Anda di halaman 1dari 4

Ali bin Abi Thalib

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Pribadinya
Ayahnya adalah: Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi
Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf.
Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga
Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya
Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan
pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian
menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama
ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman
dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan
menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah.
Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan
beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah
meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya,
meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas
ibunya. Dan bersabda:
"Semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau adalah
orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah ibuku. Dan semoga
Allah SWT meridhai-mu."
Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang
tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang
mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.
Haidarah adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya
menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun
nama Ali kemudian lebih terkenal.
Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti
Rasulullah Saw. Seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama
hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai
beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya
Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu:
Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far,
Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath,
Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash
Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far,
Jumanah, dan Taqiyyah.
Keturunannya yang mulia, selanjutnya mengalir dari Hasan, Husain, Muhammad bin
Hanafiah, Umar dan Abbas. Karena kecintaan dan penghormatannya yang mendalam
terhadap sahabat Nabi yang mulia, dan yang telah dijanjikan masuk surga, maka ia
menamakan beberapa orang anaknya dengan nama-nama mereka, yaitu: Abu Bakar, Umar,
dan Utsman. Abu Bakar, anaknya, terbunuh bersama Husain dalam peristiwa Karbala. Anak
ini merupakan anak dari isterinya, Laila bin Mi'waz. Sementara anaknya Utsman yang
dilahirkan dari isterinya Ummu Banin, juga terbunuh dalam perisitwa Karbala. Sedangkan

Umar adalah anaknya dari Ummu Habib ash Shahba.


Saat imam Ali mendapatkan mati syahid, ia meninggalkan empat orang isteri yang merdeka,
yaitu: Umamah, Laila, Ummu Banin dan Asma bin 'Umais. Serta delapan belas orang hamba
sahaya wanita.
Jumlah seluruh anak lakinya adalah lima belas orang, dan anak perempuannya adalah
delapan belas orang.

Kelahirannya
Fathimah binti Asad melahirkan anaknya, Haidarah (Ali KW), di Ka'bah, pada dua puluh
satu tahun sebelum hijrah. Ada yang mengatakan, pada tahun ke tiga puluh dua dari
kelahiran Rasulullah saw. Ia adalah anak bungsu dari kedua orang tuanya, selain Ja'far, Uqail
dan Thalib. Saat Abu Thalib mengalamai krisis ekonomi karena kekeringan yang melanda,
seperti yang dialami oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah saw menyarankan kepada kedua
pamannya: Hamzah dan Abbas untuk turut membantu meringankan beban saudaranya, Abu
Thalib, dengan menanggung biaya hidup anaknya. Maka keduanya pun memenuhi
permintaan tersebut. Mengetahui hal itu, Abu Thalib berkata kepada kedua saudaranya
tersebut,: "Ambillah siapa yang kalian ingini, namun tinggalkanlah Uqail, untuk tetap aku
didik." Uqail adalah anak yang paling disayangi oleh Abu Thalib. Maka Abbas mengambil
Thalib, Hamzah mengambil Ja'far dan Rasulullah saw mengambil Ali KW.
Adalah Nabi Saw bagi anak keponakannya, Ali KW, bertindak sebagai bapak, saudara,
teman, dan guru pendidik. Dan Ali pun menerima beliau pengganti kedua orang tua, dan
keluarganya. Sehingga ia pun terdidik dalam didikan Nabi Saw. Ia Merupakan keturunan
puncak keluarga Hasyimiah, yang darinya terlahir kemuliaan, kedermawanan, sifat pemaaf,
ksaih sayang dan hikmah yang lurus.
Seperti diriwayatkan, ia tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas
kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia
pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh
pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng
Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat
dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah
menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Isteri-isterinya: setelah Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al
Ash bin Rabi' bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin bini
Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti Mas'ud an Nahsyaliyyah,
ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa binti 'Umais, yang sebelumnya merupakan
isteri Ja'far bin Abi Thalib, dan selanjutnya menjadi isteri Abu Bakar (hingga ia meninggal),
dan berikutnya menjadi isteri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib ash Shahbaa
at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu
Sa'd ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba'ah bintih Imri'il Qais al Kulabiyyah.
Sifat-sifatnya: Imam Ali KW adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan
pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang
mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut
di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya
tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan
seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw. Seperti
dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi
Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat,
bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf,
lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.
Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar,
mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian
menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk
menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas,

untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.


Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok
yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.
Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi
musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.
Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak
pernah melalaikan syari'at.
Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan
berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai
pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala
hawa dingin menghempas.
Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu
yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu
akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat.
Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian
butiran-butiran air di lautan.
Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang
bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang
ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas
yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan
adalah 'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat
adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.
Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab
yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga
mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang
dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan
sastra Arab.
Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada
kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu
berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya
atau kenalannya.
Ia berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak
mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh
dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga
kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang
tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu.
Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh,
yang mencengkeram bumi. Itu emua adalah cermin dari percaya dirinya, keimanannya, dan
keyakinanya terhadap Rabb-nya, lantas bagaimana mungkin ia menjadi lembek?
Ia dengan teguh menolak sikap yang tidak sesuai dengan kebenaran, atau syari'ah, atau
akhlak atau kemuliaan. Jiwanya yang mulia menolak untuk menipu seorang gubernur yang
senang berkuasa, dan yang menghamburkan kekayaan umat untuk kepentingan hamba
nafsunya. Ia tidak tidak peduli dengan orang yang membenci, atau orang yang
memusuhinya. Menurutku, ia adalah sifat orang yang kuat, baik dalam kepribadiaannya,
pendapatnya dan dalam memegang kebenaran.
Barangkali ada yang berpikir bahwa ia telah bersikap lunak dalam peristiwa tahkim
(arbitrase). Namun menurutku, dugaan seperti itu adalah suatu kebodohan. Imam Ali KW
tidak bersifat lembek, namun ia lebih mementingkan persatuan umat. Karena orang-orang
yang ikut bersidang saat itu sedang berada dalam kubu-kubu yang saling berbeda pendapat.
Maka ia memilih untuk keluar dari kondisi terburuk menuju kondisi yang buruk. Ia telah

menegaskan hal itu, dan memberi peringatan kepada para pengikutnya. Namun ternyata
orang-orang yang berada di sekitarnya tenggelam dalam perdebatan tanpa ujung dan
pertikaian tanpa henti. Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang memilukan.
Rasa kasih sayang dalam hatinya-lah yang mendorong dirinya untuk bersikap lunak dan
tidak keras. Hal itu ia lakukan karena ingin menyelamatkan orang lain, sehingga ia rela
meletakkan dirinya dalam bahaya. Ia rela untuk menebus nyawa orang yang ia kasihi, atau
kelompok orang yang beriman, atau beberapa orang yang sedang diincar oleh musuh,
dengan nyawanya. Sehingga diapun bersikap lunak, dan meminta jalan yang lebih baik. Agar
kasih sayang mengalahkan kecemburuan, kecintaan mengalahkan kekerasan, dan
menjauhkan orang-orang yang ia sayangi dari kebinasaan. Orang yang membaca apa yang ia
pinta kepada Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Abdullah, niscaya akan mengetahui bahwa
keduanya telah menghianatinya, dan memeranginya. Maka iapun mengecam keduanya,
dengan kecaman seorang penyayang terhadap orang yang ia sayangi. Ia mengingatkan
keduanya tentang janji-janji yang pernah mereka ucapkan, dan kebersamaan mereka dalam
menegakkan kalimat Allah SWT. Apa yang ia lakukan saat terjadi bentrokan yang terjadi
antara dirinya dan Aisyah menjadi bukti akan ketinggian sifat kasih sayangnya, kemuliaan
perasaannya, dan usahanya yang keras untuk memadamkan tanda-tanda ambisi rendahan,
yang tidak layak bagi tokoh besar seperti dirinya, juga bagi tokoh mulia semacam Aisyah r.a.
Oleh karena itu, ia berusaha melakukan negosiasi yang hanya dapat dilakukan oleh orang
besar semacam dirinya, yaitu para mujahidin yang mulia.
Dari buku: Khutbah-khutbah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib RA.
Judul Asli: Khuthab Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib RA.
Pensyarah: Imam Muhammad Abduh
Penerbit: Maktabah Shahaafah, Kairo, tt.
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, Sulthoni Yusuf dan Masnur Hamzah
Edisi bahasa Indonesia akan diterbitkan oleh Gema Insani Press.

Anda mungkin juga menyukai