Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI BURUK PADA


BALITA DI PUSKESMAS PANDANARAN SEMARANG
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang

..

Pembimbing :
dr. Antonia Sadniningtyas

Disusun oleh:
Arum Diannitasari (012.106.093)
Erani Sukmawati

(012.106.148)

Jauhar Nafies

(012.106.196)

Pradevi Schottkynda (012.106.245)

PERIODE 25 MEI 13 JUNI 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kegiatan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat


Puskesmas Pandanaran 25 Mei 2015 13 Juni 2015
Telah Disahkan

Semarang, Juni 2015


Mengetahui

Kepala Puskesmas Pandanaran

Kepala Departemen IKM

dr. Antonia Sadniningtyas

Siti Thomas, M. Kes

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, yang telah memberikan rahmat
karunia dan hidayah, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Keadaan Gizi Buruk pada Balita di Puskesmas
Pandanaran.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Laporan ini memuat data tentang kasus Gizi Buruk di Puskesmas
Pandanaran, Kota Semarang.
Laporan ini dapat terselesaikan berkat kerjasama tim dan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk ini kami mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada yang terhormat :
1.
2.
3.
4.

Siti Thomas, M.kes, Koordinator Pendidikan IKM FK Unissula Semarang


dr.AntoniaSadniningtyas, KepalaPuskesmasPandanaran Semarang
Seluruh Staf Puskesmas Pandanaran Semarang
Semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan laporan kasus ini.
Kami menyadari bahwa hasil penulisan Laporan kasus ini masih jauh dari kata

sempurna karena keterbatasan waktu dan kemampuan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun guna kesempurnaan dan perbaikan laporan kasus ini agar lebih baik.
Akhir kata kami berharap semoga laporan kasus Gizi Buruk di Puskesmas Pandanaran
Kota Semarang ini bermanfaat bagi semua pihak.

Semarang,

BAB I

Juni 2015

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka kematian bayi dan anak yang tinggi merupakan ciri yang umum dijumpai di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia (BAPPENAS, 2011). Salah satu sebab di
antaranya adalah karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk (Yuliana,
2011). Masalah gizi merupakan masalah kesehatan yang tersembunyi, sehingga masalah
ini menjadi cukup serius di Indonesia (BAPPENAS, 2011). Penyebab langsung masalah
gizi buruk adalah kurangnya asupan makanan dan adanya infeksi. Namun, penyebab
tersebut selalu diiringi dengan latar belakang lain yang lebih komplek seperti kondisi
ekonomi, tingkat pendidikan, kondisi lingkungan dan pola asuh yang diberikan terhadap
balita (Nurlaela, 2013).
Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen
kontribusi masalah gizi dunia (BAPPENAS, 2011). Tercatat sekitar sepertiga dari
populasi balita yang ada di negara-negara berkembang mengalami masalah gizi buruk.
Jika dapat bertahan hingga dewasa, mereka akan beresiko mengalami perkembangan
kognitif yang buruk, gangguan pertumbuhan dan produktivitas yang rendah. Yang lebih
buruk, gizi buruk dapat menyebabkan kematian. Hal ini cukup mengkhawatirkan
mengingat anak-anak ialah generasi penerus bangsa (Ikha, 2013). Permasalahan gizi di
kota Semarang yang tetap ada dan jumlahnya cendrung bertambah adalah masalah gizi
kurang dan gizi buruk. Kasus gizi buruk di kota Semarang pada tahun 2013 sebanyak 32
kasus mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yang berjumlah 26 kasus
(DKK, 2013). Kasus gizi buruk yang ditemukan di puskesmas Pandanaran tahun 2013
sebanyak 8 kasus, sedangkan pada tahun 2014 terdapat 21 kasus balita dengan gizi
buruk. Menurut data dari puskesmas Pandanaran periode Januari hingga Juni tahun 2015
ditemukan 4 balita dengan gizi buruk.
Keadaan gizi yang baik merupakan syarat utama untuk mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas. Masalah gizi dapat terjadi disetiap fase kehidupan (Nurlaela,
2013). Kehidupan manusia dimulai sejak di dalam kandungan ibu, sehingga calon ibu
perlu memiliki kesehatan yang baik. Kesehatan dan gizi ibu hamil merupakan kondisi
yang sangat diperlukan bagi bayi untuk menjadi sehat. Masa emas atau masa kritis
tumbuh kembang fisik, mental, dan sosial dimulai sejak dalam kandungan hingga anak
berumur 2 tahun. Pada masa ini, tumbuh kembang otak paling pesat (80%) yang nantinya
dapat menentukan kualitas sumber daya manusia pada masa dewasa (Mazarina, 2010).
Apabila terjadi gangguan gizi pada fase tersebut, maka akan bersifat permanen, tidak

dapat dialihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi. Kejadian gizi
buruk sebenarnya dapat dicegah jika akar masalah di masyarakat yang bersangkutan
dapat dikenali, sehingga penanggulangan masalah gizi dapat dimulai dari dasar melalui
penanganan terhadap akar masalahnya. Diketahui bahwa gejala klinis gizi kurang atau
buruk diakibatkan dari ketidakseimbangan yang lama antara manusia dan lingkungan
hidupnya. Lingkungan hidup yang termasuk didalamnya mencakup lingkungan alam,
biologis, sosial budaya, maupun ekonomi. Masing-masing faktor tersebut mempunyai
peran yang komplek dan sangat berperan penting dalam etiologi penyakit gizi kurang
(Nurlaela, 2013).
Berdasarkan data rekapitulasi kasus Gizi Buruk di Puskesmas Pandanaran dari
bulan Januari-Juni tahun 2015 didapatkan jumlah penderita gizi buruk sebanyak 4 orang.
Dengan uraian bulan Januari didapatkan 3 kasus, bulan Februari-Maret tidak didapatkan
laporan kasus gizi buruk dan satu kasus kembali dilaporkan pada awal Juni. Berdasarkan
data diatas penulis bermaksud ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian gizi buruk pada balita dengan pendekatan H.L. Blum.
1.2. Rumusan Masalah

Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk pada balita berdasarkan
pendekatan H.L. Blum?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian gizi buruk pada balita berdasarkan pendekatan HL Blum.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1.
Untuk memperoleh informasi mengenai faktor perilaku yang
mempengaruhi keadaan gizi buruk pada balita.
1.3.2.2.
Untuk memperoleh informasi mengenai

faktor

pelayanan

kesehatan yang mempengaruhi keadaan gizi buruk pada balita.


1.3.2.3.
Untuk memperoleh informasi mengenai faktor genetik/
kependudukan yang mempengaruhi keadaan gizi buruk pada balita.
1.3.2.4. Untuk memperoleh informasi mengenai faktor lingkungan yang
mempengaruhi keadaan gizi buruk pada balita.
1.3.2.5. Mengetahui dan memperbaiki pengetahuan mengenai keadaan gizi
buruk pada balita
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat bagi mahasiswa

1.1.1.1. Memberi masukan dan informasi ilmiah untuk memperkaya keilmuan


1.1.1.2. Menjadi bahan rujukan untuk penelitian yang lebih lanjut
1.1.2.

Manfaat bagi masyarakat


1.4.1.1.

Memberi

rekomendasi

langsung

kepada

masyarakat

untuk

memperhatikan perilaku dan lingkungan tempat tinggalnya.


1.4.1.2.

Memberi rekomendasi kepada tenaga kesehatan untuk lebih


memberdayakan masyarakat dalam upaya kesehatan promotif dan
preventif kesehatan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Penyakit Gizi Buruk di Puskesmas Pandanaran
Selama beberapa tahun terakhir ini, angka kejadian gizi buruk di Puskesmas
Pandanaran cenderung naik turun. Dari data 3 tahun terakhir, jumah kasus gizi buruk
pada tahun 2013 sebanyak 8 kasus sedangkan pada tahun 2014 jumlah ini mengalami
peningkatan menjadi 21 orang. Pada tahun 2015 hingga bulan Juni, jumlah kasus gizi

buruk hanya didadapatkan 4 kasus. Diagram berikut menunjukkan gambaran


peningkatan jumlah kasus gizi buruk selama 3 tahun terakhir.
Grafik 2.1. Data Gizi Buruk selama Tahun 2013-2015

Grafik 2.2. Data Gizi Buruk Tahun 2015

2.2. Definisi dan Kriteria Gizi Buruk


Gizi buruk meliputi kekurangan gizi makro dan kekurangan gizi mikro
(BAPPANES, 2011). Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada
kedua kaki atau adanya severe wasting atau ada gejala klinis gizi buruk (WHO, 2009).
Menurut Depkes RI (2009) gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada ank
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan <-3 SD dan atau ditemukan tandatanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwarshiorkor.
Kriteria anak gizi buruk :
1. Gizi buruk tanpa komplikasi
a. BB/TB : < -3 SD dan atau;
b. Terlihat sangat kurus dan atau;
c. Adanya edema dan atau;
d. LILA <11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
2. Gizi buruk dengan komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda di atas disertai salah satu atau lebih dari
tanda komplikasi medis berikut :
a. Anoreksia
b. Pneumonia berat
c. Anemia berat
d. Dehidrasi berat
e. Demam sangat tinggi
f. Peurunan kesadaran
(Kemenkes RI, 2011)
2.3. Diagnosis Gizi Buruk
Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Anak didiagnosis gizi buruk apabila:

BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)


Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB
>-3SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, dapat digunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak
bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas,
dengan atau tanpa adanya edema.
Penilaian awal anak gizi buruk meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
35

Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan
diare (encer/darah/lendir)
Kapan terakhir berkemih
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan ditangani) :

Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit


Riwayat pemberian ASI
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
Hilangnya nafsu makan
Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat badan lahir
Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan
Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
Diketahui atau tersangka infeksi HIV

Pemeriksaan fisik :

Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.

Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB


Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk
Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi

lemah dan cepat), kesadaran menurun.


Demam (suhu aksilar 37.5 C) atau hipotermi(suhu aksilar < 35.5 C).
Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau
adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)

Gambar 2.1. Bengkak pada punggung kaki.


36

Jika dilakukan penekanan dengan jari selama beberapa detik,


cekungan akan menetap beberapa waktu setelah jari dilepaskan.
(WHO, 2009)
2.4. Alur Pemeriksaan
Alur pemeriksaan yang dapat di gunakan untuk menentukan langkah-langkah yang
dilakukan dalam menangani penemuan kasus anak gizi buruk berdasarkan kategori yang
telah ditentukan :
1. Penemuan anak gizi buruk, dapat menggunakan data rutin hasil penimbangan
anak di posyandu, menggunakan hasil pemeriksaan di fasilitas kesehatan
(puskesmas dan jaringannnya, Rumah Sakit dan dokter/bidan praktek swasta),
hasil laporan masyarakat (media massa, LSM dan organisasi kemasyarakatan
lainnya) dan skrining aktif (operasi timbang anak)
2. Penapisan anak gizi buruk, anak yang dibawa oleh orangtuanya atau anak yang
berdasarkan hasil penapisan LiLA <12,5 cm, atau semua anak yang dirujuk dari
posyandu maka dilakukan pemeriksaan antropometri dan tanda klinis, semua anak
diperiksa tanda-tanda komplikasi, semua anak diperiksa nafsu makan dengan cara
tanyakan kepada orang tua apakah anak mau makan/ tidak mau makan minimal
dalam 3 hari terakhir berturut-turut.
3. Bila dalam pemeriksaan pada anak didapatkan satu atau lebih tanda berikut :
tampak sangat kurus, edema minimal pada kedua punggung kaki atau tanpa
edema, BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan), nafsu
makan baik, maka anak dikategorikan gizi buruk tanpa komplikasi dan perlu
diberikan penanganan secara rawat jalan
4. Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut : tampak
sangat kurus, edema minimal pada seluruh tubuh, BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5
cm (untuk anak usia 6-59 bulan), dan disertai dari salah satu atau lebih tanda
komplikasi, maka anak dikategorikan gizi buruk dengan komplikasi dan perlu
diberikan penanganan secara rawat inap.
5. Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut : BB/TB <-2
SD, LiLA 11,5 s/d 12,5 cm, tidak ada edema, nafsu makan baik, tidak ada
komplikasi medis, maka anak dikategorikan gizi kurang dan perlu diberikan PMT
pemulihan.
6. Bila kondisi anak rawat inap sudah membaik dan tidak lagi ditemukan tanda
komplikasi medis, tanda klinis membaik (edema kedua punggung tangan atau
kaki), dan nafsu makan membaik makan penanganan anak tersebut dilakukan
melalui rawat jalan.
37

7. Bila kondisi anak rawat inap sudah tidak lagi ditemukan tanda-tanda komplikasi
medis, tanda klinis baik dan status gizi kurang, nafsu makan baik makan
penanganan anak dengan pemberian PMT pemulihan
8. Anak gizi buruk yang telah mendapatkan penanganan melalui rawat jalan dan
PMT pemulihan, jika kondisinya memburuk degan ditemukannya salh satu tanda
komplikasi medis, atau penyakit yang mendasari sampai kunjungan ke tiga berat
badan tidak naik (kecuali anak dengan edema), timbulnya edema baru, tidak ada
nafsu makan maka anak perlu penanganan secara rawat inap

Tabel 2.1. Status Gizi

Tabel 2.2.
Alur
Pemeriksaan

38

Tabel 2.3. Alur Pelayanan Gizi Buruk

(Kemenkes

RI,

2011)
2.5.

Klasifikasi Gizi Buruk


Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 :
1. Marasmus
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering ditemukan
pada balita. Gejala marasmus ditandai dengan tampak sangat kurus,rambut tipis
dan jarang, kulit keriput yang disebabkan karena lemak di bawah kulit berkurang,
perut cekung, wajah seperti orang tua, bokong baggy pant, dan iga gambang.
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor merupakan keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh
tubuh terutma di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot
mengcil, pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan dan mudah dicabut
3. Marasmus-Kwashiorkor
Marasmus-Kwashiorkor merupakan keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda
gabungan dari marasmus dan kwashiorkor
(Depkes RI, 2008)

Gambar 2.2. Klasifikasi Gizi Buruk

39

Marasmus
2.6.

Kwashiorkor

Faktor Risiko Gizi Buruk


Status gizi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kondisi balita baik dari faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut antara
lain:
1. Tingkat Pendidikan Ibu
Salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak yaitu pendidikan
orang tua. Tingkat pendidikan yang ditempuh ibu balita akan mempengaruhi
penerimaan pesan dan informasi gizi serta kesehatan anak. Ibu dengan tingkat
pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan mengenai gizi dan
kesehatan anak. Tingkat pendidikan terdiri dari SD, SMP, SMA, dan Perguruan
Tinggi. Pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kesehatan akan
mempengaruhi terjadinya gangguan kesehatan, sehingga kurangnya pengetahuan
tentang gizi akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menerapkan
informasi dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu penyebab
terjadinya gangguan gizi (Retno, 2014).
2. Pekerjaan Ibu
Adanya hubungan yang positif dan signifikan antara pekerjaan ibu dengan status
gizi balita. Ibu yang tidak bekerja secara otomatis tidak akan mendapatkan
penghasilan sehingga ada kemungkinan kurang mencukupi kebutuhan gizi balita
sehari-hari (Retno, 2014).
3. Pendapatan keluarga
Pendapatan keluarga adalah penghasilan orang tua baik bapak maupun ibu dalam
setiap bulan. Pendapatan yang rendah berpengaruh terhadap asupan makanan
yang dikonsumsi karena penghasilannya terbatas. Semakin besar pendapatan
keluarga maka semakin baik status gizi balita dan sebaliknya (Retno, 2014).
4. Pengetahuan ibu tentang gizi
40

pengetahuan ibu tentang gizi secara tidak langsung akan mempengaruhi status
gizi anak sehingga gizinya dapat terjamin. Dengan pengetahuan yang dimiliki
tersebut, maka ibu dapat mengasuh dan memenuhi zat gizi balitanya. Jika
pengetahuan masyarakat tentang gizi kurang, maka masyarakat kurang
memperhatikan asupan makanan yang baik sehingga status gizi balita menjadi
kurang (Retno, 2014).
5. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk
dapat mempermudah terkena penyakit infeksi, sehingga penyakit infeksi dengan
keadaan gizi merupakan suatu hubungan timbal balik. Penyakit infeksi dapat
disebabkan oleh faktor agent (penyebab infeksi), host (induk semang), dan route
of transmission (jalannya penularan). Faktor agen penyebab penyakit infeksi
antara lain virus, bakteri, jamur, riketsia, dan protozoa. Berbagai agen infeksi
tersebut akan menyebabkan seseorang mengalami penyakit-penyakit infeksi
seperti influenza, cacar, typhus, disentri, malaria, dan penyakit kulit seperti panu.
Suatu penyakit infeksi tergantung dari kekebalan atau resistensi orang yang
bersangkutan. Diare, tuberkulosis, campak, dan batuk rejan merupakan penyakit
yang umum terkait dengan masalah gizi. Kematian awal di negara berkembang
banyak diakibatkan oleh penyakit infeksi (Retno, 2014).
6. Asupan nutrisi
Salah satu penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi yaitu asupan nutrisi
yang kurang. Makanan yang dikonsumsi tidak dapat memenuhi kebutuhan zat-zat
gizi dalam tubuh seperti energi dan protein. Energi dapat diperoleh dari
kandungan bahan makanan seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Energi
tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi basal, menunjang
proses pertumbuhan serta untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Kekurangan
protein dalam tubuh juga dapat menyebabkan status gizi menurun sampai pada
gizi buruk apabila terjadi dalam jangka lama. Hal ini dikarenakan fungsi protein
itu sendiri sebagai pembangun, pertumbuhan, pemeliharaan jaringan, mekanisme
pertahanan tubuh, dan mengatur metabolisme tubuh. Anak-anak dari tingkat
sosial ekonomi yang rendah, lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat, dan
kurang mengkonsumsi protein dan lemak. Asupan harian anak seperti air, serat,
41

fluoride, kalium, asam linoleat, dan asupan vitamin D rendah, sedangkan energi
harian, besi, dan asupan asam folat hanya di bawah tingkat yang
direkomendasikan. Kemiskinan memiliki efek negatif pada kesehatan anak-anak,
untuk itu diperlukan dukungan nutrisi untuk anak-anak dengan tingkat sosial
ekonomi yang rendah (Retno, 2014).
7. Ketahanan pangan di keluarga
Upaya mencapai status gizi masyarakat yang baik atau optimal dimulai dengan
penyediaan pangan yang cukup (Yuliana, 2011).
8. Pola pengasuhan anak
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan sabar dan penuh kasih, apalagi ibunya
berpendidikan, mengerti masalah ASI, manfaat posyandu dan kebersihan,
meskipun miskin akan dapat mengasuh dan memberi makan anak dengan baik
sehingga anaknya tetap sehat (Yuliana, 2011).
9. Pelayanan kesehatan
Perawatan kesehatan yang teratur, tidak saja kalau anak sakit, tetapi pemeriksaan
kesehatan dan menimbang anak secara rutin setiap bulan, akan menunjang pada
tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, pemanfaatan fasilitas pelayanan
kesehatan dianjurkan dilaksanakan secara komprehensif, yang mencakup aspekaspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative (Yuliana, 2011).
10. Kesehatan Lingkungan
Lingkungan memiliki peran yang cukup dominan dalam penyediaan lingkungan
yang mendukung kesehatan anak dan tumbuh kembangnya (Yuliana, 2011).
11. Sosial Budaya
Indikatornya adalah stabilitas keluarga dengan ukuran frekuensi nikah-cerairujuk, anak-anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang tidak stabil akan
sangat rentan terhadap penyakit gizi-kurang. Juga indikator demografi yang
meliputi susunan dan pola kegiatan penduduk (Yuliana, 2011).
Ada yang membagi faktor yang mempengaruhi status gizi menjadi 2 yaitu faktor
langsung dan faktor tidak langsung. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan
penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab tidak langsung terdiri ketahanan
pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan (Nurlaela, 2013).
2.7.

Tatalaksana
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 4 fase yaitu: fase
stabilisasi, fase transisi, fase rehabilitasi, dan fase tindak lanjut.
Tabel 2.4. Tatalaksana Gizi Buruk

42

Hal-hal penting yang harus diingat :


Jangan berikan Fe sebelum minggu ke-2 (Fe diberikan pada fase stabilisasi)
Jangan berikan cairan intravena kecuali syok atau dehidrasi berat
Jangan berika protein terlalu tinggi pada fase stabilisasi
Jangan berikan diuretik pada penderita kwashiorkor
1. Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makan atau
larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit. Pemberian makan
yang sering sangat penting dilakukan pada anak gizi buruk. Jika fasilitas setempat
tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk
harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani sesuai panduan.
43

Tatalaksana :
Segera

beri

F-75

pertama

atau

modifikasinya

bila

penyediaannya

memungkinkan.
Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan
glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air) secara
oral atau melalui NGT.
Lanjutkan pemberian F-75 setiap 23 jam, siang dan malam selama minimal
dua hari.
Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F75.
Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena
(bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml
dengan NGT.
Beri antibiotik.
Pencegahan : Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin
atau jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3
jam siang malam.
2. Hipotermia
Suhu aksilar < 35.5 C. Tatalaksana :
Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut
hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada anak) atau
lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya
(dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan lampu listrik,
letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak.
Beri antibiotik sesuai pedoman.
Pencegahan:
Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas angin
dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut
Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap
kering
Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah mandi,
atau selama pemeriksaan medis)
Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di
malam hari
44

Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin,
sepanjang hari, siang dan malam.
3. Dehidrasi
Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap
dehidrasi ringan. Tatalaksana :
Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat
dengan syok.
Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding
jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
- beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
- setelah 2 jam, berikan ReSoMal 510 ml/kgBB/jam berselang-seling
dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja
yang keluar dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan
mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan yang lebih
tepat adalah ReSoMal
Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100 ml
setiap buang air besar, usia 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar
Tabel 2.5. Pemberian Resomal

Pencegahan :

45

Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak
dengan gizi baik), kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan
oralit standar.
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
Pemberian F-75 sesegera mungkin
Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
4. Gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium yang
mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih untuk memperbaikinya. Terdapat
kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium serum mungkin rendah.
Edema dapat diakibatkan oleh keadaan ini. Jangan obati edema dengan diuretikum.
Tatalaksana :
Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium, yang
sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke dalam
F-75, F-100 atau ReSoMal
Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).
5. Infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam, seringkali
tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh karena itu,
anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang ke
rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia
merupakan tanda infeksi berat. Tatalaksana :
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
Antibiotik spektrum luas
Vaksin campak jika anak berumur 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi
vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
6. Defisiensi zat mikro
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun
sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu sampai
anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya
(biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat
memperparah infeksi. Tatalaksana :
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:

Multivitamin
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
46

Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan
sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini :

Tabel 2.6. Kebutuhan Vitamin A

7. Pemberian makanan awal


Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-hati
sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh. Tatalaksana :
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah:

Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun

rendah laktosa
Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
Energi: 100 kkal/kgBB/hari
Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-75
yang ditentukan harus dipenuhi.

Tabel 2.7. F-75

47

Tabel 2.8. Formulasi F-75 dan F-100

48

Pantau dan catat setiap hari:


Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
Muntah
Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
Berat badan.
8. Tumbuh kejar
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:
Kembalinya nafsu makan
Edema minimal atau hilang.
Tatalaksana :
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh-kejar
(F-100) (fase transisi) :

Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75

selama 2 hari berturutan.


Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian
sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini
terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Dapat pula
digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi sehingga

kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100.


Setelah transisi bertahap, beri anak:
o pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak)
o energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
o protein: 4-6 g/kgBB/hari.

Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak
sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup energi
untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to use
therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92 g
dapat digunakan pada fase rehabilitasi.
Tabel 2.9. Kebutuhan Zat Gizi Anak Gizi Buruk
49

Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap transisi
dan mendapat F-100:
Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari.
Jika kenaikan berat badan:
kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap
sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau
mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.
baik (> 10 g/kgBB/hari).
Tabel
2.10.

F-

100

50

9. Stimulasi sensorik dan emosional


Lakukan:

ungkapan kasih sayang


lingkungan yang ceria
terapi bermain terstruktur selama 1530 menit per hari
aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan,

memandikan, bermain)
Sediakan mainan yang sesuai dengan umur anak

(WHO, 2009)

BAB III
STATUS PRESENT
A. Identitas Pasien
Nama

: An. RS

Jenis Kelamin

: Laki-laki
51

Usia

: 18 bulan

Pekerjaan

: Tidak Bekerja

Pendidikan

: Tidak Sekolah

Agama

: Islam

Alamat

: Randusari RT 09 RW 03, Kelurahan Randusari

Tanggal Berobat : 05 Juni 2015


B. Anamnesa
Dilakukan secara allo-anamnesa pada tanggal 05 Juni 2015 pukul 10.00 WIB
1. Keluhan Utama: Demam
2. Keluhan Tambahan: Berat badan tidak naik
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dibawa oleh neneknya dengan keluhan demam, sejak 3 hari yang
lalu. Demam dirasakan naik turun. Selain demam nenek pasien juga mengeluhkan
berat badan cucunya tidak kunjung naik.
Pasien sulit makan, sering rewel, dan menangis. Keluhan mual,muntah, batuk
lama, mimisan, kejang disangkal
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Nenek pasien mengaku, pasien sering di rawat di RS dengan keluhan demam dan
muntah. Tahun 2015 ini pasien sudah 5 kali dirawat di RS. Pasien memiliki riwatar
TB paru.
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Riwayat TB dalam keluarga disangkal.
- Riwayat gizi buruk dalam keluarga disangkal
6.

Riwayat Sosial Ekonomi:

52

Pasien tinggal bersama nenek, kakek, 2 orang saudara kandungnya dan 2


orang tantenya. Biaya hidup pasien ditanggung oleh kakeknya yang bekerja sebagai
supir taksi dengan penghasilan Rp. 2.400.000,-/bln. Sosial ekonomi keluarga ini
termasuk keluarga dengan ekonomi kurang.
7. Riwayat Kebiasaan:
Pasien hanya dapat berbaring. Pasien tidak dapat bicara, duduk, dan berjalan.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, lemas, sangat kurus
2. Vital sign

Kesadaran

: Compos Mentis

Tek. Darah

: tidak dilakukan

Frek. Nadi

: 110 x/menit

Frek Pernapasan : 34 x/menit


: 38,20C

Suhu

3. Status Generalis:
BB

: 7 Kg

TB

: 81 cm

Pemeriksaan status gizi ( Z score ) :


WAZ = BB median = 7 11,5 = -3,75
SD

1,20

HAZ = TB median = 81 82,4


SD

(Berat badan sangat


rendah/Gizi buruk)

= -0,46 (Normal)

3,00
53

WHZ = BB median = 7-11,1


SD

= -4,5 (Sangat kurus)

0,9

a. Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : normocephal, simetris
- Rambut : warna kemerahan, jarang, mudah patah
- Nyeri tekan : tidak ada
b. Pemeriksaan Mata
- Palpebra : tidak ada udem
- Konjungtiva : anemis
- Sklera : tidak ikterik
c.
d.
e.
f.

- Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor dengan diameter 3 mm


Pemeriksaan Telinga : tidak ada discharge
Pemeriksaan Hidung : nafas cuping hidung (+)
Pemeriksaan Mulut : bibir tidak sianosis, faring tidak hiperemis
Pemerksaan Leher : terdapat pembesaran kelenjar limfe, tekanan vena

g.

jugularis tidak meningkat


Pemeriksaan thorak
- Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan
dinamis, tidak terdapat retraksi diafragma, iga mengambang
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru, tidak terdapat peranjakan paru-hati.
Auskultasi : vesikuler, tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing.
- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra, kuat angkat,
dan tidak terdapat thrill
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dextra, batas jantung
kiri pada ICS V linea midklavikula sinistra, batas pinggang jantung pada ICS
III linea parasternalis sinistra, proyeksi besar jantung normal.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat murmur dan bunyi
gallop.

54

h.

Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Tampak datar, simetris, tidak terdapat kelainan kulit.
Auskultasi : Bising usus normal, bising aorta abdominalis terdengar.
Palpasi : supel, tidak terdapat nyeri tekan, Hepar dan lien tak teraba.
Perkusi : tympani di seluruh lapang abdomen, Undulasi (-), Pekak beralih (-).

D. Riwayat Persalinan dan Postnatal


Anak laki-laki dari ibu G3P2A0, hamil 39 minggu, lahir spontan ditolong bidan di RST.
Bhakti Wiratamtama. Bayi tidak langsung menangis saat lahir. Berat badan lahir 2100
gram, panjang badan lahir 49 cm, lingkar kepala dan lingar dada saat lahir tidak diingat
oleh orang tua pasien.
Pemeliharaan postnatal dilakukan di Posyandu. Pasien hanya pernah diimunisasi sekali
setelah lahir (HB-0). Pasien tidak pernah diimunisasi karena badannya sering panas
sehingga tidak diimunisasi
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang
-

Darah rutin
Foto Thorax

DATA KELUARGA
A. Profil Keluarga
1. Karakteristik Keluarga
a. Identitas Kepala Keluarga: Tn. Hadi Susanto berusia 51 tahun.
b. Struktur Komposisi Keluarga
Tabel 1 Anggota keluarga yang tinggal serumah
Kedudukan
No

1.

Nama

Tn. Hadi

dalam
Keluarga

Keterangan
Jenis

Umur

Kel

Pendi-

Pekerjaan

Tambahan

dikan

Kakek

51 th

SD

Supir taksi

Nenek

45 th

SD

Ibu

Susanto
2.

Ny. Susyati

Rumah
55

Tangga
3.

Arum Dewi

Tante

20 th

SMA

Astuti

Tidak

bekerja

4.

Trikatini

Tante

13 th

SMP

Pelajar

5.

Mutia

Kakak pertama

7 th

2 SD

Pelajar

Kakak kedua

5 th

Belum

Tidak

sekolah

bekerja

Belum

Tidak

sekolah

bekerja

Azahra
6.

Bayu Ilyas
Saputra

7.

Rizky

Anak ke tiga

18 bln

Saputra
8.

Ayis

Pasien

Bapak

25 th

SMP

Swasta

Ibu

24 th

SMK

Swasta

Saputra
9.

Nur Lely

2. Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup


a. Lingkungan tempat tinggal
Tabel 2 Lingkungan tempat tinggal
Status kepemilikan rumah: milik kakek pasien
Daerah perumahan: padat kotor
Karakteristik Rumah dan Lingkungan

Kesimpulan

Luas rumah: 3,5 x 5 m2

An.

Jumlah penghuni dalam satu rumah: 7 orang

sederhana dengan jumlah penghuni 7

Tidak bertingkat
Lantai rumah dari: keramik
Dinding rumah dari: tembok

RS

tinggal

di

rumah

yang

orang. Rumah terdiri dari ruang tamu


dan ruang keluarga yg menjadi satu,
serta memiliki 1 kamar tidur. Rumah
memiliki kamar mandi dan jamban

Jamban keluarga: Ada

Pasien biasanya tidur di kamar tidur

Tempat bermain: Tidak ada

dengan kedua kakaknya. Ketersediaan

Penerangan listrik: 200 watt

air bersih dan pembuangan sampah


56

Ketersediaan air bersih: Ada

keluarga cukup.

Tempat pembuangan sampah : Ada

b. Kepemilikan barang-barang berharga: (Kendaraan,elektronik peralatan RT)


-

Sebuah sepeda motor

Sebuah televisi

Sebuah kompor gas

Sebuah buah kipas angin

c. Denah rumah

1,5
m

Tando
n

Lemari

Tempat
Tidur

2,3
m

3,5 m

w
c

0,8
m

dap
ur

5m

2,2 m

Ruang Tamu

2,7
m

Jendela

57

3. Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga:


a. Sebutkan jenis tempat berobat : Puskesmas
b. Balita: satu
c. Asuransi/Jaminan kesehatan: BPJS Kesehatan

4. Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)


Tabel 3 Pelayanan Kesehatan
Faktor

Keterangan

Kesimpulan

Cara mencapai pusat pelayanan Angkot/sepeda motor

Pasien baru pernah diperiksakan

kesehatan

ke puskesmas dengan tarif


pelayanan gratis dan cukup dekat

Tarif pelayanan kesehatan

Gratis

Kualitas pelayanan kesehatan

Kurang memuaskan

dengan rumah. Tetapi


sebelumnya pasien sering berobat
ke RS karena pelayanan
kesehatan puskesmas kurang
memuaskan.

5. Pola Konsumsi Makanan Keluarga


a. Kebiasaan makan:
No.

Pemberian

1.
2.

Makanan/minum

Cara Pembuatan

Frekuensi

ASI diberikan sejak lahir hingga usia 1 bulan


Asupan makanan
berdasarkan recall 24
jam

Susu Formula

Susu 2 sendok takar

Pembuatan 2

(60gr)

kali sehari

Air 120 cc

(diberikan
58

berkali-kali
hingga susu

Kalori sehari-hari :

habis)

Susu = 218 kkal


Bubur susu = 66 kkal

1/2 sachet
Bubur susu

3 kali sehari
(sering tidak

Air 100 cc

habis dan

Total : 284 kkal/hari

dimuntahkan)
Jus buah

3.

Sangat jarang diberikan

Jika tidak ada susu

Air gula

Kalori yang dibutuhkan:


Energi : 1050 kkal/hari
Protein : 28 g/hari
Cairan : 1050 ml/hari
b. Menerapkan pola gizi seimbang:
Keluarga An. RS tidak menerapkan pola gizi seimbang. Hal ini karena
pengetahuan yang kurang tentang makanan dengan gizi seimbang, selain itu
faktor ekonomi mejadi hambatan untuk keluarga ini dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
6. Pola Dukungan Keluarga
a. Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga:
Nenek pasien tanggap dengan saran dan edukasi dari pihak puskesmas. Jarak
rumah dengan puskesmas yang cukup dekat dan dapat diakses dengan mudah
menggunakan angkutan umum atau motor memudahkan pasien untuk selalu
kontrol rutin. Selain itu, biaya berobat di puskesmas gratis.
b. Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga:
Kerukunan tidak terjalin baik antar anggota keluarga inti yaitu ayah dan ibu
pasien tidak tinggal satu rumah dengan pasien.

Pasien juga tidak diberikan

nafkah oleh kedua orang tua kandungnya.


59

B. Genogram
1. Bentuk keluarga:
Keluarga pasien terdiri atas 3 generasi dengan kepala keluarga (KK)
bernama Tn. Hadi Susanto berusia 51 tahun yang merupakan kakek dari pasien yang
menderita gizi buruk. Bentuk keluarga adalah keluarga besar ( extended family )
dengan pimpinan keluarga pasangan usia lansia awal.
2. Family map (gambar)
DIAGRAM KELUARGA An. R. S.

Keterangan :
: Perempuan hidup

: Pasien

: Laki laki hidup

: Tinggal serumah

: Cerai hidup

C. Identifikasi permasalahan yang didapat dalam keluarga


1.

Masalah dalam organisasi keluarga : Dalam struktur keluarga, pasien diasuh oleh
kakek dan nenek pasien. Kepala keluarga adalah kakek pasien yang saat ini bekerja
sebagai sopir taksi dan nenek pasien sebagai ibu rumah tangga. Status ekonomi
60

keluarga pasien kurang karena kakek pasien membiayai hidup 6 orang dan ayah
pasien tidak membiayai kebutuhan pasien. Jumlah anggota keluarga yang banyak
menyebabkan kurang terpenuhinya kebutuhan hidup sehari hari termasuk kebutuhan
pasien. Selain itu ditambah pula ayah dan ibu pasien tidak tinggal serumah dengan
pasien serta kerukunan antar anggota keluarga tidak terjalin dengan baik.
2. Masalah dalam fungsi biologis: Pasien memiliki riwayat BBLR, asfiksia, dan TB
paru. Kebiasaan makan sehari-hari pasien tidak mencukupi baik kualitas maupun
kuantitas dari kebutuhan kalori.
3. Masalah perilaku kesehatan : Nenek pasien kurang mengerti akan pentingnya
kesehatan dan pemeliharaan kesehatan pasien dibuktikan dengan tidak rutinnya nenek
pasien menimbang pasien ke posyandu dan tidak pernah melakukan imunisasi.
D. Diagnosis Holistik (Multiaksial)
1. Aspek personal: (alasan kedatangan, harapan, kekhawatiran)
Pasien dibawa datang berobat ke Puskesmas dengan jarak yang cukup dekat
dari rumah dan dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan umum dan biaya yg
murah. Pasien dibawa datang berobat dengan harapan rasa sakit yang dirasakan dapat
berkurang dan berat badan dapat naik dengan bantuan dokter di puskesmas. Nenek
pasien memiliki kekhawatiran jika penyakitnya tidak kunjung sembuh dan pasien
bertambah kurus.
2. Aspek klinik: (diagnosis kerja dan diagnosis banding)
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik di dapatkan suhu 38,2 c
menandakan pasien demam dan hasil pemeriksan antropometri

dan tanda klinis

disimpulkan anak tergolong gizi buruk.


3. Aspek risiko internal: (faktor-faktor internal yang mempengaruhi masalah kesehatan
pasien)
Pasien jarang ditimbang di posyandu. Pasien juga baru pernah dibawa berobat
ke puskesmas pertama kali. Sebelumnya pasien sering dibawa kerumah sakit karena
sering demam dan pasien mempunyai riwayat TB paru. Pasien selalu diberika susu
yang encer setiap hari,bahkan hanya diberikan air gula saja jika tidak ada susu. Nenek
pasien juga belum mengerti tentang pentingnya pemeliharaan kesehatan.
61

4. Aspek psikososial keluarga: (faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi masalah


kesehatan pasien)
Keluarga pasien mempunyai hambatan masalah ekonomi karena kakek pasien
harus membiayai hidup 6 orang anggota keluarganya termasuk pasien dengan
penghasilan yang kurang. Ibu dan bapak pasien juga tidak ikut membiayai kebutuhan
hidup pasien sehingga dapat berpengaruh terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan
nutrisi pasien. Pasien juga tidak dirawat oleh kedua orang kandungnya sehingga
kurang mendapatkan dukungan kasih sayang dari jedua orang tuanya.
5. Aspek fungsional: (tingkat kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari baik
didalam maupun di luar rumah, fisik maupun mental)
Pasien mengalami kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari karena pasien
mengalami keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan karena yang disebabkan
karena keadaan kesehatannya. Aktivitas menjalankan fungsi sosial memiliki nilai
skala 2, yaitu dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pasien mengalami kesulitan berat.

62

F. Hl.Blum
LINGKUNGAN

Kepadatan penghuni rumah 7 orang. Ukuran rumah lebar


3,5 m dan panjang 5 m.

GENETIKA
Tidak ada hubungan
antara gizi buruk
dengan faktor
genetik

GIZI
BURUK

PELAYANAN
KESEHATAN
Jumlah kader aktif
hanya 2

PERILAKU

Pasien tidak diasuh oleh ibunya.


Kualitas dan kuantitas nutrisi tidak memenuhi kebutuhan kalori pasien
Nenek pasien tidak rutin membawa pasien ke posyandu untuk

ditimbang setiap bulannya


Nenek pasien mengasuh 3 cucunya dan 2 anaknya sendiri

63

G. Rencana Pelaksanaan
Tabel 4 Rencana Penatalaksanaan
Aspek

Kegiatan

Sasaran

Waktu

Hasil
diharapkan

Keterangan

Aspek
personal

Menjelaskan
kepada keluarga
pasien tentang
gizi buruk yang
diderita pasien
yang
membutuhkan
perawatan yang
cukup lama dan
membutuhkan
perhatian khusus
untuk rutin
ditimbang dan
diperiksakan
kesehatannya.

Keluarga
pasien

Pada saat
kunjungan
ke rumah
pasien

Pemahaman
keluarga pasien
tentang penyakit
yang diderita
pasien yang
mebutuhkan
dukungan penuh
dari keluarga
pasien.

Bersed
ia

Aspek
klinik

Memberikan
terapi :
-Gizi Buruk :
As. Folat 1x1
F 100 (8 kali
sehari) :
Susu 110-120 gr
(3-4 sdm)
Gula pasir 50 gr
(1 sdm)
Minyak sayur 30
gr (1/2 sdm)
Air 120 cc
Demam :
Parasetamol
Syrup 3x1.
Dan menjelaskan
fungsi obat dan
cara konsumsinya
atau membuatnya.

Nenek
pasien
dan
pasien

Pada saat
kunjungan
ke
puskesmas

Nenek pasien
mampu
membuat F100
dan dapat
memberikan
obat secara
teratur.

Bersed
ia

64

Aspek
risiko
internal

Aspek
psikososia
l keluarga

- Menganjurkan
Keluarga
nenek pasien
pasien
untuk
memperbaiki
pembuatan susu
untuk pasien
dengan komposisi
F100
-Menganjurkan
nenek pasien
untuk rutin
membawa pasien
kepuskesmas
untuk memantau
perkembangannya
dan kesehatannya.
-Menganjurkan
nenek pasien
untuk rutin
mengikuti
kunjungan rumah
gizi.

Pada saat
kunjungan
ke rumah
pasien

- Menganjurkan
Ayah dan Ibu
pasien ikut
membiayai
kebutuhan hidup
pasien.

Saat
kunjungan
ke rumah
pasien

Pasien
dan
keluarga

Menyarankan
nenek pasien
untuk melatih
pasien untuk aktif
bergerak dan
melatih secara
pelan-pelah untuk
belajar duduk.

Bersed
ia

- Nenek pasien
rutin membawa
pasien
kepuskesmas
untuk memantau
perkembangann
ya dan
kesehatannya.
-Nenek pasien
rutin untuk
mengikuti
kunjungan
rumah gizi.

- Ayah dan Ibu


Belum
pasien ikut
bersedi
membiayai
a
kebutuhan hidup
pasien.
- Ayah dan ibu
pasien tinggal
serumah atau
tinggal bersama
pasien.

- Menganjurkan
Ayah dan ibu
pasien tinggal
serumah atau
tinggal bersama
pasien.
Aspek
fungsional

- Nenek pasien
dapat membuat
dengan benar
F100

Keluarga
pasien

Saat
kunjungan
ke rumah
pasien

Tubuh pasien
menjadi lebih
sehat dan aktif
bergerak dan
pelan-pelan
mengalami
peningkatan
untuk

Bersed
ia

65

perkembangan
geraknya.

H. Prognosis
1. Ad vitam: dubia ad bonam
2. Ad sanationam: dubia ad bonam
3. Ad fungsionam: dubia ad bonam

BAB IV
ANALISA HASIL

Berdasarkan data diatas, dengan menggunakan diagnosis holistik dan pendekatan HL.
BLUM untuk menyelesaikan permasalahan gizi buruk, didapatkan data bahwa lingkungan,
perilaku, dan pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Kenyataan
yang kami temukan di lapangan antara lain: bahwa pasien tidak diasuh oleh ibunya
melainkan oleh neneknya yang hanya memberikan susu formula dan bubur susu setiap hari
yang tidak sesuai dengan takaran, jika tidak ada susu, pasien hanya diberikan air gula saja
sehingga kebutuhan kalori pasien tidak tercukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan
66

badannya. Nenek pasien hanya sendiri mengurus 3 cucunya dan 2 anaknya, sehingga tidak
dapat memberikan perhatian khusus untuk mengurus pasien. Kesadaran nenek pasien untuk
kesehatan cucunya juga kurang seperti ditunjukkan bahwa nenek pasien tidak rutin
menimbang pasien di posyandu setiap bulannya sehingga gizi pasien menjadi tidak terpantau.
Selain faktor perilaku, faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kondisi gizi yang
buruk seperti kepadatan penghuni rumah 7 orang dengan ukuran rumah lebar 3,5 m dan
panjang 5 m yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pasien.
Dari faktor pelayanan kesehatan, jumlah kader aktif posyandu hanya dua orang tidak
sebanding dengan jumlah balita yang datang ke posyandu sehingga kader tidak dapat
memberikan penjelasan lengkap mengenai status gizi pasien, kader hanya mengatakan BB
mengalami penurunan dan peningkatan, sehingga kasus gizi buruk tidak terpantau. Kegiatan
pelaporan dan pencatatan di posyandu tidak berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari
keadaan pasien yang selalu mengalami penurunan BB tetapi keadaan tersebut tidak dilaporkan
posyandu ke puskesmas pandanaran dan buku KMS tidak terorganisir . Selanjutnya perilaku
kesehatan akan

berpengaruh kepada

meningkatnya indikator

kesehatan

masyarakat

sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. Peranan perilaku dan asupan nutrisi
yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan dapat menurunkan angka kejadian gizi
buruk. Jarak antara tempat tinggal dan puskesmas 2 meter dan pasien masih dapat
menjangkau dengan menggunakan transport kendaraan umum atau sepeda motor.
Dari riwayat kelahiran, pasien memiliki berat badan lahir rendah (< 2500 gr) yaitu 2100
gr dan asfiksia, hanya di imunisasi satu kali saat lahir, dan pasien hanya diberikan ASI sampai
dengan usia 1 bulan. Hal tersebut berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk pasien dan
imunitas pasien yang rendah sehingga pasien mudah terserang penyakit.
Prioritas Penyebab Masalah
Penyebab masalah yang teridentifikasi selanjutnya dilakukan prioritas penyebab
masalahnya dengan menggunakan Hanlon Kualitatif dengan 3 kelompok kriteria:
Tabel 4.1 Kriteria Urgency

67

No

Kepadatan
Rumah

Kepadatan
Rumah
Tidak diasuh
No
ibunya

Kepadatan
Rumah

Nutrisi tidak
mencukupi
Tidak pernah
Kepadatan
ditimbang
Rumah

Tidak
diasuh
ibunya

Nutrisi
Tidak
Nenek
Jumlah TH
tidak
pernah
Mengurusi kader
mencukupi ditimbang banyak
kurang
anak

Tidak
diasuh
ibunya

Nutrisi
tidak
mencukupi

+
Tidak
pernah
+
ditimbang

Nenek
Mengurusi
+
banyak
anak

+
2
Jumlah TH
kader
+
3
kurang

52

01

03

Mengurusi
Tidak diasuh
banyak anak
ibunya
Jumlah
kader
Nutrisi tidak
kurang
mencukupi
TH
Tidak pernah
ditimbang
TV
Mengurusi
Total
banyak anak

0-

0+

2
2

Jumlah kader
kurang

TH

TV

Total

Tabel 4.2 Kriteria Seriousness

68

Tabel 4.3 Kriteria Growth

No

Kepadatan
Rumah

Kepadatan
Rumah

Tidak
diasuh
ibunya

Nutrisi
Tidak
Nenek
Jumlah TH
tidak
pernah
Mengurusi kader
mencukupi ditimbang banyak
kurang
anak

Tidak diasuh
ibunya
Nutrisi tidak
mencukupi
Tidak pernah
ditimbang
Mengurusi
banyak anak
Jumlah kader
kurang

TH

TV

Total

Tabel 4.4 Urutan Prioritas Penyebab Masalah

Penyebab

masalah

Total

Prioritas

Kepadatan
Rumah

10

II

Tidak
diasuh
ibunya

Nutrisi

13

I
69

tidak
mencukupi
Tidak
pernah
ditimbang

III

Mengurusi
banyak
anak

VI

Jumlah
kader
kurang

IV

Daftar Prioritas Penyebab Masalah


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Nutrisi tidak mencukupi


Kepadatan rumah
Tidak pernah ditimbang
Jumlah kader kurang
Tidak diasuh ibunya
Nenek pasien mengurusi banyak anak

4.1 SARAN
4.1.1 Saran Kepada Keluarga
4.1.1.1 Faktor Perilaku
a. Hendaknya pasien diasuh juga oleh ibunya sehingga mendapatkan
kasih sayang yang cukup dari ibu kandungnya.
b. Pasien diberikan susu formula dengan cara pembuatan yang benar
(F100), pasien belum diperbolehkan mendapat makanan tambahan
lainnya karena menurut BB pasien setara anak usia 5 bulan yang belum
boleh diberikan makanan pendamping.
c. Nenek pasien rutin membawa pasien ke posyandu atau puskesmas

4.1.2

untuk ditimbang dan diperiksa kesehatannya.


4.1.1.2 Faktor lingkungan
a. Menjaga kebersihan rumah
Saran Kepada Puskesmas
4.1.2.1
Faktor pelayanan Kesehatan
a. Menambah jumlah kader aktif diposyandu
70

b. Memberikan sosialisasi tentang gizi buruk dan proses


pelaporannya ketika menjumpai kasus gizi pada kader-kader
posyandu yang nantinya akan memberikan penjelasan kepada
warga-warga di wilayahnya dan akan bertanggung jawab
kepada pihak puskesmas.
c. Memberikan pemantuan dan evaluasi secara langsung oleh
pihak puskesmas saat berlangsungnya kegiatan posyandu dan
untuk tindakan pengawasan selanjutnya.
d. Memberikan edukasi dengan metode lain tentang penjelasan
gizi buruk melalui : penyuluhan yang diadakan 2 bulan sekali,
pemasangan poster di sekitar puskesmas, pembagian leaflet
kepada warga sekitar rumah penderita.
e. Perbaikan untuk pencatatan dan pelaporan gizi buruk di
posyandu.
f. Melakukan monitoring rutin untuk mengetahui kemajuan
kondisi pasien.
4.2 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
4.2.1 Implementasi Oleh Keluarga
4.2.1.1 Implementasi Saran yang Dilakukan Oleh Keluarga
i. Ibu pasien lebih sering menengok pasien.
ii. Pasien sudah diberikan susu formula sesuai takaran (F100)..
iii. Nenek pasien sudah membawa pasien kembali kepuskesmas tanggal
11 Juni 2015 untuk timbang berat badan dan memeriksakan
kesehatan pasien.
4.2.2 Evaluasi
4.2.2.1 Ibu pasien lebih sering tidur dirumah bersama anaknya, tapi belum pindah
kerumah.
4.2.2.2 Susu yang diberikan ke pasien sudah tidak encer lagi, pasien sudah
membuatkan dalam bentuk F-100.
4.2.2.3 Botol susu sudah terdapat 4 lengkap dengan tutupnya.
4.2.2.4 Pasien sudah ditimbang berat badan dan diperiksakan

kembali

kesehatannya dipuskesmas tanggal 11 Juni 2015.


4.3 Implementasi Oleh Puskesmas
4.3.1 Implementasi Saran yang Dilakukan Oleh Puskesmas
4.3.1.1 Memberikan pengawasan dan penjelasan kepada kader-kader di posyandu.
4.3.1.2 Memberikan penyuluhan sederhana mengenai gizi buruk kepada keluarga
pasien dan masyarakat sekitar sehingga masyarakat dapat mengetahui
tentang bahayanya gizi buruk mulai dari definisi yang benar tentang gizi
71

buruk, penyebab, faktor risikonya, dan penanganan serta pencegahan


terjadinya gizi buruk.
4.3.1.3 Melakukan monitoring berkelanjutan pada pasien.
4.3.1.4 Penambahan anggota kader posyandu
4.3.1.5 Pembinaan kader untuk perbaikan dalam pencatatan diposyandu dan
pelaporan gizi buruk di posyandu.
4.3.1.6 Mengikut sertakan pasien pada pemeriksaan dan intervensi rutin yang
dilaksanankan oleh DKK.
4.3.2 Evaluasi
4.3.2.1 Sudah direncanakan untuk penambahan anggota kader posyandu dari PKK
4.3.2.2 Setalah dilakukan penjelasan kepada kader posyandu, kader sudah mengerti
tugasnya ketika mendapatkan pasien dengan kondisi gizi buruk yaitu
pencatatan yang baik, pelaporan kepuskesmas, dan memberikan edukasi ke
keluarga pasien gizi buruk.
4.3.2.3 Setelah dilakukan penyuluhan sederhana pada keluarga pasien, keluarga
pasien

tersebut mengerti tentang bahanya gizi buruk, baik definisi,

penyebab, faktor risko, serta penanganannya dan pencegahannya serta


tentang PHBS. Hal ini terlihat saat tanya jawab keluarga pasien dapat
menjawab mayoritas pertanyaan yang diajukan dengan benar.
4.3.2.4 Dari hasil evaluasi, sudah tampak perubahan perilaku dan lingkungan yang
signifikan misalnya peningkatan kebersihan rumah dan pemberian asupan
nutrisi tambahan.
4.3.2.5 Pasien dan keluarga sudah mengikuti kegiatan yang dilakukan DKK untuk
gizi buruk, yaitu kunjungan rutin ke rumah gizi. Keluarga pasien menjadi
lebih tahu megenai kondisi pasien dan bagaimana mengatasinya.

72

BAB V
KESIMPULAN
a. KESIMPULAN
Dari kegiatan yang telah dilakukan selama kunjungan Perkesmas pada pasien An. R.S.
dengan usia 18 bulan. Keluhan awal yang dialami pasien adalah badan panas dan berat
badan tidak kunjung naik, pasien tidak nafsu makan, sering rewel dan menangis. Pasien
pernah mondok 5 kali mondok di rumah sakit dan pasien punya riwayat TB paru. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan hasil tanda-tanda adanya gizi buruk. Maka dapat diambil
kesimpulan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk pada pasien
adalah sebagai berikut:
1.

Lingkungan
a) Kepadtan rumah 3,5 m x 5 m yang dihuni oleh 7 orang

2.

Perilaku
a)
b)
c)
d)

Pasien tidak diasuh oleh ibunya.


Pasien hanya diberikan susu formula yang encer setiap hari.
Jika tidak ada susu, pasien hanya diberikan air gula saja.
Nenek pasien tidak rutin membawa pasien ke posyandu untuk ditimbang setiap

bulannya
e) Nenek pasien mengasuh sendiri ke tiga cucunya dan kedua anaknya dalam
kesehariannya
3.

Pelayanan Kesehatan
a) Jumlah kader posyandu hanya dua orang
b) Kader tidak melakukan pencatatan yang baik dan pelaporan kejadian gizi
buruk ke puskesmas

4.

Genetika/ Kependudukan
a) Kepadatan penghuni rumah 7 orang. Ukuran rumah 3,5 x 5 meter.

44

45

BAB VI
PENUTUP

Demikianlah laporan dan pembahasan mengenai hasil peninjauan kasus gizi buruk
pada pasien di Puskesmas Pandanaran. Kami menyadari bahwa kegiatan ini sangat penting
dan bermanfaat bagi para calon dokter, khususnya yang kelak akan terjun di masyarakat
sebagai Health Provider, Decision Maker, dan Communicator sebagai wujud peran serta
dalam pembangunan kesehatan.
Akhir kata kami berharap laporan ini bermanfaat sebagai bahan masukan dalam usaha
peningkatan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pandanaran.

DAFTAR PUSTAKA

ii

Kementerian kesehatan RI, 2011, Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
1995/menkes/sk/xii/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak.
Retrieved

16

juni

2013,

from

http://gizi.depkes.go.id/wp-

content/uploads/2012/11/buku-sk-antropometri-2010.pdf
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi
2011-2015
Depkes RI, 2009, Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta. Retrieved 31 desember 2013, from
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/kepmenkes_374-2009_ttg_skn-2009.pdf
WHO, 2009, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, WHO Indonesia,
Jakarta
Yuliana, Hidayat, 2011, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Buruk
pada Balita Di Kabupaten Kebumen Tahun 2010
Nurlaela, Lutfiana, 2013, Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gizi Buruk
pada Lingkungan Tahan Pangan dan Gizi
Retno, Dyah. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Baik dan Gizi
Kurang pada Balita

di Desa Dukuhwaluh Kecamatan Kembaran

Kabupaten

Banyumas
Mazarina, Devi. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi Balita
di Pedesaan
Ikha, rizky, 2013. Analisis faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk Balita di Jawa
Tengah dengan Metode Spatial Durbin Model

Dinas kesehatan kota semarang, 2013. Profil kesehatan kota semarang 2013

Kondisi An. R S

iii

Lingkungan rumah

Rumah Pasien

Perubahan Perilaku

iv

Pembuatan susu tidak sesuai takaran lebih


Pembuatan susu sudah sesuai dengan takaran
encer. Dan tidak sesuai dengan anjuran untuk dan anjuran untuk gizi buruk (F100)
gizi buruk
Pasien
mengikuti kegiatan DKK Rumah Gizi

Kegiatan Fisioterapi untuk pertumbuhan dan perkembangan

Nenek pasien juga diajarkan tekhniknya untuk dilakukan di rumah

Sistem Pencatatan Kader Posyandu

Anda mungkin juga menyukai