Fakta di lapangan diatas bukan hanya sebatas tuntutan hak ulayat pada wilayah-wilayah
konsesi (HGU/HPH) dan kawasan hutan yang ditetapkan oleh negara, namun merasuk pada
konflik antara hukum negara dengan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal
tersebut muncul akibat ekspresi hukum adat pada wilayah-wilayah tersebut tidak lagi diakui
oleh hukum negara.
Penetapan kawasan hutan adalah contoh nyata bagaimana hak ulayat dan tata kelola
sumberdaya alam berdasarkan hukum adat tidak berlaku lagi sejak ditetapkan wilayah adat
menjadi hutan negara. Berbagai sanksi hukum (baca: hukum negara) terutama pidana
mengancam siapa saja yang mengakses hutan negara tanpa izin, tidak terkecuali
masyarakat nagari yang berada di sekitar atau didalam kawasan hutan negara tersebut.
Tumpang tindih penguasaan sumber daya alam antara masyarakat nagari dengan negara
tidak lagi terelakkan, kriminalisasi masyarakat nagari, pembatasan akses masyarakat nagari
atas hutannya dan bahkan penghancuran sistem kearifan lokal (local wisdom) pun
berlaku.
Bila dilihat lebih dalam, fenomena yang terjadi seputar konflik tanah ulayat diatas tidak bisa
dilepaskan dari politik hukum negara yang menganut sentralisme hukum negara.
Sentralisme hukum menuntut kepatuhan mutlak warga negara pada hukum negara sebagai
satu-satunya hukum yang diakui, sedangkan hukum lain yang hidup di masyarakat (the
living law) seperti hukum adat dianggap bukanlah hukum. Faktanya, hukum adat berlaku
efektif di Sumatera Barat. Hukum adat memaksa setiap anggota masyarakat nagari untuk
tunduk melalui penerapan sanksi adat dan mekanisme penyeleasaian sengketa adat.
Menarik untuk merujuk Kurniawarman (2009), bahwa nagari-nagari telah menjadi bagian
terintegrasi dari negara dan menjadi entitas Semi-Autonomus of Social Field (Moore),
sehingga nagari tidak lagi sepenuhnya autonom (mandiri) namun semi- autonom (semimandiri). Hal itu adalah konsekuensi penyatuan kehidupan berbangsa paska runtuhya
penjajahan Belanda untuk menciptakan negara yang berdaulat. Nagari (masyarakat adat)
tetap dihargai sebagai masyarakat semi-autonom dalam konstitusi kita, terutama dalam
pengakuan hak ulayat atas sumber daya alamnya. Pengakuan konstitusi tersebut kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam rezim peraturan sumber daya alam (Undang-undang Pokok
Agraria/UUPA) dan rezim peraturan otonomi daerah.
Harapan pengakuan hak ulayat masyarakat adat (nagari) ternyata bukan muncul dari rezim
peraturan pengelolaan sumber daya alam, namun lahir dari rezim peraturan otonomi
daerah. Otonomi daerah adalah kritik terhadap sentralisme pemerintah pusat yang begitu
besar sehingga mematikan potensi-potensi daerah. Otonomi daerah ternyata sekaligus
berkonsekuensi pada dinamika sentralisme hukum, dalam konteks propinsi Sumatera Barat,
hal tersebut terlihat dari lahirnya Perda Nagari (Perda No. 2/2007) dan Perda Tanah Ulayat
dan Pemanfaatannya (Perda No. 6/2008). Dua perda ini adalah simbol perlawanan unifikasi
hukum pemerintahan desa dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik di masa
rezim Orde Baru.
Dua perda ini mencoba menata kembali hak-hak masyarakat nagari dalam penguasaan dan
pengelolaan hak ulayat dengan memperkuat nagari sebagai subjek pemangku hak ulayat
( melaui perda nagari) dan tanah ulayat sebagai objek hak ulayat (melalui perda tanah
ulayat dan pemanfaatannya). Integrasi hukum negara dengan hukum adat menjadi strategi
propinsi sumatera barat dalam melawan dominasi hukum negara itu sendiri terhadap
penguasaan hak ulayat di sumatera barat. Dinamika integrasi hukum tersebut terbukti
efektif mengangkat sistem pemerintahan adat (nagari) dalam sistem pemerintahan desa
yang modern walaupun masih banyak persoalan-persoalan seperti; tumpang tindih
kewenangan KAN dengan Pemerintahan nagari dan tumpang tindih batas administratif
nagari dengan batas adat nagari. Namun paling tidak, nagari secara perlahan-lahan
memperkuat eksistensinya sebagai subjek pemangku hak ulayat.
Namun sayang, dalam konteks objek hak ulayat (tanah ulayat dan hutan adat) masih dalam
pergulatan yang alot. Perda tanah ulayat dan pemanfaatannya di hadapi pada tantangan
sentralisme dan sektoralisme pengaturan sumber daya alam yang kental. Kawasan hutan
negara, tanah-tanah yang berstatus HGU, atau tanah-tanah Negara bekas HGU berlaku kuat
hukum negara. Pergulatan berlangsung sampai saat ini, baik itu melalui tuntutan-tuntutan
politis nagari-nagari atas hak ulayatnya melalui protes-protes terhadap penguasaan hak
ulayat oleh negara dan kelompok bisnis, tuntutan hukum nagari-nagari melalui peradilan,
maupun integrasi hukum adat dalam hukum negara melalui peraturan nagari seperti
pemulihan kembali tanah ulayat bekas HGU YanitaRanch di Nagari Sungai Kamunyang
Kabupaten Limapuluh Kota dan pengaturan hutan adat dalam kawasan hutan Negara (hutan
lindung) di Nagari Guguk Malalo, kabupaten Tanah Datar.
-----*) Penulis adalah Peneliti Qbar, dan Mahasiswa Pascasarjana Pada Program Studi
Integrated Natural Resources Management (INRM), Universitas Andalas Padang.