Anda di halaman 1dari 6

Manisnya Iman

Seseorang akan merasakan manisnya iman bermula manakala di dalam hatinya terdapat
rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya, manisnya akan semakin
dirasakan bila seseorang berusaha untuk senantiasa menyempurnakan cintanya kepada
Allah, memperbanyak cabang-cabangnya (amalan yang dicintai Allah swt.) dan
menangkis hal-hal yang bertentangan dengan kecintaan Allah swt.

Apa buktinya bila seseorang telah merasakan manisnya Iman?

Buktinya, ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah daripada


mementingkan kesenangan dan kemegahan dunia, seperti bersenang-senang dengan
keluarga, lebih senang tinggal di rumah ketimbang merespon seruan dakwah dan asyik
dengan bisnisnya tanpa ada kontribusi sedikitpun terhadap kegiatan jihad di jalan Allah
swt. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah : 24

“Katakanlah: “Jika bapa-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum


keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah
dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan Keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik.”

Memprioritaskan kecintaan kepada Allah akan melahirkan perasaan ridha

Bila seseorang senantiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di
jalan-Nya, daripada kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap ridha terhadap
Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan
Rasulnya. Keridhaannya itu dibuktikan dengan selalu menghadiri halaqahnya, terlibat
dengan kegiatan dakwah di lingkungannya dan menginfakkan sebagian harta dan
waktunya untuk kemaslahatan tegaknya agama Allah swt.

Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah ridha terhadap Allah, agama dan
Rasulnya?

Pertama, Ia akan merasakan “Istildzadz at-Thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah


swt., baik dalam shalatnya, tilawah Qur’annya, pakaian dan pergaulan islaminya,
perkumpulannya dengan orang-orang shaleh dan keterlibatannya dalam barisan dakwah

Kedua, Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lezatnya menghadapi berbagai


kesulitan dan kesusahan dalam berdakwah. Kelelahan, keletihan, dan hal-hal yang
menyakiti perasaannya akibat celaan orang karena menjalankan syariat Islam, atau
bahkan mencederai fisiknya, semua itu semakin membuatnya nikmat dalam berdakwah.
Semua inilah yang akan senantiasa melahirkan manisnya Iman.
“Istildzaadz at-thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah ditunjukan oleh wanita Anshar
dan Muhajirin, tatkala turun wahyu yang memerintahkan mereka untuk berhijab dan
menutrup auratnya, mereka langsung meresponnya dengan senang hati dan lapang dada,
tanpa merasa berat sedikitpun. Aisyah ra. yang menjadi saksi mata atas hal ini berkata :

ْ َ‫“و ْلي‬
‫ رُوْ طَه َُّن‬5‫قَ ْقنَ ُم‬5 ‫وْ بِ ِه َّن” َش‬55ُ‫ ِر ْبنَ ِم ْن َجالَ بِ ْيبِ ِه َّن َعلَى ُجي‬5 ‫ض‬ ِ ‫ا ِج َرا‬55َ‫ار َو ْال ُمه‬
ْ َ‫ َزل‬5 َ‫ت لَ َّما ن‬
َ ‫ت َعلَ ْي ِه َّن‬ َ ‫ا َء ْاالَ ْن‬5 ‫َر ِح َم هللا ُنِ َس‬
ِ 5‫ص‬
ْ
‫فَليَ ْختَ ِمرْ نَ بِهَا‬

“Semoga Allah merahmati wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun kepada mereka
ayat “hendaknya mereka mengenakan kain panjang (jilbab) sampai ke atas dada
mereka,” mereka memotong kain-kain mereka, lalu mereka menjadikan kain-kain itu
sebagai penutup kepalanya

Abu Ayub Ayub Al-Anshary, ketika mendengar seruan jihad, Dalam surat At-Taubah :
41

َ‫ا ْنفِرُوا ِخفَافًا َوثِقَااًل َو َجا ِهدُوا بِأ َ ْم َوالِ ُك ْم َوأَ ْنفُ ِس ُك ْم فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah
kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu Mengetahui.”

Abu Ayub berseru kepada anak-anaknya, “Jahhizuuny! Jahhizuuny!” siapkan peralatan


perangku!. Anak-anaknya membujuk agar bapaknya tidak perlu berangkat untuk
berjihad, karena usianya sudah udzur, cukup di wakilkan saja oleh anak-anaknya. Abu
Ayyub menolak bujukan anak-anaknya seraya berkata : “ketahuilah wahai anak-anakku,
yang dimaksud ayat tersebut adalah ‫االً ٍلي‬55َ‫ ِخفَافًالَ ُك ْم َوثِق‬, ringan bagi kalian berat bagiku,
beliaupun tetap berangkat dan menemukan syahidnya dalam perjalanan jihad tersebut.
(lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Sedangkan Lezatnya kesulitan (Istildzadz al-masyaqqah) dalam dakwah dirasakan oleh


Rasulullah saw., ketika beliau menghadapi ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap
ajaran Islam, sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat Thaif ketika Rasulullah saw.
hijrah ke sana, yaitu pada saat Nabi menyampaikan dakwahnya, mengajak mereka untuk
menerima ajaran Islam, tetapi tidak ada sedikitpun sambutan baik dari para tokoh mereka,
bahkan dengan nada yang sangat melecehkan dan menyakitkan, mereka menanggapi
dakwah Nabi seraya berkata,

“Coba kau robek kiswah ka’bah jika engkau memang benar-benar utusan Allah.”

Yang lainnya pun turut berkomentar,

“Apa tidak ada lagi orang yang lebih pantas diutus oleh Allah selain engkau?”

Dengan penuh kesabaran dan ketabahan Rasulullah saw. menerima kenyataan pahit
tersebut, beliau tetap berlapang dada dan tidak mempermasalahkan tentang penolakan
dan penentangan mereka. Oleh karena itu ketika malaikat penjaga gunung Alaihissalaam
menawarkan kepada Nabi, bila beliau setuju ia akan mengangkat dua buah bukit yang ada
di Thaif lalu ditimpakan kepada mereka, dengan penuh kelembutan dan kasih sayang
Rasulullah saw. menanggapinya seraya berkata,

ُ ‫بَلْ أَرْ جُو أَ ْن ي ُْخ ِر َج هَّللا ُ ِم ْن أَصْ اَل بِ ِه ْم َم ْن يَ ْعبُ ُد هَّللا َ َوحْ َدهُ اَل يُ ْش ِر‬
‫ك بِ ِه َش ْيئًا‬

“Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak
orang-orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya
dengan sesuatu apapun.”

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamroh mengibaratkan manisnya iman dengan sebuah
pohon, sebagaimana firman Allah :

ٌ ِ‫ب هَّللا ُ َمثَاًل َكلِ َمةً طَيِّبَةً َك َش َج َر ٍة طَيِّبَ ٍة أَصْ لُهَا ثَاب‬
‫ت َوفَرْ ُعهَا فِي ال َّس َما ِء‬ َ َ‫أَلَ ْم ت ََر َك ْيف‬
َ ‫ض َر‬

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat


yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit.” (Ibrahim : 24)

Yang dimaksud kalimat dalam ayat tersebut adalah kalimatul ikhlas ‫ال اله اال هللا‬, batang
pohonnya adalah pangkal iman, cabang dan rantingnya adalah menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, dedaunannya adalah kepedulian terhadap kebajikan,
buahnya adalah amal ketaatan, rasa manisnya adalah ketika memetiknya, dan puncak
manisnya adalah ketika matangnya sempurna saat dipetik, disitulah sangat terasa
manisnya.

َّ‫ولُهُ أَ َحب‬5‫انَ هَّللا ُ َو َر ُس‬5‫ َم ْن َك‬:‫ان‬5 ِ ‫ َد بِ ِه َّن َحالَ َوةَ ا ِإل ْي َم‬5‫ث َم ْن ُك َّن فِي ِه َو َج‬ ٌ َ‫ ((ثَال‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬ َ ‫س َع ِن النَّبِ ِّي‬ ٍ َ‫ع َْن أَن‬
َ‫ َذف‬5‫ َرهُ أَ ْن يُ ْق‬5‫ا يَ ْك‬5‫ َوأَ ْن يَ ْك َرهَ أَ ْن يَعُو َد فِي ْال ُك ْف ِر بَ ْع َد أَ ْن أَ ْنقَ َذهُ هَّللا ُ ِم ْنهُ َك َم‬،ِ ‫ َوأَ ْن يُ ِحبَّ ْال َمرْ َء الَ يُ ِحبُّهُ إِالَّ هَّلِل‬،‫إِلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما‬
)‫ (رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم‬.))‫ار‬ ِ َّ‫فِي الن‬.

Dari Anas ra, dari Nabi saw. bersabda, “Tiga perkara jika kalian memilikinya, maka
akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintai dari selainnya. (Kedua) agar mencintai seseorang semata-mata karena
Allah swt. (Ketiga), tidak senang kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh
Allah swt, sebagaimana ketidak-senangannya dilempar ke dalam api neraka.” (HR
Bukhar Muslim dengan redaksi Muslim)

‫ َي بِاهَّلل ِ َربًّا‬5‫ض‬ َ ِ ‫ب أَنَّهُ َس ِم َع َرسُو َل هَّللا‬


َ ‫ (( َذا‬:‫و ُل‬55ُ‫لَّ َم يَق‬5‫ ِه َو َس‬5‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬5‫ص‬
ِ ‫ق طَ ْع َم‬
ِ ‫ا ِن َم ْن َر‬55‫اإل ْي َم‬ ِ ِ‫َّاس ْب ِن َع ْب ِد ْال ُمطَّل‬
ِ ‫ع َْن ْال َعب‬
)‫ َوبِا ِإل ْسالَ ِم ِدينًا َوبِ ُم َح َّم ٍد َرسُوالً)) (رواه مسلم‬.

Dari Al-Abbas bin Abdil Muttalib, bahwasanya ia mendengar Rasulallah saw. bersabda,
“Telah merasakan lezatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam
sebagai dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini sangat agung maknanya, termasuk dasar-dasar Islam, berkata para ulama, “Arti
dari manisnya iman adalah mersakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan
menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya, lebih
mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw. menjelaskan bahwa tiga perkara bila kalian berada
di dalamnya maka akan didapati manisnya iman, karena sarat mendapatkan manisnya
sesuatu adalah dengan mencintainya, maka barang siapa yang mencintai sesuatu dan
bergelora cintanya, maka ketika berhasil mendapatkannya, ia akan merasakan manis,
lezat dan kegembiraannya. Karena itu seorang mukmin yang telah mendapatkan
manisnya iman yang mangandung unsur kelezatan dan kesenangan akan diiringi dengan
kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Allah swt. Dan kesempurnan itu dapat
diwujudkan dengan tiga hal.

Pertama : menyempurnakan cinta kepada Allah yaitu dengan menjadikan Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lainnya, karena cinta kepada Allah tidak cukup hanya
sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang lain-Nya

Kedua : menjadikan cinta kepada Allah menjadi pangkal dari cabang cinta kepada yang
lain, yaitu mencintai orang lain semata-mata karena dan untuk Allah swt., sehingga
dalam mencintai ia tetap mengikuti prosedur dan mekanisme cinta yang telah ditetapkan
oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah, misalnya tidak berkhalwat, menyegerakan akad
nikah dan menghindari perbuatan yang mendekati pada perzinahan. (tidak pacaran) (QS.
24 : 30-31, 33 : 59)

Menolak segala hal yang bertentangan dengan cinta-Nya, yaitu tidak menyukai hal-hal
yang bertentangan dengan keimanan melebihi ketidaksukaannya bila dirinya dilemparkan
ke dalam api neraka.

، َ‫ك‬5‫اس ِم ْن نَ ْف ِس‬ ِ 5َ‫ق ِمنَ اُ ِال ْقت‬


َ ‫ َوإِ ْن‬، ‫ار‬5
ِ َّ‫افُ الن‬5‫ص‬ ْ َ‫ا‬: ‫ث َم ْن ُك َّن فِ ْي ِه َو َج َد بِ ِه َّن َحالَ َوةَ ْااِل ْي َما ِن‬
ُ َ ‫النِ ْفا‬ ٌ َ‫ ثَال‬: ‫ار ب ِْن يَا ِس ٍر قا َ َل‬
ِ ‫ع َْن َع َّم‬
)‫َوبذ ُل السال ِم لِل َعال ِم (رواه عبد الرزاق) علقه البخاري في (كتاب االيمان‬ َ ْ َ َّ ْ

Amar bin Yasir berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya ia
merasakan manisnya keimanan, berinfak dari kekikiran, bersikap adil terhadap manusia
dari dirinya, dan mengupayakan keselamatan (salam) bagi alam.” (Diriwayatkan
Abdurazzaq, Bukhari mencantumkannya di kitab Al-Iman).

Hadits yang dibawakan oleh Amar bin Yasir ra. tersebut di atas, juga menjelaskan
tentang tiga hal yang dapat mendatangkan manisnya iman

Pertama : berinfak secukupnya, tidak berlebihan sehingga menzalimi hak-hak yang


lainnya, tapi juga tidak kikir dengan hartanya

Kedua : bersikap objektif, tidak menghalanginya untuk berbuat baik dan adil kepada
manusia, walaupun ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri, misalnya walaupun
disakiti dan dizalimi oleh seseorang, tetapi tidaka menghalanginya untuk memaafkannya
dan tetap berbuat baik kepadanya

Ketiga : Menebarkan kesejahteraan kepada seluruh alam semesta, memperjuangkan


sesuatu demi kebaikan manusia dan seluruh makhluk lainnya, seperti dengan melakukan
kegiatan amal siasi maupun amal khidam ijtima’i (kegiatan sosial)

‫ َويَ ْعلَ ُم‬، ‫ ِة‬5‫ذبُ فِي ْال ُم َزا َح‬55


ْ ‫ َو ْال ِك‬، ‫ق‬ ِّ ‫في ْال َح‬ِ ‫ك ْال ِم َرا ِء‬ ِ ‫ث َم ْن ُك َّن فِ ْي ِه يَ ِج ْد بِ ِه َّن َحالَ َوةَ ْا ِال ْي َم‬
ُ ْ‫ تَر‬: ‫ان‬ ٌ َ‫ ثَال‬: ‫ال‬
َ َ‫َع ِن ا ْب ِن َم ْسعُوْ ٍد ق‬
)‫ (رواه عبد الرزاق‬.ُ‫ص ْيبَه‬ َ َ َ
ِ ُ‫ َوأ َّن َما أ ْخطَأهُ لَ ْم يَ ُك ْن لِي‬، ُ‫صابَهُ لَ ْم يَ ُك ْن لِي ُْخ ِطئَه‬ َ
َ ‫أ َّن َما أ‬ َ

Ibnu Mas’ud juga berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya akan
merasakan manisnya iman, menghindari perdebatan dalam hal kebenaran, tidak berdusta
dalam bercanda, dan menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena
kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).”
(Diriwayatkan Abdurrazzaq).

ِ ‫أَهُ لَ ْم يَ ُك ْن لِي‬5َ‫ا أَ ْخط‬5‫ َوأَ َّن َم‬، ُ‫ه‬5َ‫صابَهُ لَ ْم يَ ُك ْن لِي ُْخ ِطئ‬
ُ‫ ْيبَه‬5‫ُص‬ َ َ‫ى يَ ْعلَ َم أَ َّن َما أ‬
َّ ‫ “الَ يَ ِج ُد َع ْب ٌد َحالَ َوةَ ا ِإل ْي َما ِن َحت‬:‫عن أنس مرفوعا‬
)‫ السلسلة الصحيحة‬- ‫ (األلباني‬.‫ ) بإسناد حسن عنه‬247 ( ‫ أخرجه ابن أبي عاصم‬. ‫… ” الحديث‬

Dari Anas secara marfu’ mengatakan, “Tidaklah seorang hamba merasakan manisnya
keimanan sehingga dia menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena
kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” Hadits
tersebut dikeluarkan Ibnu Abi Ashim, hadits sahih dengan sanad yang baik, termaktub
dalam silisilah hadits sahih karya Imam Albani.

(‫ار ِه ْم‬
ِ ‫ص‬َ ‫ضهُ هللاُ خَ ْيرًا * )قُلْ لِ ْل ُم ْؤ ِمنِ ْينَ يَ ُغضُّ وا ِم ْن أَ ْب‬ َ ‫ك َش ْيئًا هّلِل ِ َع َّو‬ ِ ‫َو ْالغَضُّ َع ِن ْال َم َح‬
َ ‫ َو َم ْن تَ َر‬،‫ار ِم يُوْ ِجبُ َحالَ َوةَ ا ِإل ْي َما ِن‬
)1/677 ‫ (فيض القدير‬.ُ‫ت َح َس َراتُه‬ ْ ‫ق لَ َحظَاتِ ِه دَا َم‬ ْ َ‫ َو َم ْن أ‬،ُ‫ ِم ْنه‬.
َ َ ‫طل‬

“Katakanlah kepada mukmin laki-laki agar menahan pandangan mereka…” (An-Nur:


30). Yaitu menahan dari apa yang diharamkan Allah swt. pasti akan mendatangkan
manisnya iman, dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah
akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, dan barangsiapa yang
membebaskannya walau hanya sekejap maka akan abadi penyesalannya”

‫ ُج َد‬5 ‫رْ أَةَ أَ ْن ت َْس‬55‫ت ْال َم‬ ُ ْ‫ت آ ِمرًا أَ َحدًا أَ ْن يَ ْس ُج َد ألَ َح ٍد ألَ َمر‬ُ ‫”لَوْ ُك ْن‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ ق‬:‫ع َْن ُم َعا ِذ بن َجبَ ٍل قَا َل‬
‫” (المعجم‬.‫ب‬ ٍ َ ‫ت‬َ ‫ق‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ه‬ 5 ‫س‬‫ف‬ْ َ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ه‬َ ‫ل‬
َ َ َ َ َ ْ‫و‬5 َ َ ِ ْ‫و‬َ ‫أ‬5 ‫س‬ 5َ ‫ل‬ ‫و‬ ،‫ا‬55 ‫ه‬‫ج‬ َ
‫ز‬ َّ
‫ق‬ 5‫ح‬ ‫ي‬
َ َ َ ِّ
‫د‬ ‫ؤ‬ُ ‫ت‬ ‫ى‬ َّ ‫ت‬‫ح‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫م‬ ْ
‫ي‬ ‫إل‬‫ا‬ َ ‫ة‬ ‫و‬َ ‫ال‬ ‫ح‬ ٌ ‫ة‬َ
َ ِ َ ِ َ َ َ ْ ِ ‫ َو‬،‫لِزَ وْ ِجهَا ِم ْن َحقِّ ِه َعلَ ْيهَا‬
‫أ‬ ‫ر‬ ‫م‬‫ا‬ ُ
‫د‬ ‫ج‬َ ‫ت‬ َ ‫ال‬
)‫الكبير للطبراني‬

Dari Muadz bin Jabal berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya aku
memerintahkan seseorang bersujud kepada yang lainnya, maka akan aku perintahkan
isteri sujud kepada suaminya, karena hak-hak suami atasnya, dan tidaklah seorang wanita
mendapatkan manisnya iman sehingga Ia menunaikan hak suaminya, walaupun suaminya
memintanya, sedang Ia sedang berada di atas sekedupnya

ْ ‫ق َو ْا ِلع‬
‫ َذا‬5َ‫يَا ِن َولِه‬5‫ص‬ ِ ْ‫ فَإ ِ َذا َو َج َد ْالقَ ْلبُ َحالَ َوةَ ْا ِإل ْي َما ِن أَ َحسَّ بِ َم َرا َر ِة ْال ُك ْف ِر َو ْالفُسُو‬5:)1/27 :‫اري‬
ِ َ‫ح ْالب‬
ِ ‫قا َ َل ِابْنُ َر َجبْ فِي (فَ ْت‬
]33‫ي ِم َّما يَ ْدعُونَنِي إِلَ ْي ِه} [يوسف‬ َ
َّ َ‫{ربِّ السِّجْ نُ أ َحبُّ إِل‬ َ :ُ ‫قَا َل يُوْ ُسفُ َعلَ ْي ِه ال َّسالَم‬.
Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul Bari 1/27 : “Maka apabila sebilah hati telah
mendapatkan manisnya iman, maka ia akan sensitif merasakan pahitnya kekufuran,
kefasikan dan kemaksiatan, karena itulah Nabi Yusuf AS berkata : “Ya Rabb! Penjari
lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan kepadaku” (QS. Yusuf : 33)

Anda mungkin juga menyukai