Anda di halaman 1dari 11

CHLAMYDIA TRACHOMATIS

PADA KEHAMILAN I
IMS Murah Manoe, Rahmat Landahur
Chlamydia trachomatis merupakan penyebab infeksi genital non spesifik yang
tersering (30 50 %).1 Infeksi ini sering ditemukan pada wanita dewasa yang seksual
aktif.2
Pada kehamilan mempunyai arti penting bukan saja pada bayi yang dapat
menyebabkan konjungtivitis dan pneumonia, tetapi dapat juga menyebabkan abortus,
gangguan pertumbuhan janin, ketuban pecah prematur, kelahiran preterm, kematian
janin dalam rahim, endometritis post partum dan endometritis post abortus.2,3,4,5
Infeksi Chlamydia trachomatis dapat mengakibatkan urethritis, Bartolinitis, servisitis,
endometritis, salfingitis, kehamilan ektopik dan infertilitas.3,6,7,8,9 Sebagian besar
infeksi ini bersifat asimptomatik.6,9
Chlamydia trachomatis adalah bakteri gram negatif obligat intraseluler yang
bersifat sebagai bakteri pada pembelahan sel, metabolisme, maupun kepekaan
terhadap antibiotik dan bersifat seperti virus yang memerlukan sel hidup untuk
berkembang biaknya.8,10 Siklus perkembangan yang unik meliputi produksi initial
prekursor, badan retikulat, pelepasan badan elementer yang infektif.4,7,11,12
Permasalahan pada penatalaksanaan Chlamydia trachomatis meliputi :
Kasus yang mempunyai gejala ringan / tidak bergejala
Sarana laboratorium yang terbatas dan mahal
Adanya koinfeksi yang menyertai Chlamydia trachomatis
EPIDEMIOLOGI

Insiden Chlamydia trachomatis pada kehamilan sangat bervariasi, dari 2%


30%. Pada wanita dengan sosio ekonomi yang rendah ditemukan sebanyak > 20 %.1
Sering ditemukan pada wanita dewasa aktif seksual dan berhubungan erat dengan usia
muda pertama kali kontak seksual serta lamanya waktu aktifitas seksual. 1,2 Dilaporkan
Chlamydia trachomatis lebih tinggi pada trimester III dibanding trimester I dan II.13
Infeksi Chlamydia trachomaatis yang ditemukan pada kehamilan 24 minggu
mengakibatkan kejadian persalinan preterm 2 kali lebih sering pada umur kehamilan
kurang dari 37 minggu dan 3 kali lebih sering pada kehamilan kurang dari 35 minggu.
12

14

KOMPLIKASI PADA KEHAMILAN

Selama kehamilan transformasi limfosit LT memberikan respon yang


menurun pada Chlamydia trachomatis dan antigen mikrobiologi lainnya. Menurunnya
imunitas seluler mempunyai kepekaan terhadap infeksi Chlamydia trachomatis.13
Perubahan endokrinologi yang berasosiasi dengan kehamilan dapat
meningkatkan virulensi dari infeksi Chlamydia trachomatis yang simptomatik dan
asimptomatik.4
Kira-kira 30 % 40 % infeksi endoservikal menyebar ke endometrium.
Infeksi dan destruksi dari endometrial, servikal, dan tuba fallopi dapat mengganggu
fertilitas.4 Hampir 2/3 kasus infertilitas tuba disebabkan oleh Chlamydia

trachomatis.12 Chlamydia trachomatis juga meningkatkan resiko kehamilan ektopik. 13


Pada studi yang dilakukan 10 dari 17 (59 %) dengan gejala ektopik memiliki antibodi
terhadap Chlamydia trachomatis. Kassein menduga bahwa kurang lebih dari 1/3 kasus
kehamilan ektopik disebabkan oleh Chlamydia trachomatis.13
Komplikasi lainnya pada kehamilan seperti abortus, persalinan preterm,
ketuban pecah prematur, gangguan pertumbuhan janin dan kematian janin dalam
rahim.4 Pada abosrtus spontan yang rekuren didapatkan titer antibodi IgG yang tinggi
dari Chlamydia trachomatis, mekanisme ini dihubungkan dengan reaktivasi laten
Chlamydia trachomatis oleh kerusakan endometrium setelah infeksi, respon imun
epitope Chlamydia trachomatis dan antigen fetal.15
W.W. Andrews dkk 14 melaporkan ada hubungan antara infeksi genito urinaria oleh
Chlamydia trachomatis pada trimester kedua kehamilan dengan kejadian persalinan
preterm. Dilaporkan pula ada hubungan antara infeksi chlamydia trachomatis dengan
memendeknya ukuran servik dan ditemukannya vaginosis bacterial.
Pada studi prospektif didapatkan peningkatan IgM serum antibodi Chlamydia
trachomatis pada kasus ketuban pecah prematur, kelahiran preterm dan berat badan
lahir rendah.6 19 % wanita seropositif IgM melahirkan preterm dibanding 8 % IgM
sero negatif.13
Bayi dengan opthalmia neonatorum oleh Chlamydia trachomatis, 15 42 % memiliki
berat badan lahir kurang dari 2500 gr.2,13
Komplikasi pada kehamilan ini dapat diakibatkan oleh infeksi persisten
Chlamydia trachomatis pada bagian atas saluran reproduksi. Pengaruh lain dari
infeksi Chlamydia trachomatis bisa mengganggu kehamilan berikutnya, mungkin
terjadi karena epitope inang Chlamydia trachomatis pada permukaan sel yang
terinfeksi yang dapat menyebabkan berubahnya respon imunologi.4
Antibodi IgG maternal mengalami transfer transplasental aktif yang dimulai
hari ke 38. Level transfor tetap konstan sampai minggu ke 17. Peningkatan
proporsional terjadi seiring perkembangan umur gestasi. Bayi lahir dari ibu seripositif
infeksi Chlamydia trachomatis mendapatkan antibodi dari organisme ini, namun
antibodi tersebut tidak sempurna melindungi oleh karena 2/3 dari bayi-bayi terekspos
menjadi terinfeksi.13
Kehadiran antibodi terhadap Chlamydia trachomatis pada air susu ibu atau
colostrum dan peranan antibodi colostral dalam mencegah infeksi Chlamydia
trachomatis pada neonatus belum dievaluasi.
Bayi-bayi yang baru lahir dapat tertular infeksi Chlamydia trachomatis melalui
kontak dengan sekret genital maternal yang terinfeksi pada saat lahir. 18 50 % dapat
menjadi konjungtifitis dalam dua minggu pertama kehidupannya, selain itu 11 18 %
dapat menyebabkan penumonia pada empat bulan pertama kehidupannya.6,16
Thygeson 1942 mencatat bahwa 10 dari 38 ibu (26 %) yang bayinya
mengalami inklusi konjungtivitis mengalami infeksi purpueral. 13 Studi wanita hamil
di Seatle dan Nairobi menunjukkan bahwa infeksi Chlamydia trachomatis antepartum
jika tidak diobati akan berkorelasi dengan infeksi purpueral.13
GAMBARAN KLINIS

Infeksi Chlamydia trachomatis didapat dari hubungan seksual atau kontak


dengan membran mukosa. Infeksi ini menyerang epitel kolumner seperti pada serviks,
urethra dan organ lainnya.12
Pada wanita infeksi ini memberikan gejala yang tidak khas, asimptomatik atau
sangat ringan. Bila ada keluhan berupa duh tubuh genital yang kekuningan atau nyeri

pada saat buang air kecil. Sering ditemukan pada wanita yang mempunyai pasangan
yang menderita penyakit menular seksual.1
Pada pemeriksaan klinis genital dapat ditemukan kelainan serviks, eksodat serviks
yang mukopurulen, erosi serviks atau folikel-folikel kecil.1
LABORATORIUM

Dasar untuk menegakkan diagnosis dapat berupa pemeriksaan laboratorium


apusan sekret urethra / serviks. Pada pemeriksaan sekret urethra dengan pewarnaan
gram ditemukan leukosit > 5 pada pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran 1000
kali. Pada pemeriksaan mikroskopis sekret serviks didapatkan > 30 leukosit
perlapangan pandang dengan pembesaran 1000 kali. Tidak dijumpai diplokokus gram
negatif serta pada pemeriksaan sediaan basah tidak didapatkan parasit trichomonas
vaginalis.1
Diagnosis infeksi Chlamydia trachomatis dapat dibantu dengan pemeriksaan antara
lain : 1,5,6,7,9,11, 17, 18, 19
a. Pembiakan
Chlamydia trachomatis adalah parasit obligat intraseluler, sehingga untuk
pertumbuhannya membutuhkan sel hidup. Sel hidup ini dibiakkan dalam gelas
kaca yang disebut biakan mono layer seperti Mc Coy dan BHK.
b. Pemeriksaan mikroskop langsung
Dengan pengecatan giemsa yang dilihat adalah badan elementer dan badan
retikulat. Pemeriksaan ini memberikan hasil yang rendah dibanding kultur dan
tidak dianjurkan pada infeksi asimptomatik dan infeksi subakut.
c. Metode penentuan antigen
Pemeriksaan antigen bersifat tidak langsung yaitu dengan pemeriksaan hasil
pembiakan.
Pemeriksaan langsung dikenal 2 cara yaitu :
a. Pewarnaan imunofluoresen langsung dengan antibodi monoklonal.
b. Penentuan antigen Chlamydia trachomatis dengan pemeriksaan ELIZA.
d. Polymerase chain reaction
Merupakan uji sensitif dan cepat.
e. Ligase chain reaction
DIAGNOSIS

Anamnesis :
Mengenai keluhan dan faktor resiko merupakan hal penting karena tidak
semua pasien menunjukkan gejala klinis / asimptomatik. Beberapa faktor resiko :20
Belum menikah dan aktif seksual
Mempunyai banyak pasangan seksual
Menggunakan pil oral kontrasepsi
Menggunakan IUD
Riwayat penyakit menular seksual
Mempunyai pasangan yang menderita penyakit menular seksual
Spotting inter menstruasi
Keluhan nyeri perut bagian bawah.
Dianggap beresiko bila mempunyai satu atau lebih pernyataan berikut :21
1. Suami atau pasangan seksual menderita penyakit menular seksual.

2. Suami / pasangan seksual / pasien sendiri mempunyai pasangan seksual lebih dari
satu dalam satu bulan terakhir.
3. Mempunyai pasangan baru dalam tiga bulan terakhir.
4. Mengalami satu atau lebih episode PMS dalam satu tahun terakhir.
5. Penkerjaan suami / pasangan seksual beresiko tinggi
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan dalam posisi litotomi, pemeriksaan meliputi inspeksi
dan palpasi.
Pemeriksaan laboratorium khusus
Pembiakan, pemeriksaan mikroskop langsung, metode penentuan antigen,
polimerase chain reaction dan ligasi chain reaction.
PENGOBATAN

Pada wanita hamil dengan infeksi Chlamydia trachomatis diberikan


eritromisin 4 x 500 mg secara oral selama 7 hari atau lebih, atau eritromisin 4 x 250
mg secara oral selama 14 hari. Bila terdapat intoleransi terhadap eritromisin dapat
diberikan amoksisilin 3 x 500 mg secara oral selama 7 hari.
Perlu dipertimbangkan adanya infeksi campuran dengan gonore.1,3,4,5
Tetrasiklin, dosisiklin dan asitromisin tidak dianjurkan pada ibu hamil.1
Pencegahan
terhadap opthalmia neonatorun perlu dilakukan dengan
memberikan salep mata eritromisin 0,5 % atau tetrasiklin 1 % segera setelah bayi
lahir.3,6
TINDAK LANJUT

Dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan terhadap


mitra seksual.

INFEKSI CHLAMYDIA
TRACHOMATIS PADA KEHAMILAN
II
Freddy Wagey
Infeksi Chlamydia trachomatis pada wanita sering tidak memberikan tanda dan
gejala klinis yang khas sehingga dapat menyebabkan komplikasi endometritis,
salpingitis dan berlanjut menjadi penyakit radang panggul, kehamilan ektopik dan
dapat juga menyebabkan infertilitas. Pada wanita hamil, infeksi klamidia dapat
menyebabkan abortus, ketuban pecah dini dan prematuritas. Di Amerika Serikat pada
tahun 1991, infeksi klamidia pada genitalia merupakan penyakit menular seksual
(PMS) terbesar dan melebihi gonore. Diperkirakan terdapat 4 juta kasus infeksi
klamidia baru setiap tahun dan memerlukan biaya penanggulangan sekitar 2.2 juta
dolar, sedangkan di Indonesia prevalensinya masih beragam. Wisnuwardhani (1987)

mengadakan penelitian pada populasi penderita servisitis kronis yang berobat di


bagian Obsgin FKUI/RSCM dan mendapatkan prevalensi Chlamydia trachomatis
pada serviks dengan cara ELISA swab (Chlamydiazyme) adalah sebesar 12,26% dan
prevalensi antibodi terhadap Chlamydia trachomatis (Chlamydiaelisa) sebesar
45,57%.
Secara epidemiologis, seluruh populasi yang berada pada usia seksual aktif
memiliki resiko terkena infeksi Chlamydia trachomatis. Resiko ini akan meningkat
pada seseorang dengan status tidak menikah, mitra seks yang berganti-ganti, usia
dewasa muda, sosial ekonomi rendah, perokok, kelainan serviks (ektopia), penderita
gonore, kehamilan dan akseptor kontrasepsi hormonal (pil kombinasi).
Serviks merupakan sasaran utama infeksi Chlamydia trachomatis pada wanita,
sehingga infeksi Chlamydia trachomatis pada wanita sebagian besar dijumpai dalam
bentuk servisitis. Deteksi Chlamydia trachomatis yang terbaik adalah dengan biakan
sel McCoy, tetapi sulit dilaksanakan dan memerlukan biaya yang tinggi serta hanya
dapat dilakukan pada laboratorium dengan sarana lengkap.
SIKLUS HIDUP
Klamidia memiliki siklus hidup yang unik karena dapat membentuk badan
elementer (EB) dan badan retikular (RB) dalam usahanya untuk beradaptasi
dengan lingkungan hidupnya. Parasit ini bersifat intraseluler obligat sehingga
hanya dapat hidup di dalam sel inang yang aktif membelah dan tidak dapat
dikultur pada pada media buatan.
Siklus hidup Klamidia meliputi 5 tahap yaitu : (1) penempelan badan
elementer ke sel inang, (2) penetrasi ke dalam sel, (3) perubahan bentuk
menjadi badan retikulat disertai pertumbuhan dan replikasi intraseluler, (4)
perubahan menjadi badan elemnter dan (5) pelepasan partikel infeksius.
1. Penempelan badan elementer (EB) ke sel inang
Badan elementer merupakan partikel infeksius yang berukuran 350 nm, relatif
resisten terhadap lingkungan ekstraseluler dan tidak aktif melakukan metabolisme.
Badan elementer memiliki 1 inti, sejumlah ribosom dan diliputi oleh beberapa lapis
dinding sel. Proses penempelan EB ke sel inang dapat terjadi karena adanya suatu
molekul reseptor spesifik yang menentukan apakah suatu sel dapat terinfeksi
klamidia atau tidak. Pada beberapa strain, penempelan ini tergantung dari muatan
listrik molekul. Pengobatan dengan molekul bermuatan negatif seperti heparin
dapat menghambat infektifitas parasit dan menyingkirkan EB dari permukaan sel
inang.
2. Penetrasi ke dalam sel
Penetrasi diawali dengan proses fagositosis non spesifik yang dipacu oleh klamidia
itu sendiri sehingga dapat dikatakan klamidia akan memaksa sel inangnya untuk
menelan parasit tersebut. Di dalam sel inang, klamidia akan tinggal di dalam
vesikel fagositik dan menghambat proses fusi fagolisosomal. Proses inhibisi ini
diduga dilakukan oleh antigen permukaan klamidia karena EB yang diobati dengan
antibodi tidak berhasil melakukan inhibisi tersebut. Selain antibodi spesifik, proses
penetrasi dan inhibisi fusi fagolisosomal juga dihambat oleh pemanasan ringan
(56oC selama 30 menit) dan tripsinisasi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa
mungkin faktor induksi fagositosis dan inhibisi fusi fagolisosomal inilah yang
mempengaruhi virulensi klamidia.
Hackstad dan Caldwell menyatakan bahwa walaupun major outer membrane
proteins (MOMP) terpisah dan dilepaskan dari permukaan sel, proteolisis

permukaan yang terjadi pada EB tidak melemahkan infektifitasnya. Walaupun


antibodi poliklonal terhadap MOMP akan menetralisisr infektifitasnya tetapi
antibodi tersebut tidak menghambat proses penempelan atau penetrasi. Demikian
juga antibodi monoklonal yang spesifik terhadap antigen MOMP Chlamydia
trachomatis, hanya menetralisir infektifitas 2 serovar (L1 dan L2) dan tidak
menghalangi proses penempelan EB ke sel inang.
3. Pembentukan dan metabolisme badan retikulat
Setelah 6-8 jam di dalam sel, badan elementer akan berubah menjadi badan
retikulat (RB) yang merupakan partikel bermetabolisme aktif dan dapat membelah
tetapi tidak infeksius dengan diameter 800-100 nm dan struktur yang kurang padat
sehingga memungkinkan pengambilan ATP dan nutrisi lain dari sel inang.
Setelah RB terbentuk, klamidia mulai menggunakan nutrisi sel inang untuk
mensintesis DNA, RNA dan protein lain sehingga pada tahap ini aktifitas
metabolismenya mencapai titik tertinggi dan menyebabkan klamidia menjadi
sangat sensitif terhadap zat inhibitor sintesis dinding sel dan zat yang
mempengaruhi aktifitas metabolik sel bakteri. Pada proses tersebut terjadi
akumulasi glikogen yang dapat dideteksi melalui pewarnaan iodin dalam 30-48
jam setelah infeksi.
Pada 18-24 jam berikutnya, badan retikulat akan membelah secara biner dan
membentuk badan intermedier dan badan elementer dan ketiganya terkumpul di
dalam vakuola sel inang dan disebut sebagai badan inklusi. Dalam satu sel inang
dapat terbentuk beberapa badan inklusi jika terjadi fagositosis terhadap lebih dari 1
badan elementer.
4. Perubahan menjadi badan elementer
Setelah 18-24 jam, jumlah EB makin meningkat sehingga EB dan RB dapat
dijumpai dalam inklusi klamidia. Seluruh proses tersebut terjadi di dalam fagosom
sehingga ukuran fagosom akan semakin membesar.
5. Pelepasan partikel infeksius
Dalam 48-72 jam, fagosom akan pecah dan partikel EB yang infeksius akan keluar
dan menyebabkan infeksi pada sel inang baru. Partikel EB bersifat toksik dan bila
sekitar 100 EB ditelan sel inang maka sel inang tersebut akan mati. Walaupun
demikian klamidia tidak memproduksi toksin ekstraseluler.

MORFOLOGI DAN KOMPOSISI


Klamidia merupakan bakteri berbentuk sferis, tidak dapat bergerak, bersifat
gram negatif dan berukuran 200-1500 nm. Klamidia merupakan parasit intraseluler
obligat sehingga memerlukan sel inang untuk pertumbuhannya. Klamidia dibedakan
dari virus karena memiliki beberapa sifat yang tidak dimiliki virus yaitu mempunyai 2
jenis asam nukleat yaitu DNA dan RNA sedangkan virus hanya mempunyai salah satu
jenis asam nukleat, memiliki dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan, mempunyai
enzim yang aktif pada metabolisme, membelah secara biner dan pertumbuhannya
dapat dihambat oleh obat anti bakteri. Klamidia memiliki dinding sel serupa dengan
bakteri gram negatif dan mengandung subunit berdiameter 20 nm yang tersusun
geometris.
Saat ini diketahui ada 2 spesies yang bersifat patogen terhadap manusia yaitu
Chlamydia trachomatis dan Chlamydia psittacci. Chlamydia trachomatis mempunyai
inang alamiah manusia sedangkan Chlamydia psittacci mempunyai inang alamiah
unggas dan mamalia dan manusia dapat terinfeksi melalui proses zoonosis.

Chlamydia trachomatis dapat menyebabkan penyakit limfogranuloma venereum


(LGV), uretritis, servisitis, salpingitis pada wanita dan konjungtivitis serta pneumonia
pada neonatus.
Membran luar klamidia mengandung protein membran luar (major outer
membrane proteins/MOMP) yang merupakan sekitar 30% berat organisme atau
sekitar 60% berat membran luar dengan ukuran bervariasi antara 38-43 kD tergantung
serovarnya. MOMP tersebut berfungsi untuk mempertahankan integritas struktur
dinding sel sedangkan rigiditas struktur dinding sel dipertahankan oleh protein-protein
lain yang kaya akan sistein dan diikat oleh disulfida dengan berat sekitar 15-60 kD.
MOMP merupakan protein transmembran dengan komponen antigen permukaan
sehingga dapat bereaksi membentuk kompleks serovar sedangkan antigen permukaan
lainnya memiliki berat molekul sekitar 25.000-30.000 dan hanya bereaksi terhadap
serovar yang spesifik.
Di dalam dinding sel terdapat peptidoglikan yang mengandung asam muramat.
Pembentukan dinding sel dapat dihambat oleh penisilin dan sikloserin karena
klamidia peka terhadap beberapa jenis antibiotika. Secara kimiawi klamidia tersusun
atas 35% protein dan 40-50% lemak yang sebagian besar merupakan fosfolipid.
Pada bentuk RB kadar RNA klamidia lebih tinggi daripada DNA karena
tingginya proses metabolisme. Pada EB DNA terkumpul di dalam inti sedangkan pada
RB DNA tersebar di dalam sitoplasma. Klamidia tidak dapat menggunakan timidin
dan tidak memiliki timidin kinase yang dibutuhkan untuk sintesis DNA melalui jalur
uridin dan timidin sintetase sehingga klamidia memerlukan timidin kinase dari sel
inang.
INFEKSI CHLAMYDIA TRACHOMATIS
1. INFEKSI CHLAMYDIA TRACHOMATIS PADA WANITA HAMIL

Epidemiologi
Infeksi Chlamydia trachomatis merupakan infeksi yang sering terjadi pada
wanita hamil. Klamidia ditemukan pada sekitar 5-15% wanita hamil. Walaupun
demikian, dilaporkan juga angka yang lebih tinggi yaitu sekitar 30-40%. Sama
seperti wanita yang tidak hamil, wanita hamil mendapatkan infeksi klamidia 2-3
kali lebih sering daripada gonore.
Gejala Klinis
Salah satu sindrom yang disebabkan Chlamydia trachomatis pada wanita
adalah sindrom uretral akut/uretritis dengan gejala disuria akut dan frekuensi
berkemih yang mengindikasikan adanya infeksi saluran kemih. Pada sebagian
besar wanita gejala timbul bila bakteriuria mencapai kadar > 105/ml urine.
Walaupun demikian, sekitar 20% wanita dengan gejala tersebut memiliki pyuria
steril dengan leukosit > 8/mm3 urine. Karakteristik yang berhubungan dengan
uretritis klamidia adalah gejala-gejala yang telah berlangsung lama, tingginya
frekuensi pasangan seksual baru pada bulan sebelumnya, frekuensi infeksi saluran
kemih yang rendah sebelumnya dan angka hematuria yang rendah.
Keberadaan Chlamydia trachomatis lebih sulit ditentukan pada wanita hamil
daripada wanita tidak hamil karena hampir semua wanita hamil mengeluarkan
sekret vagina lebih banyak daripada wanita tidak hamil. Walaupun demikian,
adanya cairan servikal yang purulen dapat menunjukkan adanya infeksi klamidia
atau gonore.

Pengaruh infeksi Chlamydia trachomatis terhadap kehamilan


Banyak organisme servikovaginal yang dihubungkan dengan abortus, lahir
mati, kelahiran prematur dan ketuban pecah dini. Infeksi klamidia pada wanita
hamil juga dihubungkan dengan prematuritas dan ketuban pecah dini. Selain itu
juga diduga klamidia berhubungan dengan abortus, lahir mati dan berat badan lahir
rendah. Efek tersebut sangat penting karena jumlah wanita hamil dengan infeksi
klamidia cukup banyak. Adapun mekanisme pasti mengenai hubungan antara
infeksi klamidia dengan prematuritas dan ketuban pecah dini belum dapat
diketahui secara menyeluruh. Walaupun demikian, diketahui bahwa klamidia dapat
melekat dan tumbuh pada sel-sel membran amniotik sehingga diduga bahwa
infeksi servikal pada amnion dapat menyebabkan infeksi amnion. Di samping itu,
infeksi klamidia pada desidua juga mungkin terjadi.
Walaupun diduga terdapat hubungan yang erat antara infeksi klamidia dengan
prematuritas dan ketuban pecah dini, beberapa penelitian mengenai hal tersebut
memberikan hasil yang tidak konsisten. Hal ini mungkin disebabkan karena hampir
semua penelitian hanya menitikberatkan pada beberapa jenis organisme saja dan
hanya menggunakan sedikit sampel wanita.
Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa seorang wanita memiliki resiko
tertinggi akan hasil persalinan yang buruk bila wanita tersebut baru saja/belum
lama terkena infeksi klamidia. Harrison dkk menemukan bahwa prematuritas dan
ketuban pecah dini hanya terjadi pada wanita hamil yang menderita infeksi
klamidia dan memiliki antibodi IgM klamidial sedangkan wanita hamil yang
menderita infeksi klamidia dan hanya memiliki antibodi IgG klamidial serta wanita
yang tidak menderita infeksi klamidia memiliki riwayat kehamilan dan persalinan
yang normal. Hal ini disebabkan karena antibodi IgG berfungsi sebagai pelindung
terhadap invasi klamidia.
Penelitian lain menyebutkan bahwa wanita dengan infeksi Chlamydia
trachomatis pada saat usia kehamilan 24 minggu memiliki kemungkinan
melahirkan spontan sebelum usia kehamilan 37 minggu sekitar 2 kali lebih besar
dan sebelum usia kehamilan 35 minggu sekitar 3 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan wanita normal.
Selain menyebabkan prematuritas dan ketuban pecah dini, Chlamydia
trachomatis juga dapat menyebabkan endometritis postpartum. Endometritis
berkembang lambat setelah persalinan, sekitar 2-6 minggu setelah persalinan, hal
ini disebabkan karena periode laten infeksi klamidia yang lama. Wager dkk
mengadakan penelitian pada 2 kelompok wanita yang menderita endometritis
postpartum, kelompok pertama menderita early postpartum endometritis
sedangkan kelompok kedua menderita endometritis setelah 3 hari 6 minggu
postpartum/late postpartum endometritis, dan menemukan bahwa 22% late
postpartum endometritis terjadi pada wanita dengan infeksi klamidia dan hanya
5% yang terjadi pada wanita tanpa klamidia. Pada beberapa penelitian lain juga
ditemukan bahwa Chlamydia trachomatis ditemukan pada serviks atau
endometrium dari 60% dan endometrium dari 23% wanita dengan late postpartum
endometritis.
Kehamilan ektopik juga sering terjadi pada infeksi klamidia dan hal ini
disebabkan gangguan patensi saluran tuba akibat salpingitis yang terjadi pada
infeksi klamidia. Salpingitis dapat terjadi pada wanita yang tidak hamil atau pada
wanita postpartum yang telah terinfeksi klamidia dan dapat berlanjut menjadi PID
(pelvic inflammatory disease). Selain salpingitis, klamidia juga dapat
menyebabkan infertilitas bila saluran tuba tertutup total. Wanita dengan PID

memiliki resiko kehamilan ektopik 7-10 kali lebih tinggi daripada wanita yang
tidak pernah terkena PID. Di Amerika serikat, klamidia menyebabkan sekitar
250.000-500.000 kasus PID setiap tahun.
2. INFEKSI CHLAMYDIA TRACHOMATIS PADA NEONATAL

Neonatus mendapat infeksi klamidia pada saat melalui jalan lahir ibu yang
terinfeksi dengan prevalensi sekitar 60-70%. Pada neonatus infeksi akan menyerang
konjungtiva, nasofaring, saluran nafas dan saluran kemih. Setidaknya terdapat 2
infeksi neonatus yang telah dikenal luas yaitu konjungtivitis dan pneumonia. Selain
itu, telah dilaporkan juga terjadinya otitis akut pada neonatus yang dilahirkan dari ibu
dengan infeksi klamidia.
Konjungtivitis
Konjungtivitis terjadi pada sekitar 40% bayi yang lahir dari ibu dengan
infeksi klamidia. Konjungtivitis umumnya timbul sekitar 5-14 hari setelah bayi
lahir, hal ini membedakannya dengan konjungtivitis yang disebabkan oleh gonore
yang umumnya terjadi dalam 3 hari pertama kehidupan.
Konjungtivitis klamidial diawali dengan hiperemia konjungtiva dan diikuti
oleh reaksi inflamasi yang ditunjukkan dengan timbulnya cairan mukopurulen dan
kadang-kadang adanya pseudomembran. Konjungtiva kemudian akan
membengkak dan cairan mukopurulen tersebut akan mempersulit bayi dalam
membuka matanya.
Pneumonia
Pneumonitis yang disebabkan oleh klamidia terjadi antara 4-8 minggu setelah
bayi lahir dan sekitar 30% pneumonitis pada bayi di bawah 6 bulan disebabkan
oleh klamidia.
Bayi yang menderita pneumonitis klamidial ditandai dengan batuk berulang
yang menetap selama beberapa minggu dan kongesti nasofaring dan takipnea
umum terjadi. Bayi biasanya afebris dan tidak menunjukkan gejala dan tanda
sistemik tetapi seringkali gagal mengalami penambahan berat badan. Pada foto
thoraks dapat terlihat infiltrat intersisial dan hiperinflasi paru-paru. Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan eosinofilia, peningkatan IgM dan
imunoglobulin lainnya. Bayi yang tidak diobati akan menderita batuk dan
pneumonia selama beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Sampai saat ini belum jelas diketahui apakah pneumonia terjadi akibat materi
yang teraspirasi ke dalam paru-paru saat lahir atau akibat materi yang berasal dari
konjungtiva atau nasofaring yang terinfeksi.
DIAGNOSIS
Diagnosis infeksi klamidia dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
laboratorium yang meliputi pewarnaan, kultur dan hapusan sekret genital serta
teknik biologi molekuler seperti penggunaan PCR.
Gejala Klinik
Infeksi klamidia dicurigai bila terdapat pyuria steril pada wanita dengan
keluhan disuria akut, servisitis mukopurulen pada wanita dengan keluhan
cairan vagina yang tidak normal dan rasa sakit pada abdomen bagian bawah
pada wanita setelah melahirkan. Selain itu infeksi klamidia juga harus
diwaspadai pada wanita dengan gonore, karena sekitar 50% penderita gonore
juga menderita klamidia. Pada neonatus, terjadinya konjungtivitis pada 5 hari

atau lebih setelah lahir yang diikuti oleh timbulnya pneumonia dalam 3 bulan
pertama kehidupannya, merupakan tanda klinis kemungkinan terjadinya
infeksi klamidia.
LABORATORIUM (PEWARNAAN, KULTUR DAN HAPUSAN SEKRET GENITAL)

Pada penderita konjungtivitis, klamidia umumnya ditemukan pada pewarnaan


Giemsa. Walaupun demikian, kultur dan pewarnaan antibodi fluoresensi
langsung diperlukan untuk identifikasi lebih lanjut.
Klamidia dapat diinokulasi pada kultur selapis sel tunggal biakan McCoy atau
HeLa yang telah diberi iododeoksiuridine atau sikloheksimide untuk menghambat
metabolisme dan replikasi sel inang. Inklusi klamidial dapat diidentifikasi 2-4 hari
setelah inkubasi kultur. Inklusi dapat diidentifikasi dengan pewarnaan iodine tetapi
saat ini antibodi klamidial monoklonal berfluoresensi telah banyak digunakan untuk
identifikasi.
Hapusan sekret genital langsung juga dapat digunakan untuk memastikan
diagnosis secara cepat tanpa menggunakan kultur. Metode hapusan ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas hampir sama dengan metode kultur yaitu sebesar > 90%.
Walaupun demikian, sensitivitas mungkin berkurang pada penderita tanpa gejala.
TEKNIK BIOLOGI MOLEKULER (PCR)

PCR (polymerase chain reaction) saat ini sudah mulai digunakan untuk
mendeteksi infeksi klamidia pada wanita hamil. Witkin dkk (1996)
melaporkan bahwa PCR dapat mendiagnosis adanya klamidia pada sampel
introital dari wanita hamil dengan sensitifitas sebesar 97% dan spesifisitas
sebesar 100%. Chatterjee dan Humphrey (1996) juga telah menggunakan PCR
untuk mendiagnosis adanya klamidia pada sampel urine dan serviks wanita
hamil.
PENATALAKSANAAN
1. PENATALAKSANAAN TERHADAP IBU

Antibiotika berikut dosisnya yang dianjurkan untuk mengobati infeksi


anterpartum meliputi eritromisin basa 500 mg atau eritromisin etilsuksinat 800 mg,
keduanya diberikan 4 kali sehari selama 7 hari. Walaupun demikian, intoleransi
gastroinstestinal dapat terjadi pada dosis ini dan dosis dapat diturunkan menjadi
250 mg 4 kali sehari selama 14 hari, dosis ini dilaporkan cukup efektif. Antibiotika
ini dapat menghilangkan infeksi klamidia pada ibu dan mencegah infeksi neonatus
sampai lebih dari 90% pada wanita hamil yang diobati pada trimester ke 3 dan
hanya menyebabkan efek samping kurang dari 5%.
Wanita postpartum dengan infeksi servikal tanpa gejala atau dengan late
postpartum endometritis ringan harus diobati dengan eritromisin atau tetrasiklin
dengan dosis 500 mg 4 kali sehari selama 10 hari. Obat alternatif adalah
doksisiklin 200 mg 2 kali sehari selama 10 hari. Trimetoprim 160 mg dan
sulfametoksasol 80 mg 2 kali sehari selama 5 hari juga dapat digunakan untuk
wanita tanpa gejala atau dengan gejala ringan.
Pengobatan selain bagi penderita juga diberikan kepada pasangan seksualnya
karena penualran melalui hubungan seksual dengan angka yang cukup tinggi yaitu
sekitar 60-70%.

2. PENATALAKSANAAN TERHADAP NEONATUS

Terapi terhadap konjungtivitis pada neonatus meliputi terapi topikal dan oral.
Terapi topikal meliputi antibiotika sulfonamide, tetrasiklin dan eritromisin, diteteskan
4 kali sehari selama 3 minggu. Akan tetapi konjungtivitis klamidial yang timbul
kembali/rekuren sering dijumpai, sehingga saat ini direkomendasikan pengobatan
secara oral. Terapi oral meliputi pemberian eritromisin selama 2 minggu. Kelebihan
terapi oral adalah menghilangkan kemungkinan terjadinya kolonisasi nasofaring dan
menurunkan kemungkinan pneumonitis.
Pneumonitis pada neonatus berhasil diobati dengan baik oleh sulfisoksasol
150 mg/kg/hari dan eritromisin 40 mg/kg/hari selama 2 minggu. Setelah
pengobatan, neonatus memberikan hasil kultur negatif dan tidak menderita relaps
secara klinik.
3. PENCEGAHAN KONJUNCTIVITIS PADA NEONATUS

Angka kejadian konjungtivitis pada neonatus dapat diturunkan dengan


memberikan salep mata eritromisin dan tetrasiklin. Walaupun demikian, obat tetes
eritromisin tidak mengurangi kolonisasi nasofaring dan terapi mata profilaksis
mungkin tidak mempunyai efek terhadap timbulnya pneumonia chlamidial
selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai