TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
DI INDONESIA
Sebuah Perspektif
Kriminalisasi pencucian uang, saat ini menjadi simbol kemenangan hukum yang
telah lama mati suri, oleh akrobat hukum para pelaku kejahatan. Seperti setitik air
ditangah padang pasir melegakan, memenuhi harapan besar akan tegaknya hukum
yang adil dan bermanfaat. Khalayak menyambut dengan atusias para pelaku korupsi
dipersangkakan juga pencucian uang, aspektasi bekerja hukum pencucian uang akhirakhir ini memberi spirit baru bahwa keadilan dan kemanfaatan hukum pidana telah
berpihakkepada para pencari keadilan, sekaligus sebagai jawaban atas fenomena saat
ini yang berkembang keinginan penyelesaian hukum melalui mekanisme diluar
peradilan dalam berbagai kejahatan. Seperti itulah kondisi saat ini, terobati telah
muncul harapan besar akan hadirnya rasa keadilan melalui penegakan TPPU.
Spirit untuk menegakan hukum terhadap kejahatan pencucian uang, mengantar
pada realitas bahwa hakekat penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dengan
keinginan mendapatkan manfaat hukum sebagai suatu rasa yang nyata. Anekdot hilang
ayam lapor polisi hilang kambing adalah umpatan masyarakat dan rasa tidak
percayanya masyarakat kepada hukum yang digadang-gadang sebagai panglima dalam
menyelesaikan setiap permasalahan. Keluhan betapa mahal dan berbelit-belitnya
hukum memberikan rasa keputusasaan sudah sangat umum. Disisi lain penyidik terus
berlindung pada hukum acara yang dalam perspektif sempit mencerminkan hidupnya
hukum, dengan berbagai kerumitan yang mengatasnamakan menegakan hukum tidak
dapat dilakukan dengan melanggar hukum, sehingga berputarlah perdebatan
mekanisme pembuktian dan upaya paksa seperti mempersoalkan telur atau ayam yang
terlebih dahulu ada.
Sebagai sebuah obat pelipurlara penegakan hukum pencucian uang, bila ditelisik
dengan seksama maka makna pencucian uang itu ada pada pasal 480 KUHP dengan
istilah hukum penadahan pada undang-undang yang dibuat pada jaman Belanda.
Namun, apakah penyidik telah sungguh-sungguh menerapkan pasal itu, dalam banyak
hal pasal itu dipergunakan sebagai bahan permainan tidak hanya oleh penyidik namun
juga penuntut umum. Akibatnya sedikit sekali masyarakat mendapatkan manfaat atas
penegakan hukum atas hilangnya properti yang dimiliki. Pandangan umum para
penegak hukum hanya melihat bahwa properti yang disita statusnya hanya sebagai alat
bukti, bukan properti yang memiliki nilai dan harus diurus dan dijaga untuk tidak
berkurang nilai ekonomisnya. Itulah kesedihan para pencari keadilan yang
mendapatkan properti yang dihilang, kembali dalam keadaan menjadi besi tua.
Inilah salah satu rasa keadilan yang diabaikan dalam proses penegakan hukum.
Undang-undang pencucian uang yang lahir akibat desakan pihak asing dalam hal
ini Financial Act Task Force of Money Laundering, disatu sisi telah membuat
mekanisme baru bagi upaya pencarian, pembekuan dan penyitaan asset hasil kejahatan,
namun dalam perkembangan hukumnya delik pencucian uang harus dibangun
bersarkan fenomena dan ranah hukum Indonesia, sehingga kedepan menjadi tugas
1
para praktisi, ahli hukum dan pembuat undang-undang untuk memperbaiki hakekat
kejahatan pencucian uang di Indonesia yang sesuai dengan konstitusi dan kondisi
masyarakat Indonesia.
Telah berkembang diantara penegak hukum untuk bekerjasama yang lebih baik
dalam menangani kejahatan pencucian uang, untuk lebih efektif dan efisien. Secara
implicit telah dinyatakan dalam undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang
pencegahan dan pemberantasan TPPU untuk dilakukannya kerjasama antar
kelembagaan dan kementerian, secara fungsional maupun struktural.
Husein,
PPATK:
Tugas,
Wewenang,
dan
Peranannya
Dalam
2Ibid.
2
4Undang-Undang
Nomor
Tahun
2010
Tentang
Pencegahan
Dan
mencapai pada diskusi yang lebih luas atas bekerjanya pencucian uang, yang
menyepakati bahwa pembuktian bahwa kejahatan asal (predicate Crime) menjadi hal
utama untuk dibuktikan, sehingga dengan pasti diketahui telah terjadi kejahatan yang
menghasilkan harta kekayaan, yang kemudian terhadap harta kekayaan tersebut
dilakukan pencucian uang, sehingga seakan-akan diperoleh melalui usaha yang legal.
Sebagai pengetahuan yang mendasar maka peristilahan dalam pencucian uang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Placement
Placement (penempatan) merupakan upaya menempatkan uang tunai yang
berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya
menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain)
kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Placement merupakan
tahap yang paling sederhana, suatu langkah untuk mengubah uangyang dihasilkan dari
kegiatan kejahatan ke dalam bentuk yang kurangmenimbulkan kecurigaan dan pada
akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan.5
Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik maupun non fisik dari uang tunai baik
melalui penyelundupan uang tunai, menggabungkan antara uang hasil kejahatan
dengan uang dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan
uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, tabungan, dan
instrument keuangan lainnya atau melalui pembelian atau saham, atau juga
mengkonversikan ke dalam mata uang asing atau transfer uang ke dalam valuta asing.
Dengan demikian, melalui penempatan (placement), bentuk dari uang hasil kejahatan
harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul uang yang tidak sah tersebut.
Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh para pelaku tindak pidana
untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses placement diciptakanlah Cash
Transaction Report atau CTR (laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai). Kadangkala placement ini dapat dideteksi juga dengan menggunakan Laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM-Suspicious Transaction Report). Kedua
laporan ini diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang TPPU.
2. Layering
Layering (transfer) merupakan upaya mentransfer harta kekayaan yang berasal
dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa
keuangan sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan
yang lain. Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit untuk dapat
mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut.
Dalam layering terjadi pemisahan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu
aktivitas kejahatan terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan atau pelaku
pencuci uang berusaha memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari
5Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), cet. 1,
(Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 55.
4
sumbernya. Terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi
sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui transaksi kompleks yang didesain
untuk menyamarkan sumber dana haram tersebut. Layering dapat dilakukan melalui
pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan
ketentuan rahasia bank. Dengan demikian, pada tahap ini sudah terjadi pengalihan
dana hasil kejahatan yang dimasukan ke beberapa rekening dialihkan ke rekening lain
melalui mekanisme transaksi yang kompleks, termasuk kemungkinan pembukaan
rekening fiktif dengan tujuan menghilangkan jejak.
3. Integration
Integration (penggabungan) merupakan upaya menggunakan harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan
atau kepemilikan asset berharga lainnya melalui penempatan (placement) atau transfer
(layering) sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), yang
selanjutnya digunakan untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali
kegiatan kejahatan. Disini harta hasil kejahatan dicuci malalui placement maupun
layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak
berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber
dari uang. Integration ini merupakan tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi
terhadap uang hasil kejahatan.6
Terdapat mekanisme untuk mendeteksi adanya dinamika aktifitas mencuci
uang, melalui laporan yang disampaikan oleh penyedian jasa keuangan maupun
Penyedia barang dan jasa lainnya seperti toko perhiasan, dealer mobil, pengembang
perumahan/apartemen, penjual barang antic dll. Laporan itu sangat penting untuk
dilakukan analisis untuk menangkap dugaan pencucian uang dengan indicator tertentu.
Itu pulalah sebabnya bagi penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan jasa
lainnya yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK dipidana
dengan denda paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu
miliar rupiah. Denda pidana ini sudah tentu diputuskan melalui proses pengadilan.
Selain itu, apabila tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, maka
terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana denda dengan ketentuan
maksimum pidana ditambah satu pertiga. 7 Korporasi tersebut dapat juga dikenakan
hukuman tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi
yang diikuti dengan likuidasi. Disisi lain, terhadap pelaku pasif pencucian uang yang
dengan patut menduga telah menerima penempatan/transfer harta kekayaan hasil
kejahatan.8
13Luhut M.P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Studi Teoritis
Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Papas Sinar Harapan, 2009),
8
10
11
PPATK permintaan klarifikasi sejumlah 375 (tiga ratus tujuh puluh lima)
transaksi keuangan pejabat Polri.
Disamping menyelengarakan penanganan TPPU dalam konteks koordinasi pada
Komite Koordinasi Pencegahan dan Penanggulangan TPPU, Polri secara mandiri telah
pula menerapkan UU TPPU dalam berbagai kegiatan penegakan hukum sebagaimana
yang akan diuraikan sebagai berikut :
14
Jaksa Agung RI tentang koordinasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan
MoU antara Polri dengan KPK tentang kerja sama dalam rangka pemberantasan tindak
pidana korupsi dan Mou Polri dengan BPK tentang pemberantasan korupsi
berdasarkan hasil audit BPK Kesepakatan bersama ini menjadi pedoman kerjasama
antar lembaga penegak hukum dan telah berjalan dengan baik. Hal ini sebagai salah
satu wujud komitmen bersama dan menunjukkan keseriusan bersama dalam
menangani tindak pidana pencucian uang. implikasi dari bentuk kerjasama tersebut
secara kongkret telah direalisasi dengan tukar menukar informasi intelijen tentang
transaksi keuangan mencurigakan, Joint Training, bedah kasus, sampai dengan proses
pengejaran aset kejahatan dan kerja sama penegakan hukum lainnya yang tidak hanya
didalam negeri namun juga sampai ke luar negeri.
Keberhasilan aparat penegak hukum dalam mengungkap 327 dari 524 kepala
daerah yang melakukan tindak pidana merupakan salah satu bukti nyata bahwa
sinergitas polisional yang dibingkai dengan konteks penegakan hukum menjadi senjata
ampuh untuk mewujudkan supremasi hukum dan menjadikan hukum sebagai
panglima dalam proses pembangunan nasional melebihi aspek penunjang lainnya
termasuk politik dan demokrasi.
Bahwa kedudukan sebagai Gubernur telah menduduki tatanan struktural dalam
penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam tata kelolanya, sehingga kadang sulit
dibedakan antara kebijakan/keinginannya untuk kepentingan pribadi atau publik sulit
dibedakan sehingga membuat para pimpinan kepolisian didaerah kehilangan momen
dalam penegakan hukumnya dan cenderung mengikuti kebijakan yang diambil
Gubernur yang dalam banyak hal menyimpang atau melanggar hukum. Data dari
kementerian dalam negeri menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2013 sudah
terdapat 6 Gubernur terlibat korupsi dan diberhentikan.
Bila diperhatikan dengan seksama maka sasaran penyimpangan yang dilakukan
kepala daerah terbagi dalam 2 kelompok, yakni kelompok terkait dengan perijinan dan
kelompok terkait penggunaan atau pendapatan keungan daerah dan keuangan pusat
yang disalurkan ke daerah. Politik Dinasti dibentuk untuk mengamankan perolehan
dana secara ilegal pada dua kelompok tadi, yakni dengan menggunakan kekuasaanya
melalui korupsi atau memeras, menerima gratifikasi dan kejahatan kerah putih lainnya.
Untuk memutus siklus Politik Dinasti tersebut, Polri bekerjasama dengan BPK,
KPK dan PPATK. Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan
kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sesuai dengan standar pemeriksaan
keuangan negara yang hasil pemeriksaannya diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD
sesuai dengan kewenangannya untuk ditindaklanjuti. Apabila dalam pemeriksaan
ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada Polri/KPK sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak
diketahui adanya unsur pidana tersebut untuk dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat
penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dengan PPATK, sesuai dengan kewenangannya yaitu bertugas
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kewenangan PPATK juga
16
yang pasti. Namun hal itu disalahgunakan dalam praktek kejahatan ekonomi sebagai
suatu kejahatan terorganisasi yang merugikan Negara dan masyarakat. maka dengan
mengoptimalkan penggunaan strategi penegakan hukum yang komprehensif legalistic
akan dapat membersihkan berbagai kejahatan ikutan dan perilaku korupsi didalam
pengelolaan listrik, yang dilatar belakangi hal sebagai berikut :
a. Bahwa sektor energi Listrik sebagaimana diatur pengelolaanya dalam undangundang tenaga listrik, dalam pelaksanaanya akan terkait dengan kebijakan
anggaran pemerintahan terkait subsidi dan penggunaan keuangan Negara yang
ada di parlemen dan pengelolaan asset Negara oleh PLN sebagai pelaksanan
utama dan perpanjangan tangan dari pemerintah.
b. Munculnya berbagai kepentingan terkait penyelenggaraan tenaga listrik, telah
memunculkan hazard terjadinya kejahatan kerah putih terkait dengan proyek,
keuangan, legalitas bisnis yang disalahgunakan sampai dengan penyimpangan
dalam perdagangan saham.
c. Penegakan hukum merupakan pendekatan yang holistic dalam membongkar
suatu fenomena kejahatan, dengan menggunakan pendekatan komprehensif
legalistik maka sebenarnya kita telah menghubungkan antara fenomena
kejahatan dengan fenomena yang mendukungnya sehingga kejahatan itu
muncul, langgeng dan menguasai.
Sehingga penegakan hukum di PLN merupakan keharusan sebagaimana visimisi PLN serta terselenggaranya pengelolaan energi listrik nasional sehingga PLN tidak
senantiasa dirundung kerugian yang membebani keuangan Negara. Dengan
tersedianya energi listrik yang memadai, akan dapat digunakan untuk membangun
kebudayaan baru yang unggul, sedangkan dalam aspek pembangunan sosial,
penegakan hukum di bidang pengelolaan energi listrik menjadi momentum bagi Polri
untuk menguatkan organisasi dalam menghadapi kejahatan kerah putih yang
melibatkan tokoh penting, korporasi yang terorganisir, kekuasaan dan modal yang
besar sehingga kebijakan penegakan hukum tidak hanya dilekatkan kepada kejahatankejahatan tradisional namun mampu menyentuk kejahatan yang merugikan Negara
dan masyarakat secara luas. Penguatan tersebut dilakukan dengan membangun
sumber daya Organisasi Polri yang unggul dan metoda penegakan hukum yang efektif
21
22
akan membuat kerusakan sosial yang luas, yang pada akhirnya akan berkontribusi
terhadap persepsi masyarakat kepada kinerja organisasi Polri yang semakin baik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Media dan Polri memiliki hubungan saling
membutuhkan dan harus dimanfaatkan secara baik. Media membutuhkan pemberitaan
dan narasumber dari Polri. Sebaliknya, Polri membutuhkan media untuk
menginformasikan tugas dan kewajiban yang sudah dilakukan sebagai lembaga
penegak hukum ke publik. Kebebasan pers yang berlaku saat ini memang seolah disalah
artikan. Tugas pekerja media diatur dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,
sedangkan tugas Polri diatur dengan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri. Untuk itu,
agar tidak terjadi salah persepsi, Polri dan Dewan Pers telah menjalin kerjasama
dengan menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding). Nota
kesepahaman itu dijalin bukan untuk membatasi kewenangan Polri, tetapiuntuk
melindungi kebebasan pers dalam proses penegakan hukum. MoU tersebut dijalin agar
ketika menghadapi persoalan pers, Dewan Pers dapat memberikan masukan pada
tahapan preemtif dan preventif. Hal ini sangat berguna sepanjang saling menghormati
sehingga perlu terus berdialog dengan dewan pers untuk kepentingan penegakan
hukum termasuk dalam pemberitaan mengenai TPPU.
Berita tentang kriminal dalam desain di televisi, dapat disusun untuk menjadi
berita yang saling terkait oleh Manajer Ghatering News, sehingga topik berita yang
sama akan muncul dalam berbagai program tayangan yang berbeda dalam 1 hari atau
terus menerus sampai pada munculnya berita baru lagi. Program yang saling berkaitan
itu misalkan saja di di tvOne adalah Sorotan Khusus, Telusur dan Menyingkap
Tabir. Suatu berita dapat dikategorikan sebagai berita yang dapat dimasukan dalam
program berkelanjutan tersebut apabila : menyangkut berita tentang kriminal yang
skup kasusnya luas dan menyentuh nilai kemanusiaan atau humanisme serta dampak
yang luas sehingga memancing peduli/empati banyak orang. Dalam hal ini, Polri dapat
melakukan pemberitaan terhadap kasus-kasus yang mengejutkan dan terdapat hal yang
selama ini tertutupi kasus tersebut sehingga sulit penyidikannya. Dengan
diberlakukannya penegakan hokum TPPU, maka akan menjadi
sesuatu yang spesial. Hal itu tentunya karena menjadi hal yang sulit, namun itu harus
dimiliki bagi setiap penyidik yang berkualitas, sebagai konsekuensi tuntutan Kinerja
penyidik Polri dan kualitas atas kapasitasnya yang mencerminkan Negara yang
menjunjung tinggi HAM.
Pemahaman HAM telah berkembang mengikuti dinamika masyarakat yang terus
bergerak, masyararakat sipil yang menjadi obyek sekaligus subyek HAM juga terus
membangun kesadaran dan kewaspadaan terhadap dinamika Politik dan
Penyelenggaraan Pemerintahan. Polri sebagai perwujudan dari Negara akan selalu
berhubungan dengan issue HAM, karena fungsi yang diembannya sebagai pemelihara
keamanan dalam negeri, pelindung, pelayan, pengayom dan penegak hukum. Dibidang
Penegakan Hukum merupakan wilayah yang paling dinamis dalam issue HAM, karena
penegakan hukum akan bersinggungan langsung dengan HAM, dimana Polri akan
tampil mewakili Negara berhadapan dengan tersangka yang mewakili masyarakat sipil.
Harapan untuk mendapat perlindungan HAM dalam penegakan hukum akan sangat
tergantung dari para aparaturnya, karena HAM mengenal asas pembatasan, dimana
Hukum yang dibentuk secara demokratis dan menjunjung HAM akan menjadi
pembatas bagi HAM. Artinya bahwa HAM juga harus dibatasi oleh peran Negara dalam
membentuk dan melaksanakan hukum.
Lihatlah kasus uji materil UU TPPU oleh Akil Mochtar. Saat ini Mahkamah
Konstitusi sedang menangani permohonan perkara uji materiil Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang terhadap UUD 1945 khususnya terhadap pasal 2 ayat 2, pasal 3, pasal
4, pasal 5 ayat 1, pasal 69, pasal 76 ayat 1, pasal 77, pasal 78 ayat 1 dan pasal 95 dengan
fokus uji materil terhadap frasa "patut diduga" dalam pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 ayat 1.
Uji materil tersebut berdasarkan pendapat bahwa penggunaan frasa "patut diduga"
menyebabkan anggapan bahwa dengan terpenuhinya unsur "patut diduganya" maka
tidak diperlukan lagi proses pembuktian padahal tindak pidana pencucian uang
merupakan tindak pidana yang muncul dikarenakan tindak pidana asal. Namun dengan
adanya ketentuan tersebut maka KPK dinilai menjadi tidak mempunyai kewajiban
untuk membuktikan tindak pidana asal tersebut (predicate crime) dengan asalan
pembuktian di pengadilan. Padahal kontruksi penyidikan TPPU senantiasa berawal
dari adanya kejahatan asal yang menghasilkan harta kekayaan yang kemudian harta
kekayaan tersebut berada dalam penguasaan tersangka baik secara terpisah maupun
bercampur dengan kekayaan lainnya.
Polri dalam penegakan hukum akan berfungsi dalam wilayah penyidikan, suatu
proses yang akan mengantarkan seseorang akan dihukum atas kejahatannya atau
dibebaskan oleh Pengadilan. Proses ini lebih fokus didalam mekanisme pembuktian,
issue yang berkembang dalam proses penyidikan dilekatkan pada masalah disamping
pembuktian adalah penelusuran dan penyitaan asset hasil kejahatan. Disisi lain
undang-undang Nomor 39 tahun 2009 tentang HAM menyatakan : pasal 18 setiap
orang tidak dapat dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan.
Pasal 19 (1) tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman
perampasan seluruh harta kekayaan mili yang bersalah. Pasal 29 (1) setiap orang
24
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak
miliknya; Pasal 36 (2) tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenangwenang dan secara melawan hukum. Esensinya bahwa penyitaan terkait dengan
property atau asset milik tersangka dapat dilakukan dengan mengacu pada KUHAP
pasal 39 : yakni barang-barang yang diperoleh dari hasil kejahatan, digunakan untuk
menghalang-halangi proses penyidikan, atau khusus dibuat
untuk melakukan
kejahatan.
Penyitaan benda hasil kejahatan dalam dinamika penyidikan kejahatan
keuangan yang akan bersentuhan dengan ketentuan dan hukum yang mengatur asset
keuangan pribadi maupun koorporasi. Dengan demikian maka diperlukan pemahaman
yang komprehensif sehingga mencerminkan bekerjanya hukum yang adil. Membangun
kompetensi penyidik yang memiliki pemahaman yang luas menyangkut HAM dalam
penyitaan asset hasil kejahatan diperlukan berbagai konsepsi dan Ilmu yang mendasar
serta terapan yang harus dipahami dan dapat dilaksanakan dalam penegakan
hukumnya.
A. Konklusi
Penegakan hukum TPPU merupakan sarana untuk mewujudkan harapan
masyarakat Indonesia merasakan keadilan dan manfaat hukum. Peluang Polri untuk
menggunakan mekanisme Penegakan Hukum TPPU dalam mengungkit keunggulan
Organisasi menjadi terbuka, karena Polri telah membangun tahapan proses penegakan
hukum yang transparan, profesional dan akuntabel. Kedudukan Polri pada Komite
Koordinasi Nasioanal Pencegahan dan Pemberantasan TPPU memberikan peluang
untuk membangun kerjasama penegakan hukum TPPU di dalam dan di luar negeri,
sebagai leading sector yang mampu memberi Kontribusi secara maksimum dalam
pembangunan termasuk mengungkap kejahatan kerah putih dalam pengelolaan energy
nasional, memutus siklus politik dinasti yang menyimpang serta menjadi benteng
terakhir dari pengaruh globalisasi berupa ancaman perang asimetris yang akan
melemahkan kedaulatan negara di bidang ekonomi dan Kesatuan Negara Republik
Indonesia.
Penegakan Hukum TPPU diperspektifkan sebagai proses yang hidup, mengikuti
dan beradaptasi dengan perubahan modus dan bekerjanya pencucian uang didalam
negeri maupun diluar negeri. Penegakan hukum ini dilakukan dengan cara, model dan
prinsip sesuai dengan asas dan roh hukum Indonesia yang menjunjung tinggi HAM.
Polri harus mengembangkan berbagai peluang yang yang secara luas menempatkan
Polri sebagai penegak hokum, melalui pengembangan kapasitas penyidik dan
kerjasama dengan stakeholder industri keuangan dan perekonomian untuk secara
nyata memberikan kontribusi pada sektor keamanan di bidang keuangan dan ekonomi
secara luas, bagi pembangunan Nasional.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
DAFTAR ISI
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
18
24
27