain
rinovirus, ada juga virus influenza, coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat. Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di
orofaring dan lesi kulit berupa mauclopapular rash.
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat
27
Gambar 2.1.2.1 Faringitis akut virus tampak faring membengkak dan hiperemis.
b. Faringitis bacterial
Infeksi grup A Streptokokus
akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan tandanya adalah
nyeri kepala yang hebat, muntah kadang-kadang disertai demam dengan suhu
yang tinggi, jarang disertai batuk.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat di permukaannya.Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal, dan nyeri pada penekanan.
e. Diagnosis
Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
28
Penilaian skornya:
-
f. Terapi
a. Antibiotik. Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup
A Streptokokus
29
b.
c.
d.
c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.Keluhan nyeri
tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring
dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar
Saburoud dextrose. Terapi dengan Nystatin 100.000-400.000 2 kali/hari dan
analgetika.
d. Faringitis gonorea
30
2.
Faringitis kronis
a.
Definisi
Faringitis kronis atau persisten merupakan masalah menjengkelkan dan
menyakitkan bagi pasien. Hal ini dapat bertahan selama lebih dari 3 bulan dan
sangat menggangu kehidupan sehari-hari. Faringitis kronis bisa disebabkan karena
induksi yang berulang-ulang faringitis akut atau karena iritasi faring akibat
merokok berlebihan dan penyalahgunaan alkohol, sering konsumsi minuman
ataupun makanan yang panas, dan batuk kronis karena alergi. Bernafas melalui
mulut, ini dapat disebabkan oleh : kelainan pada nasofarings, obstruksi pada
hidung, dan protruding teeth.
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik
atrofi. Factor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rhinitis kronik,
sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap yang merangsang
31
mukosa faring dan debu. Factor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah
pasien yang biasa bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular.
Gejalanya pasien sering mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan
akhirnya batuk yang bereak.
Terapi local dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan
simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit di hidung dan sinus
paranasal harus diobati.
b. Faringitis kronik atrofik
Faringitis kronik atrofik merupakan keadaan yang berlawanan dengan
faringitis kronik hipertrofi. Berbagai derajat atrofi elemen mukosa faring
seringkali ditemukan secara kebetulan. Pada kasus yang ringan, mukosa tampak
tipis dan berkiau atau seperti kaca, dengan tidak tampaknya semua jaringan
tetapi hanya sejumlah kumpulan jaringan limfoid yang tampak pada faring
normal. Pada inspeksi yang teliti, seseorang biasanya dapat melihat adanya
lapisan mucus, yang normal transparan, tampak lebih tebal dan semitransparan.
Mucus ini mungki meninggikan permukaan dalam bercak-bercak.
Pada bentuk faringiti atrofika yang lanjut, kekeringan mejadi menyolok,
lapisan mucus konsisteninya seperti lem, dan sewaktu-waktu tampak krusta.
Jika sekresi ini diangkat, membrane mukosa di bawahnya tampak kering,
berkerut. Stadium lanjut faringitis atrofika ini disebut faringitis sika.
b. Etiologi
Penyebab faringitis atrofik tidak diketahui dengan pasti. Diduga ini
disebabkan oleh udara yang tidak cukup dihangatkan dan dilembabkan oleh
mukosa hidung, seperti yang terjadi pada pernapasan mulut kronis dan pada
keadaan rhinitis atrofika di mana fungsi pelembaban dari hidung tidak
berfungsi. Kelihatannya, bagaimanapun juga, terdapat perubahan trofika pada
32
mukosa yang akibat dari hiposekresi mucus dan yang dipengaruhi oleh
beberapa factor yang tidak dimengerti.
c. Gejala-gejala
Gejala utama dari faringitis atrofika adalah rasa kering dan tebal pada faring
dan bagian atas. Usaha pasien untuk mengeluarkan sekresi yang melekat terdiri
dari usaha untuk mebersihkan tenggorokan, biasanya dengan membatukkan.
Berbagai derajat rasa sakit adalah tidak jarang. Keparauan dengan derajat
ringan dapat menyertai penyakit ini, karena perluasan dari proses ke laring dan
iritai dari usaha sering untuk membersihkan atau membatukkan sekresi yang
melekat. Dalam beberapa hal terjadi fetor.
d. Penanganan
Jika rhinitis atrofik terdapat bersamaan dengan faringitis atrofik, ini juga
sebaiknya mendapat perhatian terapeutik. Aplikasi local dari pengobatan
Mandls pada faring adalah bermanfaat. Tujuan obat-obatan ini adalah untuk
merangsang sekresi. Kalium iodide dapat diberikan secara interminal untuk
memperoleh efek yang sama. Dosis rata-rata adalah 10 tetes dari cairan yang
sudah disaturasi tiga kali sehari bersama makanan. Kombinasi aplikal local dari
obat tenggorokan dan pemberian iodide secara internal adalah diiginkan.
Pernapasan udara lembab yang hangat, dapat diperoleh dengan cara meletakkan
handuk tebal yang panas, lembab pada hidung dan mulut, membantu
melembabkan sekresi yang kental. Dua puluh sampai 30 menit sekali atau dua
kali sehari adalah diperlukan sekali. Perhatian juga sebaiknya diberikan pada
kesehatan umur
.
3. Faringitis spesifik
a. Faringitis luetika
Faringitis leutika atau faringitis syphilis ini dapat disebabkan oleh
Treponema palidum yang dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti
penyakit lues di organ lain. Gambaran kliniknya tergantung pada stadium
penyakit primer, sekunder atau tertier.
1) Stadium priemer
33
yaitu
tidak
nyeri.Juga
didapatkan
pembesaran
kelenjar\
b. Faringitis tuberculosis
Faringitis tuberculosis merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru.
Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberculosis faring
primer.Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung
kuman atau inhalasi kuman melalui udara.Cara infeksi endogen yaitu
penyebaran melalui darah pada tuberculosis miliaris.Bila infeksi timbul secara
hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan
34
pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring,
palatum mole, dan palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak. Saat
ini juga penyebaran secara limfogen.
Gejalanya yaitu keadaan umum pasien buruk karena anoreksia dan
odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang gebat di tenggorok, nyeri di telinga
atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan sputum basil tahan
asam, foto toraks untuk melihat adanya tuberculosis paru dan biopsy jaringan
yang terinfeksi untuk menyingkirkan proses keganasan serta mencari kuman
basil tahan asam di jaringan.
Pengobatan dengan isoniazid dan rifampisin selama 9 sampai 12 bulan
merupakan terapi yang paling efektif dan mampu mencapai hasil yang
diinginkan dalam 99% dari pasien . Sumber lain menyebutkan terapi sesuai
dengan terapi tuberkulosis.
f.Pemeriksaan penunjang
1. Kultur Swab tenggorokan (Gold standard)
2. Darah Rutin
3. Kultur BTA untuk diagnosis Faringitis Tb
4. Tes infeksi jamur dengan menggunakan pewarnaan KOH
5. Tes Antigen
6. ELISA\
g.
Komplikasi
Adapun komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis,
Prognosis
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik, akan tetapi
tergantung dari berat ringan nya infeksi. Pasien dengan faringitis ringan biasanya
sembuh dalam waktu 1-2 minggu.
2.1.3 Neoplasma
Karsinoma Faring
a. Definisi
35
Carsinoma faring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang
melapisi faring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma.
b. Etiologi
Penyebap pasti karsinoma faring tidak di ketahui namun ada beberapa
faktor yang diduga dapat memicu terjadinya kanker faring yaitu :
1. Kerentanan Genetik, walaupun karsinoma faring tidak termasuk tumor
genetic, tetapi kerntanan terhadap karsinoma faring pada kelompok masyrakat
tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma faring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma faring.
2. Virus Eipstein-Barr, Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung
antara karsinoma faring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr
(EBV). Serum pasien-pasien orang asia dan afrika dengan karsinoma faring
primermaupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap
antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA);
dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi.
Hubungan ini juga terdapat pada pasien Amerika yang mendapat karsinoma
faring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma
faring tak berdifrensiasi dan karsinoma faring non-keratinisasi yang aktif
(dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa
atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma.
3. Faktor Lingkungan, menurut laporan luar negeri, orang cina generasi
pertama (Umumnya penduduk kanton ) yang bermigrasi ke Amerika Serikat,
Kanada memiliki angka kematian akibat karsinoma faring 30 kali lebih tinggi
dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun
menjadi 15 kali, generasi ketiga belum ada angka pasti, tetapi secara
keseluruhan cenderung menurun. Dalam pada itu, orang kulit putih yang lahir
d Asia Tenggara, angka kejadian faring meningkat. Sebabnya selain pada
sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah, jelas factor lingungan
juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut
berkaitan dengan timbulnya karsinoma faring:
1. Golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin.
2. Hodrokarbon aromatic
3. Unsur Renik, diantaranya nikel sulfat
36
c. Patofisiologi
Karsinoma faring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun.
Kebanyakan pada orang laki-laki. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan
merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat.
Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli. Kanker kepala
dan leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan. Terutama
neoplasma laryngeal, 95% adalah karsinoma sel skuamosa. Bila kanker terbatas
pada pita suara (intrinsik) menyebar dengan lambat. Pita suara miskin akan
pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase ke arah kelenjar limfe. Bila
kanker melibatkan epiglottis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi. Tumor
superglotis dan subglotis harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga
mengakibatkan suara serak. Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini
biasanya pada waktu pita suara masih dapat digerakan.
d. Manifestasi
Hidung tersumbat
Ingus kental
Sesak dan nafas bau
Adanya benjolan di leher, penurunan BB dan nyeri yang menjalar ke telinga
dapat menandakan adanya metastasis (transfer penyakit dari satu organ ke
organ lain).
e. Tes Diagnostik
Persoalan diagnostic sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan
terlalu
sulit
ditemukan.
Pemeriksaan
foto
tengkorak
potongan
faring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsi melalui
mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung
dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem bersamsama ujung kateter yang di hidung.
Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum
mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah faring. Biopsi
dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai faringoskop
yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi
tumor faring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral faring dalam narcosis
f. Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan
tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap
terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan). Bebagai macam kombinasi
diebangkan, yang trbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum
sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil
saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan
mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang
bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi
38
g. Komplikasi
Gejala metastasis jauh, karena 95% lebih sel kanker faring berdiferensiasi
buruk, dengan derajat keganasan tinggi, waktu diagnosis ditegakkan, 4,2% kasus
sudah menderita metastasis jauh, Dari kasus wafat setelah radioterapi, angka
metastasis jauh 45,5%. Lokasi metastasis paling sering ke tulang, paru hati.
Metastasis tulang paling sering ke pelvis, vertebra, costa, dan keempat ekstremitas.
2.2 KELAINAN LARING
2.2.1 Kelainan kongenital
Laring bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan
orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat
ditekan oleh tekanan jalan napas. Pada bayi, laring terletak setinggi C2
hingga C4, sementan laring dewasa terletak di depan C4 hingga C6. Ukuran
laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm
ke arah lateral. Gejala-gejala yang timbul akibat penyakit pada daerah ini
termasuk obstruksi jalan napas, disfagia, kualitas tangisan atau suara berisik
yang dihasilkan dan kegagalan tumbuh kembang. Obstruksi jalan napas
sendiri
dapat menyebabkan
yang dapat
dengan
sindrom
gawat
laring yang saling menempel pada saat menarik napas. Daerah subglotis
tampak
nornal,
jika laring
dipertahankan
terbuka
endoskopis.
Selanjutnya dapat dilakukan terapi dengan eksisi bedah atau laser, dilatasi
berulang, atau trakeotomi
dan pemakaian
sejati namun
tumor
waktu untuk
regresi. Eksisi
Radiasi dosis rendah juga telah dilakukan, namun kini dihindari karena
kekhawatiran akan timbulnya kaninoma tiroid lanjut.
6. Laringokel
Laringokel adalah sejenis kista kongenital khusus, yang berkembang
sebagai sisa-sisa dari suatu apendiks atau sakus kecil dari ventrikel laring.
Seperti juga duktus tiroglosus, laringokel dapat timbul pada usia berapapun,
namun berasal
kongenital. Dengan
timbulnya
kista,
rnaka mula-mula
menyebabkan suatu tonjolan pada korda vokalis palsu di satu sisi. Dengan
pembesaran, kista akan memotong sepanjang saraf dan pembuluh laringeus
superior, dan tampak sebagai suatu massa di leher. Karena kista ini dapat
berhubungan dengan jalan napas, maka radiogram dapat memperlihatkan
suatu batas udara-cairan. Kista-kista ini tidak harus berisi udara, namun dapat
padat dan hanya terisi cairan. Dengan pembesarannya, kista mengganggu
jalan napas dan dapat menimbulkan stridor serta obstruksi jalan napas.
Diagnosis dapat diperkirakan dengan melakukan aspirasi pada massa dengan
suatu jarum besar. Satu-satunya terapi yang efektif pada laringokel adalah
41
suara
tangisan
mengungkapkan keadaan
berguna
laring
dalam menentukan
perubahan yang
Laringoskopi direk
juga
saat menangis
tetapi akhirnya
tetap memerlukan
14 bulan. Trakeotomi
dibiarkan
tetap
42
supraglotitis
Laringotrakeobronkitis Trakeitis
Croup
(infraglotitis)
bakterialis
spasmodic
3-6 tahun
Di bawah 3 tahun
8-15 tahun
1-5 tahun
Awitan dalam Awitan
dalam 1-2
minggu Awitan cepat,
suara jernih
beberapa hari
masa
infeksi biasanya
Serak
cepat
memburuk
Batuk menyalak
Tidak
ada
infeksi
penyerta
43
Disfagia
Tidak ada
Stridor inspirasi
Paparan
terhadap
kelembaban
dan
udara
dingin
Mengiler
melegakan
Dapat berupa
Tidak ada
edema
non-
inflamasi pada
daerah
subglotis
Posisi duduk
Berbaring
Berbaring
Jarang kambuh
Dapatkambuh
Intubasi
diperlukan
untuk
mengeluarkan
secret
atau
pseidomembran
Perjalanan
cepat
Radiogram
beberapa minggu
Foto leher normal
Radiogram traea
lateral
memperlihatkan
memperlihatkan
batas
edema
ireguar
supraglotis
Etiologi
Etiologi virus
yang
Stapghylococcu
seringkali
s aureusI paling
Haemophilus
khas;
influenza;
streptococcus ;
streptococcus
H.
lebih jarang
influenza
jarang
Table 2.2.2.1 Gambaran Klinis Croup
44
Anak dengan laryngitis subglotis akut biasanya serak dengan batuk croupy
yang sangat dan biasanya ingin berbaring.
Anak-anak ini harus segera ditangani tanpa menunggu di bagian
gawat darurat atau radiologi, dan tidak boleh dibuat gelisah atau agitasi.
Radiogram le=ateral
sebaiknya diwasi setiap saat. Croup merupakan salah satu dari beberapa
penyakit yang memerlukan pengawasan langsung oleh dokter secara terus
menerus. Epineprin rasemat yang diberikan per inhalasi terbukti
bermanfaat, terutama pada laringotrakeobronkitis, dan telah mengurangi
kebutuhan akan banuan jalan napas. Jika anak kolaps, gunakan respirator
ambu bertekanan positif untuk memaksa oksigen melalui jalan napas yang
edematosa. Intubasi hidung dapat dilakukan dan dapat dibiarkan selama
beberapa hari. Laring anak membutuhkan intubasi lebih panjang
dibandingkan orang dewasa. Bila trakeotomi harus dilakukan, maka
sebaiknya dengan cara sistematik dalam kamar operasi dengan memakai
tuba trakeal. Kasus-kasus croup umumnya menyembuh dalam 48-72 jam
dan kemungkinan dapat dilakukan ekstubasi. Radiogram dada perlu
dilakukan setelah trakeotomi, karena pleura menonjol mencapai leher,
terutama pada anak. Cedera pleura dapat menyebabkan pneumothoraks.
2. Laringitis
a. Definisi
Adalah peradangan yang terjadi pada pita suara (laring) bisa
disebabkan karena terlalu banyak digunakan untuk bersuara keras, karena
iritasi maupun infeksi.
b. Etiologi
Biasanya infeksi virus menyebabkan laringitis akut. Infeksi bakteri
seperti difteri juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi.
Laringitis akut dapat juga terjadi saat menderita suatu penyakit atau setelah
sembuh dari suatu penyakit, seperti salesma, flu atau radang paru-paru
(pnemonia).
Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk juga iritasi
yang terus menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang berlebihan,
banyak merokok atau asam dari perut yang mengalir kembali ke dalam
kerongkongan
dan
tenggorokan,
suatu
kondisi
yang
disebut
Klasifikasi
46
AKUT
Laringitis akut
Radang akut pada laring, umumnya
peradangan
sistemik.
Gejala klinis dari laringitis akut bisa ditandai dengan demam,
malaise, dan gejala lokalnya seperti suara parau sampai tidak bersuara
(afoni), nyeri menelan (disfagi) atau berbicara, serta gejala-gejala sumbatan
laring, pada anak-anak, laringitis akut ini dapat menimbulkan sumbatan
jalan nafas, pada dewasa tidak secepat pada anak-anak.
Pada pemeriksaan dengan laringoskopi tampak mukosa laring yang
hiperemis, membengkak, terutama di atas dan bawah pita suara. Biasanya
terdapat tanda- tanda penyakit yang mendasarinya seperti faringitis, rhinitis,
sinusitis atau pneumonia
Penatalaksanaan dengan istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3
hari. Menghirup udara lembab. Menghindari dari iritasi pada faring dan
laring, seperti rokok, makanan pedas atau minum es. Antibiotika
diindikasikan untuk infeksi virus yang diikuti oleh infeksi bakteri, preparat
steroid juga diindikasikan untuk mukosa yang edema. Bila terdapat
sumbatan laring, dilakukan pemesangan endotrakea atau trakeostomi.
KRONIK
Non-Spesifik laringitis kronis
Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada
saluran pernapasan, seperti selesma,influensa,bronkhitis atau sinusitis.
Akibat paparan zat-zat yang membuat iritasi,seperti asap rokok, alkohol
yang berlebihan, asam lambung atau zat-zat kimia yang terdapat pada
tempat kerja.Terlalu banyak menggunakan suara, dengan terlalu banyak
bicara, berbicara terlalu keras atau menyanyi (vokal abuse). Pada
47
peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis, permukaan yang tidak rata
dan menebal.
Gejala klinis
yang
berdehem untuk
Jangan merokok, dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok
tidak
langsung.
Rokok
akan
membuat
tenggorokan
kering
dan
2.
3.
4.
Laringitis Tuberkulosa
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat dari tuberkulosis paru.
Sering kali setelah diberikan pengobatan, tuberkulosisnya sembuh tetapi
laringitis tuberkulosanya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa
laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik
paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih
lama. Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum
yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfe.
Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di
fossa inter aritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis,
epiglotis, serta subglotik.
Secara klinis, laringitis tuberkulosis terbagi menjadi 4 stadium yaitu :
yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium
ini pasien dapat terjadi afoni dan keadaan umum sangat buruk dan dapat
meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut
dan masuk dalam stadium fibrotuberkulosis.
Stadium fibrotuberkulosa. Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada
obat-obat ini.
Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin.
Pemberian terapi OAT terbagi atas 3 kategori yaitu :
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3. Pemberian selama 2 bulan HRZE setiap hari
dan dilanjutkan pemberian INH 3x semingu dan Rifampisin 3x seminggu
selama 4 bulan, diberikan kepada penderita TBC aktif dengan BTA positif
dan TB ekstraparu berat
Katagori 2 : HRZE / 5H3R3E. Diberikan kepada penderita yang kambuh,
gagal terapi dan penderita putus obat
Katagori 3 : 2HRZ / 4H3R. Diberikan pada penderita dengan BTA positif
dan Ro paru mendukung.
Obat
Dosis harian
Dosis 2x/minggu
Dosis 3x/minggu
50
(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
mg)
mg)
mg)
mg)
mg)
Pirazinamid
15-40 (maks. 2 g)
50-70 (maks. 4 g)
15-30 (maks. 3 g)
Etambutol
50 (maks. 2,5 g)
Streptomisin
15-40 (maks. 1 g)
INH
Rifampisin
Laringitis Luetika
Disebabkan oleh kuman treponema palidum, sudah sangat jarang
dijumpai pada bayi ataupun orang dewasa. laring tidak pernah terinfeksi pada
stadium pertama sifilis. Pada stadium kedua, laring terinfeksi dengan tandatanda adanya edema yang hebat dan lesi mukosa berwarna keabu-abuan.
Sumbatan jalan nafas dapat terjadi karena adanya pembengkakan mukosa.
Pada stadium ketiga, terbentuknya guma yang nanti akan pecah dan
menimbulkan ulcerasi, perikondritis dan fibrosis.
Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis.
Disfagia timbul bila gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit
ini, pasien tidak merasakan nyeri, mengingat kuman ini juga menyerang sarafsaraf di perifer.
Pada pemeriksaan, bila guma pecah, maka ditemukan ulkus yang
sangat dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta
mengeluarkan
eksudat
yang
berwarna
kekuningan.
Ulkus
ini
tidak
menyebabkan nyeri dan menjalar sagat cepat, sehingga bila tidak terbentuk
proses ini akan menjadi perikondritis.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes serologi (RPR,VDRL, dan
FTA-ABS) dan biopsi.
51
53
sel
granular
dapat
memperlihatkna
hyperplasia
55
mengalami
klasifikasi
dan
dapat
dicurigai
melalui
56
b. Epidemiologi
Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan
pasien, 1 dari 14.000-42.000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari
keseluruhan
kejadian
trauma
tumpul.
Jarangnya
trauma
ini
ditemukan
pengaman
kendaraan
(automobile
safety).
Sementara
itu
angka
57
Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya.
Pada setiap cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada
tulang, secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid
1) Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung
menciderai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas bawah. Daerah
yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan
defek stenosis pada daerah yang terkena.
2) Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering
disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma
benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang kemudian
membentur kemudi, handle bars atau dashboard. Trauma tumpul lebih sering
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara jok
mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan terhimpit di antara kepingan
kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan
laring, sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan
trakea atau laring. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea
tertekan di antara manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada
dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea pars membranosa atau bronkus,
biasanya 2,5 cm dari karina.
58
4) Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan
gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat
diakibatkan oleh intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena
balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder
akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan
cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi
pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi.
Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada
kelompok usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam
menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila
didapatkan pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh
diri dengan menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon.
59
d. Diagnosis
Trauma menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung mekanisme
traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma laring
adalah mekanisme cidera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal,
emfisema subkutis, perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress
pernafasan dan hemoptisis.
e. Gejala Klinis
Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah
sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada), sianosis,
gangguan suara juga merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan
jalan nafas. Tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring adalah
adanya kebocoran udara atau suara mendesis pada tempat trauma. Pada trauma tembus,
kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di tempat luka, sedangkan pada trauma
tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang mengembang pada saat batuk.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat
hantaman benda tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan
penonjolan tulang, hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi, diskontinuitas, nyeri
tekan pada daerah laring, emfisema subkutis maupun emfisema mediastinum jika
cidera lebih ke distal.
Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cidera yang menentukan
indikasi operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis
walaupun ringan memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dapat
dibagi menjadi 5 grup, sebagai berikut :
Grup I
Grup II
berat
robekan
mukosa
dengan
expose
tulang
rawan.
60
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma
leher yang mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma tumpul
ataupun yang sudah terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat terlihat adanya
bayangan udara terperangkap di prevertebra dan leher bagian dalam atau
peninggian/elevasi tulang hyoid pada kasus separasi krikotrakea.
Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan letak
luka, luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT guna
menjamin jalan nafas. Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma tembus.
Tindakan panendoscopy dan arteriografi disarankan dilakukan pada trauma tembus
leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan tersebut di atas selain efektif juga
sensitifitasnya tinggi untuk menghindari eksplorasi yang berlebihan.
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras,
computed tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan telah
berperan banyak dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu menurunkan
angka eksplorasi bedah karena mampu mendeteksi lebih rinci dan non invasif. CT
diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan trauma laring hanya dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya menunjukkan satu gejala/tanda. CT
mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan midline displaced yang minimal namun
berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini sangat menguntungkan pasien karena
jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan fonasi jangka panjang. CT kurang
berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan seperti pada kartilago yang
terekspose atau displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.
g.
Penatalaksanaan
Bila ada trauma laring, luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi
61
Gambar 2.2.4.2 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube. (B) Montgomery T-tube.
dengan acetylcysteine 10% atau albuterol dapat diberikan 3 kali sehari untuk
membantu menekan produksi sekret serta membantu mengencerkan sekret yang
sudah terbentuk sehingga lebih mudah dikeluarkan. Beberapa keuntungan yang
diperoleh dengan pemasangan T-tube dibandingkan dengan trakeostomi dapat
dilihat pada table berikut:
2.
LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan
yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.
Usia
1.0
Neonatus
<3
1.3
Bayi
3 10
2.0
Anak kecil
10-20
2.3
Anak
20 30
3.0
Dewasa kecil
30 40
4.0
Dewasa normal
40 60
5.0
Dewasa besar
> 60
65
Terapi Bedah
Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur
meminimalisir fibrosis dan mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup,
maka dapat dipergunakan kulit atau membran mukosa sebagai graft.
3).
Terapi Medikamentosa
Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif
dan harus diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Pemberian
kortikosteroid mempunyai tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan
timbulnya edema laring pada fase akut. Jika edema jalan nafas cukup berat, dapat
diberikan dosis 1-20mg/kg BB bolus intravena. Pemberian kortikosteroid juga
bertujuan untuk mengurangi atau mencegah penambahan edema yang terjadi akibat
manipulasi saat operasi.
67
Gejala klinis yang paling penting adalah suara parau, yang makin
bertambah setelah berbicara lama. Penegakan diagnosisnya pada umumnya tdak
sulit karena letak nodul adalah khas. Kadang-kadang kist pita suara yang kecil,
yang kebanyakakn konginetal, bereaksi pada pita suara yang sebelah, sehingga
bentuknya menyerupai nodul pita suara.
Terapi yang utama adalah istirahat bicara bahkan larangan bicara sama
sekali selam beberapa minggu. Larangan bicara dalam waktu yang lama harus
dihindari dengan cara mempelajari kebiasaan berbicara yang lain atau dengan
menggati pekerjaan atau aktivitas waktu senggang. denga terapi wicara (logopedis),
teknik wicara dapat diperbaiki sehingga kebanyakan nodul akan hilang dengan
spontan. Jarang sekali dibutuhkan mengangkat keluar nodul pita suara dengan
bedah mikro laring.
2. Polip pita suara
Polip pita suara ialah tonjolan selaput lendir pita suara asli, yang
kebanyakan hanya sebelah saja dan lokal. tidak jelas faktor penyebabnya. Rokok,
penyalahgunaan suara, dan batuk kronis dapat memainkan perannya. Satu-satunya
gejala adalah suara parau. Aspek polipnya berpariasi, mulai dari pucat mengkilat
samapai merah tua, bahkan dapat hemoragis.
68
pasien
mengeluh
suara
parau.
Diagnosis
ditegakkan
dengan
mikrolaringoskopi dan, pada waktu itu juga, dilakuakan bedah mikrolaring dengan
mengeksisi kista. bentuk konginetal sulkus glotidis adalah saluran disumbu panjang
pita suara. Pada keadaan bentuk itu, suara yang dihasilkan suboptimal.
Pada saat melakukan laringoskopi, umunya tidak disangka-sangka
ditemukan kista retensi divalekula atau sekitarnya, didasar lidah, dan diepiglotis.
Kista ini tidak menimbulkan keluhan, kecuali bila terlalu besar. Jarang sekali
dilakukan tindakan.
4. Granuloma pita suara
Granuloma pita suara merupakan kelainana lokal pita suara yang kadangkadang tampak diprosesus vokalis salah satu atau kedua aritenoid. Kelaianan
tersebut merupakan reaksi lokal perikondrum terhadap trauma yang berlangsung
lama. lesi ini ditemukan setelah intubasi yang berlangsung lama akibat iritasi dari
pipa endotrakeal (setelah anestesia atau bantuan pernapasan, granuloma-intibasi),
tetapi juga dapat dijumpai pada penyalah gunaan suara, berusaha terlampau keras
69
(granuloma kontak), pada batuk kronis, dan kemungkinan pada mukositis akibat
refluks-gastro-oesofagal.
dengan
bentuk
lain.
penatalaksanaan
dengan
pemberian
kortikostreroid dan antibiotik tidak memeberi hasil yang baik. Pada pemakaian
suara yang salah, terapi wicara dapat diberikan sebagai terapi tambahan.
5. Laringokel
Laringokel ialah herniasi sinus morgagni, kemungkinan akibat tekanan
udara ekspirasi yang tinggi (pada peniup alat musik), pada pasien yang secara
herediter mempunyai sinus dalam. laringokel terisi udara, kadang-kadang terisi
nanah apabila ternyata terjadi infeksi sekunder. Laringokel yang terdapat didalam
merupakan pembengkakan suproglotik yang licin, sdangakn laringokel yang
terletak diluar merupakan pembengkakan kistik di depan m. sternokleidoastaoid.
Bentuk yang dilluar ini sering menjadi besar apabila pasien meniup alat musik tiup.
keluhannya adalah batuk iritatif serta suara parau. terapinya adalah reseksi dengan
pembedahan.
70
71
glotis sangat sempit dan pasien stridor, terutama pada waktu bekerja atau
infeksi.
Penatalaksanaan paralisis pita suara adalah sebagai berikut :
1. Pada kira-kira 80% dari pasien dengan kelumpuhan idiopatik atau dengan
neuropraksi, spontan akan terjadi perbaikan dalam waktu 6-10 bulan. Pada
masa itu, pasien harus selalu menggunakan suaranya atau berlatih tanpa
memaksakan diri. Terapi logopedi dapat berhasil.
2. Kelumpuhan yang menetap pada penutupan glotis tak sempurna dan
menetap dapat ditolong dengan memberikan massa pada pita suara yang
atrofik. Caranya ialah, dengan teknik endoskopi, pita suara disemprot
teflon, kolagen, atau lemak. Alternatif lain ialah memindahkan pita suara ke
medial dengan cara tiroplastik menurut tipe I Isshiki.
3. Pada paralisis bilateral nervus rekurens, rima-glotis seringkali perlu
diperlebar dengan pembedahan atau diperlukan pemasangan trakeostoma.
74
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Faring dan laring adalah organ yang secara embriologis berasal dari forgut yang
berdiferensiasi menjadi faring dan laring. Faring dan laring memiliki peran penting
dalam proses respirasi, menelan, fonasi dan lainnya. Teerdapat pula tonsil dalam faring
yang berperan dalam pertahanan tubuh terutama pada anak kecil. Terdapat berbagai
kelainan pada faring dan laring antara lain yaitu kelainan kongenital, trauma,
neoplasma, dan peradangan. Kelainan kongenital yang lazim terjadi adalah atresia
kloana, neoplasma yang lazim terjadi pada faring adalah Ca nasofaring dan pada laring
adalah Ca laring yang dapat menggangu proses fonasi. Peradangan yang sering terjadi
adalah tonsilits atau yang orang awam menyebutnya amandel, sedangkan pada laring
perdangan yang lazim terjadi adalah croup, yang sangat berbahaya dan umumnya
menyerang anak-anak.
75
DAFTAR PUSTAKA
1. Ed Aru W. Sudoyo, et al. 2009. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid
II. Jakarta: Interna Publishing hlm :1671-1675
2. Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku: Patofisiologi Edisi Ketiga. Jakarta. EGC
hlm: 511-512
3. Claudia
Dima.
2012.
Mitral
Stenosis.
Diakses
di
http://emedicine.medscape.com/article/155724-overview Pada 19 Oktober
2014
4. Moore, Keith L.dan Anne M.R. Agur. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:
Hipokrates hlm : 54-67
5. Guyton and Hall. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran-edisi 11. Jakarta : EGC
Hlm : 107
6. Omran, AS. (2011) Echocardiography in mitral stenosis. Journal of the Saudi
Heart Association. 23 (1), 51-58
7. Soepardi, E., A., dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Teling Hidung Tengorok Kepala
Leher Edisi 6. FK UI 2007
76