PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otitis media supuratif kronik adalah suatu radang kronis telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga
(ottorhea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. (Soepardi, 2007).
OMSK dapat dibagi atas dua jenis, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa atau
benigna) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang atau maligna). Pada OMSK tipe
aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan tidak terdapat
kolesteatom. Sedangkan pada OMSK tipe bahaya selalu terdapat kolesteatom dan
dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya (Djaafar, 2007).
Para peneliti mendapat persentase yang berbeda mengenai jenis bakteri pada
OMSK. Adenin Adenan (1973) mendapatkan Proteus sp sebagai kuman yang
dominan (48%) dan perbandingan kuman gram negatif dan positif adalah 3 : 1.
Brook (1979) dan Palca (1965) mengatakan bakteri aerob yang sering dijumpai
pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, Stafilokokus. Finegald
(1981) menemukan kuman aerob yang dominan adalah Pseudomonas aeruginosa
(36 dari 68 penderita) sedangkan Proteus sp hanya 7 dari 68 penderita (Nursiah,
2003).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis
media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi
kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah (gizi buruk) atau hygiene
buruk. (Djaafar ZA, 2007).
Gejala otitis media supuratif kronis antara lain otorrhoe yang bersifat purulen
atau mukoid, terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga
dan vertigo. OMSK dapat menyebabkan gangguan pendengaran sehingga
menimbulkan dampak yang serius terutama bagi anak-anak, karena dapat
menimbulkan pengaruh jangka panjang pada komunikasi anak, perkembangan
bahasa, proses pendengaran, psikososial dan perkembangan kognitif serta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga tersebut lebih dari tiga
bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,
bening atau berupa nanah (World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole
& Nason 2009).
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang dilapisi oleh stratified squamosa
epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam
rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga terperangkap pada bagian manapun dari
tulang temporal yang berpneumatisasi (Helmi 2005; Meyer, Strunk & Lambert
2006; Chole & Nason 2009).
2.2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul
dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai
tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, terdiri dari membran
timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosesus mastoid (Helmi 2005).
2.2.1. Membran Timpani
Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, pars flaksida yang merupakan
bagian atas dan pars tensa yang merupakan bagian bawah. Membran ini terdiri
atas tiga lapis, yaitu lapisan luar, tengah dan dalam. Lapisan luar merupakan kulit
terusan dari kulit yang melapisi dinding liang telinga. Lapisan tengah merupakan
jaringan ikat yang terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan radier dan lapisan sirkuler.
Lapisan dalam merupakan bagian dari lapisan mukosa kavum timpani. Membran
timpani merupakan struktur yang terus tumbuh yang memungkinkannya menutup
bila ada perforasi (Helmi 2005; Gacek 2009).
Gambar 2.2. Rongga Prussak atau resesus membran timpani anterior sebagai
permulaan terjadinya kolesteatoma primer (Dahnert 2007).
eustachius
adalah
suatu
saluran
yang
menghubungkan
yang letaknya saling berdesakan dan bervariasi (Gambar 2.3). Daerah temporal
terdiri atas unsur jaringan lunak dan tulang, yaitu seluruh telinga luar dan telinga
tengah, kokhlea, labirin, perjalanan nervus fasialis, arteri karotis, vena jugularis
dan sigmoid (Helmi 2005).
Jaringan lunak di luar tulang temporal termasuk daun telinga, retro
aurikula, kulit liang telinga dan membran timpani. Jaringan lunak di daerah
temporoparietal dari luar ke dalam adalah kulit dan jaringan subkutis. Di sebelah
dalamnya dan melekat erat dengan subkutis adalah fasia temporoparietal, sering
disebut juga fasia temporalis superfisialis. Di bawah fasia ini terletak jaringan
areolar longgar dan relatif avaskuler yang memisahkan fasia temporoparietal
dengan fasia muskulus temporalis profunda. Fasia muskulus temporalis profunda
membelah dua di sekitar linea temporalis untuk membungkus jaringan lemak.
Pendarahan di daerah ini diurus oleh cabang-cabang arteri temporalis berupa arteri
temporalis superfisialis (Helmi 2005).
Arteri temporalis superfisialis muncul dari jaringan kelenjar parotis dan
memberi cabang arteri temporalis media yang berjalan ke daerah pre aurikula.
Arteri aurikularis posterior merupakan arteri yang relatif kecil cabang dari arteri
karotis eksterna. Arteri ini melepas tiga cabang penting, yaitu arteri
stilomastoideus, cabang aurikularis dan cabang oksipital
(Helmi 2005).
Persarafan sensoris daerah temporoparietal diurus oleh saraf aurikulotemporal,
saraf sensoris dari nervus mandibularis yang terletak posterior terhadap arteri
temporalis superfisialis di dalam fasia temporoparietal. Nervus fasialis, yang
merupakan persarafan motoric daerah muka, juga lewat di dalam fasia
temporoparietal. Cabang frontal nervus fasialis berjalan oblik persis di luar arkus
zigomatikus (Helmi 2005).
Gambar 2.3. Spina supra meatum Henle merupakan bagian penting pada regio
temporal (Meyer, Strunk & Lambert 2006).
Kekerapan
Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal
definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban
dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang dengan telinga berair, 60% di
antaranya (39-200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (World
Health Organization 2004). Vikram et al. (2008) melaporkan, dijumpai 17,43%
penderita otitis media kronis dari 7.210 orang yang berobat ke klinik THT di India
sejak Juli 2003 hingga Desember 2005. Pada 187 penderita dijumpai
kolesteatoma, dimana 62 diantaranya mengalami komplikasi. Penelitian
restrospektif selama sepuluh tahun di Departemen THT-KL Universitas Ain
Shams Kairo menemukan 28,24% kasus kolesteatoma dari 3.364 penderita
2.5.
Etiologi
Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba eustachius (misalnya
rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring), imunodefisiensi
(primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali midfasial kongenital (cleft
palate atau Down syndrome), dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang
menonjol pada OMSK adalah infeksi otitis media yang berulang dan orang tua
dengan riwayat otitis media kronis dengan perawatan yang tidak baik (World
Health Organization 2004; Ramakrishnan, Kotecha & Bowdler 2007; Bhat et al.
2009; Chole & Nason 2009).
Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang telinga
luar dengan perforasi membran timpani ataupun melalui nasofaring, dimana
Streptococcus pneumoniae merupakan yang terbanyak dijumpai pada otitis media
akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga
terlibat pada sebahagian kasus. Kuman aerob yang sering dijumpai adalah
Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus aureus dan basil gram negatif seperti
Escherichia coli, Proteus species, dan Klebsiella spesies. Kuman anaerobik
seperti Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. (World Health Organization 2004;
Chole & Nason 2009).
Selanjutnya jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya
Aspergillus sp. dan Candida sp., dan ini merupakan suatu pertimbangan
dimana
jamur mungkin dapat tumbuh berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika
(Chloe & Nason, 2009).
2.6.
Patogenesis
OMSK tanpa dengan kolesteatoma merupakan tipe jinak. Oleh karena proses
patologi telinga tengah pada tipe ini didahului oleh kelainan fungsi tuba, maka
disebut juga sebagai penyakit tubotimpanik. Terjadinya otitis media supuratif
kronik hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang
dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor antara lain
infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh,
lingkungan dan social ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga
tengah karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan
tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran
nafas atas, maka otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus
infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis)
mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal
dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani.
Maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap di dalam
kantong mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat adekuat dan
dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses patologis akan
berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Walaupun kadang-kadang
terbentuk jaringan granulasi, polip ataupun terbentuk kantong abses di dalam
lipatan
mukosa
yang
masing-masing
harus
dibuang,
tetapi
dengan
dengan
kolesteatoma
bersifat
progresif,
dimana kolesteatoma
yang semakin luas bisa mendestruksi tulang yang dilaluinya. Infeksi sekunder
dapat menyebabkan nekrosis septik di jaringan lunak yang dilalui kolesteatoma
dan mengancam bisa terjadinya komplikasi, berupa komplikasi intratemporal dan
intrakranial. Glasscock dan Shambaugh membagi tipe invasi tulang menjadi tiga
golongan yaitu (Gopen 2010):
1. Tipe invasi tulang yang dimulai dengan invaginasi pars flaksida, sehingga
terbentuk kantong kecil di atik, kemudian terisi kolesteatoma (primary
acquired cholesteatoma).
2. Tipe invasi tulang dengan perforasi marginal atau total membran timpani
karena invasi epidermis dan berisi kolesteatoma (secondary acquired
cholesteatoma).
3. Tipe invasi tulang dengan osteomielitis kronis atau skuestrum
(chronic osteitis).
Patogenesis congenital cholesteatoma masih belum diketahui secara pasti
dan masih menjadi perdebatan. Ada beberapa teori patogenesis congenital
cholesteatoma (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009):
1. Teori migrasi
Anulus timpanikus mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
proliferasi dan migrasi dari kulit liang telinga selama masa perkembangan
janin. Hilangnya jaringan ikat dari anulus timpanikus menyebabkan
lapisan ektodermal bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan
membentuk kolesteatoma.
2. Teori kontaminasi cairan amnion
Kolesteatoma berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan sel-sel
epidermal yang ada di cairan amnion, yang memasuki anterosuperior
mesotimpanum melalui tuba eustachius.
3. Teori inklusi
Pada kondisi inflamasi yang berulang, terdapat peningkatan risiko
terjadinya retraksi, perlekatan dan pelepasan membran timpani dari tulangtulang pendengaran. Pada proses pelepasan membran timpani, beberapa sel
dari membran timpani menjadi terperangkap pada kavum timpani dan
membentuk kolesteatoma.
4. Teori pembentukan epidermoid
Penebalan lapisan ektodermal epitel berkembang di dekat ganglion
genikulatum, ke arah medial dari leher maleus. Massa epitel ini segera
mengalami involusi untuk menjadi lapisan telinga tengah yang matur. Jika
gagal mengalami involusi, bentuk ini menjadi sumber dari kolesteatoma
kongenital.
Beberapa teori patogenesis pada acquired cholesteatoma antara lain
(Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009; Prinsley 2009):
1. Primary acquired cholesteatoma a.
a. Teori invaginasi
Invaginasi membran timpani dari atik atau pars tensa regio posterosuperior
membentuk retraction pocket. Kemudian pada tempat ini terbentuk matriks
dari kolesteatoma berupa sel-sel epitel yang tertumpuk pada tempat
tersebut.
b. Teori hiperplasia sel basal
Pada teori ini sel-sel basal pada lapisan germinal pada kulit berproliferasi
akibat dari infeksi sehingga membentuk epitel skuamosa berkeratinisasi.
c. Teori otitis media efusi
Pada anak dengan retraksi di regio atik, tuba eustachius lebih sering
berkonstriksi daripada dilatasi ketika menelan. Tekanan negatif di kavum
timpani
yang
disebabkan
oleh
disfungsi
tuba
eustachius
dapat
2.7.
Histologi
Berdasarkan histologi, kombinasi dari material keratin dan stratified
2.8.
Klasifikasi
OMSK
dapat
dibagi
dalam
kasus-kasus
tanpa
atau
dengan
1. Congenital cholesteatoma
Dua pertiga kolesteatoma kongenital di telinga tengah terlihat sebagai
massa putih di kuadran anterosuperior membran timpani, dapat juga
berada di membran timpani dan di apeks petrosa.
2. Acquired cholesteatoma
Terdapat dua jenis acquired cholesteatoma, yaitu :
a. Primary acquired cholesteatoma
Kolesteatoma yang diakibatkan karena retraksi pars flaksida, disebut juga
retraction pocket cholesteatoma.
b. Secondary acquired cholesteatoma
Kolesteatoma yang muncul karena adanya perforasi membran timpani,
biasanya pada kuadran posterosuperior membran timpani.
2.9.
2. Gangguan pendengaran
Pendengaran normal ketika rantai tulang pendengaran masih utuh.
Gangguan pendengaran pada OMSK sebagian besar adalah konduktif
namun dapat pula bersifat campuran.
3. Perdarahan
Gejala ini timbul jika terdapat granulasi atau polip dari telinga tengah.
4. Nyeri telinga
Nyeri telinga bisa terjadi akibat komplikasi intrakranial seperti abses di
epidural, subdural maupun otak.
5. Sakit kepala
Gejala ini disebabkan oleh komplikasi intrakranial.
6. Hoyong
Hoyong terjadi jika terdapat fistula labirin.
7. Kelumpuhan wajah
Gejala ini merupakan indikasi erosi kanalis fasialis.
2.9.2. Tanda (Chole & Nason 2009)
1. Perforasi
Dijumpai pada atik atau daerah posterosuperior. Perforasi atik kecil bisa
tidak terlihat disebabkan adanya sekret telinga. Jika perforasi
cukup
besar atau total, mukosa telinga tengah dan sebagian tulang pendengaran
bisa dinilai.
2. Retraction pocket
Invaginasi membran timpani terlihat di daerah atik atau posterosuperior.
Tanda ini mudah terlihat dibawah pemeriksaan mikroskop.
3. Kolesteatoma
Setelah pembersihan dengan suction dan pemeriksaan di bawah
mikroskop, tanda ini merupakan bagian penting dari pemeriksaan klinis
dan penilaian jenis OMSK.
4. Jaringan granulasi atau polip
Tanda ini terjadi akibat inflamasi mukosa telinga tengah, kadang-kadang
meluas hingga ke liang telinga.
Menurut Djaafar (2007), tanda-tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah:
1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler.
2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal
Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakkan dengan cara (Migirov 2003; Dhingra 2007;
Lee, Hong, Park & Jung 2007; Trojanowska et al. 2007; Chole & Nason 2009):
1. Anamnesis
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap.
Gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair dan berbau
busuk. Jika terdapat jaringan granulasi atau polip, sekret yang keluar bisa
bercampur dengan darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan
gangguan pendengaran, sakit kepala, hoyong, bengkak ataupun lubang di
belakang telinga, dan mulut mencong.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukkan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai
hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.
4. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional seperti foto polos proyeksi Schller berguna
untuk menilai kasus kolesteatoma. Pemeriksaan CT Scan lebih efektif
menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma. CT
Scan merupakan pemeriksaan penting sebelum operasi pada setiap kasus
infeksi telinga tengah dengan komplikasi. MRI lebih baik daripada CT
Scan dalam menunjukkan kolesteatoma, namun kurang memberikan
informasi tentang keadaan pertulangan.
5. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan
antibiotika yang tepat.
2.11.
Komplikasi
Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa (Neely & Arts
Penatalaksanaan
Prinsip terapi OMSK dengan kolesteatoma adalah pembedahan.
sehingga
terdapat
kesulitan
dalam
usaha
memperbaiki
pendengaran penderita namun dengan teknik ini dapat dicapai suatu safe
ear. Untuk kasus kolesteatoma yang lebih lanjut dengan perluasan yang
hebat, mastoidektomi radikal perlu dipertimbangkan tanpa melihat
kemungkinan
mempertahankan
fungsi
pendengaran
(Helmi
2005;
dalam posisi yang berdekatan pada film sinar X, sedangkan struktur yang
lebih jauh dari film dijauhkan dari pancaran tergantung arah pancaran sinar
X. Struktur yang sangat berdekatan memerlukan sudut yang lebih besar
dibandingkan dengan struktur yang terpisah jauh.
Ada beberapa proyeksi standar pada pemeriksaan foto polos tulang
temporal, seperti proyeksi Schller, Law, Mayer, Owen, Chausse III,
Stenvers, Towne, submentovertikal, dan transorbital (Lee 2003). Saat ini,
penggunaan radiologik konvensional terbatas untuk mengevaluasi pneumatisasi
mastoid dan penilaian posisi maupun integritas elektroda implan koklea serta
evaluasi sendi temporomandibular. Hanya tiga proyeksi yang praktis menarik:
proyeksi lateral atau Schller, frontal atau transorbital, dan proyeksi oblik atau
Stenvers (Mafee & Valvassori 2009).
2.13.1. Proyeksi Schller atau Rungstrom
Proyeksi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid.
Proyeksi foto dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja
pemeriksaan dan berkas sinar X ditujukan dengan sudut 25-30 0 sefalokaudal
(Gambar 2.5) (Lee 2003; Makes 2005; Mafee & Valvassori 2009)
Gambar 2.7. Posisi penderita pada proyeksi transorbital, sinar X diarahkan tegak
lurus pada film (Yong 2001).
2.14.
perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara
mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses
inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti
demineralisasi trabekula, pada saat ini yang tampak pada foto adalah
perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta
struktur trabekula yang tersisa tampak menebal. Jika proses inflamasi terus
berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid
akan terlihat sklerotik.
Kadang-kadang lumen antrum mastoid dan sisa sel udara mastoid akan terisi
jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan
(Makes 2005).
Bersamaan dengan progresivitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi
diikuti destruksi trabekula dimana pada proses mastoiditis yang hebat akan terjadi
penyebaran ke arah posterior dan menyebabkan tromboflebitis pada sinus lateralis
(Makes 2005).
2.15.
Gambar 2.16 Gambaran radiologis kolesteatoma pada otitis media supuratif kronis
( Anindityo, 2014)
2.16.
BAB 3
KERANGKA TEORI
FAKTOR RISIKO
UMUR
Alergi
Sosial ekonomi/imunodefisiensi
PEKERJAAN
JENIS KELAMIN
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN OTOSKOPI
PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
TANPA KOLESTEATOMA
PEMBEDAHAN
DENGAN KOLESTEATOMA
BAB 4
RINGKASAN
1. Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga lebih
dari tiga bulan, terus menerus atau hilang timbul.
2. Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba eustachius (misalnya
rinosinusitis,
adenoid
hipertrofi,
atau
karsinoma
nasofaring),
36
radiologik
pada
otitis
media
kronis
terdiri
atas
perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel
udara mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi
mastoid.
11. Diagnosis banding secara radiologis pada OMSK yaitu : Bentuk variasi
dari keadaan normal, dapat menyerupai gambaran radiolusen pada daerah
antrum dan mastoid yaitu antrum yang besar dan biasanya simetris atau
sinus sigmoid yang prominen yang dapat memanjang ke anterior hingga
posterior mastoid, Defek bekas operasi, Destruktif mastoiditis, pada
keadaan ini tampak perselubungan pada telinga tengah dan mastoid.
Destruksi yang terjadi biasanya berbatas tidak jelas dan irregular, Tumortumor
tengah
(Adenoma,
Kista
epidermoid,
DAFTAR PUSTAKA
Anindityo,
Muammar
Kadafi.
2014.
Available
from
https://www.scribd.com/doc/243560211/Gambaran-Radiologi-OtitisMedia-Supuratif-Kronik (Diakses tanggal 18 Januari 2015)
Bhat, KV, Naseeruddin, K, Nagalotimath, US, Kumar, PR & Hegde, JS. 2009.
Cortical mastoidectomy in quiescent, tubotympanic, chronic otitis media:
is it routinely necessary?. The Journal of Laryngology & Otology (123):
383-90.
Boesoirie S, 2007. Gangguan Pendengaran (tuli). Available from:
http://www.ketulian.com/web/index.php?to=article&id=13. [Akses 12
Januari 2015].
Browning, GG, Merchant, SN, Kelly, G, Swan, IR, Canter, R & McKerrow, WS.
2008. Chronic otitis media, Scott-Browns Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery, seventh edition, volume 3. Hodder Arnold: London. hal:
3395-445.
Caponetti, G, Thompson, LDR & Pantanowitz, L. 2009. Cholesteatoma, Ear,
Nose & Throat Journal (88): 1196-7.
Chole, RA & Nason, R. 2009. Chronic otitis media and cholesteatoma,
Ballengers Manual of Otorhinology Head and Neck Surgery. BC Decker.
Connecticut. hal: 217-27.
Dahnert, W. 2007. Ear, nose and throat, Radiology Review Manual, 6thedition.
Lippincott Williams & Wilkins: Texas.
Di Muzio, Bruno. 2011. Available from: http://radiopaedia.org/cases/chronicotitis-media (Diakses tanggal 16 januari 2015)
Djaafar Zainul A. dkk. 2008. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Efiati Arsyad
Soepardi dkk(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
hal:69-74.
Gacek, RR 2009. Anatomy of the auditory and vestibular systems, Ballengers
Manual of Otorhinology Head and Neck Surgery. BC Decker. Connecticut.
hal: 1-15.
Gopen, Q. 2010. Pathology and clinical course of inflamatory diseases of the
middle ear, Glassock-Shambaugh Surgery of The Ear, six edition, Peoples
Medical Publishing House-USA, Connecticut, hal: 425-35.
38
Grewal, DS, Hathiram, BT & Saraiya, SV. 2007. Canal wall down
tympanomastoidectomy: the on-disease approach for retraction pockets
and cholesteatoma. The Journal of Laryngology & Otology (121): 832-9.
Gustomo, BS.2010. Gambaran otitis media supuratif kronis tipe bahaya di RSUD.
Dr. Moewardi Surakarta tahun 2007-2009. Kumpulan Abstrak PITO-5 &
AANOA-3. PERHATI: Yogyakarta.
Helmi, 2005. Otitis Media Supuratif Kronis dalam Otitis Media Supuratif Kronis
Pengetahuan Dasar Terapi Medik Mastoidektomi Timpanoplasti Balai
Penerbit FK UI. Jakarta. hal: 55-69.
Kutz, JW & Friedman, RA. 2007. Congenital middle ear cholesteatoma, Ear,
Nose & Throat Journal (86) (11): 654.
Lee, JH, Hong, SJ, Park, CH & Jung SH. 2007. Congenital cholesteatoma of
mastoid origin. The Journal of Laryngology & Otology: 1-5.
Makes, D. 2005. Pemeriksaan radiologik mastoid, Radiologi Diagnostik, edisi
kedua. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. hal: 447-52.
Mafee, MF & Valvassori, GE. 2009. Imaging of the temporal bone, Ballengers
Manual of Otorhinology Head and Neck Surgery, BC Decker:
Connecticut, hal: 145-71.
Merchant, SN, Rosowski, JJ & Shelton, C. 2009, Reconstruction of the middle
ear. Ballengers Manual of Otorhinology Head and Neck Surgery, BC
Decker: Connecticut. hal: 239-44.
Meyer, TA, Strunk, TL & Lambert, PR. 2006. Cholesteatoma, Head & Neck
Surgery-Otolaryngology, Lippincott & Wilkins. Williams Texas. hal: 2094112.
Mostafa, BE. El Fiky, LM & El Sharnouby, MM. 2008. Complication of
suppurative otitis media: still a problem in the 21st century. ORL (71): 8792.
Prata, AAS. Antunes, ML. de Abreu, CEC. Frazatto, R & Lima BT 2011.
Comparative study between radiological and surgical findings of chronic
otitis media. Intl. Arch. Otorhinolaryngol. (15) (1): 72-8.
Ramakrishnan, Y, Kotecha, A & Bowdler, DA. 2007. A review of retraction
pockets: past, present, and future management. The Journal of
Laryngology & Otology (121): 521-5.
Rawalpindi. 2012. Available from:
http://www.slideshare.net/ahsanshafiq90/chronic-suppurative-otitis-media15590584 (Diakses tanggal 18 januari 2015)
Restuti, RD. 2010, Clinical and surgical profile of chronic suppurative otitis
media patients in Cipto Mangunkusumo Hospital five years data-,
Kumpulan Abstrak PITO-5 & AANOA-3. PERHATI: Yogyakarta.
Santosh, UP, Patil, SB, Bhat, V, Pai, S & Janardhan, D. 2011. A study of the
corelation of the clinical features, radiological evaluation and operative
findings in chronic suppurative otitis media with cholesteatoma.
Otorhinolaryngology and Head & Neck Surgery (8) (1): 17-9.
Soepardi, EA , Nurbaiti, Jenny, Restuti, DR, 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala & Leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Edisi 6, Jakarta ; 69-74
Soetjipto, D 2007. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). Available from :
http://www.ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=13 [Akses 12
Januari 2015]
Sohar, FS 1991, Deteksi kolesteatom dengan proyeksi Schller, tesis, FK UI,
Jakarta.
Trojanowska, A, Trojanowski, P, Olszanski, W, Klatka, J & Drop, A. 2007.
Differentiation between cholesteatoma and inflamatory process of the
middle ear, based on contrast-enhanced Computed Tomography imaging.
The Journal of Laryngology & Otology (121): 444-8.
Vikram, BK. Udayashankar, SG. Naseeruddin, K. Venkatesha, BK. Manjunath, D
& Savantrewwa, IR. 2008. Complications in primary and secondary
aqcuired cholesteatoma: a prospective comparative study of 62 ears.
American Journal of Otolaryngology-Head and Neck Medicine and
Surgery (29): 1-6.
Vikram, BK. Khaja, N. Udayashankar, SG. Venkatesha, BK & Manjunath, D.
2008. Clinico-epidemiological study of complicated and uncomplicated
chronic suppurative otitis media. The Journal of Laryngology & Otology
(122): 442-6.
World Health Organization, 2004, Chronic suppurative otitis media, burden of
illness and management options, WHO, Geneva, Switzerland.
Yong, CS. 2001, Term related radiographic positioning, General Radiography,
Available
from:
URL:
http://www.bundang.chamc.co.kr/
punrad/intro/main/1general/skull.htm
Zahnert, T & Offergeld, C. 2010. Quality management in middle ear surgery:
controversies regarding preoperative imaging, ORL (72): 159-67.