Anda di halaman 1dari 31

1

I. Definisi dan Epidemiologi Resistensi Antibiotika serta Nama Program


1.1 Antibiotika dan Resistensi
Antibiotika pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada tahun1910, sampai
saat ini antibiotik masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus
penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan
yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi
masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. The Center for Disease Control
and Prevention in USA menyebutkan terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang
tidak diperlukan (unnescecery prescribing) dari 150 juta peresepan setiap tahun
(Akalin,2002). Menurut Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sekitar
92% masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotika secara tepat. Ketika
digunakan secara tepat, antibiotik memberikan manfaat yang tidak perlu
diragukan lagi. Namun bila dipakai atau diresepkan secara tidak tepat (irrational
prescribing) dapat menimbulkan kerugian yang luas dari segi kesehatan, ekonomi
bahkan untuk generasi mendatang.
Munculnya

kuman-kuman

patogen

yang

kebal

terhadap

satu

(antimicrobacterial resistance) atau beberapa jenis antibiotika tertentu (multiple


drug resistance) sangat menyulitkan proses pengobatan. Pemakaian antibiotika
lini pertama yang sudah tidak bermanfaat harus diganti dengan obat-obatan lini
kedua atau bahkan lini ketiga. Hal ini jelas akan merugikan pasien, karena
antibiotika lini kedua maupun lini ketiga masih sangat mahal harganya.
Sayangnya, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi kekebalan kuman terhadap
antibiotika lini kedua dan ketiga. Disisi lain, banyak penyakit infeksi yang
merebak karena pengaruh komunitas, baik berupa epidemi yang berdiri sendiri di
masyarakat (independent epidemic) maupun sebagai sumber utama penularan di
rumah sakit (nosocomial infection). Apabila resistensi terhadap pengobatan terus
berlanjut tersebar luas, dunia yang sangat telah maju dan canggih ini akan kembali
ke masa-masa kegelapan kedokteran seperti sebelum ditemukannya antibiotika
(APUA, 2011).

Hal-hal diatas telah menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia.


Hingga akhirnya pada peringatan Hari Kesehatan Internasional tahun 2011, WHO
menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Sejalan
dengan tema WHO, Indonesia mengangkat tema Gunakan Antibiotik Secara
Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman. Resistensi kuman terhadap antibiotika
berkembang jauh lebih cepat daripada penelitian dan penemuan antibiotika baru.
Saat ini sedang digalakkan kampanye dan sosialisasi pengobatan secara rasional
yang meliputi pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta
biaya yang tepat. No action today, no cure tomorrow.
Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi
mikroba pada manusia. Sedang antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan
oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara
sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan
organisme lain (Munaf, 1994). Secara garis besar antimikroba dibagi menjadi dua
jenis yaitu yang membunuh kuman (bakterisid) dan yang hanya menghambat
pertumbuhan kuman (bakteriostatik). Antibiotik yang termasuk golongan
bakterisid antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar),
kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain. Sedangkan antibiotik yang
memiliki sifat bakteriostatik, dimana penggunaanya tergantung status imunologi
pasien,

antara

lain

sulfonamida,

tetrasiklin,

kloramfenikol,

eritromisin,

trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain


(Laurence & Bennet,1987).
Pembagian bakteriostatik dan bakterisid ini tidak absolut, tergantung dari
konsentrasi obat, spesies bakteri dan fase perkembangannya. Manfaat dari
pembagian ini berguna dalam hal pemilihan antibiotika, pada pasien dengan status
imunologi yang rendah (imunosuppressed) misalnya penderita HIV-AIDS, pada
pasien pembawa kuman (carrier), pada pasien dengan kondisi sangat lemah
(debilitated) misalnya pada pasien-pasien end-stage, maka harus dipilih
antibiotika bakterisid. Terdapat pembagian lain dalam klasifikasi antibiotika, yaitu
berdasar cara kerja maupun spektrum kerjanya. Penggunaan pembagian ini secara
klinis masih kurang bermanfaat. Dalam prakteknya, klasifikasi yang paling sering

dipakai klinisi adalah berdasar susunan senyawa kimia. Lebih sering dipakai
karena sifatnya yang praktis, nama obat yang dipakai langsung terkait dengan
golongan senyawa kimia masing-masing. Antibiotika yang dibagi berdasar
senyawa kimianya antara lain golongan penicillin, cephalosporin, amfenikol,
aminoglikosida,

tetrasiklin,

makrolida,

linkosamid,

polipeptida,

dan

antimikobakterium (Kucers, Use of Antibiotic).


Di samping antibiotika yang telah disebutkan di atas, akhir-akhir ini juga
mulai diperkenalkan jenis-jenis baru dari golongan beta laktam misalnya
kelompok monosiklik beta laktam yakni aztreonam, yang terutama aktif terhadap
kuman Gram negatif, termasuk Pseudomonas. Juga antibiotika karbapenem
(misalnya imipenem) yang dikatakan tahan terhadap penisilinase dan aktif
terhadap kuman-kuman Gram positif dan Gram negatif. Antibiotika dapat
ditemukan dalam berbagai sediaan, dan penggunaanya dapat melalui jalur topical,
oral, maupun intravena. Banyaknya jenis pembagian, klasifikasi, pola kepekaan
kuman, dan penemuan antibiotika baru seringkali menyulitkan klinisi dalam
menentukan pilihan antibiotika yang tepat ketika menangani suatu kasus penyakit.
Hal ini juga merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya resistensi.
Tidak mengherankan jika bakteri dapat dengan mudah beradaptasi dengan
paparan antibiotika, mengingat keberadaan dan perkembanganya telah dimulai
sejak kurang lebih 3,8 milyar tahun yang lalu. Resistensi pasti diawali adanya
paparan antibiotika, dan meskipun hanya ada satu atau dua bakteri yang mampu
bertahan hidup, mereka punya peluang untuk menciptakan satu galur baru yang
resisten. Sayangnya, satu galur baru yang resisten ini bisa menyebar dari satu
orang ke orang lain, memperbesar potensinya dalam proporsi epidemik.
Penyebaran ini dipermudah oleh lemahnya control infeksi dan penggunaan
antibiotika yang luas (Peterson, 2005).
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang
seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance
didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun klasifikasi
obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan

obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003). Resistensi terjadi ketika
bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya
efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk
mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan
berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap
kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan
perkembangan bakteri (Bari, 2008).

1.2 Program Depkes RI untuk Resistensi Antibiotika di Indonesia


Di seluruh dunia telah diupayakan berbagai cara untuk menanggulangi terjadinya
peningkatan resistensi antimikroba, baik oleh perorangan, institusi, negara,
maupun kerjasama antar institusi atau negara. Beberapa rekomendasi berupa
metode yang telah divalidasi (validated method) untuk mengendalikan resistensi
antimikroba secara efisien dan baku di RS, adalah dengan cara: melaksanakan
surveilans resistensi antimikroba; melaksanakan surveilans penggunaan antibiotik;
melaksanakan surveilans infeksi nosokomial; mengkaji kualitas penggunaan
antibiotik; mengkaji kualitas pengendalian infeksi; meningkatkan kualitas
penggunaan antibiotik; meningkatkan kualitas pengendalian infeksi.
Tujuan program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yaitu
peningkatan mutu layanan rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
melalui PPI yang meliputi: Manajemen risiko, Clinical governance, dan K3;
melindungi nakes dan masyarakat dari penularan penyakit menular (Emerging
Infectious Diseases) dan menurunkan angka penularan HAIs (Hospital Acquired
Infections).
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) merupakan
gerakan pengendalian resistensi antimikroba secara terpadu dan paripurna di unit
pelayanan kesehatan. Implementasi PPRA di rumah sakit akan berjalan dengan
baik apabila mendapat dukungan penuh dari Pimpinan Rumah Sakit yaitu
ditetapkan kebijakan PPRA di rumah sakit, program dan kegiatan PPRA, fasilitas
dan sarana untuk menunjang PPRA, serta dukungan finansial. Program

Pengendalian Resistensi Antimikroba (Antibiotik) tersebut juga merupakan


masalah yang terkait dengan isu Keselamatan Pasien di RS. Peningkatan resistensi
antimikroba terjadi karena proses seleksi (selection) dan penyebaran (spread).
Proses seleksi dapat dicegah dengan cara meningkatkan penggunaan antimikroba
secara bijaksana (prudent use), sedangkan proses penyebaran dapat dicegah
dengan cara meningkatkan pencegahan infeksi secara benar.

II. Definisi dan Gejala Klinis Resistensi Antibiotika


Penggunaan antibiotik yang tidak tepat bisa menyebabkan resistensi. Jika tidak
dikendalikan, akan menjadi pandemi resistensi antibiotik. Guru Besar
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Iwan Dwi
Prahasto

mengatakan,

resistensi

lebih

cepat

dibandingkan

kecepatan

pengembangan antibiotik yang akan menjadikan pandemi. Sejak tahun 2007, tidak
ada satu jenis antibiotik pun yang dikembangkan. Pada tahun 2000 hingga 2007
hanya didapatkan dua jenis antibiotik. Sayangnya, antibiotik ini tidak mengganti
antibiotik yang sudah ada sebelumnya.
Iwan mengatakan, jika antibiotik yang lain sudah resisten, pengganti
antibiotik ini akan resisten. Pengembangan antibiotik lambat karena penelitian ini
dianggap tidak menarik. Para peneliti lebih memilih mengembangkan obat
kardiovaskuler yang dapat dijual dengan harga sangat tinggi. Sedang antibiotik
kebanyakan hanya bisa digunakan untuk penyakit infeksi yang sebagian besar
terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Hingga harga obat ini tidak akan
mahal. Dia menambahkan, sekitar 40-62% antibiotik untuk penyakit yang
sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik. Berdasarkan data di negara
berkembang menunjukkan 40 persen anak-anak dengan diare akut mendapatkan
oralit dan antibiotik. Padahal, untuk kasus ini antibiotik semestinya tidak perlu
diberikan.
Menurut hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRINStudy) terbukti dari 2.494 individu di masyarakat, sebanyak 43% bakteri E

coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika seperti ampisilin (34%). Hasil
penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% E coli resisten
terhadap berbagai jenis antibiotik seperti ampisilin (73%). "Untuk itu masyarakat
diharapkan menggunakan antibiotik secara tepat." Bahkan, sekitar 47-68%
antibiotik dicampur dengan obat lain dalam bentuk puyer. Kondisi ini, masih
ditemukan pada pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas, dokter praktik
swasta dan klinik.
Tidak semua spesies mikroba/bakteri dapat menimbulkan penyakit akibat
resistensi antibiotika. Spesies mikroba/bakteri yang berdampak buruk pada
kesehatan manusia dan dapat menimbulkan penyakit akibat resistensi antibiotika,
yaitu: (1) Kuman Gram-positive (Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis complex, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium,
Streptococcus

agalactiae,

(2)

kuman

Gram-negative

(Escherichia

coli,

Campylobacter jejuni, Neisseria gonorrhoeae, Pseudomonas aeruginosa,


Haemophylus

influenzae,

Helicobacter

pylori

dan

spesies

lain

dari

Enterobacteriaceae seperti Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, Shigella,


Serratia, Citrobacter.
Mekanisme Resistensi
a. Modifikasi antibiotik
Inaktivasi enzim
Salah satu mekanisme resistensi yang paling umum, terjadi pada saat
organisme secara spontan memproduksi enzim yang yang mendegradasi
antibiotik. Banyak strain dari Staphylococcus aureus memproduksi enzim
ekstraselular, -laktamase, yang membuka cincin -laktam penisilin,
sehingga

menginaktivasinya.

Banyak

organisme

lain

mampu

mengekspresikan enzim yang mendegradasi penisilin dan sefalosporin. Di


antara organisme tersebut termasuk Escherichia coli, Haemophylus
influenzae, dan Pseudomonas spp. Seringkali gen yang mengkode enzimenzim ini dapat ditemukan pada elemen genetik yang bergrak/mobile
(transposon) dan dapat ditransmisikan di antara organisme dari spesies
yang berbeda. Penyebaran jenis yang berbeda dari -laktamase dengan

spektrum yang diperluas (extended-spectrum -laktamase, ESBL) seperti


CTXm dan AmpC di antara Enterobacteriaceae, menghasilkan resistensi
penisilin dan sefalosporin berspektrum luas terhadap organisme penyebab
infeksi yang didapat di rumah sakit. Penyebaran ke komunitas sangat
mungkin terjadi.
Penambahan enzim
Bakteri dapat mengekspresikan enzim yang dapat menambahkan suatu
gugus kimia ke dalam antibiotik, sehingga menghambat aktivitas
antibiotik tersebut. Bakteri menjadi resisten terhadap aminoglikosida
dengan mengekspresikan enzim yang menginaktivasi antibiotik dengan
menambahkan gugus aestil, amino, atau adenosin ke dalam molekul
antibiotik. Anggota yang berbeda dari aminoglikosida memiliki kerentanan
yang berbeda terhadap modifikasi ini, amikasin merupakan yang paling
tidak rentan. Enzim resistensi aminoglikosida dimiliki oleh organisme
Gram-positive seperti Staphylococcus aureus, dan organisme Gramnegative, seperti Pseudomonas spp.
b. Impermeabilitas
Beberapa bakteri secara alami resisten terhadap antibiotik karena envelope
selnya impermeabel terhadap antibiotik tertentu. Organisme Gramnegative terutama Pseudomonas spp., bersifat impermeabel terhadap
beberapa antibiotik -laktam. Aminoglikosida memasuki bakteri dengan
mekanisme transpor yang bergantung pada oksigen dan karena itu
memiliki sedikit efek dalam melawan organisme anaerob.
c. Mekanisme efluks
Bakteri, contohnya E. coli, dapat menjadi resisten terhadap tetrasiklin
dengan adanya protein membran dalam yang secara aktif memompa
antibiotik keluar dari sel. Streptococcus dapat menjadi resisten terhadap
makrolida dengan menggunakan pompa efluks.
d. Jalur alternatif
Mekanisme lain yang sering ditemukan adalah bakteri membuat suatu
jalur alternatif untuk menghindari blokade metabolisme akibat antibiotik.
Staphylococcus

aureus

menjadi

resisten

terhadap

metisilin

atau

flukloksasilin jika mendapat gen mecA. Gen ini mengkode protein

pengikat penisilin alternatif (alternative penicillin-binding protein, PBP2)


yang tidak dihambat oleh metisilin. Walaupun komposisi dinding selnya
berubah, organisme ini masih dapat bermultiplikasi. Perubahan yang
serupa dari protein pengikat penisilin pada Streptococcus pneumoniae
bertanggung jawab atas resistensi organisme ini.
e. Perubahan lokasi target
Rifampisin bekerja dengan menghambat subunit dari RNA polimerase.
Resistensi terjadi saat gen RNA polimerase mengalami perubahan akibat
mutasi titk, insersi, atau delesi. RNA polimerase yang baru tidak dihambat
oleh rifampisin sehingga muncul resistensi.

Gambar 2.1 Resistensi antibiotika oleh mutasi genetik akibat perubahan pada:
a. kode ikatan protein; b. ribosom; c. struktur membran; d. inaktivasi enzim

III. Distribusi Resistensi Antibiotika Menurut Umur, Jenis Kelamin dan


Daerah Penyebaran
Staphylococcus aureus merupakan flora normal manusia yang dapat bersifat
patogen dan memiliki kemampuan untuk menyebabkan infeksi pada kondisi yang
kurang baik. Staphylococcus aureus bersifat komensal di mana-mana dan

berkolonisasi di kulit dan mukosa manusia. Walaupun S. aureus dapat


berkolonisasi di banyak bagian dari tubuh manusia, bagian depan dari hidung
(anterior nares) adalah tempat yang paling berpeluang besar untuk ditemukannya
S. aureus (27%). Mekanisme yang paling penting dalam nasal carriage S. aureus
bersifat mutifaktorial, salah satunya dipengaruhi oleh faktor demografi (usia, jenis
kelamin dan etnis). Pernyataan ini juga didukung oleh fakta bahwa jumlah karier
S. aureus bervariasi di antara perbedaan kelompok etnis, dengan nilai yang tinggi
pada orang berkulit putih dan pada laki-laki dan juga tergantung pada umur.
Berdasarkan NHANES (National Health and Nutrition Examination
Survey) 2001-2002 ditemukan prevalensi dari nasal carriage S. aureus di Amerika
Serikat sebesar 32,40%. Studi longitudinal menunjukkan bahwa sekitar 20% dari
populasi orang dewasa merupakan karier S. aureus yang persisten, 30%
merupakan karier intermiten dan 20% merupakan non karier. Anak-anak dan
remaja di bawah 20 tahun mempunyai angka karier persisten lebih tinggi
dibandingkan dengan orang dewasa. Karier S. aureus yang persisten ditemukan
sebanyak 10% pada anak-anak berumur 0-9 tahun dan 24 % anak-anak berumur
10-19 tahun. Di kota Semarang, angka karier pada populasi mahasiswa mencapai
25% (personal communication), dan pada AMRIN study (di Semarang dan
Surabaya) mencapai 9,1%.
Selain itu, S. aureus telah menunjukkan penyesuaian yang tinggi dan
mekanisme resistensi yang berkembang terhadap hampir semua antibiotik yang
diperkenalkan dalam beberapa dekade terakhir. S. aureus juga menjadi penyebab
utama infeksi di rumah sakit dan komunitas di negara maju dan negara
berkembang. Data prevalensi MRSA (Metichillin Resistant Staphylococcus
aureus) di Asia Tenggara sangat bervariasi, mulai dari 0% di Laos, 7% di Filipina,
25% di Malaysia, hingga 39% di Singapura.
Menurut AMRIN study, dari 361 karier S. aureus, 32,1% resisten terhadap
1 atau lebih antibiotik di mana 21,6% resisten terhadap 1 jenis antibiotik dan
sisanya resisten terhadap 2 atau lebih antibiotik. Di dalam komunitas, tingkat
resistensi tertinggi adalah terhadap tetracycline (25,1%) sedangkan tingkat
resistensi terendah adalah terhadap oxacillin (0%). Penelitian yang dilakukan oleh

10

Manious et al dan Grahams et al, diperoleh hasil bahwa prevalensi MRSA


bervariasi menurut usia, jenis kelamin, dan etnis. Dari seluruh individu yang
memiliki kolonisasi S. aureus dan merupakan karier MRSA, sebanyak 2,03%
berusia 1 64 tahun dan 8,28% berusia 65 tahun. Jika dilihat dari faktor jenis
kelamin, diperoleh hasil bahwa sebanyak 4,14% dari karier MRSA adalah
perempuan dengan perbandingan prevalensi karier MRSA pada laki-laki hanya
1,33%. Dari segi etnis, didapatkan hasil bahwa 2,70% karier MRSA adalah non
Hispanic white, 4,14% non Hispanic black dan 0,79% adalah Hispanic. Dengan
demikian, faktor demografi seperti usia, jenis kelamin dan etnis berpengaruh
terhadap kejadian kolonisasi dan pola resistensi S. aureus.

IV. Faktor Paparan


Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan
irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima
antibiotik sebagai pengobatan ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi
antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar
indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa faktor yang
mendukung terjadinya resistensi, antara lain :
1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional): terlalu singkat, dalam dosis
yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, dalam potensi yang tidak
adekuat.
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan yang
salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam
penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu,
batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan
kemampuan financial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik
yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien
membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication).
Sedangkan pasien dengan kemampuan financial yang rendah seringkali
tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.

11

3. Peresepan: dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care


expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan
meningkat ketika diagnose awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan
dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam
hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.
4. Penggunaan monoterapi: dibandingkan dengan penggunaan terapi
kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
5. Perilaku hidup sehat: terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci
tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan
dipakai untuk memeriksa pasien.
6. Penggunaan di rumah sakit: adanya infeksi endemic atau epidemic
memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal-bangsal
rawat inap terutama di intensive care unit (ICU). Kombinasi antara
pemakaian antibiotic yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya
pasien yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi
nosokomial.
7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak: antibiotic juga dipakai
untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak.
Dalam jumlah besar antibiotic digunakan sebagai suplemen rutin untuk
profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai
dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi
serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran
barang sehingga jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini
memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika.
9. Penelitian: kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk
menemukan antibiotika baru (Bisht et al, 2009).
10. Pengawasan: lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam
distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan
mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter.
Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk

12

meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi


(Kemenkes RI, 2011).

Konsekuensi

Resistensi antibiotik terhadap mikroba menimbulkan beberapa konsekuensi


yang fatal. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang gagal berespon
terhadap pengobatan mengakibatkan perpanjangan penyakit (prolonged
illness), meningkatnya risiko kematian (greater risk of death) dan semakin
lamanya masa rawat inap di rumah sakit (length of stay). Ketika respon
terhadap pengobatan menjadi lambat bahkan gagal, pasien menjadi infeksius
untuk beberapa waktu yang lama (carrier). Hal ini memberikan peluang yang
lebih besar bagi galur resisten untuk menyebar kepada orang lain. Kemudahan
transportasi dan globalisasi sangat memudahkan penyebaran bakteri resisten
antar daerah, negara, bahkan lintas benua. Semua hal tersebut pada akhirnya
meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi dalam komunitas (Deshpande et
al, 2011).
Ketika infeksi menjadi resisten terhadap pengobatan antibiotika lini
pertama, maka harus digunakan antibiotika lini kedua atau ketiga, yang mana
harganya lebih mahal dan kadang kala pemakaiannya lebih toksik. Di negaranegara miskin, dimana antibiotika lini pertama maupun kedua tidak tersedia,
menjadikan potensi resistensi terhadap antibiotika lini pertama menjadi lebih
besar. Antibiotika di Negara miskin, didapatkan dalam jumlah sangat terbatas,
bahkan antibiotika yang seharusnya ada untuk mengatasi penyakit infeksi
yang disebabkan bakteri pathogen resisten, tidak terdaftar dalam daftar obat
esensial (Bisht et al, 2009).
Konsekuensi lainnya adalah dari segi ekonomi baik untuk klinisi, pasien,
health care administrator, perusahaan farmasi, dan masyarakat. Biaya
kesehatan akan semakin meningkat seiring dengan dibutuhkannya antibiotika
baru yang lebih kuat dan tentunya lebih mahal. Sayangnya, tidak semua
lapisan masyarakat mampu menjangkau antibiotika generasi baru tersebut.

13

Semakin mahal antibiotik, semakin masyarakat tidak bisa menjangkau,


semakin banyak karier di masyarakat, semakin banyak galur baru bakteri yang
bermutasi dan menjadi resisten terhadap antibiotika.
Sampai sekarang, faktanya sangat sulit membayangkan adanya prosedur
yang efektif untuk menangani resistensi ini. Klinisi akan sangat kesulitan
menentukan keputusan regimen terapi pada pasien-pasien dengan risiko
infeksi tinggi, misalnya pada pasien yang akan menjalani prosedur bedah,
transpalntasi, pasien dengan kemoterapi karena kanker, pasien-pasien kritis
yang berusia sangat muda atau sangat tua, pasien HIV dalam masa
pengobatan, tanpa keberadaaan antibiotika yang ampuh mengatasi masalah
resistensi (Bhatia & Narain, 2010).

V. Resistensi Antibiotika sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Masyarakat


Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain antibakteri/antibiotik,
anti jamur,anti virus,anti protozoa. Antibiotik merupakan obat yang paling banyak
digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan
bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk
penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian
kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30%
sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Hadi,2009).
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas,
juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi.
Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga
berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya Streptococcus pneumoniae

14

(SP), Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Beberapa kuman resisten


antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia,yaitu Methicillin-Resistant
Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE),
Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan
Extended-SpectrumBeta-Lactamase (ESBL),Carbapenem-Resistant Acinetobacter
baumannii dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blancoetal.
2000; Stevensonetal.2005).
Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik
yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang
tidak benar difasilitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Antimicrobial
Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2.494 individu di
masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik
antara lain: ampisilin (34%), Kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%).
Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81%
Escherichia coli Resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin
(73%), Kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%) dan
gentamisin(18%).
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan,
Supriyantoro menuturkan, jumlah dokter spesialis mikrobiologi klinik di daerah
sangat terbatas. Padahal, jumlah laboratorium biologi yang mampu melakukan
pemeriksaan kultur dan resistensi kuman di Indonesia juga terbatas. Untuk
mengatasi kekurangan itu perlu ada pelatihan kompetensi dasar mikrobiologi,
terutama bagi dokter di daerah. Jadi, nanti para ahli mikrobiologi perlu menyusun
modul panduan pelatihan, kata Supriyantoro saat membuka Simposium Best
Practices in Antimicrobial Resistance Mitigation, di Jakarta. Supriyantoro yang
hadir mewakili Menteri Kesehatan mengatakan, resistensi antimikroba/antibiotika
menjadi topik penting dalam dunia kesehatan. Resistensi yang dipicu oleh mutasi
kuman ini bisa menimbulkan infeksi baru, memunculkan kejadian luar biasa
pada penyakit menular tertentu, serta menimbulkan resistensi ganda. Kondisi
tersebut bisa memicu kematian.

15

Pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara yang
memiliki kasus resistensi multiantibiotika tertinggi di dunia. Resistensi antibiotika
bisa muncul karena pemberian antibiotika yang tidak tepat oleh dokter, rendahnya
kualitas obat antibiotika, lamanya pemberian antibiotika, minimnya pengetahuan
masyarakat dalam memakai antibiotika, dan minimnya sarana untuk mendiagnosis
pemicu penyakit. Oleh karena itu, pembekalan bagi dokter serta penguatan
laboratorium mikrobiologi klinik akan menjadi fokus pemerintah. Dukungan dari
pihak farmasi, apotek, dan pabrik obat sangat diperlukan.
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia
(PAMKI) Sam Suharto menyatakan, infeksi saat ini muncul dengan variasi yang
semakin beragam. Oleh karena itu, kehadiran ahli mikrobiologi mutlak diperlukan
di rumah sakit guna menangani infeksi, sekaligus menahan meluasnya resistensi
terhadap antibiotika.

VI. Program Surveilans


INSTRUMEN EVALUASI PELAKSANAAN
PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA (PPRA)
DI RUMAH SAKIT
A. INPUT
Dalam evaluasi pelaksanaan PPRA terdapat 17 standar yang perlu diperhatikan.
Pada Standar 17, melaporkan semua kegiatan PPRA kepada Pimpinan Rumah
Sakit. Di bawah ini dapat kita pelajari Standar 1, Parameter.1 (Peran Pimpinan
Rumah Sakit Dalam Mendukung PPRA) dan Standar 8, Parameter.1 (Pelayanan
Farmasi dalam Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik).
Standar.1,Parameter.1 :
Peran Pimpinan Rumah Sakit Dalam Mendukung PPRA
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) merupakan gerakan
pengendalian resistensi antimikroba secara terpadu dan paripurna di unit

16

pelayanan kesehatan. Implementasi PPRA di rumah sakit akan berjalan dengan


baik apabila mendapat dukungan penuh dari Pimpinan Rumah Sakit yaitu
ditetapkan kebijakan PPRA di rumah sakit, program dan kegiatan PPRA, fasilitas
dan sarana untuk menunjang PPRA, serta dukungan finansial.
Skor:
0 = Tidak ada kebijakan PPRA di Rumah Sakit
1 = Ada kebijakan PPRA di Rumah Sakit, tidak ada kegiatan
2 = Ada kebijakan PPRA, tidak ada kegiatan
3=

Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tidak tersedia fasilitas dan sarana

4 = Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tersedia fasilitas dan sarana, tidak ada
anggaran khusus
5 = Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tersedia fasilitas dan sarana, dan ada anggaran
khusus PPRA di rumah sakit.

D.O.
:
A. Kebijakan

PPRA

adalah

Penetapan

langkah-langkah

strategis

program

pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit yang ditetapkan oleh


Pimpinan Rumah Sakit.
B. Kegiatan PPRA adalah Pelaksanaan implementasi PPRA di rumah sakit tertuang
dalam program kerja tahunan yang disusun dalam Strategic Action Plan (SAP).

17

C. Langkah-langkah kegiatan pelaksanaan PPRA, meliputi :


1. Membentuk Tim PPRA Rumah Sakit.
2. Mempunyai pedoman penggunaan antibiotik di rumah sakit.
3. Sosialisasi pedoman penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi
4. Melakukan pengumpulan data dasar (peta medan mikroba, data resistensi,
evaluasi

kuantitas

dan

kualitas

penggunaan

antibiotik),

sebagai

pembanding minimal 2-3 bulan secara retrospektif (pilot study)


5. Melakukan implementasi pelaksanaan pedoman penggunaan antibiotik
6. Melakukan pencatatan dan pengelolaan data serta forum diskusi.
7. Menyajikan data studi operasional di SMF masing-masing, selanjutnya
dipresentasikan di rapat tinjauan manajemen (seminar, lokakarya,
semiloka, workshop)
8. Melakukan pembaharuan secara berkala pedoman penggunaan antibiotik
berdasarkan peta medan mikroba dan data resistensi terbaru.
9. Kembali ke point 3.
10. Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan.
Fasilitas/ sarana yang mendukung terselenggaranya PPRA
D.
Dukungan finansial berupa alokasi anggaran khusus untuk kegiatan operasional
G.

PPRA

C.P.:
*D: Kebijakan rumah sakit, program, kegiatan, fasilitas/ sarana, alokasi anggaran
*O: *W: Pimpinan dan staf

Skor:

Keterangan / Catatan:

18

Standar.8, Parameter.1.
Pelayanan Farmasi dalam Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik

Pelayanan Farmasi Klinik merupakan bagian dari Pelayanan Farmasi Paripurna


(Comprehensive Pharmaceutical Care) yang diselenggarakan oleh Instalasi Farmasi
Rumah Sakit (IFRS), yang berperan dalam pengelolaan dan penggunaan antibiotik
meliputi : pemilihan, perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran, peresepan,
peracikan, pemberian, penggunaan oleh pasien dan pemantauan.
Pelayanan farmasi klinik tidak hanya menjamin ketersediaan antibiotik sesuai Pedoman
Penggunaan Antibiotik (PPAB) dan Formularium Rumah Sakit (FRS), tetapi juga
berperan dalam memonitor dan mengendalikan penggunaan antibiotik, mengkaji terhadap
peresepan antibiotik, dan memberikan informasi tentang antibiotik.

Skor:
0 = Tidak ada peran dan tidak ada kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik
1 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 3
2 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 5
3=

Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 7

4 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 9
5 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 10

19

D.O.
:
Kegiatan Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik adalah suatu kegiatan
pengelolaan dan penggunaan antibiotik yang saling terkait dan dilakukan secara
berkesinambungan, dengan tujuan untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada penderita, sehingga tercapai pelayanan yang efektif, aman,
rasional, bermutu dan biaya terjangkau.
Kegiatan Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik terdiri dari :
1. Pemilihan: Pemilihan jenis antibiotik yang digunakan di rumah sakit
berdasarkan Pedoman Penggunaan Antibiotik , Formularium Rumah Sakit
dan kesepakatan bersama.
2. Perencanaan Pengadaan: Pemilihan jenis dan jumlah antibiotik yang
digunakan di rumah sakit, dipilih berdasarkan Pedoman Penggunaan
Antibiotik, Formularium Rumah Sakit, disesuaikan dengan data epidemiologi
pola penyakit infeksi yang ada, dengan cara melihat data catatan medik dan
kesepakatan bersama.
3. Pengadaan: Realisasi perencanaan pengadaan yang telah disepakati,
disesuaikan

dengan

kebutuhan

dan

anggaran,

melalui

pembelian,

produksi/pembuatan sediaan farmasi, atau sumbangan / dropping / hibah.


4. Penyimpanan: Peyimpanan antibiotik sesuai dengan persyaratan aspek
farmasetik yang berlaku baik penyimpanan sediaan jadi maupun setelah
rekonstitusi.
5. Penyaluran: Sistem penyaluran antibiotik untuk pelayanan pasien rawat
darurat, rawat jalan, rawat inap dan rawat intensif.
6. Peresepan: Dokter menulis permintaan antibiotik di lembar resep dan catatan
medik (CM). Farmasis mengkaji peresepan antibiotik dan memberikan
informasi jika ditemukan Drug Related Problems (DRPs) baik yang aktual
maupun potensial akan terjadi.
7. Peracikan: Peracikan antibiotik untuk penderita rawat inap dilaksanakan
dengan sistem Unit Dose Dispensing (UDD). Sediaan yang tidak stabil setelah
rekonstitusi dan diperlukan dosis kecil, dapat dilakukan dengan metode
sharing use atau repackaging.

20

8. Pemberian: Pemberian antibiotik kepada pasien rawat inap diberikan oleh


perawat ruangan berdasarkan unit dose untuk penggunaan satu hari,
selanjutnya pemberian kepada pasien sesuai jam-jam pemberian obat. Setiap
pemberian obat dicatat di form. Rekaman Pemberian Antibiotik (RPA) atau di
form.Kartu Catatan Obat (KCO). Farmasis memonitor pemberian antibiotik.
9. Penggunaan: Penggunaan antibiotik oleh pasien sesuai dengan rencana
pengobatan yang ditetapkan oleh dokter. Farmasis memonitor penggunaan
antibiotik oleh pasien.
10. Pemantauan manfaat dan keamanan: Pemantauan manfaat dan keamanan
dilaksanakan bersama-sama oleh Klinisi, Farmasis, Spesialis Mikrobiologi
Klinik atau Spesialis Patologi Klinik dan Perawat.
Pemantauan manfaat antibiotik meliputi pemantauan terhadap tandatanda keberhasilan dan kegagalan terapi, dengan melihat data klinis, data
laboratorium dan data pemeriksaan mikrobiologi.
Pemantauan keamanan meliputi pemantauan terhadap timbulnya efek
samping, reaksi alergi atau toksisitas.
C.P.:
*D: -

Dokumen -dokumen pengelolaan penggunaan antibiotik

Ketersediaan antibiotik, PPAB, Formularium RS

Daftar antibiotik yang tidak stabil setelah rekonstitusi

- Form.RPA atau Form.KCO


*O: Pelayanan farmasi di unit-unit terkait.
*W: Pimpinan dan Staf

Skor:

Keterangan / Catatan:

21

VII. Program Screening


Untuk mendeteksi ada atau tidaknya mikroba yang resisten (kebal) terhadap
antibiotik/antimikroba dalam tubuh penderita yang terinfeksi, dapat dilakukan uji
diagnostik dalam laboratorium mikrobiologi klinik secara bertahap.
Bahan
- Sputum diperoleh dari penderita/ pasien yang terinfeksi.
- Pewarnaan Gram: Gentian Violet, Lugol, Alkohol 96%, Safranin.
- Medium Perbenihan: Agar darah (Blood agar Plate), agar nutrien
-

(Nutrient Agar),
Agar Mueller-Hinton, Tioglikolat, Disk.
Antibiotik : disk standar (oxoid)
Antibiotik yang digunakan untuk bakteri batang Gram negatif:
Kotrimoksazol (25 g), Gentamisin(10 g), Kloramfenikol (30g),
Tikarsilin(100g), Siprofloksasin (5 g),Ofloksasin (5 g),

Amikasin (30g).
Antibiotik yang digunakan untuk bakteri kokus Gram positif:
Gentamisin (10 g), Kloramfenikol (30 g), Eritromisin (15 g),
Kotrimoksazol (25g), Siprofloksasin (5 g), Ofloksasin (5g),
Teikoplanin (30 g),Vankomisin(30 g), Oksasilin (okin).

22

Di samping itu digunakan (OP) 5 g untuk pemeriksaan


Streptococcus

hemolyticus:

untuk

membedakan

antara

Streptococcus viridans dan Streptococcus pneumoniae; Basitrasin


(BC) 0,05 g untuk pemeriksaan Streptococcus hemolyticus:
untuk membedakan Streptococcus hemolyticus grup A dengan
-

non grup A.
Medium untuk uji biokimia: Gulagula (Laktosa, Sakarosa, Maltosa,
Glukosa, Manitol), Sitrat,Voges-Proskauer, Indol, Merah metil, dan
Triple Sugar Iron Agar (TSI).

Cara kerja
Pengerjaan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1. Isolasi bakteri dari sputum penderita,
2. Uji karakteristik koloni bakteri,
3. Identifikasi bakteri dari sputum secara biokimia, serta penetapan
sensitivitas bakteri isolat dari sputum terhadap beberapa antibiotik dengan
cara cakram. Skema kerja secara lengkap diuraikan dalam gambar 7.1.

23

Gambar 7.1 Skema kerja

Gambar 7.2 Skema kerja untuk pemeriksaan bakteri batang Gram negatif

24

Uji Kepekaan (Sensitivitas) Bakteri terhadap antibiotik


Apakah bakteri tersebut sensitive atau resisten (kebal) terhadap antibiotik ?
Pengujian kepekaan bakteri dilakukan menurut cara difusi.
Bakteri yang telah dimurnikan, disuspensikan dalam kaldu sampai
kekeruhannya 0.5 Mc Farland. Dengan bantuan kapas lidi steril, suspensi bakteri
diinokulasikan secara merata pada plat agar Mueller-Hinton yang disuplementasi
dengan darah 5%. Setelah diinkubasi semalam, keesokan harinya diameter zona
hambatan diukur dengan penggaris.
Bakteri dikatakan sensitive jika terdapat diameter zona inhibisi
pertumbuhan bakteri yang diukur dengan penggaris dan ukuran diameter
dibandingkan dengan suatu tabel standar. Jika bakteri itu resisten, maka pada
seluruh agar penuh dengan koloni pertumbuhan bakteri, atau dengan kata lain
tidak terdapat diameter zona inhibisi pertumbuhan bakteri yang cukup untuk
dikatakan sensitive (dengan membandingkan ukurannya pada suatu tabel standar).

VIII. Langkah Pencegahan


STRATEGI PENANGANAN
Strategi penanganan maupun pencegahan yang dapat dilakukan yang pertama dan
utama adalah terapi rasional. Penggunaan antibiotika secara rasional diartikan
sebagai pemberian antibiotika yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat
dosis, dan waspada terhadap efek samping antibiotika. Kapan saat yang tepat
memulai terapi antibiotika? Secara klinik memang sangat sulit memastikan bakteri
penyebab infeksi yang tepat tanpa menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Secara umum, klinisi tidak boleh memberikan terapi secara sembarangan tanpa
mempertimbangkan indikasi atau malah menunda pemberian antibiotika pada
kasus infeksi yang sudah tegak diagnosanya secara klinis meskipun tanpa hasil

25

pemeriksaan mikrobiologi. Kasus infeksi yang gawat dapat berupa sepsis, demam
dengan neutropeni, meningitis bakterial (Leekha et al, 2011).
Berdasarkan ditemukannya kuman atau tidak, maka terapi antibiotika
dapat dibagi dua, yakni terapi empiris dan terapi definitive. Terapi empiris adalah
terapi yang diberikan berdasar diagnose klinis dengan pendekatan ilmiah dari
klinisi. Sedangkan terapi definitive dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologis yang sudah pasti jenis kuman dan spectrum kepekaan
antibiotikanya (Jawetz, 1997). Untuk menentukan penggunaan antibiotika dalam
menangani penyakit infeksi, secara garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip
umum dibawah ini:
1. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis berdasar
criteria diagnose ataupun pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lain yang
diperlukan. Gejala panas sama sekali bukan kriteria untuk diagnosis
adanya infeksi.
2. Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan
ilmiah berdasarkan pengalaman setempat yang layak dipercaya atau
epidemiologi setempat atau dari informasi-informasi ilmiah lain.
3. Apakah antibiotika benar-benar diperlukan? Sebagian infeksi mungkin
tidak memerlukan terapi antibiotika misalnya infeksi virus saluran
pernafasan atas, keracunan makanan karena kontaminasi kuman-kuman
enterik. Jika tidak perlu antibiotika, terapi alternatif apa yang dapat
diberikan?
4. Jika diperlukan antibiotika, pemilihan antibiotika yang sesuai berdasarkan
spektrum antikuman, sifat farmakokinetika, ada tidaknya kontra indikasi
pada pasien, ada tidaknya interaksi yang merugikan, bukti akan adanya
manfaat klinik dari masing-masing antibiotika untuk infeksi yang
bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya. Dari sisi
bakteri, pertimbangkan site of infection and most likely colonizing,
berdasar pengalaman atau evidence based sebelumnya bakteri apa yang
paling sering, pola kepekaan antibiotika yg beredar local (Leekha et al,
2011).
5. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat
kinetika masing-masing antibiotika dan fungsi fisiologis sistem tubuh

26

(misalnya fungsi ginjal, fungsi hepar dan lain-lain). Perlu dipertimbangkan


dengan cermat pemberian antibiotika misalnya pada ibu hamil dan
menyusui, anak-anak, dan orang tua.
6. Evaluasi efek obat. Apakah obat bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus
diganti atau dihentikan? Adakah efek samping yang terjadi? (GrahamSmith & Aronson, 1985).

Selain hal-hal di atas, edukasi pasien juga merupakan hal yang penting untuk
dilakukan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa edukasi atau training yang
diberikan kepada kelompok besar maupun kecil, menunjukkan peningkatan
peresepan antibiotic yang baik. Pesan akan diterima dengan baik apabila
disampaikan oleh pemimpin local atau orang yang dianggap berpengaruh (Bisht
et al, 2009). Pesan dapat disampaikan melalui berbagai media misalnya melalui
iklan di televisi, radio, koran. Teknologi komunikasi yang baru juga memudahkan
penyebaran informasi ini, misalnya internet, jejaring sosial, bahkan lewat mobile
messenger.
Perlu disebarluaskan bahwa tidak semua jenis penyakit dapat disembuhkan
dengan pemberian antibiotik. Kalaupun perlu, pemakaian antibiotic harus sesuai
dengan instruksi dokter baik dosis maupun rentang terapinya. Pada penyakitpenyakit kronis seringkali pasien menghentikan sendiri atau mengurangi terapinya
ketika sudah merasakan perbaikan yang signifikan atas penyakitnya. Untuk
mengatasi hal ini, diciptakanlah obat dalam fixed dose combinations untuk
mengurangi jumlah tablet atau kapsul yang harus diminum, kalender special,
kemasan blister, DOTS (directly observed therapy system). Tenaga kesehatan
harus lebih sadar terhadap personal and environmental hygiene agar infeksi
bakteri tidak menyebar dari satu orang ke orang lain. Dokter misalnya, dapat
mencuci tangan terlebih dahulu setelah memeriksa pasien yang satu sebelum
beralih ke pasien yang lain. Bidan wajib menerapkan prinsip sepsis-asepsis dalam
memolong persalinan. Alat-alat operasi, KB, ataupun piranti rumah sakit yang
harus suci kuman wajib dusterilisasi terlebih dahulu.

27

Di Indonesia, juga telah dilakukan beberapa usaha untuk mengatasi dampak


resistensi antibiotika akibat pengobatan sendiri (self medication) dengan regulasi
perundang-undangan. Salah satu dari usaha tersebut adalah di berlakukannya
undang-undang yang mengatur tentang penjualan antibiotika yang diatur di dalam
undang-undang obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949, pada pasal 3 ayat
1. Antibiotika termasuk salah satu jenis obat-obat keras, hal ini terdapat dalam
pasal 1 ayat 1a yang berbunyi: Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak
digunakan untuk keperluan teknik, yang mempunyai khasiat mengobati,
menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan, dan lain-lain tubuh manusia, baik
dalam bungkusan maupun tidak , yang dtetapkan oleh Secretaris Vaan Staat,
Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pasal 2 ayat (1)
Sec. V. St mempunyai wewenang untuk menetapkan bahan-bahan sebagai obatobat keras dan ayat (2) Penetapan ini dijalankan dengan menempatkan bahanbahan itu pada suatu daftar G (obat-obat berbahaya) atau daftar W (peringatan).
Dalam Pasal 107 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan ada ketentuan lebih
lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi seperti obat antibiotik dan alat
kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 108 (1) mengatur praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

28

DAFTAR PUSTAKA

Directorate General of Medical Care Ministry of Health, Republic of Indonesia.


2005. Antimicrobial Resistance, Antibiotic Usage and Infection Control. diakses
dalam

http://apps.who.int/medicine

docs/documents/s18010en/s18010en.pdf

(Diunduh 19 Desember 2012).


Eka Rahayu Utami. 2012. Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi, Volume
1, Nomor 1. Jurnal SAINSTIS. Diakses dalam http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=jurnal%20resistensi
%20antibiotik&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CEgQFjAD&url=http%3A
%2F%2Fejournal.uinmalang.ac.id%2Findex.php%2Fsainstis%2Farticle
%2Fdownload
%2F1861%2Fpdf&ei=huXMUI2AKYjZrQeypYGwAQ&usg=AFQjCNHvSzD8o

29

bMEfr6z79rSXqhyh3nZJQ&bvm=bv.1355325884,d.bmk (Diunduh 17 Desember


2012).
Ermadi Sutriyo Sudibyo dan Erni Rohmawati. 2008. Profil Resistensi Antibiotik
pada Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Volume 14, Nomor 2.
Jurnal Berkala Kesehatan Klinik. Diakses dalam isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/
1420898102.pdf (Diunduh 17 Desember 2012).
Hindra Irawan Satarri dan Theresia. 2011. Qualitative Evaluation of Antibiotic
Usage in Pediatric Patients. Volume 51, Nomor 6. Jurnal Paediatrica Indonesiana.
Diakses

dalam

http://www.paediatricaindonesiana.org/pdffile/51-6-1.pdf

(Diunduh 17 Desember 2012).


Howard S. Gold, M.D., and Robert C. Moellering, Jr., M.D. 1996. AntimicrobialDrug Resistance. Volume 335, Nomor 19. The New England Journal of Medicine
(NEJM).

Diakses

dalam

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM

199611073351907 (Diunduh 17 Desember 2012).


Instrumen Evaluasi Pelaksanaan PPRA di Rumah Sakit, diakses dalam
xa.yimg.com/kq/.../Draft+Instrumen+PPRA.doc (Diunduh 18 Desember 2012).
Maksum Radji. Buku Ajar Mikrobiologi, Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. (Jakarta: Erlangga, 2009).hal 191.
Mia Ratwita Andarsini dan Bambang Permono. 2010. Antibiotic Resistance
Control Program in Pediatric Hematology and Oncology Patient at Dr. Soetomo
Hospital in 2006-2007. Volume 1, Nomor 2. Indonesian Journal of Tropical and
Infectious

Disease.

Diakses

dalam

journal.itd.unair.ac.id/index.php/IJTID/

article/download/31/23 (Diunduh 17 Desember 2012).


Program Depkes RI untuk Resistensi Antibiotika dalam http://buk.depkes.go.id/
index.php?option=com_content&view=article&id=301:workshop-nasionalkeselamatan-pasien-dan-pencegahan-dan-pengendalian-infeksi&catid=1:latestnews (Diunduh 18 Desember 2012).

30

Resistance

in

Indonesia

dan

AMRIN

STUDY

diakses

dalam

http://eprints.undip.ac.id/23794/1/Tirza.pdf (Diunduh 18 Desember 2012).


Resistensi Antibiotik dalam Medika Jurnal Kedokteran Indonesia Edisi No 07 Vol
XXXVII 2011 http://www.jurnalmedika.com/edisi-tahun-2011/edisi-no-07-volxxxvii-2011/343-kegiatan/672-meropenem-solusi-bagi-resistensi-antibiotik
(Diunduh 17 Desember 2012).
Shirly Kumala. 2010. Pola Resistensi Antibiotik Terhadap Isolat Bakteri Sputum
Penderita Tersangka Infeksi Saluran Nafas Bawah. Volume 5, Nomor 1. Jurnal
Farmasi Indonesia. Diakses dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct= j&q=uji
%20diagnostik%20resistensi
%20antibiotik&source=web&cd=6&cad=rja&ved=0CFcQFjAF&url=http%3A
%2F%2Fjfi.iregway.com%2Findex.php%2Fjurnal%2Farticle%2Fdownload
%2F34%2F32&ei=c0zSUJr9PMr_rAeNg4DYCA&usg=AFQjCNEuRnx4FGwbD
kmKMwVaKZB0gcovyw&bvm=bv.1355534169,d.bmk (Diunduh 19 Desember
2012).
Stephen H. Gillespie dan Kathleen B. Bamford. At a Glance Mikrobiologi Medis
dan Infeksi, edisi ketiga. (Jakarta: Erlangga, 2009).hal 21.
Vien Dimyati. 2011. Resistensi Antibiotik Jadi Ancaman. Halaman 5. Jurnal
Nasional (Jurnas). Diakses dalam http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-0408/165547 (Diunduh 18 Desember 2012).
Yenny dan Elly Herwana. 2007. Resistensi dari Bakteri Enterik, Aspek Global
terhadap Antimikroba. Volume 26, Nomor 1. Jurnal Universa Medicina. Diakses
dalam

http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Yenny1.pdf

(Diunduh 18 Desember 2012).

31

Anda mungkin juga menyukai