Bismillah Referat
Bismillah Referat
DEMAM TIFOID
Oleh:
Jayanti Dwi Cahyani (1102011129)
Kafia Rakhmah (1102011132)
Luthfia Rozanah (1102011145)
Putri Mutiara (1102011212)
Talib (1102011274)
Pembimbing
Dr. Henny K Koesna, Sp.PD
Dr. Seno M Kamil, Sp.PD
Dr. Dinny G. Prihadi, Sp.PD, M.kes
HALAMAN JUDUL .
DAFTAR ISI ..
ii
BAB I. PENDAHULUAN .
2.7 Komplikasi.34
2.8 Prognosis 35
III. DAFTAR PUSTAKA .57
BAB I
PENDAHULUAN
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam
tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan, di
daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air
bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah
yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Ditjen Bina Upaya Kesehatan
Masyarakat Departemen kesehatan RI tahun 2010, melaporkn demam tifoid
menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit di Indonesia (41,081 kasus).
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir
untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di
air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah
terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemic, infeksi paling
banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang
infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan
melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di Indonesia, insidens
demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu,
demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tetangga, yaitu adanya
anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk
mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya
tempat buang air besar dalam rumah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan Salmonella enteric
serotype typhi atau paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan
paratifus abdominalis. Tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau
urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid tanpa gejala klinis.
2.2. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella
bioserotipe A, B, atau
paratyphi
berbentuk batang gram negatif, berflagel (bergerak dengan rambut getar), aerobic,
tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel
kariotik. Salmonella ini berkuran 1-35um x 0,5-0,8, besar koloni rata-rata 2-4mm.
Kuman ini tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15-41 0C dan
pH pertumbuhan 6-8. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi
hamper tidak pernah meragikan laktosa dan sukrosa. Salmonella resisten terhadap
zat-zat kimia tertentu yang menghambat bakteri enteric lainnya. Kuman mati pada
suhu 56
C juga pada keadaan kering. Dalam air bisa tahan selama 4 minggu.
tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan
tinggi pada sore hari.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga
malam hari. Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relative( peningkatan suhu 10 Celcius tidak diikuti peningkatan nadi 8
kali per menit). Lidah yang berselaput ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta
tremor).
mental berupa
Diagnosis
2.5.1. Anamnesis
Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore atau malam hari,
sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, obstipasi atau diare.
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 10C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah,
tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegaly, splenomegaly, nyeri abdomen,
roseolae (jarang pada orang Indonesia0.
10
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna
diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan
12
saja, hanya berlaku setemapt dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai
laboratorium setempat.
UJI TUBEX
Merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan
mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-S.typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
pertikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetic latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis
sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap anti-gen
O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini,
yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder.
Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat
mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi :
13
1)
2)
3)
antigen S.typhi O9
Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum dicampurkan ke dalam tabung
dengan satu tetes A.
Setelah itu, dua tetes reagen B ditambahkan kedalam tabung. Tabung-tabung
tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar
selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan
warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.
Berdasarkan warnalah dapat ditentukan skor. Konsep pemeriksaan ini dapat
diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibody terhadap O9,
reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung
medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan
tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh
reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibody
terhadap O9, antibody pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B
tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. Berdasarkan
dari beberapa penelitian, Uji ini memiliki sensitivitas dan spesivitas yang baik
14
Uji Typhidot.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membrane luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 23 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan
IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76,7% dan efisiensi uji
sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk. Penelitian lain
didapatkan sensitifitas dan spesifitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79%
dan 89% dengan 78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan
sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga
pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut
dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi
masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG
pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M,
memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum
pasien. Uji Typhidot-M memberikan hasil lebih sensitive (sensitivitas mencapai
100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur,
Uji IgM Dipstick
15
Secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi pada specimen
serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen
lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai control). Reagen deteksi yang
mengandung antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.
Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25 0C
di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi
strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu
kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara
semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya
dengan reference strip. Garis control harus terwarna dengan baik. Pemeriksaan ini
mudan dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun
akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya
gejala.
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa
hal sebagai berikut:
16
1) Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam biakan terhambat dan
hasil mungkin negatif
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc). bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya
secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall)
untuk pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody dalam
darah pasien. Antibody (aglutinin) ini dapat menekan bacteremia hingga
biakan darah dapat negative
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat
2.6.
Diagnosis banding
Diagnosis banding pada demam tifoid, yaitu :
1. Malaria
2. Leptospirosis
3. Gastroenteritis
4. Demam berdarah dengue
5. Hepatitis akut
17
2.7.
Penatalaksanaan
2.
18
3.
Pemberian antimikroba
Pemberian antimikroba bertujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan, yaitu :
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol masih menjadi obat pilihan dalam pengobatan demam tifoid.
Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari dapat diberikan secara
peroral atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan
obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7.2 hari.
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol hamper sama dengan kloramfenikol dengan
komplikasi hematolgi seperti anemia aplastic lebih rendah dibandingkan
dengan pemberian kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg dan
demam turn pada hari ke 5 sampai 6.
3. Kotrimoksazol
Dosis dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400
mg dan 80 mg trimetroprim) diberikan selama 2 minggu.
19
7.
Azitromisin
20
Kortikosteroid
Hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid dengan syok septik
dengan deksametason 3 x 5 mg.
terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome neonates.
Sedangkan tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester 1 karena bersifat teratogenik
terhadap fetus. Obat fluoorokuinolon dan kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk
21
mmengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan
seftriakson.
Indikasi demam tifoid dilakukan perawatan di rumah atau rawat jalan :
1. Pasien dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi serta
tidak ada komorbid yang membahayakan.
2. Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik.
3. Pasien dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat serta
cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.
4. Rumah tangga pasien memiliki atau dapat melaksanakan system pembuangan
ekskreta (feses, urin, muntahan) yang memenuhi syarat kesehatan
5. Dokter bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan perawatan pasien.
6. Dokter dapat memprediksi pasien tidak akan menghadapi bahaya-bahaya yang
serius
7. Dokter dapat mengunjungi pasien setiap hari. Bila tidak bisa harus diwakili oleh
seorang perawat yang mampu merawat demam tifoid
8. Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancer dengan keluarga pasien
Kriteria rujukan :
22
23
24
25
26
demam tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal 6 kali
pemeriksaan tidak ditemukan kuman S. typhi.
Sarana lain untuk menegakkan diagonis adalah pemeriksaan serologi Vi,
dilaporkan 75% dan spesifitas 92% bila ditemukan kadar titer antibodi Vi sebesar
160.
2.7 Komplikasi
2.7.1 Komplikasi Intestinal
2.7.1.1 Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan
kedua faktor. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok.
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5ml/kg/bb dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan
terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%. Bila transfusi tidak dapat
mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.
27
28
hematologi
prothrombine
berupa
time,
trombositopenia
peningkatan
partial
hipofibrinogenemia,
thromboplastin
time,
sistem retikuloendotelial.
Penyebab KID pada demam tifoid masih belum jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan sistem koagulasi dan fibrinolisis.
Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamine menyebabkan vasokonstriksi dan
kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan
koagulasi KID kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata
dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan atau faktor-faktor koagulasi
bahkan heparin.
2.7.2.2. Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dapat dijumpai pada 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai pada S.typhi daripada S.paratyphi.
Untuk membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria, atau amuba
29
30
menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan
kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan
kematian.. biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat pada infeksi keadaan akut.
2.7.2.5 Manifestasi Neuropsikiatrik/Toksik Tifoid
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa gejala
kejang, semi koma atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindrom
otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut,
hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polioneuritis parifer, sindeom Guillain-Barre,
dan psikosis.
Gejala tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan
kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor, atau koma)
dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan
otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti
disebut sebagai toksik tifoid atau demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, ayau
demam tifoid dengan toksemia.
Semua kasus toksik tifoid, dianggap sebagai demam tifoid berat, langsung
diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x500mg ditambah ampisilin
4x1gram dan deksametason 3x5mg.
31
2.8 Pencegahan
Secara garis besar, terdapat 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi
tifoid, yaitu :
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien demam tifoid
asimtomatik, karier, dan akut.
Tindakan ini cukup sulit serta memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau
dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif
dengan mendatangi sasaran maupun secara pasif menunggu bila ada penerimaan
pegawai di suatu instasi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada
populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minman baik tingkat usaha
rumah tangga, restoran, hotel, sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran
lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
2. Pencegahan transmisi langdung dari pasien terinfeksi S.typhii akut maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan
sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman Salmonella typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi
32
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahna endemis
atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan
peroragan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko yaitu
golongan imunokompromais maupun golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :
1. Daerah non endemic. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic.
a. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
b. Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makanan-minuman
c. Pencarian dan pengobatan kasus demam tifoid karier.
2. Bila ada kejadian epidemic tifoid.
a. Pencarian dan eliminasi sumber penularan.
b. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
c. Penyulugan hygiene dan sanitasi pada sanitasi populasi umum daerah tersebut
3. Daerah endemic
a. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan (perebusan >570 C, iodisasi, dan klorinisasi)
33
b. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur dan buah)
c. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.
Vaksinasi
Vaksinasi pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas
vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar
67% (Universitas Maryland) bila terpapar 107 bakteri.
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah
lain. Indikasi vaksinasi adalah 1). Hendak mengunjungi daerah endemik, risiko
terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin,
Asia, Afrika), 2). Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). Petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Jenis Vaksin
34
Pemilihan Vaksin
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna
menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia
sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada >10
tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insidens turun 17%.
Vaksin parenteral non-aktif relative lebih sering menyebabkan reaksi efek
samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis
vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS
(Typhim Vi).
Indikasi vaksinasi
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang
berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:
35
Kontraindikasi Vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang
alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena
sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria (klorokuin,
meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan
vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamid atau antimikroba lainnya.
36
Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemic (Nepal) dan sebesar 60%
untuk daerah hiperendemik.
2.9 Prognosis
Vitam : Bonam
Fungsionam : Bonam
Sanationam : Dubia ad bonam (penyakit dapat berulang)
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada tidaknya
komplikasi, dan pengobatannya.
37
Daftar Pustaka
1. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam,
A.F. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing
2. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A. 2014. Kapita Selekta
kedokteran jilid 2 edisi
3. Longo, D.L., Fauci, A.S, Kasper,D.L, Hauser, S.L,Jameson, J.L., Loscalzo, J.
Harrisons principles of internal medicine 18th edition. New York : McGraw
Hill
4. World Health Organization. 2009. Background document : The diagnosis,
treatment, and prevention of typhoid fever, communicable disease
surveillance and response vaccines and biological. Geneva : WHO
5. IDI. 2013. Buku panduan praktik klinis bagi dokter pelayanan primer. edisi 1.
Jakarta : Kementrian kesehatan RI
38
39