Anda di halaman 1dari 22

8

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1.

Kajian Pustaka

2.1.1. Pengertian Berbicara


Berbicara adalah kemampuan anak untuk membentuk bahasa
menggunakan artikulasi kata-kata yang dapat digunakan untuk menyampaikan
maksud dan tujuan. (Haida,1995:55) (dalam Ula,2010:15). Di dalam kemampuan
anak yang harus diperhatikan meliputi mengucapkan kata-kata secara benar,
menambah kosa kata dan merangkai kata menjadi kalimat sehingga dapat
mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan.
Berbicara adalah suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan
faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik dan linguistik, secara luas
sehingga dapat dianggap sebagai alat yang paling penting bagi kontrol bersosial
manusia.
Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide,
pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan
sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain(Depdikbud,
1984:3/1985:7). Pengertiannya secara khusus banyak dikemukakan oleh para
pakar. Henry Guntur Tarigan (2008:16), mengemukakan berbicara adalah
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan
perasaan. Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai

suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan serta dikembangkan sesuai


dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.

2.1.1.1.Fase-Fase Berbicara
Menurut Mieke Pronk-Boerma (1995) membagi periode perkembangan
bicara

menjadi periode pra-verbal dan periode verbal. Periode pra-verbal

menurutnya merupakan periode yang sangat penting, yang dibaginya menjadi:


1.Minggu ke 0 - 6 : menangis
2.Minggu ke 6 hingga bulan ke 4 : vokalisasi : ah, uh
3.Bulan ke 4 - 8 :
babbling atau mengoceh (bunyian vocal terus menerus),misalnya:
gagaggagagag..aaaaaa,...tatatatatatata. Pada periode ini bunyi bahasa ibu juga
diproduksinya. Si anak juga akan mengikuti apa yang ibu ucapkan, sambil ia
mengikuti ucapan ibu atau pengasuhnya, segera ia akan mengucapkan papa,
mama. Seorang bayi yang tuli, juga akan melakukan babbling ini, tetapi kemudian
akan berhenti di usianya yang ke 8 -9 bulan.
4.Bulan ke 8 12 :
social bubbling, yaitu mengoceh dengan cara dimana pola bunyian dari
sekitarnya akan diambil alihnya, ia juga akan melakukan imitasi pola bunyian
kalimat. Pola bunyian yang tidak termasuk dalam bahasa ibu akan segera hilang.
Kemudian anak akan mendengarkan, mengoceh dan mengikuti, terus menerus
hingga terjadilah pemahaman terhadap kata-kata, dan penggunaan kata-kata;
pemahaman kata akan dengan sendirinya kemudian diucapkannya. Dalam periode

10

ini muncul bentuk yang disebut echolalia yaitu si anak hanya mengulang apa kata
pengasuh tanpa kata-kata tersebut mempunyai maksud tertentu atau tanpa arti apaapa.
2.1.1.2.Periode verbal mempunyai beberapa fase yaitu:
1.bulan ke 12 - 15 :
yang merupakan fase kalimat dengan satu kata. Misalnya seorang anak
mengatakan: "Mobil!" Maksudnya adalah: "Saya minta sebuah mobil!" atau: "Beri
saya mobil itu!" atau: "Itu mobil bagus!" dan sebagainya. Si anak akan
menanyakan nama-nama segala sesuatu dengan cara menunjuk-nunjuk dan
dengan cara tertentu ia menyebutkannya kembali. Si anak belum menyangkal
dengan kata, tetapi sudah membuat gerakan menggeleng dengan kepala.
2. Bulan ke 15 - 2 tahun:
fase kalimat dengan dua kata. Seorang anak usia dua tahun biasanya sudah
mempunyai 270 kata. Ia juga bertanya dengan intonasi bertanya. Ia mulai
menyangkal dengan kata-kata. Banyak kata-kata yang masih terpotong , misalnya
"minum" menjadi "mium".
3.Usia 2 - 3 tahun:
yang merupakan fase kalimat dengan banyak kata. Kalimat terdiri dari kata
benda dan kata kerja. Apa yang diucapkan lebih kepada arti atau maksud kalimat
yang diucapkan, namun belum dalam bentuk kalimat yang benar. Tetapi dalam
usia ini daftar kata yang dimiliki akan meningkat dengan pesat. Suku kata akan
diucapkan dengan lebih baik. Ia juga mulai menggunakan bentuk kamu-dan saya.
Kadang ia masih menggunakan bentuk -kamu jika berkata pada dirinya

11

sendiri. :"Mana bonekamu? padahal maksudnya: "Dimana boneka itu saya


taruh?".
4.Usia 3 - 4 tahun:
si anak akan banyak mengerti berbagai hal, dan banyak bercerita. Ia juga
sudah bisa mengucapkan bunyian berbagai huruf kecuali /s/l/r. Juga masih ada
beberapa kesalahan dengan pengucapan kata sambung,tetapi sudah bisa berbicara
dengan aturan sebuah kalimat termasuk urutan kata, imbuhan, dan pemotongan
kalimat. Kata jamak juga bisa dibentuk. Seringkali masih ada kata-kata yang
diulang -ulang karena berpikir baginya lebih cepat daripada mengucapkan
kalimat. Nampaknya seperti seorang anak yang gagap, tetapi sebetulnya bukan.
5.Usia 4 - 6 tahun:
Di usia enam anak-anak ini akan semakin baik mengucapkan berbagai
huruf, juga untuk huruf-huruf yang sulit seperti s dan r. Ia juga semakin membaik
dengan aturan pembuatan kalimat, termasuk juga penggunaan kata penghubung:
dan, tapi, atau, karena, sebab. Dalam usia ini anak juga mulai dengan
menyampaikan pemikiran dari abstraksinya.
2.1.1.3.Faktor Penyebab Anak Sulit Berbicara
Faktor Penyebab Mengapa Anak Terlambat /Sulit Belajar Bicara
1. Perkembangan Otot yang Lambat
Ketika anak mengalami keterlambatan perkembangan otot sangat sulit atau
berat bagi anak untuk melakukan gerakan yang cepat yang dibutuhkan untuk
berbicara dan produksi suara.
2. Anak Jarang Berinteraksi Dengan Orang Lain

12

Beberapa anak kurang banyak bergaul dengan orang lain disekelilingnya,


sehingga waktu untuk berinteraksi berkurang sehingga anak tidak bisa
mempraktekkan ketrampilan bicaranya dengan orang lain.
3. Bahasa Non Verbal Berkembang Duluan
Pada keluarga tertentu anak diajari untuk berbahasa dengan gesture atau
isyarat.efektif di rumah tetapi tidak bisa diterapkan di teman-temannya akhirnya
anak jarang menggunakan kata-kata..
4.Harapan atau Ekspektasi dari Keluarga atau yang lain Rendah
Banyak orang di sekeliling anak tidak berbicara dengan anak karena
mereka tidak mengharapkan anak harus ngomong pada mereka atau
pembicaraannya harus dimengerti oleh anak, akhirnya anak juga tidak ngomong.
5.Tidak Banyak Waktu Untuk Bicara.
Nah kebiasaan ini dialami ketika orang tua tidak memberikan jeda waktu
yang cukup untuk memberikan kesempatan anak untuk merespon apa yang akan
dikatakan..akhirnya orang tua atau pengasuh tidak sabar. Jika anak tidak diberi
kesempatan untuk ngomong atau merespon anak akan males juga akan pasif
karena mereka tidak diberi kesempatan untuk merespon.
6. Stimulasi yang Berlebihan atau Overstimulation
Sering kita menginginkan anak kita menjadi superkids, dirumah
ngomong dengan anak berbagai bahasa yang orangtuanya punya latar belakang
bahasa Mandarin, English, Indonesia, Jawa, mereka campur adukkan. ketika
berbicara dengan anak, biar anak pinter ahli bahasa. Anak bingung bahasa mana
yag harus diikuti.
7. Terlalu Banyak Berbahasa Dengan Bahasa Akademik atau School Language,

13

Anak tidak cukup waktu berbicara dengan communicative language.


Bagi kita yang buru-buru memasukkan anak kita ke sekolah atau terapi banyak
diajari ABA dengan materi angka-angka, warna, bentuk, geometri dll, padahal hal
itu bukan terminologi yang kita pakai sehari-hari, materi itu lebih banyak dipakai
di sekolah.
8. Terlalu Banyak Bahasa Demonstrasi Perilaku Dan Tidak Banyak Memakai
Bahasa Social
Ada beberapa anak yang menggunakan bahasa untuk menampilkan
perilaku tanpa berbicara sehingga anak kurang praktek berbicara untuk menjalin
persahabatan. Jadi amatilah anak ketika bermain, bagaimana berperilaku,
berbicara, berinteraksi, dll.
9. Anak Bermain Sendiri
Anak dibiarkan main sendiri. Entah pengasuhnya sibuk mengerjakan
pekerjaan rumah tangga, anak tidak diurusin, atau tidak mau repot. Pokoknya
anak diam. Sementara anak dibiarkan nonton TV sendiri, bermain mainan
sendiri.Untuk bisa berkomunikasi anak harus berinteraksi atau bermain dengan
orang lain termasuk dengan orang tua, pengasuh, dll
Dari beberapa faktor tersebut bisa diketahui mengapa anak tersebut
terlambat ataupun kurang dalam kemapuan berbicaranya. Secara garis besar
pengaruh kemampuan berbicara anak dipengaruhi oleh 2 hal yakni faktor internal
( Fisik anak) serta faktor stimulus atau faktor lingkungan.

14

2.1.1.4.Pelafalan Kata-Kata
Sering kita jumpai anak dibawah tiga tahun (batita) berkosakata banyak.
Setiap kata yang terucap dari mulut orang lain, baik langsung maupun lewat
media (audio), ia tirukan. Sebisa-bisanya meniru. Kadang pengucapan kata tiruan
itu kurang tepat. Terdengar lucu karena bisa jadi, misalnya, kata mancing berbunyi
mancin, kata laler terucap lalel, dan sebagainya. Fenomena demikian kita jumpai
pada banyak anak. Hanya yang sering terjadi, sadar atau tidak, orang yang lebih
dewasa dan telah mengerti benar pengucapan kata-kata, justru terbawa ke alam
ucapan anak-anak itu. Turut mengucapkan kata secara kurang tepat. Mungkin
membeo gaya pengucapan anak dianggap sebagai bentuk perhatian, ungkapan
kasih sayang, menghayati emosi anak, atau sekadar bermain-main. Memang harus
diakui bahwa pembeoan seperti itu mampu membangun hubungan lebih
komunikatif, akrab. Karena Anak akan langsung mengerti apa yang diucapkan
oleh orang dewasa yang berbicara itu. Apa yang didengar persis dengan apa yang
sering ia ucapkan. Persamaan ucapan itu memiliki nilai ikatan pengetahuan yang
erat. Anak tidak akan salah mengerti. Coba kalau misalnya maksud yang serupa,
tapi kata yang digunakan terucap secara berbeda, tentu anak akan mengalami
kesulitan memahami.Yang, akhirnya menimbulkan komunikasi yang terputus.
Akan tetapi, di sisi lain.
Pembeoan (yang dilakukan orang dewasa) dalam rentang waktu yang
berlarut-larut ternyata menutup kemungkinan anak untuk memperoleh pelafalan
benar atas kata dalam waktu yang relatif lebih singkat.(Sungkowoastro,
2010:07).

15

Dalam pikiran anak mungkin sikap berbahasa yang dilakukan selama ini
telah dianggap benar. Dan karenanya ia tak mau berubah. Padahal, (jelas) ini
bukan sebuah pembelajaran yang menguntungkan.Yang menguntungkan mungkin
apabila orang dewasa melafalkannya dengan cara yang benar sejak awal ketika
membangun komunikasi dengan si kecil. Mancing ya mancing, misalnya, atau
laler ya laler. Si kecil awalnya tentu akan merasa kesulitan dalam meniru
pelafalan kata secara benar itu. Tetapi, tak apa. Sebuah perubahan memang
menuntut adanya risiko. Dan, saya berpikir, risiko si kecil untuk mengubah
kebiasaan melafalkan kata secara salah menjadi benar, tidaklah berakibat fatal.
Kesulitan itu hal yang biasa karena sulit bukan berarti tidak bisa sama sekali. Pasti
bisa, hanya mungkin perlu bersabar sedikit karena sebuah proses selalu
membutuhkan waktu. Memang benar jika si kecil melafalkan kata-kata tertentu
sering memunculkan kelucuan yang kita rindukan. Ada kekhasan yang unik dari
ucapan si kecil. Yang, bisa saja menjadikan kesuntukan pikiran dan kelelahan fisik
kita hilang. Lantas muncul kesegaran kembali, yang memungkinkan kita
beraktivitas aktif lagi. Tapi, agaknya kurang pas kalau hendak membangun
kesegaran kita kembali lantas membiarkan si kecil berlafal salah berlama-lama
bahkan kita (sengaja) membeonya. Sikap demikian barangkali malah akan
memperlambat pengenalan anak terhadap pengucapan kata secara benar. Saya
mencoba memberikan contoh mengucapkan kata klimis, klakson, dan klepon
dengan pengucapan agak lambat karena sengaja di antara konsonan kl saya sisipi
abjad e. Jadi bunyinya, kelimis, kelakson, dan kelepon. Ternyata si bungsu bisa
mengikuti ucapan itu. Saya sadar bahwa pelafalan demikian itu salah, karena yang
benar memang klimis, klakson, dan klepon (tanpa abjad e). Tapi, bagi saya sebagai

16

tahap awal untuk mengenalkan pengucapan menuju pelafalan yang sebenarnya


tidaklah salah jika memberi umpan terlebih dahulu. Tentu lebih baik si bungsu
mengucapkan kelimis daripada kimis, kelakson ketimbang kakson, dan kelepon
daripada kepon. Sementara itu, pengucapan coklat menjadi cokelet tak
menimbulkan masalah karena memang demikian seharusnya. Yang masih menjadi
persoalan hingga kini adalah saat mau mengajarkan pengucapan laler, yang selalu
(saja) diucapkan lalel. Berkali-kali lalel...lalel....lalel.... Tapi, menarik memang
ketika mau mencermati si kecil belajar bahasa.
2.1.1.5.Kelancaran Berbicara
Dari pembahasan kemampuan berbicara anak yang sudah dibahas diatas,
maka dapat kita ketahui sejauh mana kelancaran anak dalam berbicara. Di usia
prasekolah, kosakata yang dikuasai seorang anak harusnya sudah sangat banyak.
Namun, adakalanya hambatan datang menghadang. Sebagian masyarakat kita
percaya pada mitos yang mengatakan anak laki-laki lebih lambat menguasai
kemampuan bicara dibanding anak perempuan. Padahal penelitian yang ada
menunjukkan prosentase kemampuan bicara antara anak laki-laki dengan anak
perempuan sama saja. Apalagi, kemampuan bicara manusia sebetulnya sudah
terlihat sejak ia dilahirkan, ditandai dengan tangisan bayi begitu keluar dari rahim
ibunya.
Mitos itu mungkin muncul karena keterlambatan bicara pada anak laki-laki lebih
cepat terdeteksi ketimbang pada anak perempuan. Bukankah, perilaku anak lakilaki yang lebih aktif dan agresif mampu menarik perhatian orang di sekitarnya,
sehingga kalau ada sesuatu yang terjadi pada mereka akan lekas ketahuan.

17

Berbeda halnya dengan bayi perempuan yang kebanyakan lebih kalem walaupun
tidak mesti begitu. Terlepas dari persoalan yang diangkat mitos tersebut, anak usia
prasekolah umumnya sudah dapat bicara dengan lancar.
Kosakata yang dikuasainya sudah lebih dari 1.000 kata. Anak usia ini pun
sudah mengenali sopan santun dalam bicara. "Ia sudah bisa membedakan
bagaimana cara berbicara dengan teman atau bagaimana menjawab pertanyaan
orang tua,". Kendati pada beberapa anak masih ada pelafalan kata yang belum
jelas benar, umumnya baik pemilihan kata maupun penggunaan tata bahasa sudah
mendekati kemampuan orang dewasa. Jadi, setelah tahapan ini anak tak banyak
mengalami perkembangan kemampuan bicara sampai ia kelak dewasa. Walaupun
kemampuan bicara anak tidak dapat digeneralisir berdasarkan usia, orang tua
hendaknya mulai waspada bila anaknya menunjukkan keterlambatan
perkembangan kemampuan bicara. "Harusnya usia empat tahun ke atas, anak
sudah cerewet dan banyak omong. Bila anak baru bisa mengucapkan sepatah dua
patah kata dengan tata bahasa yang belum benar, orang tua harusnya waspada.
Pada dasarnya gangguan kemampuan bicara anak dibedakan menjadi dua, yakni
si anak memang mengalami gangguan bicara atau sekadar keterlambatan biasa.
(Vera, 2009: 19).Menurut Idakrisna, 2009. Deteksi dini bisa dilakukan sendiri
oleh orang tua di rumah dengan memperhatikan beberapa keadaan berikut:
1.Organ pendengaran anak pancing dengan pertanyaan terbuka,
misalnya, "Ini gambar apa Sayang?" Pertanyaan terbuka memungkinkan
orang tua mengeksplorasi dan menilai kemampuan bicara sekaligus organ
pendengaran anak.
Bila anak tidak menunjukkan reaksi sama sekali, maka orang tua harus waspada

18

dengan segera memeriksakannya ke dokter THT. Anak dengan gangguan


pendengaran tidak akan memberi respons terhadap bunyi-bunyian di sekitarnya,
seperti suara gemerincing, suara musik dan sebagainya.

2.Otot bicara Bila lafal bicara anak tak kunjung sempurna,


orang tua sebaiknya waspada dengan membawa anak ke dokter untuk
diperiksa apakah otot bicaranya mengalami gangguan. Bisa jadi otaknya sudah
memerintahkan untuk menjawab dengan benar, tapi yang keluar dari mulut tetap
tidak jelas karena adanya gangguan neurologis atau persarafan.
3.Kemampuan kognitif
Patut dicatat bahwa perkembangan kemampuan bicara anak erat
hubungannya dengan perkembangan kognitif. Anak yang sudah bisa bicara berarti
sudah mampu merepresentasikan objek yang dilihat dalam bentuk image. Bila ada
gangguan kognitif, maka image tersebut tidak akan terbentuk. Bisa jadi anak
memang mempunyai keterbatasan pada intelegensinya dan ini bias dideteksi
sendiri oleh orang tua dengan melihat kemampuan motorik anak. Misalnya, anak
yang mengalami gangguan bicara biasanya juga kurang mampu melakukan
aktivitas lain. Jika ia kurang terampil memakai sepatu, contohnya, sudah hampir
bisa dipastikan anak bermasalah dengan kemampuan kognitifnya. Pada gilirannya
akan ada hubungan timbal balik antara kemampuan bicara dengan perkembangan
kognitif anak. Macam gangguan dan cara penanganan. Disamping gangguan yang
disebabkan kerusakan organ tubuh, ada juga gangguan yang disebabkan faktor
psikologis.

19

Menurut Pratiwi,2008. Beberapa gangguan bicara banyak dijumpai pada anak


usia prasekolah, antara lain:
a.Cadel.
Cadel sendiri dibedakan menjadi 2, yaitu cadel karena faktor psikologis
dan cadel karena faktor neurologis. Cadel yang disebabkan faktor neurologis
berarti disebabkan adanya gangguan di pusat bicara. Untuk mengatasinya, anak
dengan gangguan ini harus segera dibawa ke neurolog. Pada prinsipnya, gangguan
ini masih bisa ditangani. Namun bila kerusakannya termasuk parah, bukan tidak
mungkin akan terbawa sampai dewasa. Cadel yang kedua adalah cadel yang
disebabkan faktor psikologis. Karena kehadiran adik, contohnya, maka untuk
menarik perhatian orang tua, anak akan menunjukkan kemunduran kemampuan
bicara dengan menirukan gaya bicara adik bayinya. Untuk mengatasinya, orang
tua harus menunjukkan bahwa perhatian padanya tidak akan berkurang karena
kehadiran adik. Selain itu, orang tua juga harus terus mengajak anak bicara
dengan bahasa yang benar, jangan malah menirukan pelafalan yang tidak tepat.
Pada kasus yang parah, sebaiknya segera bawa anak ke ahlinya agar bias tergali
apa masalah yang melatarbelakanginya.
b.Gagap
Bila anak bicara dengan cara "aaa...aaakkuu", "eee..eebaju" atau
mungkin, "mak...mak...makkann", anak bisa dikategorikan sebagai anak gagap.

20

Gagap juga bisa disebabkan faktor neurologis. Untuk penanganannya anak harus
segera dibawa ke dokter agar mendapat pengobatan lebih intensif. Gagap yang
disebabkan faktor psikologis biasanya dialami anak-anak yang mengalami
tekanan. Entah orang tuanya terlalu otoriter, keras, bahkan kasar. Gagap
psikologis ini akan bertambah parah bila anak mendapat hukuman dari
lingkungan. Semisal ditertawakan temannya, dikagetin atau tiap kali gagap orang
tua langsung melotot sambil membentak, "Ayo, bicara yang benar!" Anak akan
makin tegang dan gagapnya makin menjadi-jadi. Ketegangan emosional ini
berhubungan langsung dengan ketegangan otot bicaranya. Makin tegang otot-otot
bicaranya, anak akan makin kesulitan. Cara menangani anak dengan gangguan ini
adalah dengan mengajaknya tenang, ambil napas dan konsentrasi pada apa yang
akan diucapkannya. Kalau perlu elus-elus punggungnya untuk memberi rasa
tenang. Sedangkan pada kasus anak gagap yang parah, sebaiknya libatkan ahli.
c.Gangguan Pervasif
Adalah gangguan bicara dimana ucapan seorang anak berlangsung
melompat-lompat dan tidak konsisten. Bisa jadi anak seperti ini sebetulnya
mengalami gangguan ADD (attention defisit disorder).
Anak yang mengalami keterbatasan atensi ini mengalami masalah di pusat
sarafnya. Gangguan ini biasanya tidak berdiri tunggal, tapi dibarengi ciri-ciri lain,
semisal pekerjaannya tidak pernah tuntas, sulit atau tidak bisa konsentrasi dan
sebagainya. Yang juga termasuk dalam gangguan ini adalah para penderita autis.
Namun untuk memastikannya, tak ada cara lain kecuali mendatangi ahli.
d.Tunawicara

21

Gangguan bicara yang paling berat adalah tunawicara. Usia ini


merupakan saat yang paling tepat untuk mengetahui apakah anak mempunyai
kelainan tersebut atau tidak karena pada usia ini kemampuan bicara anak
umumnya sudah bagus. Jika ia hanya mengeluarkan bunyi-bunyi khas tanpa
makna, semisal "uuh..uuh", "eeh...ehh", untuk menjawab/menunjuk semua benda,
hal ini bisa dijadikan indikator kalau dia belum bisa bicara sama sekali. Bila
sudah ada gejala seperti itu, sebaiknya anak segera dibawa ke dokter. Untuk
langkah pertama bisa dibawa ke dokter anak sebelum mendapatkan penanganan
yang lebih intens.
Gangguan-gangguan tersebut dapat diminimalisasi apabila orang tua
tanggap terhadap setiap fase perkembnagan anak. Setiap kejanggalan yang terjadi
pada anak diharapkan bisa dideteksi sejak dini sehingga dapat di ketahui cara
penanganan yang tepat terhadap gangguan tersebut.
2.1.2.Metode Bermain Peran
2.1.2.1.Pengertian Bermain
Bermain adalah Suatu aktivitas yang langsung, spontan di mana seorang
anak berinteraksi dengan orang lain, benda-benda di sekitarnya, dilakukan dengan
senang (gembira), atas inisiatif sendiri, menggunakan daya khayal (imaginatif),
menggunakan panca indera, dan seluruh anggota tubuhnya. (e-BinaAnak, 3
September 2008, Volume 2008, No. 398).
Kegiatan bermain pada anak merupakan kegiatan yang paling
menyenangkan dan mendasar dalam proses perkembangan dan pertumbuhanya.

22

Dengan kegiatan bermain, anak mendapat pengalaman, informasi yang baik dan
sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut.
2.1.2.2. Pengertian Peran
Pe-ran adalah 1 pemain sandiwara (film): -- utama;2 tukang lawak pada
permainan makyong; 3 perangkat tingkah yg diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan dalam masyarakat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2010 : 205)
2.1.2.3. Bermain peran
Definisi metode bermain peran yang lebih luas dikemukakan oleh
Supriyati dalam Winda Gunarti, dkk, (2008:10.10) bahwa metode bermain peran
adalah permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda sekitar anak
sehingga dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan
terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.
Tedjasaputra (1995:43) memiliki pendapat yang sejalan dengan Supriyati
bahwa bermain peran merupakan salah satu jenis bermain aktif, diartikan sebagai
pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi, dan anak memerankan tokoh
yang ia pilih. Apa yang dilakukan anak melibatkan penggunaan bahasa yang dapat
diamati dalam tingkah laku yang nyata.
Menurut Dawson yang dikutip oleh Moedjiono & Dimyati (1992:80)
mengemukakan bahwa simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan
dengan menyusun dan mengoperasikan suatu model yang mereplikasi prosesproses perilaku. Permainan peran(bahasa Inggris: role-playing game disingkat
RPG) adalah sebuah permainanyang para pemainnya memainkan peran tokohtokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama. (e-

23

BinaAnak, 3 September 2008, Volume 2008, No. 398). Para pemain memilih aksi
tokok-tokoh mereka berdasarkan karakteristik tokoh tersebut, dan keberhasilan
aksi mereka tergantung dari sistem peraturan permainan yang telah ditentukan.
Asal tetap mengikuti peraturan yang ditetapkan, para pemain bisa berimprovisasi
membentuk arah dan hasil akhir permainan ini. Berdasarkan kutipan tersebut,
berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang di dalamnya
menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan atau
peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian
metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura
memainkan peran atau tokoh yang terlibat dalam proses sejarah.
1.jenis Bermain Peran
Anak-anak sangat senang bermain peran (alias main pura-puraan atau jadijadian).Ada dua jenis bermain peran, yaitu mikro dan makro.
a..Bermain peran mikro,
Anak-anak belajar menjadi sutradara, memainkan boneka, dan mainan
berukuran kecil seperti rumah-rumahan, kursi sofa mini, tempat tidur mini (seperti
bermain boneka barbie). Biasanya mereka akan menciptakan percakapan sendiri.
b.Dalam bermain peran makro,
Anak berperan menjadi seseorang yang mereka inginkan. Bisa mama,
papa, tante,polisi, sopir, pilot, Saat bermain peran ini bisa menjadi ajang belajar
bagi mereka, baik belajar membaca, berhitung, mempelajari proses atau alur
dalam mengerjakan sesuatu, mengenal tata tertib atau tata cara di suatu tempat,
yang semua ada dalam kehidupan kita. Tentu saja kita hanya cukup memberikan

24

informasi sebelum mereka mulai bermain, dan atau lebih baik kalo kita terlibat
dalam permainan tersebut agar kita bisa menggali imaginasi dan mengenalkan
informasi yang ingin kita kenalkan. (Yudistira)
2.1.2.4.Manfaat Bermain Peran
pendapat Djahri, dalam buku Didaktik Metodik di Taman Kanak-kanak
(Depdiknas, 2003:41) disebutkan bahwa tujuan bermain peran yaitu:
(1) melatih daya tangkap; (2) melatih anak berbicara lancar; (3) melatih daya
konsentrasi; (4) melatih membuat kesimpulan; (5) membantu perkembangan
intelegensi; (6) Membantu perkembangan fantasi; dan (7) menciptakan
suasana yang menyenangkan.
Tujuan Bermain peran Anak dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan
teman dan lingkungan sekitar dan mengembangkan kemampuan berbahasa secara
optimal. Dalam bahasa psikologi dikenal istilah bermain peran atau sociodramatic. Permainan ini lazim dilakukan anak-anak usia 3-5 tahun. permainan ini
sangat bagus untuk si kecil. di usia tersebut kemampuan berfantasi, kognitif,
emosi, dan sosialisasi anak tengah berkembang. dengan bermain peran, seluruh
kemampuan tersebut dapat dikembangkan oleh anak, menurut Iman Dharma atau
nakita,. Berikut adalah manfaat bermain peran :
1.Salah satu manfaat bermain peran.
Ialah anak bisa mempelajari banyak peran di sekeliling mereka dan
lingkungan di luar mereka. Misalnya, menjadi dokter, perawat, polisi, guru, dan
sebagainya. "Mereka juga akan berfantasi dan kemudian meniru, sehingga
perkembangan kognitif mereka pun berkembang baik,"
2.Bermain peran juga membuat perkembangan intelektual anak.

25

Sangat terbantu. Misalnya, "Dokter itu ngapain , sih? Oh, dokter itu
menyembuhkan pasien." Nah, pemahaman tersebut diperoleh, salah satunya lewat
bermain peran. Bahkan, penelitian di Amerika membuktikan, anak yang bermain
peran, IQ-nya lebih tinggi dibanding anak-anak yang melakukan permainan
tradisional seperti menggunting atau melipat.
3.Bermain peran juga bermanfaat bagi perkembangan moral anak "Misalnya,
sambil bermain dokter-dokteran, anak diajar mengenal nilai-nilai kemanusiaan,
harus saling menolong, dan sebagainya." Anak juga belajar tentang mana yang
benar dan salah.
4.Manfaat lain dari bermain peran ialah membantu anak menyadari perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terang Rosa, secara kodrati ada
perbedaan antara ibu dan ayah. "Akan lebih baik bila sejak kecil anak sudah diberi
tahu, yang namanya perempuan, tipikalnya secara unik adalah mengasuh anak.
(Sumber:http//www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Manfaat-BermainPeran)
2.1.2.5.Alat Atau Media yang Digunakan dalam Bermain Peran
Media atau alat yang digunakan dalam kegiatan bermain peran dapat
disesuaikan dengan berbagai keadaan dan kondisi lingkungan sekitar dan menurut
jenis bermain peran itu sendiri. Orang tua, sebaiknya juga ikut melibatkan diri,
sejauh anak memerlukan figur dan model. Selain lebih meningkatkan kedekatan
antara orang tua dengan anak, si anak juga belajar model dari orang yang paling
tepat, yakni orang tua".(Hasto prianggoro,(2010:45). Anak pun akan senang jika
orang tuanya ikut bermain. Adapun media atau alat yang digunakan disesuaikan
dengan jenis permainan yang akan dimainkan

26

.1.Main Peran Mikro


Bahan-bahan main berukuran kecil
Contoh : Rumah boneka; perabotan dan ruang ,Kereta api; rel, lokomotif dan
gerbong-gerbongnya ,Bandar udara; pesawat dan truk-truk , Kebun binatang;
boneka-boneka binatang liar, Jalan-jalan kota; jalan, orang, dan mobil.
2.Main Peran Makro
Alat berukuran seperti sesungguhnya yang digunakan anak untuk
menciptakan dan memainkan peran.
Contoh : Dokter, perawat, Polisi, Pemadam Kebakaran Pak Pos Sekretaris
Pedagang Penjual bunga.
2.1.2.6.Tata Cara Bermain Peran
Bermain peran (role playing) yakni memainkan peranan dari peran-peran
yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang dimaksudkan untuk
menciptakan kembali situasi sejarah/peristiwa masa lalu, menciptakan
kemungkinan-kemungkinan kejadian masa yang akan datang, menciptakan
peristiwa mutakhir yang dapat diperkaya atau mengkhayal situasi pada suatu
tempat dan atau waktu tertentu (Moedjiono & Dimyati ,1992:80).
Adapun tata cara atau tahapan dalam pelaksanaan kegiatan bermain peran
adalah :
1.Pendidik menyiapkan bahan yang dibutuhkan
Bermain peran merupakan sebuah permainan untuk mampu bersikap
sebagaimana peran yang disandang. Misalnya untuk sebuah cerita dengan tema
binatang. Ada beberapa peran yang bisa di mainkan. Misalnya kucing, gajah,

27

kelinci, harimau, kuda, sapi, ayam, burung, kijang, monyet dan lain-lain. Setiap
anak memerankan satu hewan.
2.Pendidik mengatur anak untuk membagi peran setiap anak
Sebagai contoh seorang anak memerankan seekor kucing dari cerita diatas.
Anak harus bisa memerankan seekor kucing yang berkarakter kepemimpinan dan
peka terhadap binatang lain. Pendidik mengarahkan anak mulai dari percakapan
hingga kostum yang dipakainya.
3.Pendidik mengawasi jalanya bermain peran.
2.1.2.7.Alur Cerita yang Digunakan dalam Bermain Peran
Alur cerita yang digunakan dalam bermain peran ini bisa digunakan untuk
berbagai jumlah anak. Jika satu anak, maka peran yang bisa dimainkan adalah
seorang presenter, pembawa acara ataupun peran seorang trainer. Jika jumlah anak
adalah dua atau lebih, kita bisa mencarikan cerita yang dimainkan oleh sejumlah
anak yang ada. Alur cerita yang digunakan dalam bermain peran ini bisa
disesuaikan dengan keadaan dan situasi.
2.1.3 Hubungan antara Metode Bermain peran dengan meningkatkan
kemampuan berbicara
Anak berlatih menggunakan bahasa ekspresif (berbicara) dan reseptif
(mendengarkan) melalui bermain peran. Menurut Gunarti dkk, (2008:10.11)
bermain peran bertujuan untuk memecahkan masalah melalui serangkaian
tindakan pemeranan. Sebagaimana yang telah disebutkan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi keterampilan berbicara bahwa di dalam area drama, anak-anak
memiliki kesempatan untuk bermain peran dalam situasi kehidupan yang
sebenarnya serta mempraktikkan kemampuan berbahasa.

28

Pelaksanaan metode bermain peran dalam pengembangan bahasa pada


anak usia dini menurut Dhieni (2007:7.33) dalam Halida (2011) bertujuan:
1. Melatih Daya Tangkap
Metode bermain peran dapat melatih anak untuk menangkap banyak hal
melalui interaksi yang terjadi dengan lawan main ketika permainan berlangsung.
2. Melatih Anak Berbicara Lancar
Keterampilan berbicara anak dapat meningkat dengan metode bermain
peran. Hal ini disebabkan ketika anak bermain peran terjadi interaksi baik
interaksi dengan permainannya maupun interaksi yang terjadi dengan lawan
mainnya.
3. Melatih Daya Konsentrasi.
Jenis permainan drama merupakan jenis permainan yang membutuhkan
konsentrasi sehingga bermain drama dapat melatih daya konsentrasi anak.
4. Melatih Membuat Kesimpulan.
Cerita dari peran yang dimainkan anak dapat melatih anak menyimpulkan
banyak hal mengenai tokoh yang dimainkannya.
5. Membantu Perkembangan Intelegensi
Aspek kognitif dapat dikembangkan melalui bermain drama karena dalam
bermain drama dibutuhkan ide-ide yang kreatif.
6. Membantu Perkembangan Fantasi
Daya khayal anak sangat dibutuhkan ketika bermain peran. Hal ini dapat
membantu perkembangan fantasi anak.
Uraian mengenai fungsi metode bermain peran dalam pengembangan
keterampilan berbicara menekankan bahwa metode bermain drama dapat

29

mengembangkan keterampilan berbicara. Metode bermain drama dapat menjadi


media untuk memberikan kesempatan pada anak mengekspresikan imajinasinya.

2.2. Hipotesis Tindakan


Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah
penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Atau hipotesis
adalah merupakan jawaban terhadap masalah penelitian yang secara teoritis
dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat kebenarannya (Sumadi
Suryabrata, 1992:69).
Hipotesa dari penelitian ini yaitu bahwa perkembangan kemampuan
berbicara anak kelompok A TK Bunga Harapan Sumberwudi Kecamatan
Karanggeneng Tahun Pelajaran 2014/2015 di duga dapat ditingkatkan melalui
metode bermain peran

Anda mungkin juga menyukai