Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

DEMAM TIFOID

Oleh:
Jayanti Dwi Cahyani (1102011129)
Kafia Rakhmah (1102011132)
Luthfia Rozanah (1102011145)
Putri Mutiara (1102011212)
Talib (1102011274)

Pembimbing
Dr. Henny K Koesna, Sp.PD
Dr. Seno M Kamil, Sp.PD
Dr. Dinny G. Prihadi, Sp.PD, M.kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANG
2015
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL .

DAFTAR ISI ..

ii

BAB I. PENDAHULUAN .

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II. Demam Tifoid .7


2.1 Definisi ...22
2.2 Etiologi ....23
2.3 Patofisiologi 25
2.4 Gejala Klinis29
2.5 Diagnosis ...30
2.6 Penatalaksanaan ..31
2

2.7 Komplikasi.34
2.8 Prognosis 35
III. DAFTAR PUSTAKA .57

BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini


mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah. Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa.
Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembangunan yang baik, dan
ini belum dimilki sebagian besar Negara berkembang.
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serovar typhi (S. typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C
juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan
paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari
demam enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi tropik yang
sering diperbicangkan.
Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus
dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus
per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara,
dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000
populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali
Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000
populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan

frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam
tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan, di
daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air
bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah
yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Ditjen Bina Upaya Kesehatan
Masyarakat Departemen kesehatan RI tahun 2010, melaporkn demam tifoid
menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit di Indonesia (41,081 kasus).
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir
untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di
air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah
terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemic, infeksi paling
banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang
infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan
melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di Indonesia, insidens
demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu,

demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tetangga, yaitu adanya
anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk
mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya
tempat buang air besar dalam rumah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan Salmonella enteric
serotype typhi atau paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan
paratifus abdominalis. Tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau
urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid tanpa gejala klinis.
2.2. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella
bioserotipe A, B, atau

paratyphi

C dari genus Salmonella. Kedua spesies Salmonella ini

berbentuk batang gram negatif, berflagel (bergerak dengan rambut getar), aerobic,
tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel
kariotik. Salmonella ini berkuran 1-35um x 0,5-0,8, besar koloni rata-rata 2-4mm.
Kuman ini tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15-41 0C dan
pH pertumbuhan 6-8. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi
hamper tidak pernah meragikan laktosa dan sukrosa. Salmonella resisten terhadap
zat-zat kimia tertentu yang menghambat bakteri enteric lainnya. Kuman mati pada
suhu 56

C juga pada keadaan kering. Dalam air bisa tahan selama 4 minggu.

Disamping itu mempunyai beberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan


Outer Membrane Protein terutama porin OMP.Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri
dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi.

2.3. Patogenesis dan patofisiologi


Masuknya kuman saluman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi
(S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalu ductus torasikus kuman yang terdapat didalam
makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bacteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retokuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bacteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang telah

teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagosit kuman Salmonella terjadi pelepasan


beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemi seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut,
gangguan vascular, mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi rekasi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perfosa.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiateik, kardiovaskular, pernafasan,
dan gangguan organ lainnya.
2.4. Gejala Klinis
Demam tifoid memiliki masa inkubasi antara 10 sampai 14 hari, gejala yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat. Pada minggu pertama, ditemukan
keluhan dan gejala yang serupa dengan penyakit infeksi akut yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Demam yang terjadi berpola seperti anak
9

tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan
tinggi pada sore hari.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga
malam hari. Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relative( peningkatan suhu 10 Celcius tidak diikuti peningkatan nadi 8
kali per menit). Lidah yang berselaput ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta
tremor).

Hepatomegali, splenomegali, meteroismus gangguan

mental berupa

somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis.


2.5.

Diagnosis

2.5.1. Anamnesis
Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore atau malam hari,
sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, obstipasi atau diare.
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 10C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah,
tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegaly, splenomegaly, nyeri abdomen,
roseolae (jarang pada orang Indonesia0.

10

2.5.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat ditemukan
anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus. Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur organisme.
Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnosis.
Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih
baik dari antara lain uji TUBEX, Typhidot dan dipstick.
Uji Widal
Dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium, maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
11

a) Aglutinin O (dari tubuh kuman)


b) Aglutinin H (Flagela kuman)
c) Aglutinin Vi (Simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Pengobatan dini dengan antibiotic


Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid
Waktu pengambilan darah
Daerah endemik atau non-endemik
Riwayat vaksinasi
Reaksi anamnestic, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna
diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan
12

saja, hanya berlaku setemapt dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai
laboratorium setempat.
UJI TUBEX
Merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan
mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-S.typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
pertikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetic latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis
sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap anti-gen
O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini,
yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder.
Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat
mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi :
13

1)
2)

Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas


Reagen A, yang mengandung partikel magnetic yang diselubungi dengan

3)

antigen S.typhi O9
Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum dicampurkan ke dalam tabung
dengan satu tetes A.
Setelah itu, dua tetes reagen B ditambahkan kedalam tabung. Tabung-tabung

tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar
selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan
warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.
Berdasarkan warnalah dapat ditentukan skor. Konsep pemeriksaan ini dapat
diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibody terhadap O9,
reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung
medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan
tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh
reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibody
terhadap O9, antibody pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B
tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. Berdasarkan
dari beberapa penelitian, Uji ini memiliki sensitivitas dan spesivitas yang baik

14

Uji Typhidot.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membrane luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 23 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan
IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76,7% dan efisiensi uji
sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk. Penelitian lain
didapatkan sensitifitas dan spesifitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79%
dan 89% dengan 78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan
sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga
pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut
dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi
masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG
pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M,
memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum
pasien. Uji Typhidot-M memberikan hasil lebih sensitive (sensitivitas mencapai
100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur,
Uji IgM Dipstick

15

Secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi pada specimen
serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen
lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai control). Reagen deteksi yang
mengandung antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.
Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25 0C
di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi
strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu
kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara
semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya
dengan reference strip. Garis control harus terwarna dengan baik. Pemeriksaan ini
mudan dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun
akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya
gejala.
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa
hal sebagai berikut:

16

1) Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam biakan terhambat dan
hasil mungkin negatif
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc). bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya
secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall)
untuk pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody dalam
darah pasien. Antibody (aglutinin) ini dapat menekan bacteremia hingga
biakan darah dapat negative
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat
2.6.

Diagnosis banding
Diagnosis banding pada demam tifoid, yaitu :
1. Malaria
2. Leptospirosis
3. Gastroenteritis
4. Demam berdarah dengue
5. Hepatitis akut

17

2.7.

Penatalaksanaan

2.6.1. Penatalaksanaan Umum


Trilogi penatalaksanaan demam tiroid :
1.

Istirahat dan perawatan


Tirah baring dan perawatan bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat
tidr, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorang perlu
diperhatikan dan dijaga.

2.

Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)


Diet dan terapi penunjang bertujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan
pasien secara optimal. Penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, perubahan diet
disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
bertujuan menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.
Beberapa peniliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi
dengan pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayur berserat) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

18

3.

Pemberian antimikroba
Pemberian antimikroba bertujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan, yaitu :
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol masih menjadi obat pilihan dalam pengobatan demam tifoid.
Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari dapat diberikan secara
peroral atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan
obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7.2 hari.
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol hamper sama dengan kloramfenikol dengan
komplikasi hematolgi seperti anemia aplastic lebih rendah dibandingkan
dengan pemberian kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg dan
demam turn pada hari ke 5 sampai 6.
3. Kotrimoksazol
Dosis dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400
mg dan 80 mg trimetroprim) diberikan selama 2 minggu.

19

4. Ampisilin dan amoksisilin


Kemampuan dalam menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
menggunakan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan antara 50-150 mg/kgBB
dan digunakan selama 2 minggu.
5. Sefalosporin generasi III
Golongan sefalosporin generasi III yang efektif untuk demam tifoid adalah
seftriakson dengan dosis antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan
selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5 hari.
6. Florokuinolon
Sediaan florokuinolon yang dapat digunakan :

7.

Norfloksasin 2 x 400 mg/ hari selama 14 hari

Siprofloksasin 2 x 50 mg/hari selama 6 hari

Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Levofloksasin 1 x 500 mg/hari selama 5 hari

Azitromisin
20

Azitromisin 2 x 500 mg. Jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin


secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap. Jika
dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi
angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan
yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Azitromisin
tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.

Kombinasi obat antibiotika


Kombinasi 2 antibiotika maupun lebih diindikasikan hanya pada keadaan

seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, serta syok septik.

Kortikosteroid
Hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid dengan syok septik
dengan deksametason 3 x 5 mg.

Demam tifoid pada wanita hamil


Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karna dapat

terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome neonates.
Sedangkan tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester 1 karena bersifat teratogenik
terhadap fetus. Obat fluoorokuinolon dan kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk

21

mmengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan
seftriakson.
Indikasi demam tifoid dilakukan perawatan di rumah atau rawat jalan :
1. Pasien dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi serta
tidak ada komorbid yang membahayakan.
2. Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik.
3. Pasien dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat serta
cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.
4. Rumah tangga pasien memiliki atau dapat melaksanakan system pembuangan
ekskreta (feses, urin, muntahan) yang memenuhi syarat kesehatan
5. Dokter bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan perawatan pasien.
6. Dokter dapat memprediksi pasien tidak akan menghadapi bahaya-bahaya yang
serius
7. Dokter dapat mengunjungi pasien setiap hari. Bila tidak bisa harus diwakili oleh
seorang perawat yang mampu merawat demam tifoid
8. Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancer dengan keluarga pasien
Kriteria rujukan :

22

1. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan


2. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan
3. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak mencukupi.
Konseling dan Edukasi
Edukasi pasien tentang tata cara:
1. Pengobatan dan perawatan serta aspek laindari demam tifoid yang harus diketahui
pasien dan keluarganya
2. Diet, pantahapan mobilisasi, dan konsumsi oat sebaiknya diperhatikan atau dilihat
langsungoleh dokter, dan keluarga pasien telah memahami serta mampi
melaksanakan
3. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga supaya bisa
segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan
Pendekatan Community Oriented
Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek pencegahan
pengendalian demam tifoid, melalui:
1. Perbaikan sanitasi lingkungan
2. Peningkatan hygiene makanan dan minuman

23

3. Peningkatan hygiene perorangan


4. Pencegahan dengan imunisasi

2.6.2. Penatalaksanaan pada Demam Tifoid Karier


Definisi tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung S. tyhpi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai gejala
klinis. Kasus tifoid dengan kuman S.typhi masih dapat ditemukan di feses atau urin
selama 2-3bulan disebut karier pasca-penyembuhan. Tifoid karier tidak menimbulkan
gejala klinis. (asimtomatik) dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit demam
tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid karier sering disertai
infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat pemingkatan resiko terjadinya
karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal, karsinoma pancreas, karsinoma
paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain
Peningkatan faktor resiko tersebut berbeda dengan populasi pasca ledakan
kasus luar biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor infeksi kronis sebagai faktor
resiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi tifoid akut.
Imunitas seluler diduga punya peranan penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada
penderita sickle cell disease and systemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita
AIDS bila terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bacteremia yang berat. Pada

24

pemeriksaan inhibis migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terdapat penurunan respon


reaktivitas seluler terhadap Salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan
imun selular dan humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna pada sistemimunitas humoral dan selular serta respons limfosit terhadap
Salmonella typhi antara pengidap tifoid dengan kontrol . pemeriksaan respons imun
berdasarkan serologi antibodi IgG dan IgM terhadap Salmonella typi antara tifoid
karier disbanding tifoid akut tidak berbeda bermakna.
Kesulitan eradikasi kasus karier dengan ada tidaknya batu empedu. Kasus
karier ini juga meningkat pada seseorang yang terkena infeksi kronis pada saluran
empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seorang yang terkena infeksi kronis
saluran kencing, batu, striktur, hidronefrosis, dan tuberculosis maupun tumor di
traktur urinarius. Oleh karena itulah insidens tifoid karier meningkat pada wanita
maupun usia lanjut karena adanya faktor tersebut diatas. Penatalaksanaan tifoid karier
dibedakan berdasarkan ada tidaknya penyulit.
Pemberian antibiotika pada demam tifoid karier
Tanpa disertai kasus kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan :
1. Ampisilin 100 mg / kgBB/ hari + probenesid 30 mg / kgBB / hari

25

2. Amoksisilin 100 mg / kgBB/ hari + probenesid 30 mg / kgBB/hari


3. Trimetrophin sulfametoksazol 2 tablet / 2x/ hari
Disertai kasus kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen tersebut diatas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau
kolesistektomi + salah satu regimen terapi dibawah ini :
1. Siprofloksasin 750 mg /2x./ hari
2. Norfloksasin 400 mg/ 2x/hari
Disertai infeksi sistosoma haematobium pada tractus urinarius
Pengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S.haematobium
1. Prazikuantel 40 mg / kgBB dosis tunggal, atau
2. Metrifonat 7,5- 10 mg / kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu.

Setelah eradikasi S.haematobium tersebut baru diberikan regimen terapi untuk


tifoid karier seperti diatas.

Diagnosis demam tifoid karier


Diagnosis demam tifoid karier ditegakkan atas dasar ditemukannya kuman
Salmonella typhi pada biakan feses ataupun urin pada seseorang tanpa tanda klinis

26

infeksi pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam

tifoid. Dinyatakan bukan

demam tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal 6 kali
pemeriksaan tidak ditemukan kuman S. typhi.
Sarana lain untuk menegakkan diagonis adalah pemeriksaan serologi Vi,
dilaporkan 75% dan spesifitas 92% bila ditemukan kadar titer antibodi Vi sebesar
160.
2.7 Komplikasi
2.7.1 Komplikasi Intestinal
2.7.1.1 Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan
kedua faktor. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok.
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5ml/kg/bb dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan
terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%. Bila transfusi tidak dapat
mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

27

2.7.1.2 Perforasi Usus


Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum
yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian ke
seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda bising usus melemah pada 50%
penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas
diabdomen. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan
bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran kekiri dapat menyokong adanya
perforasi.
Bila ada gambaran foto polos abdomen (BNO/3posisi) ditemukan udara pada
rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang
cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor
yang meningkatkan kejadian perforasi adalah umur, lama demam, modalitas
pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotic yang diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati S.typhi tetapi
juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobic. Umumnya
diberikan antibiotik spectrum luas dengan kombinasi kloramfenicol dan ampisilin
intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan
harus diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.

28

2.7.2. Komplikasi Ekstra Intestinal


2.7.2.1 Komplikasi Hematologi
Komplikasi
peningkatan

hematologi

prothrombine

berupa

time,

trombositopenia

peningkatan

partial

hipofibrinogenemia,
thromboplastin

time,

peningkatan fibrin degradation products sampai Koagulasi Intravascular Diseminata


(KID). Trombositopenia dapat terjadi karena menurunnya produksi trombosit
sumsum tulang selama proses

infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di

sistem retikuloendotelial.
Penyebab KID pada demam tifoid masih belum jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan sistem koagulasi dan fibrinolisis.
Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamine menyebabkan vasokonstriksi dan
kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan
koagulasi KID kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata
dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan atau faktor-faktor koagulasi
bahkan heparin.
2.7.2.2. Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dapat dijumpai pada 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai pada S.typhi daripada S.paratyphi.
Untuk membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria, atau amuba

29

maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan perlu


histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan
dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan hepatitis karena virus).
Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang
kurang. Meskipun sangat jarang, kompilasi hepatoensefalopati dapat terjadi.
2.7.2.3. Pankreatitis Tifosa
Pankreatitis tifosa merupakan komplikasi yang bisa dijumpai pada demam
tifoid. Pankreatitis dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi. Pankreatitis sendiri
disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat
farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-Scan
dapat membantu diagnosis ini dengan akurat.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada
umumnya, antibiotic yang diberikan adalah antibiotic intravena seperti seftriakson,
atau kuinolon.
2.7.2.4. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis
biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada., gagal
jantung kongestif, aritmia atau syok kardiogenik. Perubahan elektrokardiografi yang

30

menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan
kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan

miokarditis sebagai penyebab

kematian.. biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat pada infeksi keadaan akut.
2.7.2.5 Manifestasi Neuropsikiatrik/Toksik Tifoid
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa gejala
kejang, semi koma atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindrom
otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut,
hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polioneuritis parifer, sindeom Guillain-Barre,
dan psikosis.
Gejala tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan
kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor, atau koma)
dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan
otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti
disebut sebagai toksik tifoid atau demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, ayau
demam tifoid dengan toksemia.
Semua kasus toksik tifoid, dianggap sebagai demam tifoid berat, langsung
diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x500mg ditambah ampisilin
4x1gram dan deksametason 3x5mg.

31

2.8 Pencegahan
Secara garis besar, terdapat 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi
tifoid, yaitu :
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien demam tifoid
asimtomatik, karier, dan akut.
Tindakan ini cukup sulit serta memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau
dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif
dengan mendatangi sasaran maupun secara pasif menunggu bila ada penerimaan
pegawai di suatu instasi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada
populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minman baik tingkat usaha
rumah tangga, restoran, hotel, sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran
lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
2. Pencegahan transmisi langdung dari pasien terinfeksi S.typhii akut maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan
sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman Salmonella typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi

32

Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahna endemis
atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan
peroragan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko yaitu
golongan imunokompromais maupun golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :
1. Daerah non endemic. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic.
a. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
b. Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makanan-minuman
c. Pencarian dan pengobatan kasus demam tifoid karier.
2. Bila ada kejadian epidemic tifoid.
a. Pencarian dan eliminasi sumber penularan.
b. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
c. Penyulugan hygiene dan sanitasi pada sanitasi populasi umum daerah tersebut
3. Daerah endemic
a. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan (perebusan >570 C, iodisasi, dan klorinisasi)

33

b. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur dan buah)
c. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.

Vaksinasi
Vaksinasi pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas
vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar
67% (Universitas Maryland) bila terpapar 107 bakteri.
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah
lain. Indikasi vaksinasi adalah 1). Hendak mengunjungi daerah endemik, risiko
terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin,
Asia, Afrika), 2). Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). Petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Jenis Vaksin

Vaksin oral: Ty21a (vivotif Berna). Belum beredar di Indonesia.


Vaksin parenteral: ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul
polisakarida.

34

Pemilihan Vaksin
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna
menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia
sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada >10
tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insidens turun 17%.
Vaksin parenteral non-aktif relative lebih sering menyebabkan reaksi efek
samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis
vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS
(Typhim Vi).

Indikasi vaksinasi
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang
berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:

Populasi: anak usia sekolah di daerah endemic, personil militer, petugas

rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.


Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat
dengan pengidap tifoid (karier).
anak usia 2-5 tahun toleransi dan respons imunologisnya sama dengan anak
usia lebih besar.

35

Kontraindikasi Vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang
alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena
sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria (klorokuin,
meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan
vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamid atau antimikroba lainnya.

Efek Samping vaksinasi


Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit
kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%;
malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri local 17%). Efek samping
terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu demam 6,724%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi local nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi
berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun
sporadic dan sangat jarang terjadi.
Efektivitas Vaksinasi
Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS
terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari-3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.

36

Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemic (Nepal) dan sebesar 60%
untuk daerah hiperendemik.
2.9 Prognosis
Vitam : Bonam
Fungsionam : Bonam
Sanationam : Dubia ad bonam (penyakit dapat berulang)
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada tidaknya
komplikasi, dan pengobatannya.

37

Daftar Pustaka

1. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam,
A.F. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing
2. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A. 2014. Kapita Selekta
kedokteran jilid 2 edisi
3. Longo, D.L., Fauci, A.S, Kasper,D.L, Hauser, S.L,Jameson, J.L., Loscalzo, J.
Harrisons principles of internal medicine 18th edition. New York : McGraw
Hill
4. World Health Organization. 2009. Background document : The diagnosis,
treatment, and prevention of typhoid fever, communicable disease
surveillance and response vaccines and biological. Geneva : WHO
5. IDI. 2013. Buku panduan praktik klinis bagi dokter pelayanan primer. edisi 1.
Jakarta : Kementrian kesehatan RI

38

6. Departemen kesehatan RI.2007. Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas


2007. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
7. Mansjoer, A., Setiati,S., Syam, A.F., Laksmi,P.W. 2008. Naskah lengkap
pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit dalam 2008. Jakarta : FKUI.
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2006
10. Wardhani, P,. Prihatini,. Probohoesondo. 2005. Widal Tube Capability Using
Imported Antigens and Local Antigens. 12:(1). Laboratorium Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya.
11. Nelwan, R.N.H ,. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192 39:
(4). Divisi penyakit tropic dan infeksi. Jakarta: FKUI RSCM,

39

Anda mungkin juga menyukai