kuman-kuman
patogen
yang
kebal
terhadap
satu
antara
lain
sulfonamida,
tetrasiklin,
kloramfenikol,
eritromisin,
dipakai klinisi adalah berdasar susunan senyawa kimia. Lebih sering dipakai
karena sifatnya yang praktis, nama obat yang dipakai langsung terkait dengan
golongan senyawa kimia masing-masing. Antibiotika yang dibagi berdasar
senyawa kimianya antara lain golongan penicillin, cephalosporin, amfenikol,
aminoglikosida,
tetrasiklin,
makrolida,
linkosamid,
polipeptida,
dan
obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003). Resistensi terjadi ketika
bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya
efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk
mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan
berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap
kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan
perkembangan bakteri (Bari, 2008).
mengatakan,
resistensi
lebih
cepat
dibandingkan
kecepatan
pengembangan antibiotik yang akan menjadikan pandemi. Sejak tahun 2007, tidak
ada satu jenis antibiotik pun yang dikembangkan. Pada tahun 2000 hingga 2007
hanya didapatkan dua jenis antibiotik. Sayangnya, antibiotik ini tidak mengganti
antibiotik yang sudah ada sebelumnya.
Iwan mengatakan, jika antibiotik yang lain sudah resisten, pengganti
antibiotik ini akan resisten. Pengembangan antibiotik lambat karena penelitian ini
dianggap tidak menarik. Para peneliti lebih memilih mengembangkan obat
kardiovaskuler yang dapat dijual dengan harga sangat tinggi. Sedang antibiotik
kebanyakan hanya bisa digunakan untuk penyakit infeksi yang sebagian besar
terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Hingga harga obat ini tidak akan
mahal. Dia menambahkan, sekitar 40-62% antibiotik untuk penyakit yang
sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik. Berdasarkan data di negara
berkembang menunjukkan 40 persen anak-anak dengan diare akut mendapatkan
oralit dan antibiotik. Padahal, untuk kasus ini antibiotik semestinya tidak perlu
diberikan.
Menurut hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRINStudy) terbukti dari 2.494 individu di masyarakat, sebanyak 43% bakteri E
coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika seperti ampisilin (34%). Hasil
penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% E coli resisten
terhadap berbagai jenis antibiotik seperti ampisilin (73%). "Untuk itu masyarakat
diharapkan menggunakan antibiotik secara tepat." Bahkan, sekitar 47-68%
antibiotik dicampur dengan obat lain dalam bentuk puyer. Kondisi ini, masih
ditemukan pada pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas, dokter praktik
swasta dan klinik.
Tidak semua spesies mikroba/bakteri dapat menimbulkan penyakit akibat
resistensi antibiotika. Spesies mikroba/bakteri yang berdampak buruk pada
kesehatan manusia dan dapat menimbulkan penyakit akibat resistensi antibiotika,
yaitu: (1) Kuman Gram-positive (Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis complex, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium,
Streptococcus
agalactiae,
(2)
kuman
Gram-negative
(Escherichia
coli,
influenzae,
Helicobacter
pylori
dan
spesies
lain
dari
menginaktivasinya.
Banyak
organisme
lain
mampu
aureus
menjadi
resisten
terhadap
metisilin
atau
Gambar 2.1 Resistensi antibiotika oleh mutasi genetik akibat perubahan pada:
a. kode ikatan protein; b. ribosom; c. struktur membran; d. inaktivasi enzim
10
11
12
Konsekuensi
13
14
15
Pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara yang
memiliki kasus resistensi multiantibiotika tertinggi di dunia. Resistensi antibiotika
bisa muncul karena pemberian antibiotika yang tidak tepat oleh dokter, rendahnya
kualitas obat antibiotika, lamanya pemberian antibiotika, minimnya pengetahuan
masyarakat dalam memakai antibiotika, dan minimnya sarana untuk mendiagnosis
pemicu penyakit. Oleh karena itu, pembekalan bagi dokter serta penguatan
laboratorium mikrobiologi klinik akan menjadi fokus pemerintah. Dukungan dari
pihak farmasi, apotek, dan pabrik obat sangat diperlukan.
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia
(PAMKI) Sam Suharto menyatakan, infeksi saat ini muncul dengan variasi yang
semakin beragam. Oleh karena itu, kehadiran ahli mikrobiologi mutlak diperlukan
di rumah sakit guna menangani infeksi, sekaligus menahan meluasnya resistensi
terhadap antibiotika.
16
Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tidak tersedia fasilitas dan sarana
4 = Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tersedia fasilitas dan sarana, tidak ada
anggaran khusus
5 = Ada kebijakan dan kegiatan PPRA, tersedia fasilitas dan sarana, dan ada anggaran
khusus PPRA di rumah sakit.
D.O.
:
A. Kebijakan
PPRA
adalah
Penetapan
langkah-langkah
strategis
program
17
kuantitas
dan
kualitas
penggunaan
antibiotik),
sebagai
PPRA
C.P.:
*D: Kebijakan rumah sakit, program, kegiatan, fasilitas/ sarana, alokasi anggaran
*O: *W: Pimpinan dan staf
Skor:
Keterangan / Catatan:
18
Standar.8, Parameter.1.
Pelayanan Farmasi dalam Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik
Skor:
0 = Tidak ada peran dan tidak ada kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik
1 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 3
2 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 5
3=
Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 7
4 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 9
5 = Ada peran dan kegiatan pengelolaan dan penggunaan antibiotik no. 1 s/d 10
19
D.O.
:
Kegiatan Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik adalah suatu kegiatan
pengelolaan dan penggunaan antibiotik yang saling terkait dan dilakukan secara
berkesinambungan, dengan tujuan untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada penderita, sehingga tercapai pelayanan yang efektif, aman,
rasional, bermutu dan biaya terjangkau.
Kegiatan Pengelolaan dan Penggunaan Antibiotik terdiri dari :
1. Pemilihan: Pemilihan jenis antibiotik yang digunakan di rumah sakit
berdasarkan Pedoman Penggunaan Antibiotik , Formularium Rumah Sakit
dan kesepakatan bersama.
2. Perencanaan Pengadaan: Pemilihan jenis dan jumlah antibiotik yang
digunakan di rumah sakit, dipilih berdasarkan Pedoman Penggunaan
Antibiotik, Formularium Rumah Sakit, disesuaikan dengan data epidemiologi
pola penyakit infeksi yang ada, dengan cara melihat data catatan medik dan
kesepakatan bersama.
3. Pengadaan: Realisasi perencanaan pengadaan yang telah disepakati,
disesuaikan
dengan
kebutuhan
dan
anggaran,
melalui
pembelian,
20
Skor:
Keterangan / Catatan:
21
(Nutrient Agar),
Agar Mueller-Hinton, Tioglikolat, Disk.
Antibiotik : disk standar (oxoid)
Antibiotik yang digunakan untuk bakteri batang Gram negatif:
Kotrimoksazol (25 g), Gentamisin(10 g), Kloramfenikol (30g),
Tikarsilin(100g), Siprofloksasin (5 g),Ofloksasin (5 g),
Amikasin (30g).
Antibiotik yang digunakan untuk bakteri kokus Gram positif:
Gentamisin (10 g), Kloramfenikol (30 g), Eritromisin (15 g),
Kotrimoksazol (25g), Siprofloksasin (5 g), Ofloksasin (5g),
Teikoplanin (30 g),Vankomisin(30 g), Oksasilin (okin).
22
hemolyticus:
untuk
membedakan
antara
non grup A.
Medium untuk uji biokimia: Gulagula (Laktosa, Sakarosa, Maltosa,
Glukosa, Manitol), Sitrat,Voges-Proskauer, Indol, Merah metil, dan
Triple Sugar Iron Agar (TSI).
Cara kerja
Pengerjaan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1. Isolasi bakteri dari sputum penderita,
2. Uji karakteristik koloni bakteri,
3. Identifikasi bakteri dari sputum secara biokimia, serta penetapan
sensitivitas bakteri isolat dari sputum terhadap beberapa antibiotik dengan
cara cakram. Skema kerja secara lengkap diuraikan dalam gambar 7.1.
23
Gambar 7.2 Skema kerja untuk pemeriksaan bakteri batang Gram negatif
24
25
pemeriksaan mikrobiologi. Kasus infeksi yang gawat dapat berupa sepsis, demam
dengan neutropeni, meningitis bakterial (Leekha et al, 2011).
Berdasarkan ditemukannya kuman atau tidak, maka terapi antibiotika
dapat dibagi dua, yakni terapi empiris dan terapi definitive. Terapi empiris adalah
terapi yang diberikan berdasar diagnose klinis dengan pendekatan ilmiah dari
klinisi. Sedangkan terapi definitive dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologis yang sudah pasti jenis kuman dan spectrum kepekaan
antibiotikanya (Jawetz, 1997). Untuk menentukan penggunaan antibiotika dalam
menangani penyakit infeksi, secara garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip
umum dibawah ini:
1. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis berdasar
criteria diagnose ataupun pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lain yang
diperlukan. Gejala panas sama sekali bukan kriteria untuk diagnosis
adanya infeksi.
2. Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan
ilmiah berdasarkan pengalaman setempat yang layak dipercaya atau
epidemiologi setempat atau dari informasi-informasi ilmiah lain.
3. Apakah antibiotika benar-benar diperlukan? Sebagian infeksi mungkin
tidak memerlukan terapi antibiotika misalnya infeksi virus saluran
pernafasan atas, keracunan makanan karena kontaminasi kuman-kuman
enterik. Jika tidak perlu antibiotika, terapi alternatif apa yang dapat
diberikan?
4. Jika diperlukan antibiotika, pemilihan antibiotika yang sesuai berdasarkan
spektrum antikuman, sifat farmakokinetika, ada tidaknya kontra indikasi
pada pasien, ada tidaknya interaksi yang merugikan, bukti akan adanya
manfaat klinik dari masing-masing antibiotika untuk infeksi yang
bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya. Dari sisi
bakteri, pertimbangkan site of infection and most likely colonizing,
berdasar pengalaman atau evidence based sebelumnya bakteri apa yang
paling sering, pola kepekaan antibiotika yg beredar local (Leekha et al,
2011).
5. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat
kinetika masing-masing antibiotika dan fungsi fisiologis sistem tubuh
26
Selain hal-hal di atas, edukasi pasien juga merupakan hal yang penting untuk
dilakukan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa edukasi atau training yang
diberikan kepada kelompok besar maupun kecil, menunjukkan peningkatan
peresepan antibiotic yang baik. Pesan akan diterima dengan baik apabila
disampaikan oleh pemimpin local atau orang yang dianggap berpengaruh (Bisht
et al, 2009). Pesan dapat disampaikan melalui berbagai media misalnya melalui
iklan di televisi, radio, koran. Teknologi komunikasi yang baru juga memudahkan
penyebaran informasi ini, misalnya internet, jejaring sosial, bahkan lewat mobile
messenger.
Perlu disebarluaskan bahwa tidak semua jenis penyakit dapat disembuhkan
dengan pemberian antibiotik. Kalaupun perlu, pemakaian antibiotic harus sesuai
dengan instruksi dokter baik dosis maupun rentang terapinya. Pada penyakitpenyakit kronis seringkali pasien menghentikan sendiri atau mengurangi terapinya
ketika sudah merasakan perbaikan yang signifikan atas penyakitnya. Untuk
mengatasi hal ini, diciptakanlah obat dalam fixed dose combinations untuk
mengurangi jumlah tablet atau kapsul yang harus diminum, kalender special,
kemasan blister, DOTS (directly observed therapy system). Tenaga kesehatan
harus lebih sadar terhadap personal and environmental hygiene agar infeksi
bakteri tidak menyebar dari satu orang ke orang lain. Dokter misalnya, dapat
mencuci tangan terlebih dahulu setelah memeriksa pasien yang satu sebelum
beralih ke pasien yang lain. Bidan wajib menerapkan prinsip sepsis-asepsis dalam
memolong persalinan. Alat-alat operasi, KB, ataupun piranti rumah sakit yang
harus suci kuman wajib dusterilisasi terlebih dahulu.
27
28
DAFTAR PUSTAKA
http://apps.who.int/medicine
docs/documents/s18010en/s18010en.pdf
29
dalam
http://www.paediatricaindonesiana.org/pdffile/51-6-1.pdf
Diakses
dalam
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM
Disease.
Diakses
dalam
journal.itd.unair.ac.id/index.php/IJTID/
30
Resistance
in
Indonesia
dan
AMRIN
STUDY
diakses
dalam
http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Yenny1.pdf
31