BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1.
Kajian Pustaka
2.1.1.1.Fase-Fase Berbicara
Menurut Mieke Pronk-Boerma (1995) membagi periode perkembangan
bicara
10
ini muncul bentuk yang disebut echolalia yaitu si anak hanya mengulang apa kata
pengasuh tanpa kata-kata tersebut mempunyai maksud tertentu atau tanpa arti apaapa.
2.1.1.2.Periode verbal mempunyai beberapa fase yaitu:
1.bulan ke 12 - 15 :
yang merupakan fase kalimat dengan satu kata. Misalnya seorang anak
mengatakan: "Mobil!" Maksudnya adalah: "Saya minta sebuah mobil!" atau: "Beri
saya mobil itu!" atau: "Itu mobil bagus!" dan sebagainya. Si anak akan
menanyakan nama-nama segala sesuatu dengan cara menunjuk-nunjuk dan
dengan cara tertentu ia menyebutkannya kembali. Si anak belum menyangkal
dengan kata, tetapi sudah membuat gerakan menggeleng dengan kepala.
2. Bulan ke 15 - 2 tahun:
fase kalimat dengan dua kata. Seorang anak usia dua tahun biasanya sudah
mempunyai 270 kata. Ia juga bertanya dengan intonasi bertanya. Ia mulai
menyangkal dengan kata-kata. Banyak kata-kata yang masih terpotong , misalnya
"minum" menjadi "mium".
3.Usia 2 - 3 tahun:
yang merupakan fase kalimat dengan banyak kata. Kalimat terdiri dari kata
benda dan kata kerja. Apa yang diucapkan lebih kepada arti atau maksud kalimat
yang diucapkan, namun belum dalam bentuk kalimat yang benar. Tetapi dalam
usia ini daftar kata yang dimiliki akan meningkat dengan pesat. Suku kata akan
diucapkan dengan lebih baik. Ia juga mulai menggunakan bentuk kamu-dan saya.
Kadang ia masih menggunakan bentuk -kamu jika berkata pada dirinya
11
12
13
14
2.1.1.4.Pelafalan Kata-Kata
Sering kita jumpai anak dibawah tiga tahun (batita) berkosakata banyak.
Setiap kata yang terucap dari mulut orang lain, baik langsung maupun lewat
media (audio), ia tirukan. Sebisa-bisanya meniru. Kadang pengucapan kata tiruan
itu kurang tepat. Terdengar lucu karena bisa jadi, misalnya, kata mancing berbunyi
mancin, kata laler terucap lalel, dan sebagainya. Fenomena demikian kita jumpai
pada banyak anak. Hanya yang sering terjadi, sadar atau tidak, orang yang lebih
dewasa dan telah mengerti benar pengucapan kata-kata, justru terbawa ke alam
ucapan anak-anak itu. Turut mengucapkan kata secara kurang tepat. Mungkin
membeo gaya pengucapan anak dianggap sebagai bentuk perhatian, ungkapan
kasih sayang, menghayati emosi anak, atau sekadar bermain-main. Memang harus
diakui bahwa pembeoan seperti itu mampu membangun hubungan lebih
komunikatif, akrab. Karena Anak akan langsung mengerti apa yang diucapkan
oleh orang dewasa yang berbicara itu. Apa yang didengar persis dengan apa yang
sering ia ucapkan. Persamaan ucapan itu memiliki nilai ikatan pengetahuan yang
erat. Anak tidak akan salah mengerti. Coba kalau misalnya maksud yang serupa,
tapi kata yang digunakan terucap secara berbeda, tentu anak akan mengalami
kesulitan memahami.Yang, akhirnya menimbulkan komunikasi yang terputus.
Akan tetapi, di sisi lain.
Pembeoan (yang dilakukan orang dewasa) dalam rentang waktu yang
berlarut-larut ternyata menutup kemungkinan anak untuk memperoleh pelafalan
benar atas kata dalam waktu yang relatif lebih singkat.(Sungkowoastro,
2010:07).
15
Dalam pikiran anak mungkin sikap berbahasa yang dilakukan selama ini
telah dianggap benar. Dan karenanya ia tak mau berubah. Padahal, (jelas) ini
bukan sebuah pembelajaran yang menguntungkan.Yang menguntungkan mungkin
apabila orang dewasa melafalkannya dengan cara yang benar sejak awal ketika
membangun komunikasi dengan si kecil. Mancing ya mancing, misalnya, atau
laler ya laler. Si kecil awalnya tentu akan merasa kesulitan dalam meniru
pelafalan kata secara benar itu. Tetapi, tak apa. Sebuah perubahan memang
menuntut adanya risiko. Dan, saya berpikir, risiko si kecil untuk mengubah
kebiasaan melafalkan kata secara salah menjadi benar, tidaklah berakibat fatal.
Kesulitan itu hal yang biasa karena sulit bukan berarti tidak bisa sama sekali. Pasti
bisa, hanya mungkin perlu bersabar sedikit karena sebuah proses selalu
membutuhkan waktu. Memang benar jika si kecil melafalkan kata-kata tertentu
sering memunculkan kelucuan yang kita rindukan. Ada kekhasan yang unik dari
ucapan si kecil. Yang, bisa saja menjadikan kesuntukan pikiran dan kelelahan fisik
kita hilang. Lantas muncul kesegaran kembali, yang memungkinkan kita
beraktivitas aktif lagi. Tapi, agaknya kurang pas kalau hendak membangun
kesegaran kita kembali lantas membiarkan si kecil berlafal salah berlama-lama
bahkan kita (sengaja) membeonya. Sikap demikian barangkali malah akan
memperlambat pengenalan anak terhadap pengucapan kata secara benar. Saya
mencoba memberikan contoh mengucapkan kata klimis, klakson, dan klepon
dengan pengucapan agak lambat karena sengaja di antara konsonan kl saya sisipi
abjad e. Jadi bunyinya, kelimis, kelakson, dan kelepon. Ternyata si bungsu bisa
mengikuti ucapan itu. Saya sadar bahwa pelafalan demikian itu salah, karena yang
benar memang klimis, klakson, dan klepon (tanpa abjad e). Tapi, bagi saya sebagai
16
17
Berbeda halnya dengan bayi perempuan yang kebanyakan lebih kalem walaupun
tidak mesti begitu. Terlepas dari persoalan yang diangkat mitos tersebut, anak usia
prasekolah umumnya sudah dapat bicara dengan lancar.
Kosakata yang dikuasainya sudah lebih dari 1.000 kata. Anak usia ini pun
sudah mengenali sopan santun dalam bicara. "Ia sudah bisa membedakan
bagaimana cara berbicara dengan teman atau bagaimana menjawab pertanyaan
orang tua,". Kendati pada beberapa anak masih ada pelafalan kata yang belum
jelas benar, umumnya baik pemilihan kata maupun penggunaan tata bahasa sudah
mendekati kemampuan orang dewasa. Jadi, setelah tahapan ini anak tak banyak
mengalami perkembangan kemampuan bicara sampai ia kelak dewasa. Walaupun
kemampuan bicara anak tidak dapat digeneralisir berdasarkan usia, orang tua
hendaknya mulai waspada bila anaknya menunjukkan keterlambatan
perkembangan kemampuan bicara. "Harusnya usia empat tahun ke atas, anak
sudah cerewet dan banyak omong. Bila anak baru bisa mengucapkan sepatah dua
patah kata dengan tata bahasa yang belum benar, orang tua harusnya waspada.
Pada dasarnya gangguan kemampuan bicara anak dibedakan menjadi dua, yakni
si anak memang mengalami gangguan bicara atau sekadar keterlambatan biasa.
(Vera, 2009: 19).Menurut Idakrisna, 2009. Deteksi dini bisa dilakukan sendiri
oleh orang tua di rumah dengan memperhatikan beberapa keadaan berikut:
1.Organ pendengaran anak pancing dengan pertanyaan terbuka,
misalnya, "Ini gambar apa Sayang?" Pertanyaan terbuka memungkinkan
orang tua mengeksplorasi dan menilai kemampuan bicara sekaligus organ
pendengaran anak.
Bila anak tidak menunjukkan reaksi sama sekali, maka orang tua harus waspada
18
19
20
Gagap juga bisa disebabkan faktor neurologis. Untuk penanganannya anak harus
segera dibawa ke dokter agar mendapat pengobatan lebih intensif. Gagap yang
disebabkan faktor psikologis biasanya dialami anak-anak yang mengalami
tekanan. Entah orang tuanya terlalu otoriter, keras, bahkan kasar. Gagap
psikologis ini akan bertambah parah bila anak mendapat hukuman dari
lingkungan. Semisal ditertawakan temannya, dikagetin atau tiap kali gagap orang
tua langsung melotot sambil membentak, "Ayo, bicara yang benar!" Anak akan
makin tegang dan gagapnya makin menjadi-jadi. Ketegangan emosional ini
berhubungan langsung dengan ketegangan otot bicaranya. Makin tegang otot-otot
bicaranya, anak akan makin kesulitan. Cara menangani anak dengan gangguan ini
adalah dengan mengajaknya tenang, ambil napas dan konsentrasi pada apa yang
akan diucapkannya. Kalau perlu elus-elus punggungnya untuk memberi rasa
tenang. Sedangkan pada kasus anak gagap yang parah, sebaiknya libatkan ahli.
c.Gangguan Pervasif
Adalah gangguan bicara dimana ucapan seorang anak berlangsung
melompat-lompat dan tidak konsisten. Bisa jadi anak seperti ini sebetulnya
mengalami gangguan ADD (attention defisit disorder).
Anak yang mengalami keterbatasan atensi ini mengalami masalah di pusat
sarafnya. Gangguan ini biasanya tidak berdiri tunggal, tapi dibarengi ciri-ciri lain,
semisal pekerjaannya tidak pernah tuntas, sulit atau tidak bisa konsentrasi dan
sebagainya. Yang juga termasuk dalam gangguan ini adalah para penderita autis.
Namun untuk memastikannya, tak ada cara lain kecuali mendatangi ahli.
d.Tunawicara
21
22
Dengan kegiatan bermain, anak mendapat pengalaman, informasi yang baik dan
sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut.
2.1.2.2. Pengertian Peran
Pe-ran adalah 1 pemain sandiwara (film): -- utama;2 tukang lawak pada
permainan makyong; 3 perangkat tingkah yg diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan dalam masyarakat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2010 : 205)
2.1.2.3. Bermain peran
Definisi metode bermain peran yang lebih luas dikemukakan oleh
Supriyati dalam Winda Gunarti, dkk, (2008:10.10) bahwa metode bermain peran
adalah permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda sekitar anak
sehingga dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan
terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.
Tedjasaputra (1995:43) memiliki pendapat yang sejalan dengan Supriyati
bahwa bermain peran merupakan salah satu jenis bermain aktif, diartikan sebagai
pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi, dan anak memerankan tokoh
yang ia pilih. Apa yang dilakukan anak melibatkan penggunaan bahasa yang dapat
diamati dalam tingkah laku yang nyata.
Menurut Dawson yang dikutip oleh Moedjiono & Dimyati (1992:80)
mengemukakan bahwa simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan
dengan menyusun dan mengoperasikan suatu model yang mereplikasi prosesproses perilaku. Permainan peran(bahasa Inggris: role-playing game disingkat
RPG) adalah sebuah permainanyang para pemainnya memainkan peran tokohtokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama. (e-
23
BinaAnak, 3 September 2008, Volume 2008, No. 398). Para pemain memilih aksi
tokok-tokoh mereka berdasarkan karakteristik tokoh tersebut, dan keberhasilan
aksi mereka tergantung dari sistem peraturan permainan yang telah ditentukan.
Asal tetap mengikuti peraturan yang ditetapkan, para pemain bisa berimprovisasi
membentuk arah dan hasil akhir permainan ini. Berdasarkan kutipan tersebut,
berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang di dalamnya
menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan atau
peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian
metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura
memainkan peran atau tokoh yang terlibat dalam proses sejarah.
1.jenis Bermain Peran
Anak-anak sangat senang bermain peran (alias main pura-puraan atau jadijadian).Ada dua jenis bermain peran, yaitu mikro dan makro.
a..Bermain peran mikro,
Anak-anak belajar menjadi sutradara, memainkan boneka, dan mainan
berukuran kecil seperti rumah-rumahan, kursi sofa mini, tempat tidur mini (seperti
bermain boneka barbie). Biasanya mereka akan menciptakan percakapan sendiri.
b.Dalam bermain peran makro,
Anak berperan menjadi seseorang yang mereka inginkan. Bisa mama,
papa, tante,polisi, sopir, pilot, Saat bermain peran ini bisa menjadi ajang belajar
bagi mereka, baik belajar membaca, berhitung, mempelajari proses atau alur
dalam mengerjakan sesuatu, mengenal tata tertib atau tata cara di suatu tempat,
yang semua ada dalam kehidupan kita. Tentu saja kita hanya cukup memberikan
24
informasi sebelum mereka mulai bermain, dan atau lebih baik kalo kita terlibat
dalam permainan tersebut agar kita bisa menggali imaginasi dan mengenalkan
informasi yang ingin kita kenalkan. (Yudistira)
2.1.2.4.Manfaat Bermain Peran
pendapat Djahri, dalam buku Didaktik Metodik di Taman Kanak-kanak
(Depdiknas, 2003:41) disebutkan bahwa tujuan bermain peran yaitu:
(1) melatih daya tangkap; (2) melatih anak berbicara lancar; (3) melatih daya
konsentrasi; (4) melatih membuat kesimpulan; (5) membantu perkembangan
intelegensi; (6) Membantu perkembangan fantasi; dan (7) menciptakan
suasana yang menyenangkan.
Tujuan Bermain peran Anak dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan
teman dan lingkungan sekitar dan mengembangkan kemampuan berbahasa secara
optimal. Dalam bahasa psikologi dikenal istilah bermain peran atau sociodramatic. Permainan ini lazim dilakukan anak-anak usia 3-5 tahun. permainan ini
sangat bagus untuk si kecil. di usia tersebut kemampuan berfantasi, kognitif,
emosi, dan sosialisasi anak tengah berkembang. dengan bermain peran, seluruh
kemampuan tersebut dapat dikembangkan oleh anak, menurut Iman Dharma atau
nakita,. Berikut adalah manfaat bermain peran :
1.Salah satu manfaat bermain peran.
Ialah anak bisa mempelajari banyak peran di sekeliling mereka dan
lingkungan di luar mereka. Misalnya, menjadi dokter, perawat, polisi, guru, dan
sebagainya. "Mereka juga akan berfantasi dan kemudian meniru, sehingga
perkembangan kognitif mereka pun berkembang baik,"
2.Bermain peran juga membuat perkembangan intelektual anak.
25
Sangat terbantu. Misalnya, "Dokter itu ngapain , sih? Oh, dokter itu
menyembuhkan pasien." Nah, pemahaman tersebut diperoleh, salah satunya lewat
bermain peran. Bahkan, penelitian di Amerika membuktikan, anak yang bermain
peran, IQ-nya lebih tinggi dibanding anak-anak yang melakukan permainan
tradisional seperti menggunting atau melipat.
3.Bermain peran juga bermanfaat bagi perkembangan moral anak "Misalnya,
sambil bermain dokter-dokteran, anak diajar mengenal nilai-nilai kemanusiaan,
harus saling menolong, dan sebagainya." Anak juga belajar tentang mana yang
benar dan salah.
4.Manfaat lain dari bermain peran ialah membantu anak menyadari perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terang Rosa, secara kodrati ada
perbedaan antara ibu dan ayah. "Akan lebih baik bila sejak kecil anak sudah diberi
tahu, yang namanya perempuan, tipikalnya secara unik adalah mengasuh anak.
(Sumber:http//www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Manfaat-BermainPeran)
2.1.2.5.Alat Atau Media yang Digunakan dalam Bermain Peran
Media atau alat yang digunakan dalam kegiatan bermain peran dapat
disesuaikan dengan berbagai keadaan dan kondisi lingkungan sekitar dan menurut
jenis bermain peran itu sendiri. Orang tua, sebaiknya juga ikut melibatkan diri,
sejauh anak memerlukan figur dan model. Selain lebih meningkatkan kedekatan
antara orang tua dengan anak, si anak juga belajar model dari orang yang paling
tepat, yakni orang tua".(Hasto prianggoro,(2010:45). Anak pun akan senang jika
orang tuanya ikut bermain. Adapun media atau alat yang digunakan disesuaikan
dengan jenis permainan yang akan dimainkan
26
27
kelinci, harimau, kuda, sapi, ayam, burung, kijang, monyet dan lain-lain. Setiap
anak memerankan satu hewan.
2.Pendidik mengatur anak untuk membagi peran setiap anak
Sebagai contoh seorang anak memerankan seekor kucing dari cerita diatas.
Anak harus bisa memerankan seekor kucing yang berkarakter kepemimpinan dan
peka terhadap binatang lain. Pendidik mengarahkan anak mulai dari percakapan
hingga kostum yang dipakainya.
3.Pendidik mengawasi jalanya bermain peran.
2.1.2.7.Alur Cerita yang Digunakan dalam Bermain Peran
Alur cerita yang digunakan dalam bermain peran ini bisa digunakan untuk
berbagai jumlah anak. Jika satu anak, maka peran yang bisa dimainkan adalah
seorang presenter, pembawa acara ataupun peran seorang trainer. Jika jumlah anak
adalah dua atau lebih, kita bisa mencarikan cerita yang dimainkan oleh sejumlah
anak yang ada. Alur cerita yang digunakan dalam bermain peran ini bisa
disesuaikan dengan keadaan dan situasi.
2.1.3 Hubungan antara Metode Bermain peran dengan meningkatkan
kemampuan berbicara
Anak berlatih menggunakan bahasa ekspresif (berbicara) dan reseptif
(mendengarkan) melalui bermain peran. Menurut Gunarti dkk, (2008:10.11)
bermain peran bertujuan untuk memecahkan masalah melalui serangkaian
tindakan pemeranan. Sebagaimana yang telah disebutkan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi keterampilan berbicara bahwa di dalam area drama, anak-anak
memiliki kesempatan untuk bermain peran dalam situasi kehidupan yang
sebenarnya serta mempraktikkan kemampuan berbahasa.
28
29