Bedah BPH Fadil
Bedah BPH Fadil
I.
IDENTITAS
Nama
: Tn. T
Umur
: 56 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Desa Kaliwedi
Tanggal masuk
: 17 Desember 2010
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan pasien
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda vital
: N
: 98 x/menit
RR
: 24 x/menit
: 36,5 C
TD
: 160/100 mmHg
Kepala
: Normocephal.
Mata
: Konjungtiva
: Tidak Anemis
Sklera
: Tidak ikterik
Thorak
Cor
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Inspeksi
: Simetris,
dalam
keadaan
statis
dan
dinamis.
Palpasi
Perkusi
: Inspeksi
Palpasi
: Datar
: Supel, NT/NK/NL -/-/-, hepar dan lien
tidak teraba membesar
Perkusi
Auskultasi : BU normal
Ekstremitas
: Atas
Bawah
: teraba
Nyeri tekan
: Baik
- Ampula recti
: Tidak kolaps
- Mukosa rektum
: Teraba licin
- Prostat
:Menonjol,
konsistensi
kenyal,
permukaan
rata,
simetris kanan dan kiri, nodul (-), nyeri tekan (-), batas
atas teraba
Leukosit
: 11.300 /uL
Hb
: 10,2 gr%/dl
Ht
: 22,5gr%/dl
Plt
: 457 mm
Faal ginjal
Gluk
: 112 mg%
Ureum
: 54,7 mg%
Kreatinin
: 1,98 mg%
SGOT
: 19 u/l
SGPT
: 7 u/l
: 4,64 mcg/l
Na
: 123 mcg/l
V.
RESUME
Pasien seorang laki-laki berumur 56 tahun datang dengan keluhan tidak
bisa BAK sejak 5 hari SMRS. Keluhan tidak disertai nyeri pinggang, nyeri
tungkai, nyeri kolik, hematuri, kencing batu. Keluhan demam, timbul benjolan
dilipat paha dan dubur yang disertai perdarahan, penurunan nafsu makan dan
berat badan juga disangkal. Pada pemeriksaan fisik urologi status urologis :
CVA : Pada regio supra simfisis VU teraba, nyeri tekan (-). Regio genitalia
eksterna : TAK, terpasang kateter, jumlah urin 200 ml warna kuning jernih .
Rectal toucher teraba prostat menonjol, konsistensi kenyal, permukaan rata,
simetris kanan dan kiri, nodul (-), nyeri tekan (-), batas atas teraba.
PROGNOSIS
- Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihirotestosteron (DHT) dan proses aging.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah (1) teori dihirotestosteron, (2) adanya ketidakseimbangan antara estrogentestosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) berkurangnya
kematian sel (apoptosis), (5) teori sel stem.
Teori dihidrotestosteron
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivitas enzim
5-reduktase dan jumlah resetor androgen lebih banyak. Hal ini menyebabkan sel-sel
prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi.
Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia semakin tua kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingg perbandingan estrogen : testosteron meningkat. Telah diketahui
bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis).
jumlah
sel
prostat
yang
yang
mengalami
apoptosis
Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika
dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan kenaikan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik buli-buli beupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur buli-buli itu oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter (refluks vesiko-ureter).
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,
bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Gambaran Klinis
Biasanya gejala-gejala pembesaran prostat dikenal sebagai Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untk miksi pada malam
hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat
miksi (disuria). Sedangkan gejala obtruktif adalah pancaran lemah, rasa tidak lampias
sehbis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengedan
(straining), kencing terputus-putus (intermitency), dan waktu miksi memanjang yang
akhirnya menjadi retensio urin dan inkoninen karena overflow.
Keluhan ini biasanya disusun dalam skor simtom. Terdapat beberapa jenis
klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat
beratnya penyakit, diantaranya adalah skor internasional gejala-gejala prostat
(International Prostate Symptoms Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen.
Tabel 1 Skor Madsen-Iversen
Pertanyaan
Pancaran
0
Normal
Mengedan
Tidak
1
Berubah-
3
Lemah
4
Menetes
ubah
Ya
pada saat
berkemih
Harus
Tidak
Ya
Tidak
Ya
menunggu
saat akan
kencing
BAK
terputusputus
Kencing
Tidak tahu
tidak lampias
Inkontinensia
Kencing sulit Tidak ada
ditunda
Kencing
0-1
Berubah-
Tidak
1 kali
>1 kali
ubah
retensi
retensi
Ringan
lampias
Ya
Sedang
3-4
>4
malam hari
7
Berat
Kencing
>3 jam
Setiap 2-3
Setiap 1-2
<1 jam
siang hari
sekali
jam sekali
jam sekali
sekali
Tidak sama
<1
>5 sampai
terakhir
sekali
sampai
<15 kali
15 kali
>15 kali
Hampir
selalu
5 kali
buli-buli tidak
kosong setelah BAK
Berapa kali anda
1x
2x
3x
4x
5x
diwaktu malam
Andaikata hal yang
Sangat
Cukup
Biasa saja
Agak tidak
Tidak
Sangat
senang
senang
senang
menyenan
tidak
gkan
menyenan
berlangsung seumur
hidup, bagaimana
gkan
perasaan anda
Gejala dan tanda pada pasien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal
ginjal, dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi,
foetor uremik, perikarditis, ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan mental
serta nuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba
dan ada nyeri di CVA. Buli-buli yang distensi dapat dideteksi dengan papasi dan
perkusi. Pemeriksaan penis dan uretra pentin untuk etiologi dan menyingkirkan
diagnosis banding seperti striktur, karsinoma, stenosis meatus, dan fimosis.
Pada perabaan colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat, pada BPH
konsistensi kenyal, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas
teraba. Kalau batas atas masih dapat teraba secara empiris besar jaringan prostat
kurang 60 g.
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin diukur dengan cara mengukur urin yang masih dapat
keluar dengan kateterisasi. Sisa urin juga dapat diukur dengan melakukan USG bulibuli setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 ml biasanya dianggap sebagai batas
indikasi untuk melakukan intervensi pada hiperplasia prostat.
Derajat berat obtruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada
waktu miksi melalui alat uroflowmetri. Kecepatan aliran urin dipengaruh oleh
kekuatan kontraksi detrusor, tekanan intra buli-buli dan tahanan uretra. Karena itu
uroflowmetri tidak dapat membedakan kelainan karena obstruksi dengan kelainan
karena kontraksi detrusor yang melemah..
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
lekosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi
lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun
BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin
darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau ebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah Prostate Specific
Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila
PSAD 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikin pula bila nilai
PSA >10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
makanan atau minuman yang dapat mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi
makanan pedas dan asin, (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik, selain itu juga dilakukan pemeriksaan
laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertamba jelek
daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah (1) mengurangi resistensi otot polos
prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obatobatan penghambat adrenergik alfa, dan (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/ dihirotestosteron
(DHT) melalui penghambat 5 reduktase.
a. Penghambat adrenergik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin,
atau yang lebih selektif 1 tamsulosin. Dosis dimulai 1 mg/ hari sedangkan dosis
tamsulosin 0,2-0,4 mg/ hari. Penggunaan antagonis 1 adrenergik karena secara
selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di
trigonum, leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi di
daerah prostat. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika
sehingga gangguan aliran urin dan gejala-gejala berkurang. Efek samping yang
mungkin timbul adalah pusing-pusing, capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah.
b. Penghambat 5 reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/ hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pementukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan
penghambat dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Efek
samping obat adalah libido menurun, ginekomastia, dan dapat menurunkan nilai
PSA (masking effect).
c. Fitoterapi
Yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya Pygeum
africanum, Saw palmetto, Serenoa repeus. Efek diharapkan terjadi setelah
pemberian 1-2 bulan.
11
3. Terapi bedah
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TURP), Transurethral
Insision of the Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan prostatektomi dengan
laser.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP adalah gejala-gejala
sedang sampai berat, volume prostat <90 g dan pasien cukup sehat untuk menjalani
operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia,
atau retensi karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah
striktur uretra, ejakulasi retrogarad, atau impotensi.
Bila volume prostat tidak teralu besar atau ditemukan kontraktur leher vesika
atau prostat fibrotik dapat dilakukan TUIP. Indikasi TUIP adalah keluhan sedang atau
berat, dengan volume prostat normal/ kecil. Komplikasinya ejakulasi retrograd.
4. Terapi invasif minimal
Stent Prostat
Komplikasi
Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo B, Dasar-dasar Urologi, Edisi kedua, Jakarta : 2000 hal 69-85
13
2. De Jong W, Sjamsuhidajat R, Buka Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta EGC,
1997 hal 1059-64
3. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokeran, Edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius,
2000 hal 329-34
4. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz Principles of surgery. 8 th
Edition. Sngapore : The McGraw-hill Companies.Inc.2005
5. Ramon p,Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah Fakultas kedokteran Universitas
Padjajaran ; 2002 ;203-207
6. Sabiston, David Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih Bahasa : Petrus. Timan. EGC.
1994.
7. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
14