..
Pembimbing :
dr. Antonia Sadniningtyas
Disusun oleh:
Arum Diannitasari (012.106.093)
Erani Sukmawati
(012.106.148)
Jauhar Nafies
(012.106.196)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, yang telah memberikan rahmat
karunia dan hidayah, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Keadaan Gizi Buruk pada Balita di Puskesmas
Pandanaran.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Laporan ini memuat data tentang kasus Gizi Buruk di Puskesmas
Pandanaran, Kota Semarang.
Laporan ini dapat terselesaikan berkat kerjasama tim dan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk ini kami mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada yang terhormat :
1.
2.
3.
4.
sempurna karena keterbatasan waktu dan kemampuan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun guna kesempurnaan dan perbaikan laporan kasus ini agar lebih baik.
Akhir kata kami berharap semoga laporan kasus Gizi Buruk di Puskesmas Pandanaran
Kota Semarang ini bermanfaat bagi semua pihak.
Semarang,
BAB I
Juni 2015
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka kematian bayi dan anak yang tinggi merupakan ciri yang umum dijumpai di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia (BAPPENAS, 2011). Salah satu sebab di
antaranya adalah karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk (Yuliana,
2011). Masalah gizi merupakan masalah kesehatan yang tersembunyi, sehingga masalah
ini menjadi cukup serius di Indonesia (BAPPENAS, 2011). Penyebab langsung masalah
gizi buruk adalah kurangnya asupan makanan dan adanya infeksi. Namun, penyebab
tersebut selalu diiringi dengan latar belakang lain yang lebih komplek seperti kondisi
ekonomi, tingkat pendidikan, kondisi lingkungan dan pola asuh yang diberikan terhadap
balita (Nurlaela, 2013).
Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen
kontribusi masalah gizi dunia (BAPPENAS, 2011). Tercatat sekitar sepertiga dari
populasi balita yang ada di negara-negara berkembang mengalami masalah gizi buruk.
Jika dapat bertahan hingga dewasa, mereka akan beresiko mengalami perkembangan
kognitif yang buruk, gangguan pertumbuhan dan produktivitas yang rendah. Yang lebih
buruk, gizi buruk dapat menyebabkan kematian. Hal ini cukup mengkhawatirkan
mengingat anak-anak ialah generasi penerus bangsa (Ikha, 2013). Permasalahan gizi di
kota Semarang yang tetap ada dan jumlahnya cendrung bertambah adalah masalah gizi
kurang dan gizi buruk. Kasus gizi buruk di kota Semarang pada tahun 2013 sebanyak 32
kasus mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yang berjumlah 26 kasus
(DKK, 2013). Kasus gizi buruk yang ditemukan di puskesmas Pandanaran tahun 2013
sebanyak 8 kasus, sedangkan pada tahun 2014 terdapat 21 kasus balita dengan gizi
buruk. Menurut data dari puskesmas Pandanaran periode Januari hingga Juni tahun 2015
ditemukan 4 balita dengan gizi buruk.
Keadaan gizi yang baik merupakan syarat utama untuk mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas. Masalah gizi dapat terjadi disetiap fase kehidupan (Nurlaela,
2013). Kehidupan manusia dimulai sejak di dalam kandungan ibu, sehingga calon ibu
perlu memiliki kesehatan yang baik. Kesehatan dan gizi ibu hamil merupakan kondisi
yang sangat diperlukan bagi bayi untuk menjadi sehat. Masa emas atau masa kritis
tumbuh kembang fisik, mental, dan sosial dimulai sejak dalam kandungan hingga anak
berumur 2 tahun. Pada masa ini, tumbuh kembang otak paling pesat (80%) yang nantinya
dapat menentukan kualitas sumber daya manusia pada masa dewasa (Mazarina, 2010).
Apabila terjadi gangguan gizi pada fase tersebut, maka akan bersifat permanen, tidak
dapat dialihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi. Kejadian gizi
buruk sebenarnya dapat dicegah jika akar masalah di masyarakat yang bersangkutan
dapat dikenali, sehingga penanggulangan masalah gizi dapat dimulai dari dasar melalui
penanganan terhadap akar masalahnya. Diketahui bahwa gejala klinis gizi kurang atau
buruk diakibatkan dari ketidakseimbangan yang lama antara manusia dan lingkungan
hidupnya. Lingkungan hidup yang termasuk didalamnya mencakup lingkungan alam,
biologis, sosial budaya, maupun ekonomi. Masing-masing faktor tersebut mempunyai
peran yang komplek dan sangat berperan penting dalam etiologi penyakit gizi kurang
(Nurlaela, 2013).
Berdasarkan data rekapitulasi kasus Gizi Buruk di Puskesmas Pandanaran dari
bulan Januari-Juni tahun 2015 didapatkan jumlah penderita gizi buruk sebanyak 4 orang.
Dengan uraian bulan Januari didapatkan 3 kasus, bulan Februari-Maret tidak didapatkan
laporan kasus gizi buruk dan satu kasus kembali dilaporkan pada awal Juni. Berdasarkan
data diatas penulis bermaksud ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian gizi buruk pada balita dengan pendekatan H.L. Blum.
1.2. Rumusan Masalah
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk pada balita berdasarkan
pendekatan H.L. Blum?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian gizi buruk pada balita berdasarkan pendekatan HL Blum.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1.
Untuk memperoleh informasi mengenai faktor perilaku yang
mempengaruhi keadaan gizi buruk pada balita.
1.3.2.2.
Untuk memperoleh informasi mengenai
faktor
pelayanan
Memberi
rekomendasi
langsung
kepada
masyarakat
untuk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Penyakit Gizi Buruk di Puskesmas Pandanaran
Selama beberapa tahun terakhir ini, angka kejadian gizi buruk di Puskesmas
Pandanaran cenderung naik turun. Dari data 3 tahun terakhir, jumah kasus gizi buruk
pada tahun 2013 sebanyak 8 kasus sedangkan pada tahun 2014 jumlah ini mengalami
peningkatan menjadi 21 orang. Pada tahun 2015 hingga bulan Juni, jumlah kasus gizi
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, dapat digunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak
bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas,
dengan atau tanpa adanya edema.
Penilaian awal anak gizi buruk meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
35
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan
diare (encer/darah/lendir)
Kapan terakhir berkemih
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan ditangani) :
Pemeriksaan fisik :
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
7. Bila kondisi anak rawat inap sudah tidak lagi ditemukan tanda-tanda komplikasi
medis, tanda klinis baik dan status gizi kurang, nafsu makan baik makan
penanganan anak dengan pemberian PMT pemulihan
8. Anak gizi buruk yang telah mendapatkan penanganan melalui rawat jalan dan
PMT pemulihan, jika kondisinya memburuk degan ditemukannya salh satu tanda
komplikasi medis, atau penyakit yang mendasari sampai kunjungan ke tiga berat
badan tidak naik (kecuali anak dengan edema), timbulnya edema baru, tidak ada
nafsu makan maka anak perlu penanganan secara rawat inap
Tabel 2.2.
Alur
Pemeriksaan
38
(Kemenkes
RI,
2011)
2.5.
39
Marasmus
2.6.
Kwashiorkor
pengetahuan ibu tentang gizi secara tidak langsung akan mempengaruhi status
gizi anak sehingga gizinya dapat terjamin. Dengan pengetahuan yang dimiliki
tersebut, maka ibu dapat mengasuh dan memenuhi zat gizi balitanya. Jika
pengetahuan masyarakat tentang gizi kurang, maka masyarakat kurang
memperhatikan asupan makanan yang baik sehingga status gizi balita menjadi
kurang (Retno, 2014).
5. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk
dapat mempermudah terkena penyakit infeksi, sehingga penyakit infeksi dengan
keadaan gizi merupakan suatu hubungan timbal balik. Penyakit infeksi dapat
disebabkan oleh faktor agent (penyebab infeksi), host (induk semang), dan route
of transmission (jalannya penularan). Faktor agen penyebab penyakit infeksi
antara lain virus, bakteri, jamur, riketsia, dan protozoa. Berbagai agen infeksi
tersebut akan menyebabkan seseorang mengalami penyakit-penyakit infeksi
seperti influenza, cacar, typhus, disentri, malaria, dan penyakit kulit seperti panu.
Suatu penyakit infeksi tergantung dari kekebalan atau resistensi orang yang
bersangkutan. Diare, tuberkulosis, campak, dan batuk rejan merupakan penyakit
yang umum terkait dengan masalah gizi. Kematian awal di negara berkembang
banyak diakibatkan oleh penyakit infeksi (Retno, 2014).
6. Asupan nutrisi
Salah satu penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi yaitu asupan nutrisi
yang kurang. Makanan yang dikonsumsi tidak dapat memenuhi kebutuhan zat-zat
gizi dalam tubuh seperti energi dan protein. Energi dapat diperoleh dari
kandungan bahan makanan seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Energi
tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi basal, menunjang
proses pertumbuhan serta untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Kekurangan
protein dalam tubuh juga dapat menyebabkan status gizi menurun sampai pada
gizi buruk apabila terjadi dalam jangka lama. Hal ini dikarenakan fungsi protein
itu sendiri sebagai pembangun, pertumbuhan, pemeliharaan jaringan, mekanisme
pertahanan tubuh, dan mengatur metabolisme tubuh. Anak-anak dari tingkat
sosial ekonomi yang rendah, lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat, dan
kurang mengkonsumsi protein dan lemak. Asupan harian anak seperti air, serat,
41
fluoride, kalium, asam linoleat, dan asupan vitamin D rendah, sedangkan energi
harian, besi, dan asupan asam folat hanya di bawah tingkat yang
direkomendasikan. Kemiskinan memiliki efek negatif pada kesehatan anak-anak,
untuk itu diperlukan dukungan nutrisi untuk anak-anak dengan tingkat sosial
ekonomi yang rendah (Retno, 2014).
7. Ketahanan pangan di keluarga
Upaya mencapai status gizi masyarakat yang baik atau optimal dimulai dengan
penyediaan pangan yang cukup (Yuliana, 2011).
8. Pola pengasuhan anak
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan sabar dan penuh kasih, apalagi ibunya
berpendidikan, mengerti masalah ASI, manfaat posyandu dan kebersihan,
meskipun miskin akan dapat mengasuh dan memberi makan anak dengan baik
sehingga anaknya tetap sehat (Yuliana, 2011).
9. Pelayanan kesehatan
Perawatan kesehatan yang teratur, tidak saja kalau anak sakit, tetapi pemeriksaan
kesehatan dan menimbang anak secara rutin setiap bulan, akan menunjang pada
tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, pemanfaatan fasilitas pelayanan
kesehatan dianjurkan dilaksanakan secara komprehensif, yang mencakup aspekaspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative (Yuliana, 2011).
10. Kesehatan Lingkungan
Lingkungan memiliki peran yang cukup dominan dalam penyediaan lingkungan
yang mendukung kesehatan anak dan tumbuh kembangnya (Yuliana, 2011).
11. Sosial Budaya
Indikatornya adalah stabilitas keluarga dengan ukuran frekuensi nikah-cerairujuk, anak-anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang tidak stabil akan
sangat rentan terhadap penyakit gizi-kurang. Juga indikator demografi yang
meliputi susunan dan pola kegiatan penduduk (Yuliana, 2011).
Ada yang membagi faktor yang mempengaruhi status gizi menjadi 2 yaitu faktor
langsung dan faktor tidak langsung. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan
penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab tidak langsung terdiri ketahanan
pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan (Nurlaela, 2013).
2.7.
Tatalaksana
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 4 fase yaitu: fase
stabilisasi, fase transisi, fase rehabilitasi, dan fase tindak lanjut.
Tabel 2.4. Tatalaksana Gizi Buruk
42
Tatalaksana :
Segera
beri
F-75
pertama
atau
modifikasinya
bila
penyediaannya
memungkinkan.
Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan
glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air) secara
oral atau melalui NGT.
Lanjutkan pemberian F-75 setiap 23 jam, siang dan malam selama minimal
dua hari.
Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F75.
Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena
(bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml
dengan NGT.
Beri antibiotik.
Pencegahan : Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin
atau jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3
jam siang malam.
2. Hipotermia
Suhu aksilar < 35.5 C. Tatalaksana :
Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut
hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada anak) atau
lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya
(dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan lampu listrik,
letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak.
Beri antibiotik sesuai pedoman.
Pencegahan:
Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas angin
dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut
Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap
kering
Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah mandi,
atau selama pemeriksaan medis)
Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di
malam hari
44
Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin,
sepanjang hari, siang dan malam.
3. Dehidrasi
Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap
dehidrasi ringan. Tatalaksana :
Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat
dengan syok.
Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding
jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
- beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
- setelah 2 jam, berikan ReSoMal 510 ml/kgBB/jam berselang-seling
dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja
yang keluar dan apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan
mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan yang lebih
tepat adalah ReSoMal
Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100 ml
setiap buang air besar, usia 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar
Tabel 2.5. Pemberian Resomal
Pencegahan :
45
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak
dengan gizi baik), kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan
oralit standar.
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
Pemberian F-75 sesegera mungkin
Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
4. Gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium yang
mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih untuk memperbaikinya. Terdapat
kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium serum mungkin rendah.
Edema dapat diakibatkan oleh keadaan ini. Jangan obati edema dengan diuretikum.
Tatalaksana :
Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium, yang
sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke dalam
F-75, F-100 atau ReSoMal
Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).
5. Infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam, seringkali
tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh karena itu,
anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang ke
rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia
merupakan tanda infeksi berat. Tatalaksana :
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
Antibiotik spektrum luas
Vaksin campak jika anak berumur 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi
vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
6. Defisiensi zat mikro
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun
sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu sampai
anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya
(biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat
memperparah infeksi. Tatalaksana :
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:
Multivitamin
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
46
Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan
sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini :
Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun
rendah laktosa
Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
Energi: 100 kkal/kgBB/hari
Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-75
yang ditentukan harus dipenuhi.
47
48
Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75
Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak
sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup energi
untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to use
therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92 g
dapat digunakan pada fase rehabilitasi.
Tabel 2.9. Kebutuhan Zat Gizi Anak Gizi Buruk
49
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap transisi
dan mendapat F-100:
Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari.
Jika kenaikan berat badan:
kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap
sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau
mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.
baik (> 10 g/kgBB/hari).
Tabel
2.10.
F-
100
50
memandikan, bermain)
Sediakan mainan yang sesuai dengan umur anak
(WHO, 2009)
BAB III
STATUS PRESENT
A. Identitas Pasien
Nama
: An. RS
Jenis Kelamin
: Laki-laki
51
Usia
: 18 bulan
Pekerjaan
: Tidak Bekerja
Pendidikan
: Tidak Sekolah
Agama
: Islam
Alamat
52
Kesadaran
: Compos Mentis
Tek. Darah
: tidak dilakukan
Frek. Nadi
: 110 x/menit
Suhu
3. Status Generalis:
BB
: 7 Kg
TB
: 81 cm
1,20
= -0,46 (Normal)
3,00
53
0,9
a. Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : normocephal, simetris
- Rambut : warna kemerahan, jarang, mudah patah
- Nyeri tekan : tidak ada
b. Pemeriksaan Mata
- Palpebra : tidak ada udem
- Konjungtiva : anemis
- Sklera : tidak ikterik
c.
d.
e.
f.
g.
54
h.
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Tampak datar, simetris, tidak terdapat kelainan kulit.
Auskultasi : Bising usus normal, bising aorta abdominalis terdengar.
Palpasi : supel, tidak terdapat nyeri tekan, Hepar dan lien tak teraba.
Perkusi : tympani di seluruh lapang abdomen, Undulasi (-), Pekak beralih (-).
Darah rutin
Foto Thorax
DATA KELUARGA
A. Profil Keluarga
1. Karakteristik Keluarga
a. Identitas Kepala Keluarga: Tn. Hadi Susanto berusia 51 tahun.
b. Struktur Komposisi Keluarga
Tabel 1 Anggota keluarga yang tinggal serumah
Kedudukan
No
1.
Nama
Tn. Hadi
dalam
Keluarga
Keterangan
Jenis
Umur
Kel
Pendi-
Pekerjaan
Tambahan
dikan
Kakek
51 th
SD
Supir taksi
Nenek
45 th
SD
Ibu
Susanto
2.
Ny. Susyati
Rumah
55
Tangga
3.
Arum Dewi
Tante
20 th
SMA
Astuti
Tidak
bekerja
4.
Trikatini
Tante
13 th
SMP
Pelajar
5.
Mutia
Kakak pertama
7 th
2 SD
Pelajar
Kakak kedua
5 th
Belum
Tidak
sekolah
bekerja
Belum
Tidak
sekolah
bekerja
Azahra
6.
Bayu Ilyas
Saputra
7.
Rizky
Anak ke tiga
18 bln
Saputra
8.
Ayis
Pasien
Bapak
25 th
SMP
Swasta
Ibu
24 th
SMK
Swasta
Saputra
9.
Nur Lely
Kesimpulan
An.
Tidak bertingkat
Lantai rumah dari: keramik
Dinding rumah dari: tembok
RS
tinggal
di
rumah
yang
keluarga cukup.
Sebuah televisi
c. Denah rumah
1,5
m
Tando
n
Lemari
Tempat
Tidur
2,3
m
3,5 m
w
c
0,8
m
dap
ur
5m
2,2 m
Ruang Tamu
2,7
m
Jendela
57
Keterangan
Kesimpulan
kesehatan
Gratis
Kurang memuaskan
Pemberian
1.
2.
Makanan/minum
Cara Pembuatan
Frekuensi
Susu Formula
Pembuatan 2
(60gr)
kali sehari
Air 120 cc
(diberikan
58
berkali-kali
hingga susu
Kalori sehari-hari :
habis)
1/2 sachet
Bubur susu
3 kali sehari
(sering tidak
Air 100 cc
habis dan
dimuntahkan)
Jus buah
3.
Air gula
B. Genogram
1. Bentuk keluarga:
Keluarga pasien terdiri atas 3 generasi dengan kepala keluarga (KK)
bernama Tn. Hadi Susanto berusia 51 tahun yang merupakan kakek dari pasien yang
menderita gizi buruk. Bentuk keluarga adalah keluarga besar ( extended family )
dengan pimpinan keluarga pasangan usia lansia awal.
2. Family map (gambar)
DIAGRAM KELUARGA An. R. S.
Keterangan :
: Perempuan hidup
: Pasien
: Tinggal serumah
: Cerai hidup
Masalah dalam organisasi keluarga : Dalam struktur keluarga, pasien diasuh oleh
kakek dan nenek pasien. Kepala keluarga adalah kakek pasien yang saat ini bekerja
sebagai sopir taksi dan nenek pasien sebagai ibu rumah tangga. Status ekonomi
60
keluarga pasien kurang karena kakek pasien membiayai hidup 6 orang dan ayah
pasien tidak membiayai kebutuhan pasien. Jumlah anggota keluarga yang banyak
menyebabkan kurang terpenuhinya kebutuhan hidup sehari hari termasuk kebutuhan
pasien. Selain itu ditambah pula ayah dan ibu pasien tidak tinggal serumah dengan
pasien serta kerukunan antar anggota keluarga tidak terjalin dengan baik.
2. Masalah dalam fungsi biologis: Pasien memiliki riwayat BBLR, asfiksia, dan TB
paru. Kebiasaan makan sehari-hari pasien tidak mencukupi baik kualitas maupun
kuantitas dari kebutuhan kalori.
3. Masalah perilaku kesehatan : Nenek pasien kurang mengerti akan pentingnya
kesehatan dan pemeliharaan kesehatan pasien dibuktikan dengan tidak rutinnya nenek
pasien menimbang pasien ke posyandu dan tidak pernah melakukan imunisasi.
D. Diagnosis Holistik (Multiaksial)
1. Aspek personal: (alasan kedatangan, harapan, kekhawatiran)
Pasien dibawa datang berobat ke Puskesmas dengan jarak yang cukup dekat
dari rumah dan dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan umum dan biaya yg
murah. Pasien dibawa datang berobat dengan harapan rasa sakit yang dirasakan dapat
berkurang dan berat badan dapat naik dengan bantuan dokter di puskesmas. Nenek
pasien memiliki kekhawatiran jika penyakitnya tidak kunjung sembuh dan pasien
bertambah kurus.
2. Aspek klinik: (diagnosis kerja dan diagnosis banding)
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik di dapatkan suhu 38,2 c
menandakan pasien demam dan hasil pemeriksan antropometri
62
F. Hl.Blum
LINGKUNGAN
GENETIKA
Tidak ada hubungan
antara gizi buruk
dengan faktor
genetik
GIZI
BURUK
PELAYANAN
KESEHATAN
Jumlah kader aktif
hanya 2
PERILAKU
63
G. Rencana Pelaksanaan
Tabel 4 Rencana Penatalaksanaan
Aspek
Kegiatan
Sasaran
Waktu
Hasil
diharapkan
Keterangan
Aspek
personal
Menjelaskan
kepada keluarga
pasien tentang
gizi buruk yang
diderita pasien
yang
membutuhkan
perawatan yang
cukup lama dan
membutuhkan
perhatian khusus
untuk rutin
ditimbang dan
diperiksakan
kesehatannya.
Keluarga
pasien
Pada saat
kunjungan
ke rumah
pasien
Pemahaman
keluarga pasien
tentang penyakit
yang diderita
pasien yang
mebutuhkan
dukungan penuh
dari keluarga
pasien.
Bersed
ia
Aspek
klinik
Memberikan
terapi :
-Gizi Buruk :
As. Folat 1x1
F 100 (8 kali
sehari) :
Susu 110-120 gr
(3-4 sdm)
Gula pasir 50 gr
(1 sdm)
Minyak sayur 30
gr (1/2 sdm)
Air 120 cc
Demam :
Parasetamol
Syrup 3x1.
Dan menjelaskan
fungsi obat dan
cara konsumsinya
atau membuatnya.
Nenek
pasien
dan
pasien
Pada saat
kunjungan
ke
puskesmas
Nenek pasien
mampu
membuat F100
dan dapat
memberikan
obat secara
teratur.
Bersed
ia
64
Aspek
risiko
internal
Aspek
psikososia
l keluarga
- Menganjurkan
Keluarga
nenek pasien
pasien
untuk
memperbaiki
pembuatan susu
untuk pasien
dengan komposisi
F100
-Menganjurkan
nenek pasien
untuk rutin
membawa pasien
kepuskesmas
untuk memantau
perkembangannya
dan kesehatannya.
-Menganjurkan
nenek pasien
untuk rutin
mengikuti
kunjungan rumah
gizi.
Pada saat
kunjungan
ke rumah
pasien
- Menganjurkan
Ayah dan Ibu
pasien ikut
membiayai
kebutuhan hidup
pasien.
Saat
kunjungan
ke rumah
pasien
Pasien
dan
keluarga
Menyarankan
nenek pasien
untuk melatih
pasien untuk aktif
bergerak dan
melatih secara
pelan-pelah untuk
belajar duduk.
Bersed
ia
- Nenek pasien
rutin membawa
pasien
kepuskesmas
untuk memantau
perkembangann
ya dan
kesehatannya.
-Nenek pasien
rutin untuk
mengikuti
kunjungan
rumah gizi.
- Menganjurkan
Ayah dan ibu
pasien tinggal
serumah atau
tinggal bersama
pasien.
Aspek
fungsional
- Nenek pasien
dapat membuat
dengan benar
F100
Keluarga
pasien
Saat
kunjungan
ke rumah
pasien
Tubuh pasien
menjadi lebih
sehat dan aktif
bergerak dan
pelan-pelan
mengalami
peningkatan
untuk
Bersed
ia
65
perkembangan
geraknya.
H. Prognosis
1. Ad vitam: dubia ad bonam
2. Ad sanationam: dubia ad bonam
3. Ad fungsionam: dubia ad bonam
BAB IV
ANALISA HASIL
Berdasarkan data diatas, dengan menggunakan diagnosis holistik dan pendekatan HL.
BLUM untuk menyelesaikan permasalahan gizi buruk, didapatkan data bahwa lingkungan,
perilaku, dan pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Kenyataan
yang kami temukan di lapangan antara lain: bahwa pasien tidak diasuh oleh ibunya
melainkan oleh neneknya yang hanya memberikan susu formula dan bubur susu setiap hari
yang tidak sesuai dengan takaran, jika tidak ada susu, pasien hanya diberikan air gula saja
sehingga kebutuhan kalori pasien tidak tercukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan
66
badannya. Nenek pasien hanya sendiri mengurus 3 cucunya dan 2 anaknya, sehingga tidak
dapat memberikan perhatian khusus untuk mengurus pasien. Kesadaran nenek pasien untuk
kesehatan cucunya juga kurang seperti ditunjukkan bahwa nenek pasien tidak rutin
menimbang pasien di posyandu setiap bulannya sehingga gizi pasien menjadi tidak terpantau.
Selain faktor perilaku, faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kondisi gizi yang
buruk seperti kepadatan penghuni rumah 7 orang dengan ukuran rumah lebar 3,5 m dan
panjang 5 m yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pasien.
Dari faktor pelayanan kesehatan, jumlah kader aktif posyandu hanya dua orang tidak
sebanding dengan jumlah balita yang datang ke posyandu sehingga kader tidak dapat
memberikan penjelasan lengkap mengenai status gizi pasien, kader hanya mengatakan BB
mengalami penurunan dan peningkatan, sehingga kasus gizi buruk tidak terpantau. Kegiatan
pelaporan dan pencatatan di posyandu tidak berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari
keadaan pasien yang selalu mengalami penurunan BB tetapi keadaan tersebut tidak dilaporkan
posyandu ke puskesmas pandanaran dan buku KMS tidak terorganisir . Selanjutnya perilaku
kesehatan akan
berpengaruh kepada
meningkatnya indikator
kesehatan
masyarakat
sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. Peranan perilaku dan asupan nutrisi
yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan dapat menurunkan angka kejadian gizi
buruk. Jarak antara tempat tinggal dan puskesmas 2 meter dan pasien masih dapat
menjangkau dengan menggunakan transport kendaraan umum atau sepeda motor.
Dari riwayat kelahiran, pasien memiliki berat badan lahir rendah (< 2500 gr) yaitu 2100
gr dan asfiksia, hanya di imunisasi satu kali saat lahir, dan pasien hanya diberikan ASI sampai
dengan usia 1 bulan. Hal tersebut berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk pasien dan
imunitas pasien yang rendah sehingga pasien mudah terserang penyakit.
Prioritas Penyebab Masalah
Penyebab masalah yang teridentifikasi selanjutnya dilakukan prioritas penyebab
masalahnya dengan menggunakan Hanlon Kualitatif dengan 3 kelompok kriteria:
Tabel 4.1 Kriteria Urgency
67
No
Kepadatan
Rumah
Kepadatan
Rumah
Tidak diasuh
No
ibunya
Kepadatan
Rumah
Nutrisi tidak
mencukupi
Tidak pernah
Kepadatan
ditimbang
Rumah
Tidak
diasuh
ibunya
Nutrisi
Tidak
Nenek
Jumlah TH
tidak
pernah
Mengurusi kader
mencukupi ditimbang banyak
kurang
anak
Tidak
diasuh
ibunya
Nutrisi
tidak
mencukupi
+
Tidak
pernah
+
ditimbang
Nenek
Mengurusi
+
banyak
anak
+
2
Jumlah TH
kader
+
3
kurang
52
01
03
Mengurusi
Tidak diasuh
banyak anak
ibunya
Jumlah
kader
Nutrisi tidak
kurang
mencukupi
TH
Tidak pernah
ditimbang
TV
Mengurusi
Total
banyak anak
0-
0+
2
2
Jumlah kader
kurang
TH
TV
Total
68
No
Kepadatan
Rumah
Kepadatan
Rumah
Tidak
diasuh
ibunya
Nutrisi
Tidak
Nenek
Jumlah TH
tidak
pernah
Mengurusi kader
mencukupi ditimbang banyak
kurang
anak
Tidak diasuh
ibunya
Nutrisi tidak
mencukupi
Tidak pernah
ditimbang
Mengurusi
banyak anak
Jumlah kader
kurang
TH
TV
Total
Penyebab
masalah
Total
Prioritas
Kepadatan
Rumah
10
II
Tidak
diasuh
ibunya
Nutrisi
13
I
69
tidak
mencukupi
Tidak
pernah
ditimbang
III
Mengurusi
banyak
anak
VI
Jumlah
kader
kurang
IV
4.1 SARAN
4.1.1 Saran Kepada Keluarga
4.1.1.1 Faktor Perilaku
a. Hendaknya pasien diasuh juga oleh ibunya sehingga mendapatkan
kasih sayang yang cukup dari ibu kandungnya.
b. Pasien diberikan susu formula dengan cara pembuatan yang benar
(F100), pasien belum diperbolehkan mendapat makanan tambahan
lainnya karena menurut BB pasien setara anak usia 5 bulan yang belum
boleh diberikan makanan pendamping.
c. Nenek pasien rutin membawa pasien ke posyandu atau puskesmas
4.1.2
kembali
72
BAB V
KESIMPULAN
a. KESIMPULAN
Dari kegiatan yang telah dilakukan selama kunjungan Perkesmas pada pasien An. R.S.
dengan usia 18 bulan. Keluhan awal yang dialami pasien adalah badan panas dan berat
badan tidak kunjung naik, pasien tidak nafsu makan, sering rewel dan menangis. Pasien
pernah mondok 5 kali mondok di rumah sakit dan pasien punya riwayat TB paru. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan hasil tanda-tanda adanya gizi buruk. Maka dapat diambil
kesimpulan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk pada pasien
adalah sebagai berikut:
1.
Lingkungan
a) Kepadtan rumah 3,5 m x 5 m yang dihuni oleh 7 orang
2.
Perilaku
a)
b)
c)
d)
bulannya
e) Nenek pasien mengasuh sendiri ke tiga cucunya dan kedua anaknya dalam
kesehariannya
3.
Pelayanan Kesehatan
a) Jumlah kader posyandu hanya dua orang
b) Kader tidak melakukan pencatatan yang baik dan pelaporan kejadian gizi
buruk ke puskesmas
4.
Genetika/ Kependudukan
a) Kepadatan penghuni rumah 7 orang. Ukuran rumah 3,5 x 5 meter.
44
45
BAB VI
PENUTUP
Demikianlah laporan dan pembahasan mengenai hasil peninjauan kasus gizi buruk
pada pasien di Puskesmas Pandanaran. Kami menyadari bahwa kegiatan ini sangat penting
dan bermanfaat bagi para calon dokter, khususnya yang kelak akan terjun di masyarakat
sebagai Health Provider, Decision Maker, dan Communicator sebagai wujud peran serta
dalam pembangunan kesehatan.
Akhir kata kami berharap laporan ini bermanfaat sebagai bahan masukan dalam usaha
peningkatan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pandanaran.
DAFTAR PUSTAKA
ii
Kementerian kesehatan RI, 2011, Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
1995/menkes/sk/xii/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak.
Retrieved
16
juni
2013,
from
http://gizi.depkes.go.id/wp-
content/uploads/2012/11/buku-sk-antropometri-2010.pdf
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi
2011-2015
Depkes RI, 2009, Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta. Retrieved 31 desember 2013, from
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/kepmenkes_374-2009_ttg_skn-2009.pdf
WHO, 2009, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, WHO Indonesia,
Jakarta
Yuliana, Hidayat, 2011, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Buruk
pada Balita Di Kabupaten Kebumen Tahun 2010
Nurlaela, Lutfiana, 2013, Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gizi Buruk
pada Lingkungan Tahan Pangan dan Gizi
Retno, Dyah. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Baik dan Gizi
Kurang pada Balita
Kabupaten
Banyumas
Mazarina, Devi. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi Balita
di Pedesaan
Ikha, rizky, 2013. Analisis faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk Balita di Jawa
Tengah dengan Metode Spatial Durbin Model
Dinas kesehatan kota semarang, 2013. Profil kesehatan kota semarang 2013
Kondisi An. R S
iii
Lingkungan rumah
Rumah Pasien
Perubahan Perilaku
iv