Katak - Kurare c6 (Repaired)
Katak - Kurare c6 (Repaired)
Nim
102010394
Catherine Dorinda C
102011293
Leonardo
102012017
102012119
Abi Mayu
102012150
Suli Intan
102012235
Christina
102012287
Erma Kairunisa
102012239
Mohamad Soleh
102012442
TTd
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telepon: (021) 5694-2061 (hunting), Fax: (021) 563-1731
Tahun Ajaran 2012/2013
Percobaan I Pengamatan Sikap, Gerakan dan Waktu Reaksi Seekor Katak Terhadap
Berbagai Rangsang Sebelum dan Sesudah Penyuntikan Kurare
A. Tujuan
Mengamati perubahan fisiologis pada katak terhadap rangsangan sebelum dan sesudah
penyuntikan kurare
B. Alat yang digunakan
1. Plat kaca
2. Waskom besar yang berisi air
3. 1 ekor katak + penusuk katak + benang
4. Semprit 2cc + jarumnya
5. Pinset
6. Larutan tubo kurarin 1:1
7. Larutan Atropin 0,01%
8. Larutan Prostigmin 1:1
C. Cara Kerja
1. Ambillah seekor katak dan letakkan di pekat kaca. Perhatikan kegiatan binatang
tersebut (aktif/pasif). Hitunglah frekuensi pernapasannya per menit.
2. Cobalah meneletangkan katak tersebut beberapa kali dan perhatikan reaksinya
(kembali/tidak kembali ke posisi semula).
3. Masukkan katak ke dalam waskom yang berisi air dan perhatikan reaksinya (dapat
berenang/tidak).
4. Keluarkan katak dari air dan selidikilah refleks-refleks nosiseptif dengan cara
sebagai berikut :
a. Katak dipegang sedemikian rupa sehingga kedua kaki belakangnya tergantung
bebas.
b. Rangsanglah dengan menjepit salah satu telapak kakinya dengan pinset.
c. Tetapkan waktu reaksinya.
5. Suntikkan 0.5 cc larutan tubokurarin 1:1 ke dalam kantong limfe ilikala (disebelah
os coccygis, dibawah kulit). Dalam waktu 15-20 menit setelah penyuntikan tersebut
ulanglah percobaan 1 sampai 4 di atas tadi dan perhatikan pelbagi perbedaan sikap
dan reaksinya.
6. Sebelum pernapasan berhenti sama sekali, suntikanlah ke dalam kantong limfe
iliakal berturut-turut :
a. 0.5 cc larutan atropin 0.01%
b. 1 cc larutan prostigmin 1:1
7. Setelah terjadi pemulihan lakukan sekali lagi percobaan 1 s/d 4 di atas.oleh karena
pemulihan dapat memakan waktu 2-3jam, lanjutkan dahulu dengan latihan bagian II
dan III
D. Hasil Percobaan
Normal
Disuntik Kurare
Pemulihan
65 kali / menit
38 kali/menit
49 kali/menit
Gerak aktif
++++
+++
Renang
++++
Refleks Nosiseptif
5 detik
4 detik
Frekuensi Napas
A. Tujuan
Mengamati perbedaan pengaruh kurare terhadap saraf yang dihambat dan tidak
dihambat.
B. Alat yang digunakan
1. Papan fiksasi + beberapa jarum pentul
2. 1 ekor katak + penusuk katak + benang
3. Stimulator induksi + elektroda perangsang
4. Semprit 2cc + jarumnya
5. Larutan tubo-kurarin
C. Cara Kerja
1. Ambil katak lain dan rusaklah otaknya saja tetapi jangan merusak medulla
spinalisnya
2. Bebaskan n. Ischiadicus paha kanan.
3. Ikatlah seluruh paha kanan kecuali n. Ischiadicus nya
4. Suntikkan 0.5 cc larutan tubo kurarin 1:1 ke dalam kantong limfe depan dengan
membuka mulut kaatak cukup lebar dan menusukkan jarum suntik ke dasar
mulut ke arah lateral
Periksalah pada kaki yang tidak diikat setiap 5 menit berkurangnya refleks
nosiseptif dan timbulnya kelumpuhan umum. Bila peristiwa tersebut di atas
belum terjadi, ulangi suntikan setiap 20 menit.
5. Rangsanglah ujung jari kaki kanan dengan rangsangan faradik yang cukup kuat
sehingga terjadi withdrawal reflex. Catatlah kekuatan rangsang yang
digunakan.
6. Rangsanglah ujung jari kaki kiri dengan rangsang faradik yang cukup kuat
sehingga terjadi withdrawal reflex. Catatlah kekuatan rangsang yang
digunakan.
7. Bebaskan n. ischiadicus kaki kiri dan buanglah sedikit kulit yang menutupi m.
gastrocnemius kanan dan kiri.
8. Tentukan ambang rangsang-buka untuk masing-masing n.ischiadicus.
9. Tentukan ambang rangsang-buka untuk masing-masing m.gastrocnemius yang
dirangsang secara langsung.
D. Hasil Percobaan
Stimulus
0.1 x 10V
0.1 x 50V
1 x 10V
1 x 20V
1 x 30V
1 x 40V
1 x 50V
+
+
2. Masukkan otot sediaan A dan saraf sediaan B ke dalam gelas arloji yang berisi cc
larutan tubo-kurarin 1%
3. Selama menunggu 20 menit basahilah saraf sediaan A dan otot sediaan B dengan
larutan ringer.
4. Berilah rangsangan dengan arus-buka pada:
a. Saraf sediaan A
b. Otot sediaan B
c. Otot sediaan A
d. Otot sediaan B
5. Tentukan kekuatan rangsang yang digunakan baik untuk sediaan yang memberikan
jawaban maupun yang tidak memberikan jawaban.
6. Apa kesimpulan saudara mengenai tempat kerja kurare?
D. Hasil Percobaan
Saraf sediaan A di ringer dan ototnya di tubo kurarin = 10 mV
Saraf sediaan B di tubo kurarin dan ototnya di ringer = 1 mV
Pembahasan
Mekanisme kontraksi otot
Kontraksi otot terjadi akibat impuls saraf. Impuls saraf, yang bersifat elektrik,
dihantar ke sel sel otot secara kimiawi dan hal ini dilakukan oleh sambungan otot-saraf
(neuromuscular junction). Impuls saraf sampai ke sambungan otot saraf yang mengandung
gelembung-gelembung kecil asetilkolin. Asetilkolin dilepas ke dalam ruang antara saraf dan
otot (celah sinaps) dan ketika asetilkolin menempel pada sel otot, ia akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi dan aktivitas listrik akan menyebar ke seluruh sel otot, sehingga
timbul kontraksi. Untuk bisa berkontraksi, serabut otot memerlukan energi yang di dapat dari
oksidasi makanan, terutama karbohidrat. Pada proses pencernaan karbohidrat akan dipecah
menjadi gula sederhana yang disebut glukosa. Glukosa yang tidak diperlukan dengan segera
oleh tubuh akan dikonversi menjadi glikogen dan disimpan di hati dan di otot. Glikogen otot
merupakan sumber panas dan energi bagi aktivitas otot. Selama oksidasi glikogen menjadi
karbondioksida dan air, terbentuk suatu senyawa yang kaya akan energi. Senyawa ini disebut
adenosin trifosfat (ATP). Apabila otot harus melakukan kontraksi, energi ATP akan dilepas
seiring dengan perubahannya menjadi adenosin difosfat (ADP). Selama oksidasi glikogen,
akan terbentuk asam piruvat. Bila terdapat banyak oksigen, seperti yang terjadi pada gerakan
umum, asam piruvat dipecah menjadi karbondioksida dan air. Pada proses ini juga dilepas
energi yang akan dipakai untuk membuat lebih banyak ATP. Apabila oksigen tidak
mencukupi, asam piruvat diubah menjadi asam laktat, yang bila menumpuk akan
menyebabkan kelelahan otot.1,2
Kurare
Anestesi adalah: (1) hilangnya sebagian atau seluruh semua bentuk sensasi yang
disebabkan oleh patologi pada sistem saraf, (2) suatu teknik menggunakan obat (inhalasi,
intravena, atau lokal) yang menyebabkan keseluruhan atau bagian dari organisme menjadi
mati rasa untuk berbagai periode waktu. Relaksan otot adalah obat yang mengurangi
ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot atau sambungan saraf otot
(misalnya kurare, suksinilkolin).
Kurare. Di antara relaksan non-depolarisasi otot, kurare (d-tubokurarin) sudah
digunakan sejak berabad-abad oleh bangsa-bangsa Amerika Selatan untuk racun yang
diulaskan pada kepala anak panahnya. Kurare diperkenalkan pertama kali secara klinik pada
tahun 1942. Merupakan agen jangka panjang; setelah dosis klinik 0,3 0,5 mg per kg, lama
kerjanya 30 4- menit. Efek tidak menguntungkan lain dari kurare adalah risiko pengeluaran
histamin dan aksi penghambatan ganglion.
Kurare berasal dari beberapa tumbuhan, yaitu, Strychnnos dan Chondrodendron,
terutama C. Tomentosum. Ternyata bahan aktifnya terdiri dari beberapa alkaloid diantaranya,
d tubokuarin (d Tc). Pada tahun 1857, Claude Bernad mengadakan percobaan
untuk mengetahui cara kerja Kurare, dapat disimpulkan bahwa tempat kerja
Kurare adalah sambungan saraf-otot, bukan di sentral, bukan pada serabut saraf dan
bukan
pula
pada
otot
rangka
sendiri
Sedangkan
DTubokurarin
adalah
dimetil-d-tubokurarin
sekali. Atropin juga memiliki daya kerja atas SSP (antara lain sedatif) dan daya
bronchodilatasi ringan berdasarkan peredaan otot polos bronchi. Zat ini digunakan sebagai
midriatikum kerja panjang (sampai beberapa hari), yang juga melumpuhkan akomodasi
(cyloplegia). Juga sebagai spasmolitikum pada kejang-kejang di saluran lambung isis dan
urogenital, sebagai premedikasi pada anastesi dan sebagai zat penawar (antidotum) keracunan
Ach (zat-zat antikolinesterase dan kolinergika lain.
Resorpsi di usus cepat dan lengkap seperti alkaloida alamiah lainnya, begitu pula dari
mukosa. Resorpsinya melalui kulit utuh dan mata tidak mudah. Distribusinya ke seluruh
tubuh baik. Ekskresinya melalui ginjal, yang separuhnya dalam keadaan utuh. Plasma-t1/2nya 2-4 jam.Dosis : O ral 3 dd 0,4-0,6 mg (sulfat), maksimal 4 MG sehari, Okuler larutan
0,5-1%.3
Larutan Prostigmin
Senyawa amonium kwartener ini adalah penghambat kolinesterase reversibel.
Prostigmin memiliki khasiat muskarin agak kuat, yang jauh memiliki khasiat muskarin yang
agak kuat, yang jauh melebihi efek nikotinnya yang sangat ringan. Digunakan terutama pada
keadaan otot lemah, yakni diagnosa dan terapi myasthenia, atonia usus dan kandung kemih
(sukar buang air besar dan kecil). Begitu pula pada glaukoma.
Resorpsinya dari usus berlangsung buruk seperti semua zat hidrofil. Lama kerjanya
bervariasi secara individual. Plasma-t1/2-nya 15-54 menit. Dalam hati zat ini dihidrolisa
ikatan esternya oleh kolinesterase. Karena sukar melintasi membran otak, maka efek
pusatnya ringan. Efek sampingnya atas jantung dan peredaran darah lebih ringan daripada
pilokarpin. Guna melawan efek muskarin ini dapat diberikan atropin. Pada dosis berlebihan
dapat timbul kelemahan otot, sehingga seolah-olah obat tidak efektif lagi (pada myasthenia).
Oleh karena itu, penggunaannya perlu dengan saksama dan pengontrolan kontinu.
Dosis : pada myasthenia oral rata-rata 150 mg sehari dalam 4-6 dosis (bromida), pada
glaukoma 1-2 dd 1-2 tetes 3-5% larutan metilsulfat.3
Percobaan I Pengamatan Sikap, Gerakan dan Waktu Reaksi Seekor Katak Terhadap
Berbagai Rangsang Sebelum dan Sesudah Penyuntikan Kurare
Tubo kurarin menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu. Pertama ialah otot
rangka yang kecil dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik mata, jari kaki, dan tangan.
Kemudian disusul oleh otot yang lebih besar seperti otot-otot tangan, tungkai, leher dan
badan. Selanjutnya otot interkostal dan yang terakhir lumpuh adalah diafragma. Atropin
merangsang medula oblongata dan pusat lain di otak. Atropin tidak berguna merangsang
sistem repirasi walau dalam dosis yang besar. Selain itu, atropin tidak berefek padaganglion
dan otot rangka. Atropin juga tidak berefek terhadap sirkulasi darah bila diberikan sendiri
karena pembuluh darah hampir tidak dipersarafi parasimpatik. Prostigmin memberikan efek
perangsangan otot dan respirasi secara langsung. Sebagian efek central antikolinesterase
dapat diatasi oleh atropin, tetapi terhadap ganglion dan otot rangka atropin tidak berefek.
Prostigmin paling efektif terhadap saluran cerna. Pada manusia pemberiaan prostigmin
meningkatkan peristaltis dan kontraksi lambung serta sekresi asam lambung. Katak
beraktivitas dengan normal dan aktif sebelum disuntikkan tubo kurarin namun setelah
disuntikkan tubo kurarin, katak menjadi lemah dan lumpuh. Hal ini disebabkan karena cairan
tubo kurarin memperlihatkan efek penghambatan ganglion dan penurunan tekanan darah
yang cukup besar. Kurare menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu. Pertama ialah
otot rangka yang kecil dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik mata, jari kaki dan tangan.
Kemudian disusul oleh otot yang lebih besar seperti otot tungkai, leher dan badan.
Selanjutnya ototinterkostal dan yang terakhir lumpuh adalah diagfragma. Suntikkan Atropin
dan Prostigmin sesuai kerjanya untuk memulihkan katak kembali. Sistem pernapasan
berangsur-angsur normalkembali, respon mulai terlihat, disertai sistem-sistem tubuh lainnya.
Percobaan II Pengaruh Pengaruh Kurare Terhadap Sesuatu Bagian Lengkung
Refleks
Tujuan pengikatan seluruh paha kanan kecuali nervous ischiadicus adalah untuk
menghentikan aliran darah ke bagian distal dari tempat pengikatan. Oleh sebab itu, harus
diikat kuat-kuat. Kurare tidak dapat mencapai kaki kanan bila mengikatnya dengan kuat. Dari
hasil percobaan, kami mendapatkan bahwa pada kaki katak yang diikat kekuatanlistrik yang
dipakai untuk membuat otot tersebut berkontraksi lebih besar daripada kekuatanlistrik yang
dipakai untuk membuat kaki katak yang diikat berkontraksi. Hal ini dapat terjadikarena
kurare tidak dapat masuk pada kaki katak yang diikat, sehingga otot kaki katak tersebut tidak
dipengaruhi oleh kurare. Hal sebaliknya terjadi pada kaki katak yang tidak diikat,
sehinggakurare dapat mempengaruhi otot kaki tersebut. Keberadaan kurare pada otot akan
mempengaruhi kontraksi yang terjadi pada otot. Hal ini terjadi karena tempat kerja kurare
adalah sambungan saraf-otot, bukan di central, bukan pada serabut saraf dan bukan pula pada
otot rangka sendiri.
D-Tubokurarin adalah zat aktif yang diisolasi dari Kurare. Sedangkan dimetil-dtubokurarin (metokurin) disintesis kemudian; aktifitasnya 2-3 kali d-tubokurarin. ACh yang
dilepaskan dari ujung saraf motorik akan berinteraksi dengan reseptor nikotinik otot (NM) di
lempeng akhir saraf (endplate) pada membran sel otot rangka dan menyebabkan depolarisasi
lokal (endplate potential, EEP) yang bila melewati ambang rangsang (Et) akan menghasilkan
potensial aksi otot (muscle action potential, MAP). Selanjutnya, MAP akan menimbulkan
kontraksi otot. d-Tubokurarin, sebagai racun utama dari Kurare, dan penghambat kompetitif
lainnya mempunyaicara kerja yang sama, yaitu, menduduki reseptor dikotinik otot (NM)
sehingga menghalangi interaksinya dengan ACh. Akibatnya, EEP menurun, dan EEP yang
menurun sampai kurang dari 70% tidak mencapat E sehingga tidak menghasilkan MAP dan
kontraksi otot tidak terjadi. Itulah sebabnya kaki yang tidak diikat harus diberi kekuatan
rangsangan yang lebih besar untuk berkontraksi tetapi hal itu tidak berlaku juga kita
merangsangnya langsung pada bagian otot.
Kesimpulan
1. Sikap, waktu dan gerakan dari seekor katak akan menurun setelah diberikan larutan
kurare akibat kerja tubo kurarin yang menghalangi kerja ACh sehingga
mengakibatkan kerja otot terganggu.
2. Untuk merangsang otot yang terkena tubo kurarin dibutuhkan tegangan yang lebih
dari pada otot yang tidak terkena tubo kurarin.
Daftar Pustaka
1. Isnaeni W. Fisiologi hewan. Yogyakarta: Kanisius; 2006.h.102-5.
2. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2001
3. Tjay TH, Rahardja K. Obat-obat penting : khasiat, penggunaan dan efek-efek
sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo; 2007. h : 512.