Anda di halaman 1dari 7

KRONOLOGIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN

A. ERA KEMERDEKAAN

Terbentuknya Jawatan Kehutanan (1945).


Perubahan dari Jawatan Kehutanan menjadi Direktorat Kehutanan dan Tata
Bumi (1955).
Dikeluarkannya PP No. 64 Tahun 1957 tentang desentralisasi kehutanan di
propinsi; dengan membentuk Dinas Kehutanan (1957).
Terbentuknya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.
Terbentuknya Perum Perhutani melalui PP No. 17 (1961).
Soedjarwo menjadi Menteri Kehutanan Rl (1964).
Tahun 1966 Departemen Kehutanan kembali menjadi Direktorat
Kehutanan dibawah Departemen Pertanian (Keputusan No. 170/1966).

B. ERA ORDE BARU

Pemerintahan orde baru dengan menerapkan sistem sentralisasi


kekuasaan, guna penguatan basis kenegaraan dan fokus pada
penyelenggaraan pembangunan.
Berangkat dari kesadaran bahwa bangsa Indonesia membutuhkan rnodal
besar guna melaksanakan pembangunan, pemerintah mulai melirik sektor
SDA sebagai modal pembangunan nasional. Sektor kehutanan yang masih
menyimpan potensi sangat besar segera saja menarik minat pemerintah
untuk melakukan eksploitasi.
Guna merealisasikan eksploitasi SDH, Undang-Undang
Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5 Tahun 1967
diterbitkan.
PP No. 22 Tahun 1967 Tentang luran Hak Pengusahaan Hutan dan luran
Hasil Hutan.
Arus investasi khususnya PMA kemudian mengalir deras di sektor
kehutanan setelah keluarnya UU No. l Tahun 1967 tentang PMA.
Hal yang sama kemudian diikuti para pengusaha dalam negeri satu tahun
kemudian, yakni semenjak UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN
diberlakukan pemerintah.
Sementara untuk hutan di pulau Jawa dan Madura hak pengelolaannya
diserahkan kepada Perum Perhutani (sebagian besar tata cara
pengurusannya masih memberlakukan Ordonansi Hutan Jawa dan
Madura,1927).
PP Nomor 6 tahun 1968 tentang Penarikan Urusan Kehutanan dari Daerah
Kabupaten ke Propinsi di Wilayah Indonesia Bagian Tirnur, dengan tindak
lanjut diterbitkannya SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian
tentang pembagian hasil iuran HPH dan luran hasil hutan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pada tahun 1970 muncul PP No. 33 tahun 1970 tentang perencanaan
Hutan yang dialihkan dari daerah menjadi kewenangan pusat.
Peraturan baru tentang HPH dan HPHH melalui PP No. 21 tahun 1970.
Keputusan Menteri Pertanian No. 369 tahun 1972 tentang Penetapan
Besarnya Iuran Hasil Hutan.

Tugas Mata Kuliah


Sosiologi Pembangunan
Kronologis Pembangunan Kehutanan
Gannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L.

Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 yang


mengatur penerapan sistem silvikultur TPI, THPA dan THPB dalam
pengusahaan hutan produksi disamping itu diatur juga tentang
pengukuhan kawasan hutan, kawasan konservasi, jenis-jenis satwa liar
dan tumbuhan.
Tahun 1973 PT. Inhutani I sebagai BUMN mulai dibentuk, dengan kantor
pusat berkedudukan di Jakarta. Wilayah kerja PT. Inhutani 1 ini mencakup
areal hutan di Kalimantan Timur. Pada tahun 1974 pemerintah membentuk
PT. Inhutani II dan PT. Inhutani III yang wilayah kerjanya masing-masing
mencakup areal hutan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah,
Sementara untuk pengelolaan areal hutan di pulau Sumatera, pemerintah
rnembentuk PT. Inhutani IV dan PT, Inhutani V. Disamping BUMN, UPT di
daerah
secara bertahap
mulai
dikernbangkan,
seperti bidang
perencanaan, pendidikan dan latihan, konservasi sumberdaya alamr
penelitian, serta rehabilitasi hutan dan konservasi tanah. Sementara untuk
pengurusan administrasi di daerah, melalui Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I, pemerintah mengaktifkan pengurusan hutan rnelalui Dinas
Kehutanan dan Cabang Dinas Kehutanan.
Pengusahaan kayu melalui HPH (yang sudah berlangsung sejak tahun
1967) mengalami "booming logs/kayu bulat sekitar tahun awal 1980-an.
Pada saat itu tercatat sekitar 632 unit HPH beropsrasi di Indonesia dengan
luas konsesi per HPH antara 30.000 hingga jutaan hektar. Pada ''era logs
ini
pengusaha
rnemperoleh
penghasilan
rnelalul
ekspor
kayu
bulal/gelondongan dan hasll ikutan lainnya.
Sementara pemerintah memperoleh devisa dan pendapatan negara
antara lain dari iuran HPHH, IHH, DR, penyerapan tenaga kerja, dan
tumbuhnya berbagai rnanufaktur dan pengolahan kayu, mulai dari hulu
sampai hilir.
Pada masa itu, kehutanan benar-benar menjadi andalan pemerintah
sebagai "mesin pencetak uang dan lumbung emas" guna menopang
berbagai program pembangunan, dengan menduduki peringkat 2, sebagai
pemasok devisa tertinggi bagi negara setelah minyak. Indonesia mampu
mencapai predikat the new emerging tiger in Asia.
Kekhawatiran akan terancamnya kelestarian hutan mulai menarik
perhatian banyak kalangan. Sangat beralasan apabila organisasiorganisasi masyarakat (LSM-LSM) sebagai lembaga pemerhati dan peduli
terhadap masalah kelestarian hutan mulai bermunculan, seperti Walhi,
Skephi dan KPSA.
Kepedulian ini dilandasi oleh berbagai fakta bahwa selain faktor
lingkungan yang semakin terdegradasi, aspek sosial kemasyarakat
semakin terpinggirkan, Efek menetes ke bawah (tricle down effect) yang
dikonsepsikan oleh pemeritah untuk mensejahterakan masyarakat tidak
berjalan baik. Justru yang muncul adalah timbulnya kesenjangan ekonomi
yang semakin melebar antara masyarakat miskin dengan kaya dengan
kota, pusat dengan daerah.
Di sektor kehutanan disparitas ini cukup rnenonjol manakala dilihat bahwa
masyarakat sekitar hutan tidak beranjak status ekonominya setelah sekian
lama pengusahaan kehutanan beroperasi di sekitar tempat tinggalnya.
Proses partisipasi masyarakat, baik partisipasi ekonomi, maupun
partisipasi politik tidak berjalan dengan baik.
Pada tahun 1990 guna melengkapi UU No 5 Tahun 1967 yang sangat
berorientasi pada pengusahaan hutan pemerintah mengeluarkan UU No. 5

Tugas Mata Kuliah


Sosiologi Pembangunan
Kronologis Pembangunan Kehutanan
Gannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L.

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan


Ekosistemnya. UU ini menjadi fundamen pembangunan SDH berbasis
ekosistem. Terdapat tiga aspek yang ditekankan dalam UU tersebut yaitu :
(1). pengawetan plasma nutfah, flora fauna dan ekosistem unik. (2).
adanya perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan, (3).
pelestarian pemanfaatan SDH secara lintas generasi. Tiga aspek ini
menjadi landasan awal berkembangnya konsep PHL di bidang kehutanan.
Sementara itu di bidang sosial pemerintah mengeluarkan SK Menhut No.
691/Kpts-II/1991 mengenai HPH Bina Desa Hutan yang menjadi landasan
awal pelaksanaan kelola sosial. Dua produk hukum ini diharapkan mampu
mengurangi laju kerusakan hutan sekaligus mampu mengatasi
permasalahan sosial yang sudah mulai menonjol pada waktu itu. Namun
pandangan-pandangan eksploitatif yang masih dominan pada waktu itu
baru menempatkan kelola lingkungan dan kelola sosial dalam tataran
wacana, sementara visi misi para pelaku kehutanan di lapangan masih
produksi centris.
Pada pertengahan era 1990-an, pengetolaan kehutanan di Indonesia mulai
menjurus pada jalur yang benar. Tuntutan-tuntutan international mengenai
perbaikan kualitas lingkungan seperti konferensi bumi di Rio de Jeneiro,
Deklarasi Paris dan Deklarasi Yokohama mulai menggeser pengelolaan
hutan di Indonesia ke arah ecosystem base. Sistem Pengelolaan Hutan
Lestari berawal pada periode inir dimana seluruh pengelolaan hutan harus
berujung kepada kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi
dan kelestarian fungsi sosial.
Puncak dari periode emas sektor kehutanan adalah keluarnya UU No. 41
Tahun 1999 mengenai Kehutanan yang menggeser sektor kehutanan dari
timber manajemen ke arah ecologycal and social base forest manajemen.

C. ERA REFORMASI

Memasuki era reformasi terjadi penegasan terhadap kehidupan berbangsa


dan bernegara. Penegasan tersebut mencapai finalnya dengan
dllaksanakannya otonomi daerah. Sementara itu pelaksanaan pengelolaan
SDH sudah memiliki basis yang lestari, yaitu dengan dilaksanakannya
SPHL dan kesadaran untuk melakukan power sharing dalam pelaksanaan
kinerja pengelolaan hutan rnelalui mekanisme GCG.
Pada aspek kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah misalnya,
pernerintah telah menjawabnya dengan menerapkan kebijakan otonomi
daerah melalui UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. Sementara kesenjangan
antara pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan rnasyarakat) yang
selama ini terlalu didominasi oleh pemerintah mulai mencair dengan
pelaksanaan penciptaan GCG. Oleh karena itu kondisi yang sangat
kondusif ini seharusnya mampu menjadi landasan untuk menancapkan
pengelolaan hutan yang optimal dan lestari.
Akan tetapi masa transisi yang berlarut-larut selama hampir 7 tahun ini
telah menyebabkan proses-proses pengelolaan kehutanan yang
seharusnya sudah tinggal landas menjadi terhambat. Diakui, hegemoni
pemerintah orde baru selama 32 tahun kurang memberikan pembelajaran
bagi jajaran birokrasi di pusat maupun di daerah mengenai mekanisme
pendistribusian kewenangan. Selain itu UU 22 Tahun 1999 ternyata
memberikan batas-batas kewenangan yang terlalu besar, yang ditandai
dengan tidak adanya hirarkhi kewenangan/perijinan, hirarkhi teknis

Tugas Mata Kuliah


Sosiologi Pembangunan
Kronologis Pembangunan Kehutanan
Gannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L.

maupun hirarkhi karier antara pusat-daerah dan antar daerah, misalnya


lintas provinsi atau lintas kabupaten.
Di sisi lain disparitas ekonomi yang ada di masyarakat selama
pemerintahan orde baru akibat dari kurangnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan telah menciptakan situasi "chaos. Masyarakat yang
selama ini merasa terpinggirkan menjadt lepas kendali ketika reformasi
berjalan. Mekanisme penciptaan GCG yang seharusnya menempatkan
pemerintah, swasta dan masyarakat dalam posisi seimbang menjadi
berantakan. Di daerah-daerah dengan mengatasnamakan masyarakat
pihak-pihak tertentu dengan leluasa dapat melakukan apa saja baik
penyerobotan lahan, pembumihangusan camp, sampai pengkaplingan
hutan, Situasi tertekan yang tercipta selama pemerintahan orde baru
terlampiaskan rnelalui gerakan radikal di lapangan.
Kondisi inilah yang rnenyebabkan sektor kehutanan pada era reformasi
menjadi terpuruk. Gagasan dasar yang sangat mulia dengan
dilaksanakannya berbagai kebijakan yang reformatif belum berjalan di
tingkat pengelolaan. Fakta di lapangan justru iklim usaha menjadi kurang
kondusif. Dan 623 unit HPH pada tahun 80 -an pada era ini tinggai 266
unit yang masih berdiri. Sementara itu illegal logging, ilegal trade, dan
perambahan hutan menjadi fakta lain yang menyelimuti pengelolaan
kehutanan di era ini sehingga laju percepatan kerusakan hutan semakin
meningkat. Pada akhir episode ini bisa dikatakan sektor kehutanan
mencapai titik nadirnya.
Keterpurukan yang terjadi di sektor kehutanan tidak dapat dibiarkan terus
berlarut, keterpurukan yang sedang melanda sektor kehutanan tidak
mampu menyembunyikan bahwa sektor kehutanan rnasih tetap
menyimpan potensi yang sangat besar bagi pembangunan nasional.
Melalui model PHL maka potensi besar yang masih terdapat di sektor
kehutanan akan dapat dioptimalkan pengelolaannya tanpa harus
mengorbankan segi-segi lingkungan dan sosial. Era multi komoditas SDH
menempatkan bahwa produksi kehutanan tidak lagi terfokus pada kayu,
tetapi juga komoditas-komoditas lain seperti perdagangan karbon,
keanekaragaman hayati, eko wisata maupun sumber daya air Potensipotensi ini menjadi harapan terbesar bagi pembangunan dunia kehutanan
ke depan disamping potensi kayu dan produk turunannya.
Sudah saatnya bagi seluruh stakeholder pembangunan kehutanan untuk
menajamkan visi GCG untuk mempercepat pelaksanaan "kerja besar" di
sektor kehutanan yaitu melaksanakan PHL. Otonomi Daerah dapat
menjadi titik awal optimalisasi kinerja triparti pembangunan kehutanan.
Dengan visi keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat yang
berada dalam bingkai GCG maka upaya mewujudkan PHL dalam wadah
KPH di Indonesia akan menjadi lebih mudah. Berbagai kebijakan tentang
PHL yang sudah dibangun, maupun bertiagai prakondisi yang sudah
tercipta akan dapat mempercepat seluruh triparti pembangunan
kehutanan untuk melaksanakan PHL.
Langkah awal yang harus segera diiakukan deh pemerintah saat ini
bersama-sama dengan swasta dan masyarakat adalah segera mulai
membangkitkan kembali dunia kehutanan. Upaya pembangkitan
kehutanan dapat dilakukan melalui tiga langkah pokok, yaitu (1).
rekalkulasif kawasan hutan dan potensi kehutanan, (2). redesain
manajemen hutan dan industri kehutanan, dan (3). restrukturisasi
kelembagaan kehutanan. Melalui tiga langkah pokok ini maka akan

Tugas Mata Kuliah


Sosiologi Pembangunan
Kronologis Pembangunan Kehutanan
Gannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L.

diperoleh muka baru" pengelolaan hutan yang aman konflik, yang lestari
fungsi produksinya, yang lestari fungsi ekologinya, yang lestari fungsi
sosialnya serta yang mantap kelembagaannya. Saat ini ketiga langkah
tersebut menjadi starting point untuk kembali meratap jalan menuju
sistem pengelolaan hutan yang menjadi cita-cita bersama yaitu PHL.
KEBIJAKAN BARU DI ERA REFORMASI

SK Menteri dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan langsung dengan


penjabaran paket
IMF dan kebijaksanaan redistribusi asset dalam pengelolaan hutan adalah
sebagai berikut :

Liberalisasi Perdagangan
1. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 26/MPP/Kep/1/1998
tentang Pencabutan Tata Niaga Ekspor Kayu Lapis. 21 Januari 1998
2. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/1/1998
tentang Penghapusan Kelompok Pemasaran Bersama Kayu Lapis. 21
Januari 1998
3. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 28/MPP/Kep/1/1998
tentang Ketentuan Ekspor Kayu Lapis. 21 Januari 1998
4. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 29/MPP/Kep/1/1998
tentang Pencabutan Jatah Ekspor Kayu Lapis. 21 Januari 1998
5. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 30/MPP/Kep/1/1998
tentang Pencabutan Tata Niaga Kayu Gergajian dan Kayu Olahan. 21
Januari 1998
6. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 31/MPP/Kep/1/1998
tentang Pencabutan Kelompok Pemasaran Bersama Kayu Gergajian dan
Kayu Olahan. 21 Januari 1998
7. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 32/MPP/Kep/1/1998
tentang Ketentuan Ekspor Kayu Gergajian dan Kayu Olahan. 21 Januari
1998
8. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 33/MPP/Kep/1/1998
tentang Pencabutan Ketentuan Tata Niaga Ekspor Lampit Rotan. 21 Januari
1998
9. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 34/MPP/Kep/1/1998
tentang Ketentuan Ekspor Lampit Rotan. 21 Januari 1998
10. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 24/KMK.01/1998 tentang Penetapan
Besarnya Tarif dan Tata cara Pembayaran Serta Penyetoran Pajak Ekspor
Atas beberapa Komoditi Tertentu. 22 April 1998.
Pengaturan Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan
1. Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen
Kehutanan dan Perkebunan. 5 Mei 1998.
2. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumberdaya
Hutan. 20 April 1998
3. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 598/Kpts-II/1998
tentang Bersanya Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) per Satuan Hasil
Hutan Kayu. 24 Juni 1998.
Tugas Mata Kuliah
Sosiologi Pembangunan
Kronologis Pembangunan Kehutanan
Gannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L.

4. Keputusan Presiden No. 67 Tahun 1998 tentang Perubahan Keppres No. 30


Tahun 1990 tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil
Hutan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keppres No. 41 tahun
1993. 20 April 1998.
5. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. /Kpts-II/1998
tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. 10 September 1998.
6. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998
tentang Hutan Kemasyarakatan. 7 Oktober 1998.
7. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan
dan Hak Pemanfaatan hasil Hutan. 27 Januari 1999.

Dalam perannya untuk menurunkan pengangguran di pedesaan, mulai


tahun 2008, pemerintah memberi akses legal pada masyarakat setempat
sebagai pemegang Izin Usaha Pemamfaatan Hutan Produksi (small
concessionaires) melalui pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
beserta akses ke lembaga pembiyaan pembanguan hutan dalam bentuk
Badan Layanan Umum mengingat perbangkan belum tertarik untuk
pembiyaan pembanguan hutan.
Mulai 2007 telah dibuka investasi untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Hutan (IUPHHK-RE) dan Izin Usaha
Pemamfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHKHTR) untuk masyarakat yang tinggal di dalam/di sekitar hutan yang terus
tumbuh. Demikian juga Investasi Izin Usaha Pemamfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu (IUPHHBK) meningkat pada 2008 terutama untuk
pengembangan pangan dan energi biomasa seiring dengan krisis pangan
dan energi pada tahun 2007. Pada tahun 2008 juga dimulai masuknya
rencana investasi untuk penyimpanan karbon (carbon stock) dan
Penyerapan Karbon (carbon sink) dalam kerangka REDD (Reduction
Emission from Deforestation and Degradation) terkait Perubahan Iklim
global (Climate Change).
Peranan sektor kehutanan dalam penurunan kemiskinan dilaksanakan
dalam koordinasi Bidang Kesejahjteraan Rakyat melalui pemberian akses
hukum ke pemamfaatan hutan dan pembiyaan yang luas dalam program
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan penyaluran dana bergulir
(revolving funds) melalui Pusat Pembiyaan Pembangunan Hutan sejak
2007.
Selain itu, peningkatan program pemeberdayaan masyarakat yang tinggal
di dalam/di sekitar hutan seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan
Desa, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Rakyat Pola
Kemitraan (HRPTK), Indstri Kayu Berbasis Hutan Rakyat, Bina Desa Hutan
dan Desa Konservasi Hutan terus dilakukan secara bertahap dan
konsisten.

SKEMA KRONOLOGIS KEHUTANAN


Tugas Mata Kuliah
Sosiologi Pembangunan
Kronologis Pembangunan Kehutanan
Gannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L.

1945
Jawatan
Kehutana
n

1955
Direktora
t
Kehutana

1957

1966

Departeme
n
Kehutanan

Direktorat
Kehutanan
dibawah
Departeme
n
Pertanian

ERA KEMERDEKAAN

1967
Eksploita
si SDH
dan
muncul

1973

1990

PT.
Inhutani/
BUMN,

1998

Wacana
Konserva
si

Transisi
ditandai
pencabutan/
penghapusa
n Keputusan

ERA ORDE BARU

1999

2007

Ecological &
Social Base
Forest
Managemen
t

Investasi
Usaha
Pemanfa
atan
Hasil
Hutan

Pemberdaya
an
Masyarakat
&
Sustainable
Development

ERA REFORMASI

Tugas Mata Kuliah


Sosiologi Pembangunan
Kronologis Pembangunan Kehutanan
Gannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L.

Anda mungkin juga menyukai