Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS
DIABETES MELITUS
I.

II.

IDENTITAS
Identitas
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
Tanggal Pemeriksaan

: Ny. M
: 60 Tahun
: Perempuan
: Langkap Lancar 2/2
: 15 Agustus 2014

ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
B. Riwayat Penyakit sekarang

: Kontrol darah tinggi


: Hal ini dirasakan sudah setengah tahun ini. Pasien

merasa sering nyeri kepala dibagian belakang, dan sering merasa cepat capek jika
melakukan aktifitas. Pasien mengaku sering BAK 4-5x pada malam hari hal ini
disadari 2 bulan terakhir ini.pasien mengaku sering terasa haus. Nafsu makan makin
bertambah sehari 3-4 kali, tetapi pasien merasa berat badan tidak meningkat. Pasien
sering merasa penglihatannya agak berkurang dan sebelumnya pernah menjalankan
operasi katarak tetapi tetap saja penglihatannya agak terganggu. Pasien diminta untuk
cek glukosa dan didapatkan GDS 225 mg/dL
C. Riwayat Pengobatan
: Pasien belum pernah berobat, sering mengkonsumsi
obat hipertensi yaitu captopril 12,5mg.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
: dahulu tidak memiliki riwayat seperti sekarang ini.
E. Riwayat penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan seperti
pasien. Riwayat hipertensi (+), diabetes mellitus disangkal, alergi (-), sakit jantung (-).
F. Riwayat Psikososial
: pasien seorang petani, pasien tinggal bersama suami.
III.

Dan tinggal di sebuah gubuk dekat sawah beralaskan tanah.


PEMERIKSAAN FISIS
A. Keadaan umum
Kesan sakit
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
Status gizi
: Berat badan :39 kg
Tinggi baadan : 144 cm
B. Tanda vital :
Nadi
: 98 x/menit
Pernafasan
: 20x/menit
Suhu
: Normal
TD
: 150/100 mmHg
C. Status Generalis
1

Kulit
Warna
Turgor
Lesi

: Sawo matang agak keriput, pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), ruam (-)
: Baik
: Tidak ada

Kepala-Leher
Kepala

: Bentuk normal, benjolan (-), rambut berwarna putih hitam,

Mata OD

agak rontok.
: Bentuk normal, Konjungtiva hiperemis (-), sclera ikterik (-),
palpebral superior et inferior edema (-), pupil bulat dengan,
diameter kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata cekung

OS

(-).
: Bentuk normal, Konjungtiva hiperemis (-), sclera ikterik (-),
palpebral superior et inferior edema (-), pupil bulat dengan,
diameter kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata cekung

Telinga

(-).
: Bentuk normal, serumen -/-, secret -/-, membranre timpani

Hidung

intak +/+.
: Bentuk normal, deviasi septum nasi -/-, sekret -/-, mukosa

Mulut

hiperemis -/-, perdarahan cavum nasi -/: Bentuk normal, bibir sianosis (-), bibir agak kering, lidah
tidak kotor, arkus faring simetris, letak uvula di tengah, faring

Pertumbuhan gigi
Leher
Thorax

hiperemis (-), tonsil T1-T1, mukosa mulut tidak ada kelainan.


: Normal
: Pembesaran KGB -/:

Inspeksi :
Bentuk dan ukuran

: Bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),

pergerakan dinding dada simetris


Iga dan sela iga
: Pelebaran ICS (-)
Tipe pernafasan
: Torako-abdominal

Palpasi

Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).


Gerakan dinding dada
: Simetris kiri dan kanan
Fremitus vocal
: Simetris kiri dan kanan

Perkusi

Sonor seluruh lapang paru


2

Batas paru-hepar
: Inspirasi ICS V, Ekspirasi ICS V
Batas paru-jantung
:
Kanan
: ICS II linea parasternalis dekstra
Kiri
: ICS IV linea mid clavicula sinistra

Auskultasi

Cor
: S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
Pulmo
:
Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru
Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi

Bentuk
Umbilicus
Permukaan Kulit

: Datar, simetris
: Masuk merata
: Tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),massa (-),

vena kolateral (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-),spider navy (-),

ikterik (-).
Distensi (-), Ascites (-)

Auskultasi

Bising usus (+) normal

Perkusi

Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)


Nyeri ketok (-)

Palpasi

Nyeri tekan epigastrium (-), nyeri lepas (-) disemua region abdomen
Murphy sign (-), defence muscular (-), ballotemen (-), undulasi (-)
Massa (-)
Hepar / lien : tidak teraba

Ekstremitas

Ekstremitas atas
3

1. Kanan

: Simetris,sianosis (-), edema (-), akral hangat,deformitas (-),

krepitasi (-), nyeri (-)


2. Kiri
: Simetris,sianosis (-), edema (-), akral hangat, deformitas (-),

krepitasi (-), nyeri (-)


Ektremitas bawah
1. Kanan
: Lihat status lokalis
2. Kiri
: Simetris,sianosis (-), edema -/-, akral hangat,deformitas (-),
krepitasi (-), nyeri (-).

IV.
V.
VI.

Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan GDS = 225 mg/dL
Diagnosis Kerja
Diabetes Melitus Tipe 2
Penatalaksanaan
Captopril 12,5 mg 2x1/2 selama 5 hari
Metformin 3 x 1 selama 5 hari
Vit c 2x 1 selama 5 hari
Non medikamentosa:
1. Pengurangan asupan garam
2. Kurangi makan makanan yang mengandung gula yang tinggi
3. Rutin olahraga miniman 3x seminggu

BAB II
Tinjauan Pustaka
Diabetes melitus tipe 2

DIABETES MELITUS
1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2. Epidemiologi

Terdapat 347 juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes . Yang tersebar di
seluruh negara di belahan dunia. Pada tahun 2004, sebanyak 3,4 juta orang
diperkirakan meninggal karena kadar gula darah yang tinggi. Lebih dari 80%
kematian diabetes terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
WHO memperkirakanbahwa diabetes akan menjadi penyebab ketujuh utama kematian
pada 2030. Bayangkan bila anda menjadi slah satu korban kematian akibat diabetes
dimasa

yang

akan

teratur, akan menjaga berat

datang.

Diet sehat dan aktivitas

badan normal

fisik yang secara

dan menghindari penggunaan

tembakau (rokok) dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes tipe 2.


Ditengah tengah kegelisahan bangsa Indonesia untuk mengeliminasi
penyakit menular kini penyakit tidak menular telah hadir dengan prevalensi yang
cukup banyak wilayah perkotaan. Diabetes merupakan salah satu penyakit menuluran
yang prevalensinya cukup tinggi akibat pola makan masyarakat yang tidak seimbang
dan pola hidup yang tidak sehat. Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun
2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang
(Diabetes Care, 2004). Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia
45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah
pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
6

3. Faktor risiko
1. Genetik ( riwayat keluarga), diabetes memiliki kaitan yang sangat erat
dengan faktor keturunan. Jika orangtua anda terkena dibetes maka anda akan
enam kali lebih beresiko dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki
keturunan diabetes.
2. Umur, diabetes tipe 1 kebanyakan penderitanya anak anak sedangkan diabetes
tipe 2 diderita oleh orang dewasa.
3. Gaya Hidup, kebiasaan sehari hari atau aktifita sehari hari berpengaruh
terhadap kejadian dibetes kurangnya kesadaran berolahraga dan sering tidur
malam dapat meningkatkan resiko terkena diabetes.
4. Pola Makan, konsumsi karbohidrat yang berlebihan
hormone semakin

berat.

Konsumsi

karbohidrat

yang

membuat

kerja

berlebihan

akan

meningkatkan kadar gula darah.


5. Stress, bukan hanya dapat membuat keadaan psikologi yang tergangu namun dapat
membuat keadaan fisik menjadi rendah. Sebuah penelitian mengatak bahwa orang
yang memiliki tingkat stress yang tinggi memiliki resiko dua kali lipat
dibandingkan denag yang tingkat stress psikologinya lebih rendah.
6. Berat Badan ( Obesitas ), merupakan faktor resiko utama terkena diabetes.
4. Jenis-jenis diabetes melitus
a) Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang
disebabkan oleh reaksi otoimun.
Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu
sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi
glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon somastatin. Namun demikian
serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel .
Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas
langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defesiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1
juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon
yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia
7

akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM
tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia,
hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan
ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapatkan terapi insulin.
b) Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang
dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal, keadaan ini disebut resietensi insulin.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul
gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.
Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel langerhans secara autoimun
sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin
pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.
Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,
merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian
besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan
kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar
dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu
defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel terhadap
glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua
kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang
mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
c) Diabetes mellitus gestasional
Diabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul selama
masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini terjadi
karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin
(Tandra, 2008)
5. Patofisiologi DM tipe 2
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu:
8

1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel beta pancreas
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin
dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja
optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan
resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas mensekresi insulin dalam
kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah
,sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan
euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa
darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping
itu juga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam darah.
Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif
(walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel
pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa
Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2.
Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pancreas yang
menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada
keadaan puasa. Pengetahuan mengenai patofisiologi DM tipe 2 masih terus
berkembang, masih banyak hal yang belum terungkap. Hal ini membawa dampak
pada pengobatan DM tipe 2 yang mengalami perkembangan yang sangat pesat,
sehingga para ahli masih bersikap hati-hati dalam membuat panduan pengobatan.
.
6. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus Tipe II
Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan
frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah,
kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada
penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di atas 30
tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan remaja.
Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat
kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut tidak disiram,
maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula (Smeltzer & Bare,
2002).
7. Diagnosis diabetes mellitus
9

Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia,


polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus

8. Penatalaksanaan diabetes mellitus


Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila
dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi
dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral,
atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
a. Terapi non farmakologi
1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar
normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus,
yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang
optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1,
perhatian utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk
10

mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah
dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel
terhadap stimulus glukosa.
2. Olah raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
b. Terapi farmakologi
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam merespon
glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun
dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam
amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian
metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke
dalam sel.
Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan
jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda
yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau
mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:
Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002). Secara keseluruhan sebanyak 20-25%
pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar
glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar
11

glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah


selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010).
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien
diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar
pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans
pankreas masih dapat berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang
terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini
merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal
dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen
Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam
hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam
(Katzung, 2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam
hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal
(Handoko dan Suharto, 1995). Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali
mengalami biotransformasi, masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh
obat ini diubah menjadi 1-hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek
hipoglikemianya

daripada

asetoheksamid

sendiri.

Selain

itu

itu

1-

hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kirakira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di
dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah
terikat albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat
beberapa hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya
dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam
setelah pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
12

Sulfonilurea generasi kedua


Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100
kali lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain
tidak efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola
kerjanya berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose
pagi hari mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa
(selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati,
hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui
empedu dan ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme
dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan
melalui ginjal (Katzung, 2002). Glimepiride dapat mencapai penurunan
glukosa darah dengan dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea.
Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian maksimal yang
dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan
dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif
(Katzung, 2002).
b. Golongan Biguanida
Golongan

ini

yang

tersedia

adalah

metformin,

metformin

menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin


pada tingkat selular dan menurunkan produksi gula hati. Metformin juga
menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak
diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan
kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya
penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat.
Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan
yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
menyebabkan kelelahan sel pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

13

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim


glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).
9. Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe II
DM tipe II bisa menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun DM merajalela
ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga berdenging atau tuli,
sering berganti kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak pada usia dini,
dan terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa berakhir dengan
kebutaan), kebutaan akibat retinopathy, melumpuhnya saraf mata terjadi setelah 10-15
tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal neuphropathy, saraf-saraf
lumpuh, atau muncul gangrene pada tungkai dan kaki, serta serangan stroke. Pasien
DM tipe II mempunyai risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit
pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, kematian akibat penyakit jantung 16,5% dan
kejadian komplikasi ini terus meningkat. Kualitas pembuluh darah yang tidak baik ini
pada penderita diabetes mellitus diakibatkan 20 faktor diantaranya stress, stress dapat
merangsang hipotalamus dan hipofisis untuk peningkatan sekresi hormonhormon
kontra insulin seperti ketokelamin, ACTH, GH, kortisol,dan lainlain. Akibatnya hal
ini akan mempercepat terjadinya komplikasi yang buruk bagi penderita diabetes
mellitus (Nadesul, 2002).
Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi
Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada
populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan
memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner,
stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat
diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi merupakan
faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes dan menentukan
evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita diabetes khususnya.
Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi
insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah
diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin

14

merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi


natrium (Saseen dan Carter, 2005).
Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks dan tidak
berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian
dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama
beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia
memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada ginjal,
aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada sistem saraf simpatetik, dan
meningkatkan

resistensi

Penatalakasanaan

yang

sekeliling
giat

dari

vaskular
hipertensi

melalui
(<130/80

hipertropi
mmHg)

vaskular.
mengurangi

perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Saseen dan Carter,


2005).
Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi:
1. Terapi non farmakologi
Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam
penanganan diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus
seperti

nefropati,

retinopati,

gangguan

serebrovaskular,

obesitas,

hiperinsulinemia, hipokalemia, hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer,


neuropati autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa
pengurangan asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan
berolah raga (Saseen dan Carter, 2005).
2. Terapi farmakologi
Penanggulangan

farmakologi

dilakukan

secara

individual

dengan

memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus


mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat.
Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Efektif menurunkan tekanan darah.
2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipohiperglikemia.
3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.

15

4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,


tidak meningkatkan risiko impotensi.
5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter, 2005).
Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes mellitus
adalah senagai berikut:
1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan
angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah
vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2006).
ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini
merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes.
Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan hipertensi
yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung,
peningkatanpenyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin
merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes
(Saseen dan Carter, 2005).
ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi
arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat
mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa
efek pada lipid atau asam urat dalam serum (Saseen dan Carter, 2005).
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril, Enalapril,
Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)
ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung
reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan
konstriksi arteriol efferent dari glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006).
ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat
pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih
disukai sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes.
Secara farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi
16

dalam efferent arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas
insulin (Gray, dkk., 2006).
ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,
diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal.
ARBmerupakan

antihipertensi

yang

menunjukkan

bukti

pengurangan

kerusakan ginjal pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nefropati (Saseen
dan Carter, 2005).
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan, Telmisartan,
Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
3. Diuretics
Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus
kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan
sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat
kalium adalah spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa
menyebabkan kehilangan kalium dalam urin (Anonim, 2009).
4. Beta Bocker (-blocker)
Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes,
dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan
paling tidak pada satu studi menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam
hal perlindungan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien diabetes (Saseen
dan Carter, 2005).
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang
kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada
penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi
penyekat beta. Tetapi kardioselektif adalah fenomena yang tergantung dosis.
Pada dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilagan
selektifitas relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2
seefektif memblok reseptor beta-1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
5. CCB (Calcium Chanel Blocker)
CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada
pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau metabolisme
glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien
diabetes dan hipertensi. Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan
kardiovaskular dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan
17

sebagaimana antihipertensif yang lain (diuretic, beta blocker, ACE inhibitor,


dan ARB) (Sassen dan Carter, 2005).
CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun demikian, CCB
dianggap sebagai bahan kedua setelah beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB.
Target tekanan darah pada pasien diabetes adalah < 130/80 mmHg karena
kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk
mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini,
khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005).
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin, Nifedipin,
Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

DAFTAR PUSTAKA
1. Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of Type 2
Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ
(Eds) Joslins Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 425448, 2005
2. Leahy JL. -cell Dysfunction in Type 2 Diabetes In : Kahn CR, King GL, Moses AC,
Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes Mellitus. Lippincott
Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
3. Anonim. (2008). Hipertensi. http://www.rsbk-batam.com.co.id. Diakses 1 Juli 2012.
4. Anonim. (2009). Diuretik. http://pharmafeme.blogspot.com. Diakses 8 Juli 2012.
5. Anonim. (2011). Defenisi dan Pengobatan Antibiotik. http://polobye.blogspot.com.
Diakses 7 Juli 2012.
6. Anonim.

(2012).

Pelayanan

Farmasi

Umum

Rumah

Sakit.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com. Diakses 7 Juli 2012.


7. Charles, J., dan Ivar, F. (2011). Relationship Polychlorinated Byphenyls With
Diabetes Tipe 2 and Hipertesion. Environmental Monitoring of The Journal. 13(4):
241-251.

18

8. Cipolle, J.R., Strand, L., dan Morley, C.P. (2004). Pharmaceutical Care Practice the
Clinicians Guide. Edisi ke 2. New York-Toronto: McGraw-Hill. Hal. 178-179.
9. Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 37- 49.
10. Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 25-43.
11. Elmiati, L. (2007). Drug Related Problem Pada Pasien Rawat Inap Diabetes Dengan
Komplikasi Hipertensi Rumah Sakit Umum Kabupaten Karanganyar. Skripsi.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
12. Handoko, T., dan Suharto, B. (1995). Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral,
Dalam: Farmakologi dan Terapi. Editor: Sulistia G. Ganiswara, Setabudy Rianto,
Frans D. Suyatna, Purwantyastuti, dan Nafrialdi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru. Hal.
476-479.
13. Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 2. Edisi 8. Jakarta:
Salemba Medika. Hal. 674.
14. Novitasari, D., Sunarti, dan Arta, F. (2011). Emping Garut (Maranta arundinacea
Linn) Sebagai Makanan Ringan dan Kadar Glukosa Darah Angiostensin II Plasma
Serta Tekanan Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2). Media
Medika Indonesia. 45(1): 53-57.
15. Olivier, P., Bertrand, L., Tubery, M., Laugue, D., Mostratuc, J., dan Mestre, M.
(2009). Hospitalizations Because of Adverse Drug Reaction in Ederly Patients
Admitted Trough The Emergency Department: A Prospective Survey. Drugs and
Aging. 26(6): 475-482.
16. Rahayu, M. (2011). Pengaruh Pemberian Folat Dosis Bertingkat Terhadap Kadar Hcy
dan Profil Lipid Pada Tikus Sprague Dawley. Skripsi. Semarang: Universitas
Diponogoro.
17. Sassen, J.J., dan Carter, B.L. (2005). Hypertension. Pharmacotherapy: A
Phatophysiologic Approach. Editor: Joseph Dipiro, Robert Talbert, Gary Yee, Gary
Matzke, Barbara Wells, dan Michael Posey. Edisi 8. New York: Appleton and Lange.
Hal: 186-217.
18. Soegondo, S. (2010). Farmakoterapi dan Pengendalian Glikemia Diabetes Mellitus
Tipe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Aru Sudoyo, Bambang Setiyohadi,

19

Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti Setiati. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing. Hal. 1884-1886.

20

Anda mungkin juga menyukai