Anda di halaman 1dari 15

https://id.scribd.

com/doc/141877222/Aspek-Klinis-FluorAlbus-Pada-Wanita-Dan-Penatalaksanaannya
Aspek

Klinis

Fluor

Albus

pada

Wanita

dan

Penatalaksanaannya
Abstrak
Vaginal discharge merupakan cairan yang keluar dari saluran reproduksi
wanita (vagina). Cairan ini dapat bersifat patologis atau fisiologis. Cairan
fisiologis jika cairan bersifat mukus dengan sedikit sel epitel, dan sedikit leukosit.
Pada keadaan patologis ditemukan banyak leukosit. Vaginal discharge yang
fisiologis dapat ditemukan pada saat baru lahir, menarche, kehamilan, stimulasi
seksual dan penyakit kronis.
Vaginal discharge ditemukan pada usia anak hingga dewasa. Kebanyakan
wanita yang akhirnya berobat ke dokter merasa tidak nyaman, dan cemas akibat
vaginal discharge yang tidak membaik. Vaginal discharge patologis paling banyak
disebabkan oleh infeksi. Jurnal ini akan membahas gambaran klinis pada vaginal
discharge dan penatalaksanaannya.
Kata kunci : vaginal discharge, manifestasi klinis, penatalaksanaan

Pendahuluan
Keputihan / leukore merupakan sekret dari vagina atau serviks pada
wanita. Keputihan dapat bersifat patologis maupun fisiologis. Keputihan disebut
patologis jika sekret yang dihasilkan berbau dan berwarna dengan jumlah lebih
dari normal. Keluhan biasanya disertai dengan gatal, edema pada daerah genitalia,
disuria, nyeri pada abdomen bagian bawah, atau pada punggung bagian bawah.
Pada kondisi normal, kelenjar dan servik menghasilkan cairan yang
jernih dengan flora normal, dan sel dari kelenjar bartolin. Pada wanita cairan
vagina normal berfungsi untuk lubrikan dan pertahanan terhadap beberapa infeksi.
Pada kondisi normal cairan vagina yang menempel pada celana dalam berwarna

putih atau kekuningan. Cairan ini tidak bersifat iritan dan tanpa darah dengan pH
3.5 4.5.
Penyebab terbanyak dari keputihan yang patologis adalah infeksi.
Beberapa diantaranya merupakan infeksi menular seksual. Leukore dapat dibagi 2
yaitu karena vaginitis atau servisitis. Vaginitis dapat disebabkan Candida
albicans, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma genital, bakteri anaerob dan
Trichomonas vaginalis.
Servisitis lebih banyak disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan
Chlamydia trachomatis. Untuk menegakkan diagnosis dibutuhkan beberapa
pemeriksaan laboratorium.
Dari beberapa pemeriksaan mikroskopis langsung dengan menggunakan
larutan saline yang diteteskan pada cairan vagina (preparat basah), dan kemudian
dilihat dibawah mikroskop dengan KOH 10%, dengan pewarnaan Gram, atau
menggunakan teknik kultur.
Komponen yang berperan dalam penanganan infeksi menular seksual
adalah riwayat pengobatan penyakit menular seksual, pemeriksaan fisik dan
etiologi dari penyakit menular seksual. Penanganannya terkait dengan batasan
waktu, sarana yang tersedia, dan biaya.

Epidemiologi
Vaginosis bakterialis merupakan penyebab dari sekret vagina yang
berbau tetapi lebih dari 50% bersifat asimptomatis. Lebih banyak ditemukan pada
wanita saat melakukan pemeriksaan rutin. Berdasarkan tingkat sosioekonomi
ditemukan 50% wanita yang aktif secara seksual terinfeksi oleh Gardnerella
vaginalis dan hanya memiliki sedikit gejala.
Vulvovagina candidiasis pada kebanyakan wanita paling banyak pada
usia produktif 70 75 % dan bersifat rekuren sebanyak 40 50 %. Pada
kebanyakan penelitian kandidiasis lebih banya ditemukan pada wanita muda 15
30 % bersifat simptomatik.
Dari beberapa laporan didapatkan prevalensi trikomoniasis cukup
banyak. Secara umum, perkiraan prevalensi trikomoniasis antara 5% sampai 74%
2

pada wanita dan 5% sampai 29% pada laki-laki dan paling banyak disebabkan
karena kontak seksual.
Infeksi Chlamydia pada organ genital lebih banyak pada daerah industri
dan negara berkembang. Menurut WHO 89 M kasus baru dari infeksi Chlamydia
pada daerah genital tahun 2001. Pada kasus tersebut paling banyak perempuan
dibanding laki-laki.
Insidensi gonorrhea bervariasi tergantung usia, 75% kasus antara usia 15
29 tahun dengan rata-rata usia 15 19 tahun. Resiko demografi gonorrhea
adalah pada status sosioekonomi rendah, onset awal aktivitas sosial tanpa status
pernikahan dan riwayat penyakit gonorrhea sebelumnya.

Etiopatogenesis
Keputihan dapat disebabkan oleh banyak hal. Keputihan fisiologis
ditemukan pada bayi baru lahir hingga usia 10 hari akibat dari estrogen yang
melewati plasenta ibu, sebelum menarche karena pengaruh hormon estrogen,
wanita dewasa karena peningkatan transudat pada dinding vagina.
Walaupun terdapat variasi warna, konsistensi, dan jumlah dari sekret
vagina dapat normal tetapi perubahan sekret tersebut tetap dianggap ada infeksi
terutama jika disebabkan oleh jamur. Beberapa wanita memiliki sekret vagina
yang banyak. Pada kondisi normal sekret vagina terdiri atas cairan mukus dari
serviks, dan sel dari vagina, jumlah bervariasi tergantung usia, siklus menstruasi,
kehamilan, dan penggunaan pil KB. Pada kondisi vagina yang normal terdapat
hubungan antara Lactobacillus acidophilus dengan flora normal endogen lainnya,
estrogen, glikogen, pH vagina dan metabolit lain. Lactobacillus acidophilus
menghasilkan peroksida endogen yang bersifat toksik terhadap bakteri patogen.
Akibat pengaruh estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, Lactobacillus
(doderlein) dan asam laktat menghasilkan pH vagina yang rendah antara 3,8 4,5
yang dapat menghambat perkembangan bakteri.
Keputihan yang patologis dapat disebabkan oleh infeksi penyakit
menular seksual (Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrheae, Trichomonas
vaginalis), dan infeksi lainnya seperti candidiasis vulvovaginalis (Candida
3

albicans), vaginosis bakterial (Gardnerella vaginalis), karena benda asing dan


proses suatu keganasan.
Penyebab terbanyaknya keputihan patologis adalah infeksi. Pada infeksi
cairan mengandung lebih banyak leukosit dan warnanya menjadi kekuningan
hingga hijau, keputihan tebal dan berbau.

Gambaran Klinis
Keputihan patologis dapat disebabkan oleh Trichomonas vaginalis,
Candida albicans dan infeksi campuran antara Gardnerella vaginalis dan bakteri
anaerob. Neisseria gonorrhea dan Chlamydia trachomatis dapat menyebabkan
keluarnya sekret dari serviks dan servisitis.

Keputihan yang disebabkan oleh Trichomonas bersifat asimptomatik atau


memberikan gambaran sekret vagina yang tebal dengan bau, warnanya
kuning kehijauan dan disertai gatal pada vulva. Infeksi juga menyebabkan
inflamasi pada vagina dan serviks dan kadang dapat ditemukan perdarahan

minor dengan ulkus pada serviks.


Keputihan yang disebabkan oleh Candida albicans berwarna putih, baunya
kurang atau dapat berbau asam, dinding vagina berwarna seperti keju dan

disertai dengan rasa panas, terbakar, disuria, dan dispareuni.


Keputihan yang disebabkan oleh Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob
menghasilkan sekret yang cair, homogen, warna putih keabuan hingga

kekuningan, bau amis dan dapat terlihat di labia.


Keputihan yang disebabkan Neisseria gonorrhoeae berasal dari endoservik
dan bersifat purulen, tipis dan kadang berbau. Keluhannya disertai disuria,

dispareunia, nyeri abdomen bagian bawah, demam, mual dan muntah.


Keputihan yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis memiliki eksudat
yang purulen atau mukopurulen yang ditemukan pada endoservikal dan

serviknya rapuh sehingga mudah berdarah setelah koitus atau saat menstruasi.
Keputihan yang disebabkan oleh benda asing dapat disertai dengan darah.
Sekret vagina pada anak diduga akibat benda asing. Jika terdapat infeksi
biasanya karena bakteri anaerob sehingga sekretnya bersifat purulen.

Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis penyakit menular seksual terdapat
beberapa tes laboratorium antara lain :

Preparat basah (NaCl 0,9%)


Pemeriksaan ini dengan mengambil hapusan dari forniks posterior
vagina kemudian dicampur dengan NaCl pada kaca obyek. Pada mikroskop
dilihat adanya pergerakan Trichomonas, PMN, leukosit, dan epitel vagina.
Sediaan tidak boleh ditunda pemeriksaannya karena jika sediaan
kering akan tampak perubahan pada hasilnya. Misalnya Trichomonas
vaginalis tidak bergerak dan sulit untuk membedakannya dari leukosit.
Pada pembesaran 10x untuk menghitung leukosit, sel epitel, dan
pergerakan Trichomonas vaginalis dan pesudohifa.
Pada pembesaran yang lebih dapat dilihat adanya clue cells,
Trichomonas vaginalis, dan blastospora. Jika ditemukan 1 Trichomonas
vaginalis dengan bentuk layang-layang dan bergerak dinyatakan positif

sebagai trichomoniasis.
Preparat KOH 10%
Pada KOH akan terjadi pelarutan sel epitel sehingga hifa akan lebih
terlihat. Blastospora juga dapat terlihat. Jika ditemukan 1 atau blastospora

dengan pseudohifa dikatakan positif candidiasis vulvovaginalis.


Pengecatan gram
Dengan mengusapkan cairan serviks dan vagina pada object glass
kemudian diwarnai. Pengecatan gram dilakukan untuk menilai jumlah PMN,
sel epitel, Candida (pseudohifa dan blastospora), dan diplokokus gram
negatif. Pada hapusan dari serviks yang mengandung 1 PMN dan terdapat
bakteri gram negatif diplokokus dengan bentuk yang tipikal, 5
PMN/lapangan pandang dinyatakan sebagai infeksi gonococcal. Hapusan
vagina dinyatakan positif jika ditemukan pesudohifa candida atau blastospora
sedangkan vaginosis bakterialis ditemukan morfologi lactobacil.

Whiff test (Amin test)

Pada akhir pemeriksaan in spekulo, lepaskan spekulum perlahan dan


cairan akan menempel pada spekulum dan beri KOH 10%. Pada pemeriksaan

akan tampak adanya bau amis atau bau asam amino.


pH cairan Vagina
pH cairan vagina dapat diukur dengan menggunakan kertas indikator
pH. Pengecekan pH harus berhati-hati untuk mengurangi kontak dengan

mukosa servik yang memiliki pH tinggi.


Kultur bakteri
Untuk melihat adanya bakteri aerob dan anaerob yang menyebabkan

infeksi.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan
untuk
mengidentifikasi

mikroorganisme

yang

menyebabkan infeksi.

Komplikasi
Pada trichomoniasis komplikasi yang sering terjadi adalah sistitis,
skenitis, dan abses bartolin. Pada ibu hamil dapat menyebabkan kelahiran
prematur, berat bayi lahir rendah. Infertilitas dapat terjadi pada infeksi
Trichomonas vaginalis yang menular melalui hubungan seks. Pada vagina atau
serviks dapat terjadi infeksi asenden ke endometrium, tuba falopii dan
menyebabkan PID (pelvic inflammatory disease) dan meninggalkan sekuel berupa
scar atau adhesi yang mengakibatkan infertilitas.
Pada kandidiasis vulvovaginal, komplikasinya adalah infeksi yang
rekuren terutama pada pasien dengan predisposisi tertentu. Pada wanita hamil
komplikasi yang terjadi adalah infeksi asenden yang dapat menyebabkan
gangguan hematogen diseminata. Bayi yang lahir dari ibu dengan kandidiasis
vulvovaginal akan mengalami kontak langsung dengan cairan amnion atau jalan
lahir.
Komplikasi dari infeksi bakterial adalah infeksi saluran kemih. Tingginya
tingkat kejadian infeksi bakterial pada wanita dengan PID. Walaupun tidak ada
penelitian yang menunjukkan penatalaksanaan infeksi bakterial dapat mengurangi
kejadian PID.

Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada servisitis gonorrhea adalah


PID. PID yang terjadi 10 20 % dari infeksi akut gonorrhea. Komplikasi lain
adalah bartolinitis.

Tatalaksana
Penatalaksanaan keputihan tergantung pada penyebab dari keputihannya.
Keputihan disebabkan Trichomonas vaginalis (Trichomoniasis)
Terapi yang direkomendasikan adalah metronidazole 2 gr per oral single
dose atau

tinidazole 2 gr per oral single dose. Regimen alternatifnya

metronidazole 2 x 500 mg per oral selama 7 hari atau tinidazole 2 x 500 mg


selama 5 hari.
Metronidazole merupakan anti parasit dan anti mikroba yang efektif
terhadap Trichomoniasis dan bakteri obligat lainnya. Dari penelitian random
dengan menggunakan metronidazole menunjukkan 90 95 % mengalami
penyembuhan sedangkan bila menggunakan tinidazole 86 100 % sembuh.
Terapi juga diberikan pada pasangan seksual untuk menghilangkan gejala,
menyembuhkan dari mikroorganisme dan menghambat transmisi.
Metronidazole gel merupakan tatalaksana trichomoniasis yang kurang
efektif daripada preparat oral. Penggunaan anti mikroba topikal tidak dapat
mencapai dosis terapi pada uretra atau glans perivaginal sehingga pemberian
topikal tidak dianjurkan. Walaupun demikian pasien dengan trichomoniasis
rekuren yang diterapi dengan metronidazol dapat diberikan topikal melalui
intravaginal metronidzole 500 mg setiap malam selama 3 7 hari. Follow up
setelah terapi tidak diperlukan jika keluhan sudah tidak ada.
Pasangan seksual pasien dengan Trichomoniasis harus diobati. Pasien
juga harus berhenti berhubungan seksual hingga sembuh dan keluhan tidak ada.
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah :

Gestasi

Trichomoniasis vaginalis dapat menyebabkan komplikasi pada


kehamilan seperti ketuban pecah dini, kelahiran prematur, dan berat bayi lahir
rendah. Terapi dapat menghilangkan gejala dari vaginal discharge pada
wanita hamil, mencegah infeksi pada genital bayi. Pemberian metronidazole
tidak dianjurkan pada trimester pertama tetapi dapat digunakan pada trimester
kedua dan ketiga. Dosis minimum (2 gr per oral single dose) dan tinidazole
merupakan kategori C.
Pada ibu menyusui yang diobati dengan metronidazole harus berhenti
saat pemberiannya dan 12 24 jam setelah dosis terakhir diberikan untuk
mengurangi jumlah paparan pada bayi. Jika menggunakan tinidazol breast

feeding cessation dianjurkan selama terapi dan 3 hari setelah dosis terakhir.
Alergi atau intoleransi
Metronidazole dan tinidazole merupakan golongan nitroimidazole.
Terapi topikal selain golongan nitroimidazole memiliki tingkat kesembuhan <
50%. Misalnya dengan clotrimazole intravaginal 100 mg selama 6 hari.

Keputihan yang disebabkan Candida albicans (Candidiasis vulvovaginalis)


Menurut WHO 2001
Regimen Lini Pertama
Miconazole atau cloritmazole 200 mg intravaginal per hari selama 3 hari
Clotrimazole 500 mg intravaginal single dose
Fluconazole 150 mg oral single dose
Regimen Alternatif
Nystatin 100.000 IU intravaginal per hari selama 14 hari
Menurut Canadian Guideline 2008

Azole intravaginal Cloritmazole atau Miconazole


Fluconazole 150 mg oral single dose

Menurut STD Treatment Guideline 2006


Intravaginal
Butoconazole 2% cream 5 gr intravaginal selama 3 hari
Butoconazole 2% cream 5 gr (Butoconazole 1-sustained release), single intravaginal
Clotrimazole 1% cream 5 gr intravaginal selama 7 14 hari
Clotrimazole 100 mg tab vaginal selama 7 hari
8

Oral

Clotrimazole 100 mg tab vaginal, 2 tab per hari selama 3 hari


Miconazole 2% cream 5 gr intravaginal selama 7 hari
Miconazole 100 mg supp pervaginal, 1 supp per hari selama 7 hari
Miconazole 200 mg supp pervaginal, 1 supp selama 3 hari
Miconazole 1200 mg supp pervaginal, 1 supp selama 1 hari
Nystatin 100.000 unit tab vaginal, 1 tab per hari selama 14 hari
Tioconazole 6,5% salep 5 gr intravaginal pada sekali pemakaian
Terconazole 0,4% cream 5 gr intravaginal selama 7 hari
Terconazole 0,8% cream 5 gr intravaginal selama 3 hari
Terconazole 80 mg supp pervaginal, 1 supp selama 3 hari
Fluconazole 150 mg oral single dose
Pasien disarankan untuk kontrol bila keluhan menetap atau berulang

setelah 2 bulan pengobatan. Tanda dan gejala akan hilang dalam 48 72 jam
setelah terapi dan mycological sembuh dalam 4 7 hari setelah terapi. Candidiasis
vulvovaginalis

tidak

menular

melalui

kontak

seksual

sehingga

tidak

direkomendasikan terapi pada pasangan seksual pasien kecuali wanitanya


memiliki infeksi berulang. Pada beberapa kasus pasangan seksual laki-laki terkena
balanitis yang ditandai dengan eritema pada glans penis, gatal dan iritasi. Terapi
yang diberikan adalah antijamur topikal.
Vulvoginalis candidiasis dinyatakan rekuren jika gejala kembali timbul
sampai dengan 4 kali atau lebih dalam waktu 1 tahun. Penyebab rekuren masih
belum jelas dan kebanyakan pada wanita tanpa faktor resiko tertentu atau
penyebab lain. Kultur vagina harus dilakukan untuk memastikan diagnosis klinis
dan identifikasi dari jenis yang jarang seperti C. nonalbicans glabrata. Species ini
ditemukan pada 10 20 % pasien dengan vulvovaginal candidiasis rekuren.
Terapi yang direkomendasikan pada vulvovaginal candidiasis rekuren
adalah topikal dan oral jenis azole selama jangka pendek yaitu 7 14 hari atau
200 mg setiap 3 hari untuk mengalami remisi sebelum diberikan terapi rumatan.
Lini pertama adalah flucanazole oral (100 mg, 150 mg, 200 mg) setiap minggu
selama 6 bulan. Jika tidak tersedia dapat diberikan clotrimazole 200 mg 2 kali
seminggu, clotrimazole (supp pervaginal 500 mg sekali seminggu) atau terapi
topikal lainnya diberikan intermiten. Terapi topikal efektif untuk mengurangi
9

rekurensi. Walaupun demikian, 30 50 % wanita yang mengalami rekurensi


setelah tatalaksana rumatan. Keadaan khusus :

Gestasi
Candidiasis

vulvovaginal

sering

muncul

saat

hamil.

Hanya

pengobatan topikal azole selama 7 hari yang dianjurkan untuk ibu hamil.
Alergi, intoleransi, dan efek samping
Topikal agen tidak memiliki efek sistemik tetapi efek lokal terasa
panas atau iritasi. Agen oral dapat menyebabkan mual, nyeri abdomen, dan
sakit kepala. Jenis Azole terapi oral jarang berhubungan dengan peningkatan
enzim hepar. Secara klinis interaksi antar obat terjadi pada penggunaan
asetamizole, antagonis calcium, cisapride, caumadin, siklosporin A, obat
hipoglikemi oral, phenytoin, inhibitor protease, tacrolimus, terfenadine,
teofilin, trimetrexate dan rifampin.

Terapi Candidiasis vulvovaginalis nonAlbicans


Paling banyak disebabkan oleh C. labrata yang 10 100 kali kurang
respon terhadap golongan azole daripada C. albicans.

Terapi Lini Pertama


Boric acid 600 mg caps intravaginal, sekali sehari selama 14 hari (efikasi 64 81%)
Flusitocine cream 5 gr intravaginal, sekali sehari selama 14 hari (Efikasi 90%)
Amfoterisin B 50 mg supp intravaginal, sekali sehari selama 14 hari (Efikasi 80%)
Flusitocine 1 gr + Amfoterisin B 100 gr dikombinasikan dengan gel lubrikan,
diberikan sekali sehari selama 14 hari (Efikasi 100%)
Jika gejala rekuren
Boric acid 600 mg caps intravaginal sekali sehari selama 14 hari dan dilanjutkan

hingga beberapa minggu


Nistatin 100.000 unit supp pervaginal sekali sehari selama 3 6 bulan

Pasien dengan imunocompromise


Pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol atau penggunaan
kortikosteroid, tidak merespon baik dengan terapi jangka pendek sehingga
perlu diberikan anti jamur lebih lama (7 14 hari)

10

Keputihan yang disebabkan Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob


Setelah 25 tahun Gardner menunjukkan hanya antibakterial yang efektif
digunakan pada infeksi bakteri anaerob. Indikasi terapi vaginosis bakterialis
adalah :
1. Wanita yang asimptomatik, hamil atau tidak
2. Ibu hamil yang asimptomatik dengan resiko tinggi kelahiran prematur
3. Wanita yang asimptomatik sebelum dilakukan pembedahan atau kuretase

Rejimen yang dianjurkan


Metronidazole 2 x 500 mg oral selama 7 hari
Metronidazole gel 0,75% diberikan 5 gr intrvaginal saat malam hari selama 5 hari
Clindamysin cream 2% diberikan 5 gr intrvaginal saat malam hari selama 7 hari
Rejimen alternatif
Metronidazole 2 gr oral single dose
Clindamycin 2 x 300 mg oral selama 7 hari
Clindamycin ovula 100 mg intravaginal saat malam hari selama 3 hari
Prinsip dari penatalaksanaan bakterial vaginosis.
Pada percobaan klinis didapatkan gel metronidazole intravaginal 0,75%
sekali sehari dibandingkan 2 kali sehari menunjukkan tingkat kesembuhan yang
sama selama 1 bulan setelah terapi. Vaginosis bakterialis dengan terapi
metronidazole 2 gr single dose memiliki efektifitas yang rendah dan tidak
direkomendasikan sejauh ini sebagai terapi alternatif. FDA merekomendasikan
metronidazole 750 mg sekali sehari selama 7 hari dan Clindamycin cream
intravaginal single dose.
Clindamycin merupakan antimikroba derivat lincomisin yang bekerja
menghambat sintesis proteindan memiliki efek bakteriostatik. Clindamycin
dengan cream yang berminyak dapat mengurangi efektifitas pemakaian kondom
dan diafragma. Tidak ditemukan adanya perbedaan penyembuhan antara

11

clindamycin cream intravaginal dengan clindamycin ovules. Pada beberapa


penelitian klinis dan mikrobiologis, Lactobacillus intravaginal efektif untuk
mengembalikan flora normal dan digunakan pada terapi vaginosis bakterialis.
Penggunaan semprotan sejauh ini tidak dapat menghilangkan gejala.
Kontrol tidak diperlukan jika tidak ada keluhan. Pada vaginosis
bakterialis rekuren, metronidazole 500 mg dapat diberikan oral selama 10 14
hari atau gel metronidazole 0,75% diberikan 5 gr sekali sehari, metronidazole
intravaginal selama 10 hari ditambahkan dengan gel dua kali seminggu selama 4
6 bulan. Terapi pada pasangan seksual direkomendasikan dan tidak mencegah
rekurensi. Beberapa kondisi khusus :

Gestasi
Terapi bertujuan untuk mengeliminasi tanda dan gejala infeksi
Vaginosis bakterialis, mengurangi resiko komplikasi pada kehamilan seperti
kelahiran prematur, ketuban pecah dini, infeksi cairan amnion, dan
endometritis post partum. Terapi yang dianjurkan metronidazole oral selama 7
hari 2 x 50 mg atau 3 x 250 mg per oral selama 7 hari atau 2 x 300 mg
clindamycin oral selama 7 hari. Pemberian metronidazole saat trimester satu
tidak dianjurkan. Terapi vaginosis bakterialis dapat diberikan saat trimester

kedua awal kehamilan dan harus selesai sebelum usia kehamilan 16 minggu.
Alergi atau intoleransi
Clindamycin cream intravaginal lebih sering diberikan dalam kasus
alergi atau intoleransi terhadap metronidazole. Gel metronidazole intravaginal
dapat diberikan pada pasien yang memiliki efek sistemik terhadap
metronidazole tapi pada pasien alergi terhadap metronidazole oral seharusnya
tidak diberikan metronidazole intravaginal.

Keputihan yang disebabkan Neisseria gonorrhoe


Terapi lini pertama
Ciprofloxacin 500 mg oral single dose
Azitromycin 2 gr oral single dose
Ceftriaxone 125 mg IM single dose
Cefixime 400 mg oral single dose
Spectinomycin 2 gr IM single dose

12

Terapi alternatif
Kanamisin 2 gr IM single dose
Trimetoprim 80 mg / sulfametoxazol 400 mg, 10 tablet oral, single dose selama 3 hari
Beberapa pusat kesehatan menyediakan terapi advokasi bagi penderita
Neisseria gonorrhoeae dan pasangannya. Pada tahap ini dianjurkan pada semua
pasangan penderita infeksi tersebut untuk menjalani pengobatan selama 60 hari
sebelum terdiagnosis gonorrheae. Terapi ini diberikan pada pasien yang memiliki
infeksi yang asimptomatik dan memberikan hasil yang lebih baik. Karena semua
rejimen terapi yang dianjurkan memiliki tingkat kesembuhan 100% dan
pemeriksaan kultur untuk memastikan kesembuhan tidak diperlukan. Tetapi
pemeriksaan untuk menyatakan adanya kesembuhan tetap diperlukan jika pasien
tidak mengetahui terapi sebelumnya yang telah didapatnya.
Keputihan disebabkan Chlamydia trachomatis
WHO Guideline
Terapi Lini Pertama
Doksisiklin 2 x 100 mg oral selama 7 hari
Azitromisin 1 gr oral single dose
Rejimen alternatif
Amoksisilin 3 x 500 mg selama 7 hari
Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 7 hari
Ofloksasin 2 x 300 mg oral selama 7 hari
Tetrasiklin 4 x 500 mg oral selama 7 hari
Pasangan seksual pasien harus dilakukan pemeriksaan untuk menilai
adanya uretritis yang biasanya asimptomatik. Kegagalan terapi pada pasangan
seksual akan menyebabkan rekurensi. Terapi yang yang diberikan hingga 7 hari
sangat penting. Chlamydia trachomatis resisten tidak ditemukan hingga sekarang.
Obat yang direkomendasikan untuk ibu hamil adalah eritromisin 4 x 500
mg per oral selama 7 hari atau Amoxycilin 3 x 500 mg oral selama 7 hari.
Tetrasiklin dan doksisiklin atau ofloxacine merupakan kontraindikasi pada ibu
hamil. Keamanan penggunaan dan efikasi azitromisin pada ibu hamil dan
menyusui tidak diketahui. Eritromisin estolat merupakan kontraindikasi ibu hamil
13

karena memiliki sifat hepatotoksik. Hanya eritromisin atau eritromisin etil


suksinat yang dapat digunakan.
Keputihan yang disebabkan benda asing
Tatalaksananya adalah menyingkirkan benda asing dan diberikan antibiotik.

Referensi
1. Wiraguna A, editor. Manajemen Terkini Keputihan (Fluor albus) dan discar
uretra. Annual Scientific Meeting; 2010; Yogyakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada.
2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, T R. Radang dan Beberapa penyakit lain pada
alat genital wanita.

Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirodihardjo; 1999. p. 271.


3. Dharmawan N, Muchtar SV, MD A. Fluor Albus. In: Amiruddin MD, editor.
Penyakit Menular Seksual. Jogjakarta: LKis Pelangi Aksara; 2004. p. 55-61.
4. Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: FK UNAIR
RSU Dr. Soetomo; 2008.
5. Gerberding JL. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines.
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention (CDC), U.S. Department
of Health and Human Services; 2006.
6. Sobel JD. Vulvovaginal Candidiasis. In: King K Holmes, P Frederick
Sparling, Walter E Stamm, Peter Piot, Judith N Wasserheit, Lawrence Corey,
et al., editors. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw
Hill; 2008. p. 823-38.
7. Marcia M. Hobbs, Arlene C. Sea, Heidi Swygard, Schwebke JR.
Trichomonas vaginalis and Trichomoniasis. In: King K Holmes, P Frederick
Sparling, Walter E Stamm, Peter Piot, Judith N Wasserheit, Lawrence Corey,
et al., editors. Sexually Transmitted Disease. New York: McGraw Hill; 2008.
p. 771-93.
8. Stamm WE. Chlamydia trachomatis Infections of the Adult. In: King K
Holmes, P Frederick Sparling, Walter

E Stamm, Peter Piot, Judith N

Wasserheit, Lawrence Corey, et al., editors. Sexually Transmitted Disease. 4


ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 575-94.

14

9. Edward W. Hook, Handsfield HH. Gonococcal Infections in the Adult. In:


Klaus Wolff, Lowell A Goldsmith, Stephen I Katz, Barbara A Gilchrest, Amy
S Paller, Leffell DJ, editors. Sexually Transmitted Disease. 4 ed. New York:
McGraw Hill; 2008. p. 627-46.
10. Bates S. Vaginal Discharge.
2003;13:218-23.
11. Wibisono B, Daili SF, W I.

Current Obstetrics & Gynaecology.


Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular

Seksual. Jakarta: Depkes RI, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan


Penyehatan Lingkungan; 2004.
12. McCathie R. Vaginal Discharge: Common Causes and Management. Current
Obstetrics & Gynaecology. 2006;16:211-17.
13. SOnnex C. Sexual Health and Genital Medicine in Clinical Practice. London:
Springer; 2007.
14. Mathew P Janik, Heffernan MP. Yeast Infection : Candidiasis and Tinea
(Pityriasis) Versicolor. In: Klaus Wolff, Lowell A Goldsmith, Stephen I Katz,
Barbara A Gilchrest, Amy S Paller, Leffell DJ, editors.

Fitzpatrick's

Dermatology in General Medicine. 7ed. New York: McGraw Hill; 2008. p.


1822-30.
15. Sharon Hillier, Jeanne Marrazzo, Holmes KK. Bacterial Vaginosis. In: King
K Holmes, P Frederick Sparling, Walter E Stamm, Peter Piot, Judith N
Wasserheit, Lawrence Corey, et al., editors. Sexually Transmitted Disease. 4
ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 737-68.
16. Jane Mashburn. Etiology, Diagnosis and Management of Vaginitis. Journal of
Midwifery & Women's Health. 2006; 51:423-30.
17. E. van Dyck, A. Meheus, Piot P. LABORATORY DIAGNOSIS OF
SEXUALLY

TRANSMITTED

DISEASES.

Geneva:

World

Health

Organization; 1999. 29
18. Organization WH. Guidelines For The Management Of Sexually Transmitted
Infection. World Health Organization (WHO); 2001.
19. Canada PHAo. Canadian Guideline on Sexually Transmitted Infections.
Canada: Public Health Agency of Canada; 2008.
20. Ugwumadu A. Role of Antibiotic Therapy for Bacterial Vaginosis and

Intermediate Flora in Prenancy. Best Practice & Research clinical Obstetrics


and Gynaecology. 2007;21:391-02.

15

Anda mungkin juga menyukai