Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

Astigmat Hipermetrop Compositus OD + Ambliopia


Anisometropik OD Dengan Ptosis Kongenital OD

Oleh:
Irene
11.2013.197
Pembimbing :
Dr. Margarette F. Paliyama, Sp. M, M. Sc

Fakultas Kedokteran UKRIDA


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata
Periode 15 Juni 2015 18 Juli 2015
RS Family Medical Center (FMC), Sentul

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT MATA
Rumah Sakit Family Medical Center-Sentul
Tanda Tangan
Nama

: Irene

NIM

: 11-2013-197

Dr. Pembiming

: dr. Margarette F. Paliyama, SpM, M.Sc

...........................

STATUS PASIEN
I.

II.

IDENTITAS
Nama
: An. AM
Umur
: 15 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Kristen
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Kp. Tanah sewa, Ciparigi, Bogor
Tanggal Pemeriksaan : 18 Juni 2015
ANAMNESIS
Dilakukan Autoanamnesis pada pasien dan allo anamnesis pada ibu pasien pada
tanggal 18 Juni 2015.
Keluhan Utama:
Penglihatan mata kanan terasa kabur.
Keluhan tambahan:
Sering pusing dan mata terbuka setiap buka mulut.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluh mata kanan buram sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu,
namun belum berobat dan belum memakai kacamata. Hal ini dilakukan karena pasien
merasa penglihatan kirinya masih baik. Sekitar 2 tahun yang lalu pasien mulai merasa
mata kanannya semakin buram untuk melihat dan pasien mulai merasa sering pusing,

pusing di rasakan terutama saat sedang beraktivitas seperti membaca, menonton tv


atau bermain computer.
Ibu pasien mengatakan bahwa jika makan atau membuka mulut mata kanan
selalu terbuka. Keluhan ini di sadari ibu pasien sejak kecil namun tidak pernah di
konsultasikan ke dokter. Ibu pasien mengatakan pasien sering jatuh waktu kecil.
Riwayat kejang di sangkal ibu pasien. Keluarga pasien banyak yang menggunakan
kacamata namun tidak ada yang memiliki kelainan juling, ataupun keluhan seperti
pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Umum
- Asthma
- Alergi

: tidak ada
: tidak ada

b. Mata
- Riwayat sakit mata sebelumnya
- Riwayat penggunaan kaca mata
- Riwayat operasi mata
- Riwayat trauma mata sebelumnya

: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:


Penyakit mata serupa : tidak ada
Penyakit mata lainnya : tidak ada
Penggunaan kacamata: ada
Riwayat Kebiasaan:
Pasien sering bermain computer minimal 3 jam sehari.
III.

PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah
: 120/80mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Respirasi
: 18 x/menit
Suhu
: tidak dilakukan
Kepala/leher

: Pembesaran KGB tidak ada

Thorax, Jantung

: dalam batas normal

Paru

: dalam batas normal

Abdomen

: dalam batas normal


3

Ekstremitas

: dalam batas normal

B. STATUS OPTHALMOLOGIS
KETERANGAN
OD
1. VISUS

OS

Visus

0,2 ph 0,4
S+0,50 C-3,00 X180 => 0,7

1,0

Koreksi
Addisi
Distansi pupil
Kacamata Lama

S+0,50 C-2,00 X180 => 0,5


64/62
-

64/62
-

2. KEDUDUKAN BOLA MATA


Eksoftalmos
Enoftalmos
Deviasi
Gerakan Bola Mata
Strabismus
Nistagmus

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Bebas ke segala arah
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Bebas ke segala arah
Tidak ada
Tidak ada

Hitam
Simetris

Hitam
Simetris

3. SUPERSILIA
Warna
Simetris

4. PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR


Edema
Nyeri tekan
Ektropion
Entropion
Blefarospasme
Trikiasis
Sikatriks
Ptosis

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Minimal

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

5. KONJUNGTIVA SUPERIOR DAN INFERIOR


Hematoma
Krepitasi
Folikel
Papil
Sikatriks

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
4

Anemis
Lithiasis
Korpus alienum

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

6. KONJUNGTIVA BULBI
Sekret
Injeksi Konjungtiva
Injeksi Siliar
Pendarahan Subkonjungtiva
Pterigium
Pinguekula
Nevus Pigmentosus
Kista Dermoid

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

7. SKLERA
Warna
Ikterik

Putih
Tidak Ada

Putih
Tidak ada

Jernih
Rata
Baik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Jernih
Rata
Baik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Dalam
Jernih
Tidak ada
Tidak ada

Dalam
Jernih
Tidak ada
Tidak ada

Warna
Kripte
Sinekia

Coklat
+
Tidak ada

Coklat
+
Tidak ada

Koloboma

Tidak ada

Tidak ada

8. KORNEA
Kejernihan
Permukaan
Sensibilitas
Infiltrat
Keratik Presipitat
Sikatriks
Ulkus
Perforasi
Arkus Senilis
Edema
9. BILIK MATA DEPAN
Kedalaman
Kejernihan
Hifema
Hipopion
10. IRIS

11. PUPIL
Letak
Bentuk
Ukuran
Refleks Cahaya Langsung
Refleks Cahaya Tak Langsung
RAPD

Ditengah
Bulat
3 mm
+
+
-

Ditengah
Bulat
3 mm
+
+
-

12. LENSA
Kejernihan
Letak
Shadow test

Jernih
Di tengah
Negatif

Jernih
Di tengah
Negatif

Jernih

Jernih

Tegas
Orange
Tidak ada
2:3
0.3
+
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tegas
Orange
Tidak ada
2:3
0.3
+
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
N/palpasi
-

Tidak ada
Tidak ada
N/palpasi
-

13. BADAN KACA


Kejernihan
14. FUNDUS OKULI
Batas
Warna
Ekskavasio
Rasio Arteri :Vena
C/D Ratio
Reflex Makula
Eksudat
Perdarahan
Sikatriks
Ablasio
15. PALPASI
Nyeri Tekan
Massa Tumor
Tensi Okuli
Tonometri Schiotz
16. KAMPUS VISI
Tes Konfrontasi
IV.

Baik ke semua arah

Baik ke semua arah

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
6

V.

RESUME
Anamnesis
Anak laki-laki 15 tahun datang dengan keluhan mata kanan buram sejak
kurang lebih 5 tahun yang lalu, namun belum berobat dan belum memakai kacamata.
Sekitar 2 tahun yang lalu pasien merasa mata kanannya semakin buram dan pasien
mulai merasa sering pusing, pusing di rasakan terutama saat sedang beraktivitas.
Ibu pasien mengatakan bahwa jika makan atau membuka mulut mata kanan
selalu terbuka. Keluhan ini di sadari ibu pasien sejak kecil namun tidak pernah di
konsultasikan kedokter. Ada riwayat trauma kepala waktu kecil. Riwayat kejang
disangkal. Riwayat keluarga yang menderita penyakit mata lainnya disangkal.
Riwayat keluarga berkaca mata (+).
Marcus gunn jaw winking sindrom (+).
Crowding Phenomen (+)
Dari status oftalmologis didapatkan :
OD
0,2 ph 0,4

PEMERIKSAAN
Visus (tanpa

OS
1,0

S +0,50 C-3,00 X180 => 0,7

kacamata)
Visus (dengan

S +0,50 C-2,00 X180o => 0,5

koreksi kacamata)

VI.

DIAGNOSIS KERJA
- Astigmat mixtus OD + ambliopia anisometropik OD dengan Ptosis kongenital
OD.

VII.

VIII.

DIAGNOSIS BANDING
-

Diplopia

Ptosis kongenital

PEMERIKSAAN ANJURAN
-

Uji density filter netral

Worth for dot

Visuskop

Pemeriksaan lapangan pandang

Pemeriksaan farmakologi

CT scan

IX.

PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa :

Lebih sering menggunakan mata yang lebih sehat.


Koreksi kelainan refraksi
Hilangkan faktor penyebab

Medikamentosa

Menggunakan kacamata koreksi.


Oklusi/Patches
Part time : Tutup mata sehat satu jam setiap hari saat pasien sedang
beraktivitas.

Edukasi:

Lakukan 20-20-20 menit jika mata terasa lelah atau pusing saat melihat layar TV

atau komputer.
Segera datang ke dokter untuk dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan bila
memperlihatkan tanda-tanda juling.

IX.

PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Fungsionam

OCCULI DEXTRA (OD)


:
Bonam
:
Dubia ad bonam

Ad Sanationam

OCCULI SINISTRA (OS)


Bonam
Bonam

Dubia

Bonam

TINJAUAN PUSTAKA
1. Astigmat mixtus
Pemeriksaan AR yang dilakukan pada pasien, didapatkan hasil sebagai berikut :
OD : SPH + 0,50 , CYL - 3,00 , AX 180
OS : 1,0
Pada astigmat, cahaya sejajar tidak fokus pada satu titik, mata astigmat tidak memiliki
titik fokus tunggal, melainkan satu set dua garis fokus.
Ada 5 jenis astigmatism:
1) Kedua-duanya di depan retina (astigmat myopious compositus)

2) Satu titik di depan retina, satu titik tepat di retina (astigmat myopious simplex)

3) Satu titik di depan retina, satu titik lagi di belakang retina (astigmat mixtus)

4) Satu titik tepat di retina, satu titik di belakang retina (astigmat hypermetropious
simplex)

5) Kedua-duanya di belakang retina (astigmat hypermetropious compositus)

Karena kedua garis fokus terletak di belakang retina maka pasien ini diklasifikasikan
sebagai Astigmat Hipermetropia Kompositus.

2. Ambliopia anisometrik

10

Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan tidak


mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensinya walaupun sudah dikoreksi
kelainan refraksinya. Pada ambliopia terjadi penurunan tajam penglihatan unilateral
atau bilateral disebabkan kehilangan pengenalan bentuk, interaksi binocular abnormal,
atau keduanya, dimana tidak ditemukan kausa organik dan pada pemeriksaan fisik
mata dan pada kasus yang keadaan baik, dapat dikembalikan fungsinya dengan
pengobatan.1

11

Ambliopia ini dapat tanpa kelainan organik dan dapat pula dengan kelainan
organik yang tidak sebanding dengan visus yang ada. Biasanya ambliopia disebabkan
oleh kuranngnya rangsangan untuk meningkatkan perkembangan penglihatan. Suatu
kausa ekstraneural yang menyebabkan menurunnya tajam penglihatan (seperti
katarak, astigmat, strabismus, atau suatu kelainan refraksi unilateral atau bilateral
yang tidak dikoreksi) merupakan mekanisme pemicu yang mengakibatkan suatu
penurunan visual pada orang yang sensitif. Bila ambliopia ini ditemukan pada usia
dibawah 6 tahun dapat dilakukan latihan penglihatan untuk memperbaiki penglihatan.
Sebab ambliopia adalah anisometropia, juling, oklusi, dan katarak atau kekeruhan
media penglihatan. Di perkirakan ada dua factor yang dapat menyebabkan ambliopia
yaitu supresi dan nirpakai. Supresi akibat proses kortikal yang menyebabkan
terjadinya skotoma. Sedangkan nirpakai akibat tidak dipergunakannya elemen
visualretino kortikal pada kritis perkembangan terutama di bawah 9 tahun.1
Patofisiologi
Pada ambliopia didapati adanya kerusakan penglihatan sentral, sedangkan
daerah penglihatan perifer dapat dikatakan masih tetap normal. Studi eksperimental
pada binatang serta studi klinis pada bayi dan balita, mendukung konsep adanya
periode kritis dalam perkembangan ambliopia. Periode kritis ini sesuai dengan
perkembangan system penglihatan. Anak yang peka terhadap masukan abnormal yang
diakibatkan rangsangan deprivasi, strabismus, atau kelainan refraksi yang signifikan.
Secara umum, periode kritis ambliopia deprivasi terjadi lebih cepat dibanding
strabismus maupun anisometropia. Periode kritis lebih singkat pada rasngsangan
deprivasi.2
Periode kritis tersebut adalah:
1. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hingga 20/20 (6/6), pada
waktu lahir hingga 3-5 tahun.
2. Periode yang sangat beresiko tinggi untuk terjadinya ambliopia deprivasi, yaitu
diusia beberapa bulan usia 7-8 tahun.
3. Periode dimana kesembuhan ambliopia masih dapat dicapai, yaitu sejak
terjadinya deprivasi sampai usia remaja atau bahkan dewasa.
Walaupun mekanisme neurofisiologi penyebab ambliopia masih belum jelas
dari percobadan terdapat masukan, pada binatang percobaan terdapat gangguan pada
12

system penglihatan fungsi neuron yang dalam/besar diakibatkan pengalaman melihat


abnormal dini. Sel pada korteks visual primer dapat kehilangan kemampuan dalam
menanggapi rangsangan pada satu atau kedua mata, dan sel yang msaih responsive
dapat terjadi penurunan fungsi. Kelainan juga dapat terjadi pada neuron badan
genikulatum lateral. Keterlibatan retina belum dapat disimpulkan. 2 Sistem penglihatan
membutuhkan pengalaman melihat dan terutama interaksi kompetitif antar jalur
penglihatn dikedua mata pada visual korteks untuk berkembang hingga dewasa. Bayi
sudah dapat melihat sewaktu lahir, tetapi mereka harus bejar menggunakan mata.
Mereka belajar bagaimana untuk focus, dan bagaimana cara menggunakan kedua
mata secara bersama. Penglihatan yang yang baik harus jernih, bayangan terfokus saa
pada kedua mata. Bila bayangan kabur pada satu mata, atau bayangan tersebut tidak
sama pada kedua mata, maka jaras penglihatan tidak dapat melihat dengan baik,
bahkan dapat memburuk. Bila hal ini terjadi, otak akan mematikan mata yang tidak
focus dan orang tersebut akan bergantung pada satu mata untuk melihat.2
Klasifikasi ambliopia:
a. Ambliopia Strabismik
Ambliopia yang terjadi akibat juling lama (biasanyan juling ke dalam pada
anak sebelum penglihatan tetap. Pada keadaan ini terjadi supresi pada mata tersebut
untuk mencegah gangguan penglihatan (diplopia). Kelainan ini disebut sebagai
ambliopia stabismik dimana kedudukan bola mata tidak sejajar sehingga hanya satu
mata yang diarahkan pada benda yang dilihat.1,3 Ambliopia strabismik sering
ditemukan pada penderita esotropia. Strabismus yang menyebabkan ambliopia adalah
strabismus menifes, strabismus monocular, strabismus dengan sudut deviasi kecil,
strabismus yang selalu mempunyai sudut deviasi diseluruh arah pandangnya. Fiksasi
silang (menggunakan mata kiri untuk melirik kekanan dan mata kanan untuk melirik
ke kiri) merupakan anti uji ambliopia strabismik. Bila komdisi ini terjadi maka tidak
akan terdapat ambliopia. Ambliopia strabismik dapat pulih kembali pada usia di
bawah 9 tahun dengan menutup total mata yang baik. Penyulit strabismik ambliopia
bila mata baru mengalami juling akan terjadi keluhan diplopia. Bila terjadi berlagsung
lama dapat terjadi korespondensi retina yang abnormal. Korespondensi retina
abnormal terjadi bila korteks serebri sudah dapat menyesuaikan diri terdapat 2 titik
yang tidak sekorespoden menjadi satu titik yang sekoresponden. Akibatnya walaupun
13

kedudukan mata tetap dalam posisi juling tidak didapatkan keluhan diplopia atau
melihat ganda. Juling akan sukar diatasi bila sudah menjadi ambliopia atau sudah
terjadi korespondensi retina yang abnormal. Pada ambliopia dapat terjadi ambliopia
supresi akibat proses mental dimana bayangan pada satu mata diabaikan.
Fiksasi Eksentrik
Fiksasi eksentrik mengacu kepada penggunaan region nonfoveal retina terusmenerus untuk penglihatan monocular oleh mata ambliopia. Fiksasi eksentrik terdapat
sekitar 80% pasien ambliopia. Fiksasi eksentrik ringan (derajat minor), hanya dapat
dideteksi dengan uji khusus, seperti visuskop, banyak dijumpai pada penderita
ambliopia strabismik dan hilangya penglihatan ringan.3 Secara klinis bukti adanya
fiksasi eksentrik, dapat dideteksi degan melihat reflex kornea pada mata ambliopia
tidak pada posisi sentral, dimana ia memfiksasi cahaya, dengan mata dominan ditutup.
Umumnya tajam penglihatan adalah 20/200 (6/60) atau lebih buruk lagi. Penggunaan
region nonfoveal untuk fiksasi tidak dapat disimpulakan sebagai penyebab utama
menurunnya penglihatan pada mata yang ambliopia. Mekanisme fenomena ini masih
belum diketahui.
b. Ambliopia Anisometropik
Ambliopia anisometropik terjadi akibat terdapatnya kelainan refraksi kedua
mata yang berbeda jauh. Akibat anisometropik mata bayangan benda pada kedua tidak
sama besar yang menimbulkan banyangan pada retina secara relative diluar focus bila
dibandingkan dengan mata lainnya. Bayangan yang lebih buram akan di supres
biasanya pada mata yang lebih ametropik. Beda refraksi mata yang besar
menyebabkan terbentuknya bayangan kabur pada satu mata. Ambliopia yang terjadi
akibat ketidakmampuan mata berdifusi, akibat terdapatnya perbedaan refraksi antara
kedua mata, astigmat unilateral yang menyebabkan bayangan benda menjadi kabur.3
Ambliopia yang terjadi akibat perbedaan refraksi kedua mata besar atau lebih dari 2,5
dioptri, mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan binocular tunggal, demikian pula
terjadi pada unilateral astigmatisme sehingga bayangan menjadi kabur. Pada mata
sferis maka dapat tidak terjadi bila mata yang lebih berat minusnya dipakai untuk
melihat dekat sedang yang normal dipakai untuk melihat jauh (terjadi melihat
alternatif). Pengobatannya dengan memberikan kaca mata hasil pemeriksaan referaksi
secara objektif disertai penutupan mata yang baik. Ada faktor prnyulit bila fusi tepi
14

kuat maka tidak terjadi strabismus menifes, sebab itu sering tidak terdeksi sampai ada
pemeriksaan tajam penglihatandi sekolah. Bila fusi tepi tidak kuat maka dapat terjadi
strabismus manifes, dalam hal ini terdapat mikrotopia atau sindrom monofiksasional.3
c. Ambliopia Ametropik
Mata dengan hipermetropia dan astigmat sering memperlihatkan ambliopia
akibat mata menurunnya tajam penglihatan mata dengan kelainan refraksi berat yang
tidak dikoreksi (biasanya hipermetropia atau astigmat). Perbaikan tajam penglihatan
dapat terjadi beberapa bulan setelah kaca mata dipergunakan. Pada kedua mata tidak
mencapai tajam penglihatan 5/5, biasanya pernderita hipermetropia tinggi (+ 7.0 D)
atau astigmat tinggi (3.0 D) karena penderita tidak pernah melihat bayangan jelas.
Dibutuhkan waktu untuk mengatasi ambliopia sangat lama sesudah koreksi tajam
penglihatan terbaik. Pengobatan dengan memberikan kaca mata hasil pemeriksaan
refraksi.3
d. Ambliopia Eks Anopsia
Ambliopia akibat penglihatan terganggu pada saat perkembangan penglihatan
bayi. Dahulu ambliopia ini diduga karena juling, pada saat ini ambliopia eks anopsia
diduga disebabkan supresi atau suatu proses aktif dari otak untuk menekan kesadaran
melihat. Ambliopia eks anopsia dapat terjadi akibat adanya katarak congenital.
Ambliopia ini bila mulai terjadi sesudah berumur 4 tahun maka tajam penglihatan
tidak akan kurang dari 20/200, sedangkan bila terjadi pada usia kurang dari 4 tahun
maka tajam penglihatan dapat lebih buruk.3
Ambliopia akibat mata tidak dipergunakan dengan baik. Biasanya mengenai
satu mata yang disertai dengan juling ke dalam atau penglihatan yang sangat buruk.
Menurunnya penglihatan pada satu mata akibat hilangnya kemampuan melihat bentuk
setelah fiksasi sentral tidak dipergunakan (akibat katarak, kekeruhan kornea dan
ptosis). Ambliopia eksanopsia diduga disebabkan supresi atau suatu proses aktif dari
otak unutk menekan kesadaran melihat. Menurunnya penglihatan pada suatu mata
akibat hilangnya kemampuan bentuk setelah fiksasi sentral. Kelainan ini dapat terjadi
pada mata bayi dengan katarak, ptosis, ataupun kekeruhan korneaa sejak lahir
terlambat diatasi.3 Pengobatan dengan menutup mata yang sehat dilakukan setelah

15

mata yang sakit dibersihkan kekeruhan media penglihatannya. Katarak congenital


dapat menimbulkan komplikasi lain berupa nistagmus dan strabismus.
Pemeriksaan Anjuran :
1. Tajam Penglihatan
Penderita ambliopia kurang mampu untuk membaca bentuk/huruf yang rapat
dan mengenali pola apa yang dibentuk oleh gambar atau huruf tersebut. Tajam
penglihtan yang dinilai dengan cara kovensional, yang berdasar kepada kedua fungsi
tadi, selalu subnormal. Telah diketahui bahwa penderita ambliopia sulit untuk
mengidentifikasi huruf yang tersusun linear (sebaris) dibandingkan dengan huruf yang
terisolasi, maka dapat kita lakukan dengan meletakkan balok disekitar huruf tunggal.
Hal ini disebut Crowding Phenomenon.4 Terkadang mata ambliopia dengan tajam
penglihatan 20/20 (6/6) pada huruf isolasi dapat turun hingga 20/100 (6/30) bila ada
interaksi bentuk (countour interaction). Perbedaan yang besar ini terkadang muncul
juga sewaktu pasien yang sedang diobati control, dimana tajam penglihatannya jauh
lebih baik pada huruf isolasi daripada huruf linear. Oleh Karena itu, ambliopia belum
dikatakan sembuh hingga tajam penglihatan linear kembali normal. Menentukan
tajam penglihatan mata ambliopia pada anak adalah pemeriksaan yang paling penting.
Walaupun untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat dipercaya sulit pada
pasien anak-anak tapi untungnya penatalaksanaan ambliopia sangat efektif dan efisien
pada anak-anak. Anak yang sudah mengetahui huruf balok dapat di tes dengan kartu
Snellen standar. Untuk Nonverbal Snellen, yang banyak digunakan adalah tes E dan
tes HOTV. Tes lain adalah dengan symbol LEA. Bentuk ini mudah bagi anak 1
tahun (todler), dan mirip dengan konfigurasi huruf Snellen. Caranya sama dengan tes
HOTV.1,4
2. Natural Density (ND) Filter Test
Tes ini digunakan untuk membedakan ambliopia fungsional dan organic. Filter
densitas netral (Kodak No.96, ND 2.00 dan 0,50) dengan densitas yang cukup untuk
menurunkan tajam penglihatan mata normal dari 20/20 (6/6) menjadi 20/40 (6/12)
ditempatkan didepan mata yang ambliopik. Bila pasien menderita ambliopia tajam
penglihatan dengan NDF tetap sama dengan visus semula atau sedikit membaik.4 Jika
ada ambliopia organic, tajam penglihatan menurun dengan nyata bila digunakan filter,
16

misalnya 20/100 (6/30) menjadi hitung jari atau lambaian tangan. Keuntungan tes ini
bisa, digunakan untuk screening secara cepat sebelum, dikerjakan terapi oklusi,
apabila penyebab ambliopia tidak jelas.
Menentukan Sifat Fiksasi
Pada pasien ambliopia, sifat fiksasi haruslah ditentukan. Peglihatan sentral
terletak pada foveal; pada fiksasi eksentrik ditandai dengan tajam penglihatan 20/200
(6/60) atau lebih buruk lagi. Tidak cukup hanya dengan menentukan sifat fiksasi
hanya pada posisi cahaya corneal. Fiksasi didiagnosis dengan mneggunakan
visusskops. Dan dapat diokumentasikan dengan camera fundus Zepiess. Tes lain dapat
dengan tes tutup alternat untuk fiksasi eksentik bilateral.4

Visuskop
Visuskop adalah oftalmoskop yang telah dimodifikasi yang memproyeksikan

target fiksasi ke fundus. Mata yang tidak diuji ditutup. Pemeriksa memproyeksikan
target fiksasi ke dekat macula, dan pasien mengarahkan pandangannya ke tanda bintik
hitam (asterisk).4 Posisi tanda asterisk di fundus pasien dicatat. Pengujian ini diulang
beberapa kali utuk menentukan ukuran daerah fiksasi eksentrik. Pada fiksasi sentral,
tanda asterisk terletak di fovea. Pada fiksasi eksentrik, mata akan bergeser sehingga
asterisk bergerak ke daerah ekstrafoveal dan fiksasi retina.

Tes tutup alternat


Fiksasi eksentrik bilateral adalah suatu kelainan yang jarang dijumpai dan

terjadi pada pasien-pasien ambliopia kongenital kedua belah mata dan dalam hal ini
pada penyakit macula bilateral dalam jangka lama. Misalnya bila kedua mata
eksotropia atau esotarmia, maka bila matakontrlateral ditutup, maka yang satunya
tetap pada posisi semula, tidak ada usaha untuk refraksi bayangan. Tes visuskop akan
menunjukan adanya fiksasi eksentrik pada kedua belah mata.4
Penatalaksanaan
Ambliopia pada kebanyakan kasus , dapat ditatalaksana dengan efektif selama
satu decade pertama. Lebih cepat tindakan terapeutik dilakukan, semkin besar pula
17

peluang keberhasilannya. Bila pada awal terapi berhasil, tidak menjamin penglihatan
optimal akan tetap bertahan, maka para klinis harus tetap waspada dan bersiapuntuk
melakukan pentalaksanaan hingga penglihatan matang (sekitar 10 tahun).1,4
Penatalaksaan ambliopia meliputi:

Menghilangkan penghalang seperti katarak


Koreksi kelainan refraksi
Paksakan penggunaan mata yang lebih lama dengan membatasi penggunaan
yang lebih baik

Pengangkatan Katarak
Katarak yang dapat menyebabkan ambliopia harus segera dioperasi, tidak
perlu ditunda-tunda. Pengankatan katarak congenital pada usia 2-3 bulan pertama
kehidupan, sangat penting dilakukan agar penglihatan kembali pulih dengan optimal.
Pada kasus katarak bilateral, interval operasi yang pertama dan kedua setidaknya tidak
lebih dari 1-2 minggu. Terbentuknya katarak trumatika berat dan akut pada anak
dibawah 6 tahun harus diangkat dalam beberapa minggu setelah kejadian trauma, bila
memungkinkan. Yang mana katarak traumatika itu sangat bersifat ambliopiogenik.
Kegagalan dalam menjernihkan media, memperbaiki optikan, dan penggunaan
regular mata yang terluka, akan mengakibatkan ambliopia berat dalam beberapa
bulan, selambat-lambatnya pada usia 6 hingga 8 tahun.
Koreksi Refraksi
Bila ambliopia disebabkan kelainan refraksi atau anisometropia, maka dapat
diterapi dengan kacamata atau lensa kontak. Ukuran kacamata untuk mata ambliopia
diberi dengan koreksi penuh dengan sikloplegia. Bila dijumpai myopia tinggi
unilateral, lensa kontak merupaka pilihan, karena bila memakai kacamata akan terasa
berat dan penampilannya (estetika) buruk. Karena kemampuan mata ambliopia untuk
mengatur akomodasi cenderung menurun, maka ia tidak dapat mengkompensasikan
hyperopia yang tidak dikoreksi seperti pada mata anak normal. Koreksi aphakia pada
anak dilakukan segera mungkin untuk menghindarkan terjadinya deprivasi
penglihatan akibat keruhnya lensa menjadi deficit optikal berat. Ambliopia
anisometropik dan ambliopia isometropik akan sangat membaik walau hanya dengan
koreksi kacamata selama beberapa bulan.
18

Oklusi dan Degradasi Optikal


1.

Oklusi
Terapi oklusi sudah dilakukan sejak abad ke-18 dan merupakan terapi pilihan,

yang keberhasilannya baik dan cepat, dapat dilakukan oklusi penuh waktu (full time)
atau paruh waktu (part-time).4
a.

Oklusi Full Time


Pengertian oklusi full-time pada mata yang lebih baik adalah oklusi untuk

semua atau setiap saat kecuali 1 jam waktu berjaga. (Occlusion for all or all but one
waking hour),

arti ini sangat penting dalam penatalaksanaan ambliopia dengan

penggunaan mata yang rusak. Biasanya penutup mata yang digunakan adalah
penutup adesif (adhesive patches) yang tersedia secara komersial. Penutup (patch)
dapat dibiarkan terpasang pada malam hari atau dibuka sewaktu tidur. Kacamata
okluer (spectacle mounted ocluder) atau lensa kontak opak, atau Annisas Fun
Patches dapat juga menjadi alternatif full-time patching bila terjadi iritasi kulit atau
perekat patch-nya kurang lengket. Full-time patching baru dilaksanakan hanya bila
strabismus konstan menghambat penglihatan binocular, karena full-time patching
mempunyai sedikit resiko, yaitu bingung dalam hal penglihatan binocular.4
Ada suatu aturan/standard full-time patching diberi selama 1 minggu untuk
setiap tahun usia, misalnya penderita ambliopia pada mata kanan berusia 3 tahun
harus memakai full-time patch selama 3 minggu, lalu dievaluasi kembali. Hal ini
untuk menghindarkan terjadinya ambliopia pada mata yang baik.
b.

Oklusi Part-Time
Oklusi part-time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari, akan member hasil

sama dengan oklusi full-time. Durasi interval buka dan tutup patch-nya tergantung
dari derajat ambliopia. Ambliopia Treatment Studies (ATS) telah membantu dalam
penjelasan

peranan

full-time

patching

dibanding

part-time.

Studi

tersebut

menunjukkan, pasien usia 3-7 tahun dengan ambliopia berat (tajam penglihatan antara
20/100 = 6/30 dan 20/400 = 6/120) , full-time patching member efek sama dengan
penutupan selama 6 jam per hari. Dalam studi lain, patching 2 jam/hari menunjukan
kemajuan tajam penglihatan hampir sama dengan patching 6 jam/hari pada ambliopia
19

sedang/moderate (tajam penglihatan lebih baik dari 20/100) pasien usia 3-7 tahun.
Dalam studi ini, patching dikombinasi dengan aktivitas melihat dekat selama 1
jam/hari.1,4
Idealnya, terapi ambliopia diteruskan hingga terjadi fiksasi alternat atau tajam
penglihatan dengan Snellen linear 20/20 (6/6) pada masing-masing mata. Hasil ini
tidak selalu dapat dicapai. Sepanjang terapi terus menunjukkan kemajuan, maka
penatalaksanaan harus tetap diteruskan.
2.

Degradasi Optikal
Metode lain untuk penatalaksanaan ambliopia adalah dengan menurunkan

kualitas bayangan (degradasi optikal) pada mata yang lebih baik hingga menjadi lebih
buruk dari mata yang ambliopia, sering juga disebut penalisasi (penalization).
Sikloplegik (biasanya atropine tetes 1% atau homatropine tetes 5%) diberi satu kali
dalam sehari pada mata yang lebih baik sehingga tidak dapat berakomodasi dan kabur
bila melihat dekat-dekat.
ATS menunjukkan metode ini member hasil yang sama efektifnya dengan
patching untuk ambliopia sedang (tajam penglihatan lebih baik daripada 20/100). ATS
tersebut dilakukan pada anak usia 3-7 tahun. ATS juga memperlihatkan bahwa
pemberian atropine pada akhir minggu (weekend) memberi perbaikan tajam
penglihatan sama dengan pemberian atropine harian yang dilakukan pada kelompok
anak usia 3-7 tahun dengan ambliopia sedang. Ada juga studi terbaru yang
membandingkan atropine dengan patching pada 419 orang anak usia 3-7 tahun,
menunjukan atropine merupakan pilihan efektif.1,4 Pendekatan ini mempunyai
beberapa keuntungan disbanding dengan oklusi, yaitu tidak mengiritasi kulit dan lebih
apik dilihat dari segi kosmetis. Dengan atropinisasi, anak sulit untuk menggagalkan
metode ini. Evaluasinya juga tidak perlu sesering oklusi.Metode pilihan lain yang
prinsipnya sama adalah dengan memberikan lensa positif dengan ukuran tinggi
(fogging) atau filter. Metode ini mencegah terjadinya efek samping farmakologik
atropine. Keuntungan lain dari metode atropinisasi dan metode non-oklusi pada
pasien dengan mata yang lurus (tidak strabismus) adalah kedua mata dapat
bekerjasama, jadi memungkinkan penglihatan binocular.1,4
3. Ptosis Kongenital
20

Definisi
Ptosis merupakan keadaan jatuhnya kelopak mata (Drooping eye lid ), dimana
kelopak mata atas tidak dapat diangkat atau terbuka sehingga celah kelopak mata
menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan normal. 1 Normalnya fissura palpebra
memiliki lebar 9 mm. Posisi normal palpebra superior adalah ditengah-tengah antara
limbus superior dan tepian atas pupil. Ini dapat bervariasi 2 mm jika kedua palpebra
simetris.2
Etiologi
Ptosis terutama terjadi akibat tidak baiknya fungsi m. levator palebra, lumpuhnya
saraf ke III untuk levator palpebra atau dapat pula terjadi akibat jaringan penyokong
bola mata yang tidak sempurna, sehingga bola mata tertarik ke belakang atau
enoftalmus. Penyebab ptosis adalah miogenik, aponeurotik, neurogenik, mekanikal, dan
traumatik. Ptosis juga dapat terjadi pada miastenia gravis pada satu mata atau kedua
mata.3,6
Insidensi
Sampai saat ini insidensi ptosis belum pernah dilaporkan. Ptosis kongenital dapat
mengenai seluruh ras, angka kejadian ptosis sama antara pria dan wanita. Ptosis
kongenital biasanya tampak segera setelah lahir maupun pada tahun pertama kelahiran. 4
Ptosis yang didapat (acquired) dapat terjadi pada setiap kelompok usia, tetapi biasanya
ditemukan pada usia dewasa tua.5
Klasifikasi

Berdasarkan Onsetnya
Secara garis besar ptosis dapat dibedakan atas 2, yaitu :
a. Kongenital
Sebagian besar kasus ptosis kongenital akibat gangguan pembentukan jaringan
muskulus levator (myogenic etiology).6 Dapat terjadi dalam bentuk:
1. Unilateral : kegagalan perkembangan innervasi abnormal otot levator
palpebra.
Bila cukup berat dapat menyebabkan ambliopia dan harus segera ditangani
dengan pembedahan. Dapat menyertai Marcus Gunn syndrome (kelainan nervus
III dan nervus V), dimana kontraksi m.levator palpebra terjadi bila rahang
membuka ke samping pada sisi yang berlawanan.
21

2. Bilateral : infantile myastenia gravis atau anak dari ibu yang menderita
Myastenia gravis.
3. Ptosis yang menyertai Sturge Weber, von Recklinghausen syndrome dan alkohol
fetal syndrome.16
b. Didapat (Acquired)
Ptosis didapat terjadi akibat penurunan regangan atau disinsersi aponeurosis levator
(aponeurotic abnormality).6 Dapat terjadi pada keadaan:
1. Terkait dengan penyakit muskular, kelainan neurologis, faktor mekanik. Pada
2.
3.
4.
5.
6.
7.

beberapa kasus memerlukan penanganan secepatnya.


Myastenia Gravis
Botulinism
Paralysis n. III akibat trauma, tumor, degenerative CNS disease, lesi vaskular.
Distrofi miotonik.
Tumor, trauma, jaringan sikatrik pada palpebra.
Horner syndrom (ptosis, miosis dan dishidrosis ipsilateral).
Perbandingan Blefaroptosis 6
Kongenital Myogenik

Palpebral fissure
height
Upper eyelid crease
Levator function
On downgaze

Ptosis
Ptosis ringan- berat

Acquired Aponeurotik
Ptosis
Ptosis ringan- berat

Lemah atau tidak ada

Lebih tinggi dari

pada posisi normal


Berkurang
Eyelid lag

normal
Hampir normal
Eyelid drop

Berdasarkan Etiologinya
a. Ptosis Myogenik
Kongenital
Akibat dari gangguan perkembangan (maldevelopment) muskulus levator
dengan karakteristik penurunan fungsi levator, kelopak mata tertinggal, dan
kadang-kadang lagoftalmus. Congenital Myogenic Ptosis dengan phenomena
Bells yang buruk atau strabismus vertikal kemungkinan mengindikasikan
gangguan perkembangan konkomitan pada muskulus rektus superior.6
Didapat
Ptosis ini jarang ditemukan, merupakan akibat dari kelainan muskuler lokal atau
menyeluruh, seperti distrofi muskuler, eksternal oftalmoplegia progresif kronik,
miastenia grafis, atau distrofi okulofaringeal. 6
Distrofi muskuler
Ditemukan ptosis dan kelemahan muka. Gejala lainnya adalah katarak,
kelainan pupil, botak frontal, atrofi testes dan diabetes.2
22

Oftalmoplegia eksternal menahun progresif


Adalah penyakit neuromuskuler herediter progresif lambat, yang mulai
dipertengahan kehidupan. Semua otot ekstra okuler termasuk levator dan
otot-otot ekspresi muka berangsur-angsur terkena. Biasanya bersifat
bilateral, simetris dan progresif ptosis. Namun reaksi pupil dan akomodasi
normal . Untuk dapat mengangkat palpebra biasanya pasien menggunakan
M. Frontalis. Pada Sindroms Kearns Sayre ophtalmoplegia disertai renitis

pigmentosa dan blok jantung.2


Myasthenia gravis
Suatu gangguan neuro muskular yang diduga disebabakan oleh adanya
antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada neuro muskular jungtion.
Merupakan myogenik ptosis yang bilateral dan asimetris. Ptosis yang terjadi
sering bersamaan dengan diplopia . Muskulus orbikularis okuli juga sering
terkena. Kedut palpebra Cogan kadang-kadang ada saat menggerakkan
mata dari pandangan ke bawah ke posisi primer, palpebra superior berkedut
ke atas.2

b. Ptosis Aponeurotika
Kongenital
Akibat kegagalan insersi aponeurosis pada posisi normal di permukaan
anterior tarsus.6
Didapat
Akibat kelemahan, perlepasan, atau disinsersi aponeurosis levator dari
kedudukan noramal. Umumnya terdapat cukup sisa perlekatan ke tarsus yang
dapat mengangkat palpebra saat melihat keatas. Tetap tersisanya perlekatan
aponeurosis levator ke kulit dan muskulus orbicularis menghasilkan lipatan
palpebra yang sangat tinggi, dapat pula terjadi penipisan palpebra dimana
bayangan iris tampak terbayang melalui kulit palpebra superior. Mekanisme
ptosis pada operasi mata, blepharochalasis, kehamilan dan penyakit Grave
umumnya akibat kerusakan pada aponeurosis.2,6
c. Ptosis Neurogenik
Kongenital
Disebabkan karena adanya defek neurogenik yang terjadi pada saat
perkembangan embrio. Ptosis ini jarang ditemukan dan sering berhubungan
dengan kelumpuhan nervus kranial III kongenital, horner sindrom congenital,
atau Marcus Gunn jaw-winking sindrom.6
23

Didapat
Disebabkan karena putusnya hubungan persarafan normal yang paling sering
terjadi akibat sekunder dari kelumpuhan nervus kranial III didapat, sindrom
horner atau miastenia grafis didapat.6
Sindrom Marcus Gunn
Pada sindrom Marcus Gunn (fenomena berkedip-rahang), mata
membuka saat mandibula dibuka atau menyimpang ke sisi berlawanan.
Muskulus levator yang mengalami ptosis disarafi oleh cabang-cabang

motorik nervus trigeminus dan nervus okulomotorius.2


Sindroma Horner
Blepharoptosis yang terjadi adalah akibat berkurangnya inervasi
simpatis ke otot otot muller palpebra superior yang terkadang juga diikuti
pada palpebra inferior yang jika kedua palpebra mengalami ptosis akan
beradampak berkurangnya lebar vertikal fisura palpebra yang sering disalah
diagnosis dengan enophthalmos.2
Paralisis otot Muller hampir selalu berkaitan dengan sindroma Horner
dan biasanya didapat. Jarang ada ptosis di bawah 2 mm, dan ambliopia
tidak pernah terjadi.2

d. Ptosis Mekanikal
Ptosis mekanikal biasanya terjadi akibat neoplasma yang mendorong palpebra
superior ke inferior, hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital seperti
neuroma fleksiform, hemangioma, atau oleh neoplasma didapat seperti khalazion
besar, basal sel atau squamous sel karsinoma. Edema setelah operasi atau trauma
dapat menyebabkan ptosis mekanikal sementara.6
e. Ptosis Traumatik
Ptosis Traumatik terjadi akibat trauma tajam dan tumpul pada muskulus atau
aponeurosis levator. Seperti pada laserasi palpebra superior dan prosedur bedah saraf
orbital. Pada kasus ptosis traumatic dokter mata harus melakukan observasi selama 6
bulan sebelum melakukan koreksi ptosis karena kadang-kadang dapat sembuh
spontan.6
f. Pseudoptosis
Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pseudoptosis, termasuk hipertropia,
enoftalmos, mikroftalmos, anofthalmos, ptisis bulbi, defek sulkus superior akibat trauma,
atau kasus lainnya.6
o Berdasarkan Jarak Jatuhnya Palpebra Superior
24

Ptosis diklasifikasikan atas 3 derajat: 7


1. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2 mm termasuk ptosis ringan,
2. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 3 mm termasuk ptosis sedang
3. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea > 4 mm termasuk ptosis berat.
Gambaran Klinis
Pasien ptosis sering datang dengan keluhan utama jatuhnya kelopak mata atas
dengan atau tanpa riwayat trauma lahir, paralisis n. III, horner syndrom ataupun
penyakit sistemik lainnya. Keluhan tersebut biasanya disertai dengan ambliopia
sekunder.4 Pada orang dewasa akan disertai dengan berkurangnya lapang pandang
karena mata bagian atas tertutup oleh palpebra superior. Pada kasus lain, beberapa
orang (utamanya pada anak-anak) keadaan ini akan dikompensasi dengan cara
memiringkan kepalanya ke belakang (hiperekstensi) sebagai usaha untuk dapat melihat
dibalik palpebra superior yang menghalangi pandangannya. Biasanya penderita juga
mengatasinya dengan menaikkan alis mata (mengerutkan dahi). Ini biasanya terjadi
pada ptosis bilateral. Jika satu pupil tertutup seluruhnya, dapat terjadi ambliopia. 1,7
Ptosis yang disebabkan distrofi otot berlangsung secara perlahan-lahan tapi progresif
yang akhirnya menjadi komplit. Ptosis pada myasthenia gravis onsetnya perlahanlahan, timbulnya khas yaitu pada malam hari disertai kelelahan, dan bertambah berat
sepanjang malam. Kemudian menjadi permanen. Ptosis bilateral pada orang muda
merupakan tanda awal myasthenia gravis.2 Pada ptosis kongenital seringkali gejala
muncul sejak penderita lahir, namun kadang pula manifestasi klinik ptosis baru muncul
pada tahun pertama kehidupan. Kebanyakan kasus ptosis kongenital diakibatkan oleh
suatu disgenesis miogenic lokal. Bila dibandingkan dengan otot yang normal, terdapat
serat dan jaringan adipose di dalam otot, sehingga akan mengurangi kemampuan otot
levator untuk berkontraksi dan relaksasi. Kondisi ini disebut sebagai miogenic ptosis
kongenital.4
Symptom/ gejala ptosis:

Jatuhnya / menutupnya kelopak mata atas yang tidak normal.


Kesulitan membuka mata secara normal.
Peningkatan produksi air mata.
Adanya gangguan penglihatan.
Iritasi pada mata karena kornea terus tertekan kelopak mata.

25

Pada anak akan terlihat guliran kepala ke arah belakang untuk mengangkat
kelopak mata agar dapat melihat jelas.17
Diagnosis
Diagnosis ptosis dapat ditegakkan. Berdasarkan pada anamnesa dan
pemeriksaan yang tepat maka selain diagnosis, juga dapat diketahui kausa dari ptosis
dan derajat beratnya ptosis sehingga dapat ditentukan tindakan dan penanganan yang
tepat.
Anamnesis:
Identitas
Onset ptosis
Faktor yang mengurangi atau pemicu
Riwayat keluarga
Sejak pertama muncul apakah meningkat, berkurang atau konstan.
Hubungannya dengan:
Gerakan rahang
Gerakan mata yang abnormal
Postur kepala yang abnormal

Riwayat trauma atau pembedahan sebelumnya

Foto lama dari wajah dan mata pasien dapat dijadikan dokumentasi untuk melihat
perubahan pada mata.

Pemeriksaan Oftalmologi:
Secara fisik, ukuran bukaan kelopak mata pada ptosis lebih kecil dibanding mata
normal. Ptosis biasanya mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra
superior ( otot kelopak mata atas ). Rata rata lebar fisura palpebra / celah kelopak
mata pada posisi tengah adalah berkisar 9 mm, panjang fisura palpebra berkisar 28 mm.
Rata rata diameter kornea secara horizontal adalah 12 mm, tetapi vertikal adalah = 11
mm. Bila tidak ada deviasi vertikal maka refleks cahaya pada kornea berada 5,5 mm
dari batas limbus atas dan bawah. Batas kelopak mata atas biasanya menutupi 1.5 mm
kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4 mm
diatas reflek cahaya pada kornea.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut meliputi:
1. Palpebra Fissure Height
26

Jarak antara margo palpebra superior dan inferior pada posisi penglihatan primer.

Gambar 2. Pemeriksaan Palpebra Fissure Height


2. Margin-Reflex Distance
Margin-Reflex Distance 1 (MRD 1)
Jarak antara tengah refleks cahaya pupil dan margin kelopak mata atas
dengan pada posisi primer. Hasil pengukuran 4 - 5 mm dianggap normal.

Gambar 3. Pemeriksaan Margin-Reflex Distance 1 (MRD 1)

Margin-Reflex Distance 2 (MRD 2)


Jarak antara pusat refleks cahaya pupil dan margin kelopak mata
bawah pada posisi primer. Jumlah MRD1 dan MRD2 sama dengan palpebra

fissure height.6
3. Upper Lid Crease
Jarak antar lipatan kulit palpebra superior dengan margin palpebra.
Akibat insersi jaringan muskulus levator ke dalam kulit sehingga membentuk
lid-crease. Disinsersi aponeurosis levator membentuk lid-crease pada posisi
tinggi, ganda, dan asimetris. Lid-crease biasanya tinggi pada pasien ptosis
involusional. Pada ptosis kongenital biasanya samar-samar atau tidak ada. Ciri
khas lid-crease orang Asia biasanya rendah dan tidak jelas walaupun tidak ada
ptosis.6
4. Levator Function
Penderita diminta melihat ke bawah maksimal, pemeriksa memegang
penggaris dan menempatkan titik nol pada margo palpebra superior, juga
pemeriksa menekan otot frontal agar otot frontal tidak ikut mengangkat
27

kelopak, lalu penderita diminta melihat ke atas maksimal dan dilihat margo
palpebra superior ada pada titik berapa. Aksi levator normal 14-16 mm.

Gambar 4. Pemeriksaan Levator Function

5. Bells Phenomenon
Penderita disuruh menutup atu memejamkan mata dengan kuat,
pemeriksa membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas
berarti Bells Phenomenon (+).

Gambar 5. Pemeriksaan Bells Phenomena


Pemeriksaan Oftalmologi Lainnya:
Tajam penglihatan dan kelainan refraksi kedua mata
Posisi kepala, elevasi dagu, posisi alis mata, dan aksi alis saat berusaha melihat ke

atas.
Lagoftalmus (penutupan kelopak mata yang tidak sempurna)
Tes Schimer
Sensibilitas kornea
Gerakan bola mata 6

Pemeriksaan Tambahan:

28

Pemeriksaan lapangan pandang


Pemeriksaan farmakologi: kokain topical, tes tensilon.6
Pada pasien ptosis umumnya tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.

Namun untuk mengetahui adanya kelainan sistemik yang dapat mengakibatkan


keadaan tersebut kiranya dapat dilakukan pemeriksaan darah. Pemeriksaan MRI dan
CT-scan kepala dan mata dibutuhkan misalnya bila untuk melihat adanya massa tumor
yang menyebabkan terjadinya ptosis, dan pada pasien yang ditemukan adanya
kelainan neurologik lainnya misalnya pada pupil yang abnormal.4
Penatalaksanaan
Penting

untuk

menyingkirkan

penyebab

dasar

yang

terapinya

dapat

menyelesaikan masalah (misal myasthenia gravis).7 Apabila ptosisnya ringan, tidak


didapati kelainan kosmetik dan tidak terdapat kelainan visual seperti ambliopia,
strabismus dan defek lapang pandang, lebih baik dibiarkan saja dan tetap diobservasi.8
Pada ptosis kongenital, dilakukan pembedahan (memperpendek) otot levator yang
lemah serta aponeurosisnya atau menggantungkan palpebra pada otot frontal. Pada
anak-anak dengan ptosis tidak memerlukan pembedahan secepatnya namun perlu tetap
diobservasi secara periodik untuk mencegah terjadinya ambliopia. Bila telah terjadinya
ambliopia, pembedahan dapat direncanakan secepatnya. Namun jika hanya untuk
memperbaiki kosmetik akibat ptosis pada anak, maka pembedahan dapat ditunda
hingga anak berumur 3-4 tahun.8
Pada ptosis yang didapat, dilakukan koreksi penyebab. Jika koreksi penyebab
tidak mungkin, maka kelopak mata diperpendek menurut arah vertikalnya (jika fungsi
levator baik) atau diikatkan ke frontal (jika fungsi levator buruk).8
Indikasi pembedahan: 2
1. Fungsional
Gangguan axis penglihatan. Ambliopia dan stabismus dapat menyertai ptosis pada
anak-anak.
2. Kosmetik
Tujuan operasi adalah simetris, dan simetris dalam semua posisi pandangan hanya
mungkin jika fungsi levator tidak terganggu.

1.
2.
3.
4.

Kontra Indikasi pembedahan:2


Kelainan permukaan kornea
Bells Phenomenon negatif
Paralisa nervus okulomotoris
Myasthenia gravis

29

Prinsip-Prinsip Pembedahan:
Pembedahan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan cukup dengan anestesi
lokal. Pada ptosis ringan, jaringan kelopak mata yang dibuang jumlahnya sedikit.
Prinsip dasar pembedahan ptosis yaitu memendekkan otot levator palpebra atau
menghubungkan kelopak mata atas dengan otot alis mata. Koreksi ptosis pada
umumnya dilaksanakan hanya setelah ditemukan penyebab dari kondisi tersebut. Dan
perlu diingat bahwa pembedahan memiliki banyak resiko dan perlu untuk didiskusikan
sebelumnya dengan ahli bedah yang akan menangani pasien tersebut.8
Beberapa Pembedahan Ptosis:
Reseksi Levator Eksternal
Prosedur ini memendekan aponeirosis levator dengan cara insisi pada lipat
palpebra. Insisi pada kulit disembunyikan antara lid fold yang lama dan yang
baru agar serasi dengan mata kontralateral. Reseksi levator eksternal
diindikasikan pada kasus ptosis moderat sampai berat dengan fungsi kelopak
yang buruk. Ptosis kongenital termasuk kategori tersebut.8
Pedoman yang dianjurkan Beard :
1. Ptosis kongenital ringan (1,5-2 mm) dengan fungsi levator yang masih
baik (8 mm atau lebih) : reseksi 10 13 mm.
2. Ptosis kongenital sedang (3 mm) :
fungsi levator baik (8 mm atau lebih) : dipotong 14 17 mm;
fungsi yang kurang (5-7 mm) : direseksi 13 22 mm
fungsi yang buruk (0-4 mm): reseksi 22 mm atau lebih.
3. Ptosis kongenital berat (4 mm atau lebih) dengan fungsi yang kurang

sampai buruk : reseksi 22 mm atau lebih atau lakukan sling frontalis.8


Frontalis sling
Pada kasus ptosis berat dengan fungsi palpebra 1-2 mm, frontalis sling

merupakan pendekatan yang paling baik.8


Prosedur Fasenella Servat
Elevasi palpebra dengan cara mengambil jaringan didalam palpebra termasuk
tarsus , konjungtiva dan Mller muscle, jarang digunakan untuk kasus ptosis
konginental. Operasi ini diindikasikan jika fungsi levator baik (10 mm) dan ptosis
ringan (1-2 mm).8

30

Gambar 6. Teknik Pembedahan Ptosis


Kebanyakan operasi ptosis berupa reseksi aponeurosis levator atau otot-otot
tarsus superior (atau keduanya). Banyak cara, dari kulit maupun dari konjungtiva, kini
dipakai. Pada tahun-tahun terakhir ini, titik berat diletakkan pada keuntungan
membatasi operasi pada perbaikan dan reseksi aponeurosis levator, terutama pada
ptosis yang didapat.2
Pasien dengan sedikit atau tanpa fungsi levator memerlukan sumber
pengangkatan alternatif. Menggantungkan palpebra pada kening (alis) memungkinkan
pasien mengangkat palpebra dengan bantuan gerak alami muskulus frontalis. Fascia
lata autogen biasanya dianggap sebagai alat terbaik untuk menggantung.2
Prognosis
Prognosis tergantung pada tingkat ptosisnya dan etiologinya.4
Ptosis kongenital tipe mild dan moderate dapat mengalami perbaikan seiring

dengan waktu tanpa komplikasi yang berat.


Ptosis yang menyebabkan ambliopia membutuhkan terapi Patching. Ini dilakukan

setelah operasi ptosis.


Ptosis kongenital yang menyebabkan hambatan penglihatan sebaiknya segera
ditangani dengan pembedahan.

Komplikasi
31

Underkoreksi
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada operasi ptosis.
Underkoreksi ini dapat dicegah dengan mengukur jumlah reseksi aponeurosis levator
yang tepat sebelum ujung aponeurosis dipotong dan dijahit pada pinggir tarsus. Koreksi
ulang apabila dijumpai underkoreksi dapat dilakukan dalam minggu pertama setelah
operasi atau pada saat pasien masih dirawat di rumah sakit. Dalam hal ini harus dapat

dibedakan underkoreksi karena edema setelah operasi dengan underkoreksi sebenarnya.


Overkoreksi
Dapat disertai dengan keratitis eksposure dan dry eyes.6

Daftar Pustaka
1. American Academy of Ophthalmology: Chapter 5: Amblyopia; Section 6; Basic and
Clinical Science Course; 2004-2005; p.63-70.
2. Yen, K G; Amblyopia. Available at: http://www.emedicine.com/OPH/topic316.htm
3. Greenwald, M.J; Parks, M.M; in Duanes Clinical Ophthalmology; J.B. Lippincott
Company; Philadelphia and Toronto; 1983; p.78-93.
4. Langston, D.P; Manual of Ocular Diagnosis and Therapy; 5 th Edition; Lippincott
Wlliams & Wilkins; Philadelphia; p.344-6.
5. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI, 2007;
hal .100.
6. Vaughan, Daniel. Blepharoptosis. Dalam: Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika, 2000; hal. 86-7.
7. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta:
FKUI, 2005; hal.47.
32

8. Suh, Donny Wun. Ptosis, Congenital. Editor(s) : Michael J Bartiss, Donald S Fong,
Mark T Duffy, Lance L Brown, Hampton Roy. Department of Ophthalmology,
University of Nebraska Medical Center. Avaiable at http://www.emedicine.com/
ph/topic345.25 Juni 2015.

33

Anda mungkin juga menyukai