Anda di halaman 1dari 2

7

KB
Gambar 5

KBG

Tunggal
Tunggal
Kombinasi
Kombinasi
Acremonium sp. MeJA Acremonium sp. MeJA

Minyak gaharu

Sterol pada sampel bulan ke-3 dan triterpenoid pada ekstraksi minyak gaharu
berdasarkan uji Lieberman-Burchard.
PEMBAHASAN

Kebugaran Pohon
Perlakuan
KB,
KBG,
inokulasi
Acremonium
sp.
atau
MeJA,
dan
kombinasinya menyebabkan stress pada
pohon A. microcarpa. Stress yang terjadi
ditandai dengan adanya daun-daun yang
mengalami klorosis, kemudian daun-daun ini
gugur. Pada saat daun mengalami klorosis,
kayu pada titik induksi mulai berubah warna
dari putih menjadi gelap. Hal ini menunjukkan
proses awal terbentuknya senyawa gaharu.
Pernyataan
tersebut
didukung
oleh
Sumadiwangsa dan Zulnely (1999) yang
menyatakan bahwa klorosis dan perubahan
warna merupakan gejala awal pada pohon
yang terinfeksi dan diduga mengandung
gaharu.
Pada perlakuan kombinasi Acremonium
sp. dan MeJA, persentase cabang yang
daunnya mengalami klorosis lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan tunggal. Hal
ini menunjukkan bahwa pelukaan, infeksi
cendawan, dan senyawa kimia dapat
mengganggu
pohon
sehingga
pohon
memberikan respon yaitu klorosis. Putri
(2007)
melaporkan
bahwa
inokulasi
Acremonium sp. menyebabkan cabang
mengalami klorosis pada daun-daunnya. Pada
sistem kultur in vitro, serangan Acremonium
sp. juga menyebabkan daun mengalami
klorosis (Mutoharoh 2005). Selanjutnya,
Rosita (2008) menyatakan bahwa pelukaan
dan pemberian MeJA dapat menyebabkan
terjadinya klorosis pada daun. Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Janoudi dan Flore (2003)
bahwa perlakuan MeJA 10 mM pada tanaman
persik mengakibatkan terjadinya klorosis
daun, penurunan jumlah daun sebanyak 31%
dan penurunan berat daun muda setelah 3
minggu perlakuan.

Efektivitas Inokulasi
Perubahan warna kayu terjadi pada KB,
KBG, inokulasi Acremonium sp. atau MeJA,
dan kombinasinya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Walker et al. (1997) bahwa
perubahan warna kayu dapat disebabkan oleh
pelukaan, serangan patogen (cendawan), dan
penggunaan senyawa kimia. Perubahan warna
kayu terjadi pada semua perlakuan, maka
perubahan warna kayu merupakan respon
non-spesifik tanaman terhadap gangguan.
Perubahan warna kayu terjadi pada KB.
Perubahan ini mungkin disebabkan oleh
mikroorganisme patogen (cendawan) luar
akibat adanya kontak langsung antara titik
induksi dengan lingkungan. Cendawan
mikroskopik yang menyebabkan terjadinya
perubahan warna pada kayu adalah cendawan
penyebab blue stain. (Anonim 1999).
Perubahan warna kayu pada perlakuan
kombinasi lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan tunggal. Namun, intensitas warna
kayu yang dihasilkan oleh Acremonium sp.
dan MeJA hanya termasuk ke dalam mutu
kemedangan
berturut-turut
kemedangan
tingkat V dan IV (Lampiran 6). Kemedangan
merupakan klasifikasi mutu gaharu tingkat 2
yang memiliki ciri warna kayu putih
kecoklatan
sampai
coklat
kehitaman,
sedangkan klasifikasi tingkat 1 adalah gubal
gaharu. Gubal gaharu adalah kayu dengan
warna hitam kecoklatan sampai hitam merata
(Dewan Standarisasi Nasional Indonesia
1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
intensitas warna kayu yang dihasilkan belum
mendekati mutu gaharu dengan kualitas yang
lebih tinggi yaitu gubal gaharu. Rahayu &
Situmorang (2006) menyatakan bahwa
pembentukan gubal gaharu pada pohon yang
berumur 4-7 tahun akan terlihat setelah 1
tahun induksi. Oleh sebab itu, perubahan
warna kayu sangat dipengaruhi oleh masa

8
induksi. Semakin lama masa induksi warna
kayu yang dihasilkan semakin meningkat.
Panjang dan lebar zona perubahan warna
tidak dipengaruhi oleh masa induksi. Hal ini
bertentangan dengan pernyataan Rosita (2008)
bahwa panjang zona perubahan warna
mengalami peningkatan selama pengamatan.
Selain itu, mungkin disebabkan karena
perpanjangan dan perlebaran zona perubahan
warna memerlukan masa induksi yang lebih
lama. Seperti pada intensitas warna kayu,
lamanya masa induksi menyebabkan warna
kayu semakin meningkat dan menghasilkan
kualitas yang lebih baik.
Panjang dan lebar zona perubahan warna
kayu pada perlakuan kombinasi Acremonium
sp. lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan tunggal. Pada perlakuan kombinasi
ini, MeJA dapat merangsang aktivitas
Acremonium sp. dalam meningkatkan panjang
dan lebar zona perubahan warna. Hal ini
mungkin berhubungan dengan aktivitas
Acremonium sp. pada jaringan tanaman.
Dalam perkembangannya, Acremonium sp.
juga merangsang pohon membentuk senyawa
fitoaleksin. Menurut Franceschi et al. (2002)
MeJA merupakan elisitor kimiawi yang
merangsang pembentukan fitoaleksin. Pada
gaharu senyawa fitoaleksin diduga dideposit
pada kayu dan berasosiasi dengan perubahan
warna (Rahayu & Situmorang 2006).
Tingkat wangi pada semua perlakuan
menunjukkan adanya variasi tingkat wangi.
Secara umum, tingkat wangi ini termasuk ke
dalam kategori agak wangi kecuali pada
perlakuan kombinasi dan Acremonium sp.
pada perlakuan tunggal. Namun, tingkat
wangi yang dihasilkan tidak berkorelasi
terhadap intensitas warna kayu. Menurut
Rahayu et al. (1999) terjadinya pembentukan
wangi gaharu tidak selalu diikuti oleh
perubahan warna kayu.
Aroma wangi tidak terdeteksi pada
perlakuan K, KB, KBG, dan perlakuan
tunggal MeJA pada 1 bsi. Hal ini mungkin
disebabkan oleh sedikitnya akumulasi
senyawa gaharu pada pohon gaharu. Senyawa
gaharu merupakan metabolit sekunder yang
dibentuk dari metabolit primer (Rahayu &
Situmorang 2006). Produk metabolit primer
ini digunakan untuk membentuk metabolit
sekunder. Selama penelitian, produksi
metabolit primer berkurang akibat adanya
serangan ulat. Berkurangnya metabolit primer
diduga
sebagai
penyebab
rendahnya
akumulasi senyawa terpenoid.

Pada perlakuan kombinasi, tingkat wangi


yang dihasilkan cenderung lebih tinggi dari
perlakuan tunggal. Peningkatan aroma wangi
diduga disebabkan oleh bertambahnya
akumulasi senyawa gaharu, mungkin dalam
kelompok sesquiterpenoid. Diantara senyawa
gaharu, senyawa sesquiterpenoid merupakan
senyawa yang mudah menguap (Michiho
2005). Selain itu, MeJA merupakan senyawa
sinyal untuk pembentukan fitoaleksin.
Franceschi et al. (2002) menyatakan bahwa
pemberian MeJA pada pohon Picea abies
yang dilukai dan diinokulasi dengan
Ceratocystis polonica dapat meningkatkan
produksi senyawa fitoaleksin. Hal ini
menunjukkan bahwa MeJA dapat bekerja
sama dengan cendawan dalam pembentukan
aroma wangi.
Perlakuan KB, KBG, perlakuan tunggal
Acremonium sp. atau MeJA dan kombinasinya
merangsang pembentukan senyawa terpenoid.
Senyawa terpenoid tersusun atas unit-unit
isopren dan terbagi menjadi beberapa
golongan, diantaranya monoterpenoid (C10)
dan sesquiterpenoid (C15) yang mudah
menguap, diterpenoid (C20) yang lebih sukar
menguap, dan triterpenoid (C30) yang tidak
menguap (Harborne 1987). Hasil uji
Lieberman-Burchard menunjukkan bahwa
pada semua perlakuan terbentuk warna hijau.
Warna hijau ini mengindikasikan bahwa yang
terbentuk adalah senyawa-senyawa sterol.
Harborne (1987) menyatakan bahwa senyawa
sterol merupakan salah satu senyawa yang
tergolong ke dalam senyawa triterpenoid.
Sterol merupakan senyawa terpenoid yang
terikat dengan lemak (Anonim 2006b). Putri
(2007) melaporkan bahwa lemak ditemukan
pada kayu A. crassna yang diberi perlakuan
Acremonium sp., MeJA dan cabang yang
dilukai.
Kandungan terpenoid tertinggi terdapat
pada perlakuan KB pada 4 bsi. Pelukaan atau
pemberian protein sistemin pada jaringan
tanaman atau sel akan menginduksi terjadinya
pembentukan MeJA (Srivastava 2002). Dalam
penelitian ini, MeJA dapat merangsang
pembentukan sterol yang tergolong senyawa
terpenoid. Penggunaan MeJA 1, 10, 100 mM
pada P. abies juga dapat menginduksi
terbentuknya senyawa terpenoid (Martin et al.
2002).
Selanjutnya,
Michiho
(2005)
melaporkan bahwa aplikasi 0.1 mM MeJA
dapat menginduksi terbentuknya senyawa
terpenoid (sesquiterpenoid) pada kultur kalus
A. sinensis.

Anda mungkin juga menyukai