PEMBAHASAN KASUS
11
3. Dosis fulminan (>40 mg/kg ion parakuat/kg berat badan): Kematian karena
kegagalan multi organ dapat terjadi dalam waktu 1-4 hari. Gejala-gejala yang
dapat ditemukan:
a. Efek segera: muntah
b. Beberapa jam sampai beberapa hari: diare, nyeri perut, gagal ginjal dan
hati, ulserasi mulut dan esofagus, pankreatitis, miokarditis, koma, dan
kejang.
Gejala yang dialami pasien berupa rasa panas di tenggorokan dan dada, suara
menjadi serak, nyeri saat menelan, muntah merupakan gejala dini keracunan
akibat efek korosif parakuat terhadap mukosa saluran cerna.
Traktus gastrointestinal adalah tempat pertama atau keracunan fase I ke
permukaan mukosa melalui proses pencernaan dari zat tersebut. Keracunan ini
bermanifestasi sebagai edema dan nyeri akibat ulseratif pada mulut, faring,
oesofagus, lambung, dan usus.2
Ketika masuk dalam tubuh per oral dalam dosis yang adekuat, paraquat
mempunyai efek terhadap traktus gastrointestinal, ginjal, hepar, jantung, dan
organ lainnya. Paru-paru merupakan target organ utama dari paraquat dan efek
toksik yang dihasilkan dapat menyebabkan kematian.
Mekanisme utama yang terjadi ialah paraquat menimbulkan stres oksidatif
melalui siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga membentuk radikal bebas yang
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan. Radikal bebas merupakan suatu
kelompok bahan kimia baik berupa atom atau molekul dengan reaksi jangka
pendek yang memiliki satu atau lebih elektron bebas. Atom atau molekul dengan
elektron bebas ini dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dan beberapa
fungsi fisiologis di dalam tubuh. Namun oleh karena mempunyai tenaga yang
sangat tinggi, zat ini juga dapat merusak jaringan normal apabila jumlahnya
terlalu banyak. Radikal bebas yang terdiri atas unsur oksigen dikenal sebagai
kelompok oksigen reaktif (reactive oxigen species / ROS), seperti anion
superoksida (O2-).2,3
12
Edema paru akut dan kerusakan paru-paru dini dapat terjadi dalam beberapa
jam akibat paparan akut yang berat. Kerusakan lanjut berupa fibrosis paru,
penyebab kematian, yang kebanyakan terjadi 7-14 hari setelah paparan. Pada
pasien yang terpapar dalam konsentrasi yang sangat tinggi, beberapa di antaranya
meninggal lebih cepat (sekitar 48 jam) akibat kegagalan sirkulasi.2,3,4
Baik pneumatosit tipe I maupun tipe II bergerak ke daerah akumulasi paraquat.
Biotrasnformasi dari paraquat di dalam sel-sel tersebut menyebabkan produksi
radikal bebas sehingga terjadi peroksidase lipid dan kerusakan sel. Cairan protein
hemoragik dan leukosit menginfiltrasi alveolus, setelah terjadi proliferasi
fibroblast yang cepat. Terjadi penurunan progresif pada tekanan parsial oksigen
arteri dan kapasitas difusi CO2. Kerusakan berat pada pertukaran gas tersebut
menyebabkan proliferasi yang cepat dari jaringan ikat fibrous di dalam alveolus
dan pada akhirnya kematian akibat asfiksia dan anoksia jaringan.3,4
Kerusakan pada tubulus proksimal ginjal sering bersifat reversibel
dibandingkan kerusakan yang terjadi pada jaringan paru-paru. Namun, rusaknya
fungsi ginjal menjadi penting sebagai penentu pengeluaran racun dari paraquat.
Sel tubulus normal secara aktif mengekskresi paraquat melalui urin, secara efisien
membersihkan racun dari dalam darah.1,5
Tertelannya paraquat dengan dosis yang sedang (20-40 mg/kgBB) dapat
menyebabkan kelainan morbiditas yang terdiri dari 3 tingkat, yaitu:1,2
a.
Stage I : 1-5 hari. Efek korosif lokal seperti hemoptisis, ulserasi membran
mukosa, mual, diare, dan oligouria.
b.
Stage II : dalam 2-8 hari didapatkan tanda-tanda kerusakan hati, ginjal, dan
jantung berupa ikterus, demam, takikardi, miokarditis, gangguan pernapasan,
sianosis, peningkatan BUN, kreatinin, alkali fosfatase, bilirubin, dan
rendahnya protrombin.
c.
Stage III : dalam 3-14 hari terjadi fibrosis paru. Batuk, dispnea, takipnea,
edema, efusi pleura, atelektasis, penurunan tekanan O2 arteri yang
13
14
disebabkan oleh radikal bebas yang diproduksi oleh parakuat di dalam tubuh
bereaksi dengan molekul oksigen membentuk anion superoksida. Dalam jumlah
yang berlebih, anion superoksida menyebabkan pembentukan radikal bebas
hidroksil, yang dapat menghancurkan sel melalui peroksidasi lipid dan inhibisi
enzim seluler yang esensial. Hal tersebut menjelaskan mengapa paru menjadi
target organ pada keracunan parakuat, yaitu karena jaringan paru kaya akan
oksigen. Dengan demikian, penggunaan oksigen dapat meningkatkan jumlah
radikal bebas yang terbentuk dan menambah kerusakan yang terjadi pada jaringan
paru. Analgesik yang agresif (misalnya opiat) mungkin diperlukan bila pasien
sangat kesakitan karena cedera korosif pada mulut, esofagus atau lambung.
Perawatan mulut dilakukan untuk mengatasi ulserasi dan reaksi inflamasi. Asupan
nutrisi peroral dihindari jika diduga terdapat cedera orofaring atau esofagus.
Antibiotik dapat diberikan bila terdapat infeksi. Tidak didapatkan kepustakaan
yang menyebutkan antiinflamasi atau antibiotik yang spesifik untuk keracunan
parakuat. Tatalaksana untuk luka pada mukosa mulut antara lain pemberian
preparat anestesi local atau steroid topikal. Tindakan paliatif merupakan hal yang
penting bagi pasien dengan prognosis buruk.1,5,6
WHO telah membuat pedoman penanganan keracunan beberapa racun
termasuk parakuat. Dalam pedoman itu disebutkan bahwa terapi prednison 60 mg
dan siklofosfamid 3 mg/kg/hari direkomendasikan untuk mencegah lesi paru.1
Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada pasien ini setelah dinilai sirkulasi,
jalan napas dan pernapasannya baik, maka dilanjutkan dengan pemasangan NGT,
kemudian dilakukan kumbah lambung, yang hasilnya terlihat jernih dari awal
pembilasan, hal ini dikarenakan pasien sudah muntah saat diperjalanan ke
puskesmas dan rumah sakit. Pemasangan infus dan pemberian cairan RL
dilakukan sebagai tindakan resusitasi cairan juga untuk mengoptimalkan
pembersihan parakuat dari ginjal.
Omeprazole termasuk dalam golongan obat PPI (proton pump inhibitor) dan
ranitidine merupakan H2 receptor antagonis yang bekerja bersama-sama untuk
15
16