Anda di halaman 1dari 28

PAPER

NYERI

Disusun oleh :
Ghariza Puspa Dinia
G1A208023

Dokter Penguji :
dr. Johny H. P. Silalahi, Sp.B, FinaCS

BAGIAN ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2010

LEMBAR PENGESAHAN
PAPER

NYERI
Disusun sebagai tugas dalam ujian mayor stase Bedah di Bagian Bedah
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Fakultas Kedokteran dan
Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Disusun oleh :
Ghariza Puspa Dinia
G1A208023

Disetujui dan Disahkan,


Pada tanggal,
Oktober 2010

Dokter Penguji,

dr. Johny H. P. Silalahi, Sp. B, FinaCS

I.

DEFINISI NYERI
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007. Menurut International Association for Study of Pain (IASP),
nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

II.

FISIOLOGI NYERI
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

a. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

1. Reseptor A delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan


tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang
akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
2. Serabut C, merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
b. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.
Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
c. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri,
meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana
nyeri ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologi
nyeri, maka perlu mempelajari 3 (tiga) komponen fisiologis berikut ini:
Resepsi : proses perjalanan nyeri
Persepsi : kesadaran seseorang terhadap nyeri
Reaksi : respon fisiologis & perilaku setelah mempersepsikan nyeri
Fisiologi Nyeri :

1. Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius aktivitas elektrik


reseptor terkait. Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi,
konversi stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH
rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang , stimulus panas diatas
420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein transducer
spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi
stimulus noksious menjadi aliran yang menembus membran, membuat
depolarisasi membran dan mengaktifkan terminal perifer. Proses ini tidak
melibatkan prostanoid atau produksi prostaglandin oleh siklo-oksigenase,
sehingga nyeri ini, atau proses ini, tidak dipengaruhi oleh penghambat
enzim COX-2.

2. Transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf
sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian
jaringan saraf yang meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens),
dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus. Yang terakhir hubungan
timbal balik antara thalamus dan cortex. Ada dua jenis transmisi saraf :
a) Ionotropik dimana mediator bekerja langsung pada pintu ion ke dalam
sel. Ciri jenis transmisi itu adalah (i) proses berlangsung cepat dan (ii)
masa proses singkat.
b) Metabotropik dimana mediator bekerja lewat perubahan biokimia pada

membrane post-sinaps. Ciri transmisi cara ini adalah (i) lambat dan (ii)

berlangsung lama. Prostaglandin E 2 termasuk dalam golongan


metabotropik; Hiperalgesia karena prostaglandin E 2 terjadi lambat
tapi berlangsung lama. Morfin dan obat-opiat lainnya juga masuk
golongan metabotropik, tetapi obat-obat ini menghambat hiperalgesia
bekerjanya juga lambat dan berlangsung lama. Trauma mekanik
rupa-rupanya langsung merusak integritas membran dan tergolong
ionotropik , bersama bradykinin. Rasa nyeri timbul cepat dan
berlangsung singkat, kecuali bila kerusakan yang ditimbulkannya
hebat tentu rasa nyeri dapat berlangsung lama.
3. Modulasi yaitu aktivitas saraf utk mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras
tertentu telah diteruskan di sistem saran pusat yang secara selektif
menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh
stress atau obat analgetika seperti morfin (Dewanto). Pada fase modulasi
terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari transmisi nosisepsi
berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu berdasarkan
dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk
koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan
formasi retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis.
Analgesik endogen meliputi :
- Opiat endogen
- Serotonergik
- Noradrenergik (Norepinephric)
Sistem analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri
di kornu posterior dan proses desendern yang dikontrol oleh otak
seseorang, kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat
tertutup adalah terbuka dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi

ini dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional &


kultur seseorang.
4. Persepsi, Proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan
perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur otak
yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan
karena nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif sehingga
tidak terhindarkan keterbatasan untuk memahaminya (Dewanto). Fase ini
merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu
menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi
yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri
itu sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi.
Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal
pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat
kesadaran dan afek. Sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area
ini mengandung sel sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan
memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung
sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan
emosi.
III.

TEORI PENGONTROLAN NYERI (GATE CONTROL THEORY)


Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal
berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul,
namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di
sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar
teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori
dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron
delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk
mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan
berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan
klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke
otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.
Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin,
suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini
menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin (Potter, 2005).
IV.

RESPON TERHADAP NYERI

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat


bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa
menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat
individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan
dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas
karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase
ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi
pada klien.
b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang
lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan
mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri
kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan

nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya


rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih
besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien
itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila
klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu
tentunya

membutuhkan

bantuan

perawat

untuk

membantu

klien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.


c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam

membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan


kemungkinan nyeri berulang.
A. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Pemahaman dan pemberian arti
nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa
lalu dan juga faktor sosial budaya. Arti nyeri bagi setiap individu berbedabeda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa


12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
B. Respon Fisiologis Terhadap Nyeri
1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan heart rate dan tekanan darah
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
C. Respon Tingkah Laku Terhadap Nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri)
D. Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri
1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji


respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri
adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya
(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat


mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

V.

INTENSITAS NYERI
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti
tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

a. Skala Intensitas Nyeri Deskritif

b. Skala Identitas Nyeri Numerik

c. Skala Analog Visual

d. Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat


mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau


intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini
berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga
sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa
jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling
tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah

kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical


rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata.
Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala
paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang
terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini
memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS
dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien
dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih
satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan
dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila
klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih
akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat
dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk
atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter,
2005).
VI.

KATEGORI NYERI

A. Serat Nyeri Fast dan Slow


Ada dua cara impuls diteruskan ke CNS. Sinyal yang berasal dari
nocireseptor mekanik dan thermal akan ditransmisikan melalui serat A-delta
dengan kecepatan 30 m/s (jaras nyeri cepat). Impuls dari plimodal akan
melalui serat C yang tidak bermielin, dengan kecepatan 12m/s (jaras pelan).
Saat terisis atau terbakar, akan terasa nyeri yang berdenyut awalnya yang
kemudian akan muncul rasa tidak sakit yang tidak enak. Nyeri yang dirasakan
pendek, tajam, menusuk, dan mudah dilokalisasi, itulah nyeri jaras cepat dari
nocireseptor mekanik dan thermal. Perasaan ini akan diikuti dengan sakit
yang tumpul, sukar dilokalisasi dan bertahan untuk waktu yang relatif lama
dan lebih tidak enak. Itulah jaras nyeri lambat, yang diaktivasi oleh
bradikinin. Kimia yang berperan dalam proses peradangan ini juga bisa
menyebabkan nyeri yang berlanjut meski telah dilakukan penghilangan
stimulus termal dan mekanis.
B. Nyeri Superficial dan Deep
Nyeri yang muncul dari stimulasi reseptor di kulit, disebut nyeri
somatik superfisial sedangkan stimulasi reseptor di otot tulang, sendi, tendon,
dan fascia menyebabkan nyeri somatik dalam. Nyeri visceral dihasilkan dari
stimulasi nocireseptor di organ visceral. Jika nyeri visceral tersebut diffuse,
ada kemungkinan itu tanda bahaya karena mungkin disebabkan oleh ischemia
organ dalam. Misalnya batu ginjal yang mungkin menyebabkan nyeri berat
dengan menghambat atau menggelembungkan ureter atau saluran empedu.
C. Referred Pain
Pada beberapa contoh nyeri visceral, nyeri yang dirasakan di kulit atau

di kulit bagian dalam yang ada di atas organ yang distimulasi, atau bahkan di
daerah permukaan yang jauh dari organ tersebut. Itulah yang dinamakan
referred pain. Misalnya, serat sensorik dari jantung, kulit di atas jantung, dan
di sepanjang aspek medial lengan kiri akan masuk spinal cord segmen T1
sampai T5. Oleh karena itu, nyeri pada serangan jantung dirasakan di kulit di
atas jantung serta di sepanjang lengan kiri.
D. Nyeri Akut dan Nyeri Kronik
1 Nyeri Akut
Nyeri akut tidak berlangsung lama dan biasanya hilang saat perbaikan
tubuh. Traktus spinotalamikus untuk rasa nyeri cepat. Serabut rasa nyeri
cepat tipe A terutama dilalui oleh rasa nyeri mekanik dan rasa nyeri suhu
akut. Serabut ini berakhir pada lamina I (lamina marginalis) pada kornu
dorsalis

dan

merangsang

neuron

pengantar

kedua

dari

traktus

neospinotalamikus. Neuron ini akan mengirimkan sinyal ke serabut


panjang yang terletak di dekat sisi lain medula spinalis dalam komisura
anterior dan selanjutnya berbelok naik ke otak dalam kolumna
anterolateralis.
Beberapa serabut neospinotalamikus berakhir di daerah retikularis
batang otak, tetapi sebagian besar melewati semua jalur ke talamus tanpa
hambatan, berakhir di kompleks ventro-basal di sepanjang kolumna
dorsalis-traktus lemniskus medialis untuk sensasi raba. Ada beberapa
serabut yang berakhir di kelompok nuklear posterior. Dari daerah talamus
ini, sinyal akan dijalarkan ke daerah lain pada basal otak seperti juga ke
korteks somatosensorik. Glutamat merupakan substansi neurotransmitter

yang disekresikan di medulla spinalis pada ujung-ujung serabut saraf nyeri


tipe A. Biasanya memiliki masa kerja yang berlangsung hanya beberapa
milidetik.
2 Nyeri kronik
Sakit kronis merupakan nyeri yang masih muncul bahkan lama setelah
tubuh Anda telah sembuh. Kadang-kadang, orang yang memiliki sakit
kronis tidak tahu apa penyebabnya. Namun, nyeri ini sering muncul pada
kondisi seperti radang sendi, fibromyalgia dan kanker. Seiring dengan rasa
tidak nyaman, sakit kronis dapat menyebabkan rendah diri, depresi dan
kemarahan. Hal ini juga dapat mengganggu aktivitas harian.
Jaras paleosinoltalamikus adalah sistem yang menjalarkan rasa nyeri
terutama dari serabut tipe C lambat-kronik perifer, walaupun jaras ini
menjalarkan beberapa sinyal dari serabut tipe A juga. Dalam jaras ini,
serabut-serabut perifer berakhir di dalam medula spinalis hampir di
seluruhnya di lamina II dan III kornu dorsalis, yang bersama-sama disebut
substansia gelatinosa. Sebagian besar sinyal kemudian melewati satu atau
lebih neuron serabut pendek tambahan di dalam kornu dorsalisnya
sebelum terutama memasuki lamina A, juga di kornu dorsalis. Di sini,
neuron-neuron berakhir dalam rangkaian merangsang akson-akson panjang
yang sebagian besar menyambungkan serabut-serabut dari jaras rsa nyeri
cepat, yang mula-mula melewati komisura anterior ke sisi berlawanan dari
medula spinalis, kemudian naik ke otak dalam jaras anterolateral.
Percobaan penelitian menunjukkan bahwa ujung serabut nyeri tipe C

yang memasuki medula spinalis mungkin mengeluarkan transmiter


glutamat dan transmiter substansi P. Substansi P dilepaskan lebih lambat.
Walaupun secara terperinci belum diketahui, sepertinya telah jelas kalau
glutamat berperan dalam menjalarkan rasa nyeri cepat ke dalam sistem
saraf pusat, dan substansi P berhubungan dengan rasa nyeri lambat kronik.
Jaras paleosinotalamikus lambat-kronik berakhir secara luas dalam
batang otak. Hanya sepersepuluh sampai seperempat serabut yang
melewati seluruh jalur ke talamus. Namun demikian, serabut-serabut ini
kebanyakan berakhir di satu dari tiga derah berikut: (1) nukleus retikularis
medula, pons, dan mesensefalon (2) area tektal dari mesensefalon dalam
sampai kolikuli superior dan inferior, atau (3) daerah periakueduktus
substansia grisea, yang mengelilingi aqueduktus sylvii. Daerah yang lebih
rendah dari batang otak ini tampatknya penting untuk merasakan rasa nyeri
, karena hewan yang otaknya mengalami pemotongan di atas mesensefalon
untuk menghambat semua sinyal rasa nyeri dalam mencapai serebrum
masih menunjukkan dengan jelas bukti-bukti yang tidak dapat disangkal
dari rasa nyeri batang otak, banyak neuron berserabut pendek yang
memancarkan sinyal nyeri naik ke intralaminar dan nukleus ventrolateral
dari talamus dan ke dalam bagian tertentu hipotalamus dan daerah basal
lain dari otak.
E. Nyeri Neuropati
Neuropati perifer (peripheral neuropathy/PN) adalah penyakit pada saraf
perifer. Saraf tersebut adalah semua saraf selain yang ada di otak dan urat
saraf tulang belakang (perifer berarti jauh dari pusat). 8 Nyeri neuropatik

merupakan keadaan kompleks nyeri kronis yang biasanya disertai dengan


cedera jaringan. Dengan nyeri neuropatik, serat-serat saraf sendiri mungkin
rusak, disfungsional, atau cedera. Serat saraf yang rusak ini mengirim sinyal
yang salah ke pusat-pusat rasa sakit lain. Dampak dari cedera serabut saraf
meliputi perubahan dalam fungsi syaraf baik, di tempat cedera dan daerah
sekitar cedera.
Akibatnya, orang merasa tidak nyaman dengan gejala yang digambarkan
sebagai kesemutan atau seperti ditusuk paku dan jarum atau gejala nyeri lebih
seperti membakar. Nyeri saraf dapat dikaitkan dengan sejumlah kondisi medis
seperti diabetes, herpes zoster, kanker dan perawatan nya, sindrom carpal
tunnel, atau cedera tulang belakang.
Rasa geli dan sensasi terbakar nyeri saraf sangat berbeda dari rasa sakit
dan nyeri yang dirasakan dari nyeri otot. Nyeri otot disebabkan oleh cedera
fisik, seperti terjatuh, akan menghilang setelah cedera telah sembuh. Di sisi
lain, nyeri saraf yang mungkin tidak disebabkan oleh trauma, sering
menghasilkan rasa sakit terus-menerus atau rutin. Over-the-counter-pain
seringkali tidak cukup kuat untuk membuat nyeri saraf pergi. Sejalan dengan
waktu, nyeri saraf dapat menyebar dari kaki bawah ke atas atau naik ke
lengan dari tangan.
Tidak ada obat untuk saraf rusak yang menyebabkan rasa sakit saraf.
Tetapi dengan program manajemen nyeri yang efektif yang mungkin
mencakup latihan, manajemen stres, dan obat-obatan, rasa sakit dapat
dikurangi. Dengan selalu aktif, sesorang bisa mengurangi rasa penderitaan

dan meningkatkan kualitas hidupnya. Sumber nyeri kronik tidak sederhana.


Ada masalah psikologis yang disebabkan oleh masalah fisik. Ini adalah alasan
mengapa memilih salah satu perawatan ini tidak dianjurkan. Perlu dicoba
banyak metode.
F. Nyeri Muskuloskeletal
Otot merupakan jaringan yang peka nyeri terhadap tekanan, sayatan dan
zat kimia. Fascia, tendon dan periosteum merupakan jaringan peka yeri
terhadap tusukan, tekanan dan zat kimia iritatif sedangkan tulang- tulang
kompakta adalah kurang peka nyeri. Nyeri pada fraktur merupakan hasil dari
stimulus pada jaringan- jaringan tersebut. Nyeri muskuloskeletal harus
dipastikan apakah nyerinya karena inflamasi atau bukan. Nyeri akut karena
rangsang nosisepsi akut yang lebih jelas. Misal trauma atau karena tindakan.
Nyeri kronik dibedakan berdasarkan karena proses inflamasi (kelompok
penyakit rematik) dan non inflamasi. Manifestasi inflamasi muskuloskeletal :
-

bengkak

nyeri

kemerahan

panas, dan

kekakuan

Nyeri muskuloskeletal kronik non inflamasi terutama yang lebih dari 3


bulan berhubungan dengan gangguan psikologis : depresi, anxietas, gangguan
tingkah laku. Sulit dibedakan karena inflamasi atau bukan. Kadang disebut
sebagai nyeri muskuloskleletal primer atau idiopatik.

DAFTAR PUSTAKA
American Chronic Pain Ascociation. Neuropathic
http://www.theacpa.org/conditionDetail.aspx?id=29.
Anonymous.
Many
Causes
http://www.paintreatmentblog.com/pain.

of

Pain.

Pain.

Diunduh

Diunduh

dari

dari

Family
Doctor.
Chronic
Pain.
Diunduh
dari
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/pain/disorders/551.printer
view.html
NLM NIH. Pain. Diunduh dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/pain.html.

Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta :


EGC hal : 87.

Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta :


Djambatan.

Sherwood L. Human Physiology: The Peripheral Nervous System. 7th ed.


Canada: Brooks/Cole;2010. p. 191-2.

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm


1-63
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.

Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology: Sensory,


Motor and Integrative System. 12th ed. Asia: Willey;2009. p. 574-5
Yayasan Spiritia. Neuropati Perifer. Diunduh dari http://spiritia.or.id/li/bacali.php?
lino=555.

Anda mungkin juga menyukai