Anda di halaman 1dari 4

Dinamika Tanah Ulayat dalam Jerat Hukum Negara

Oleh: Nurul Firmansyah *)


Selasa, 11 January 2011
Tanah ulayat masih locus kontestasi hak antara masyarakat adat (nagari) dengan kelompok bisnis
dan pemerintah (negara) di berbagai tempat di Sumatera Barat.
Penetapan sepihak kawasan hutan di wilayah-wilayah hutan adat, penetapan Hak Guna
Usaha (HGU), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HPH) di tanah ulayat atau
hutan adat dan izin-izin tambang kecil atau menengah di nagari-nagari mewarnai
pergulatan hak tersebut yang berujung makin membaranya konflik tanah ulayat antara
nagari dengan kelompok bisnis dan pemerintah (negara). Kasus perkebunan Anam Koto di
Kabupaten Pasaman Barat, tuntutan nagari-nagari selingkar HPH AMT di Kabupaten Solok
Selatan, konflik hutan adat Nagari Kambang terhadap TNKS di Kabupaten Pesisir Selatan
adalah segelintir contoh-contoh kasus yang berlaku sampai saat ini.

Fakta di lapangan diatas bukan hanya sebatas tuntutan hak ulayat pada wilayah-wilayah
konsesi (HGU/HPH) dan kawasan hutan yang ditetapkan oleh negara, namun merasuk pada
konflik antara hukum negara dengan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal
tersebut muncul akibat ekspresi hukum adat pada wilayah-wilayah tersebut tidak lagi diakui
oleh hukum negara.

Penetapan kawasan hutan adalah contoh nyata bagaimana hak ulayat dan tata kelola
sumberdaya alam berdasarkan hukum adat tidak berlaku lagi sejak ditetapkan wilayah adat
menjadi hutan negara. Berbagai sanksi hukum (baca: hukum negara) terutama pidana
mengancam siapa saja yang mengakses hutan negara tanpa izin, tidak terkecuali
masyarakat nagari yang berada di sekitar atau didalam kawasan hutan negara tersebut.
Tumpang tindih penguasaan sumber daya alam antara masyarakat nagari dengan negara
tidak lagi terelakkan, kriminalisasi masyarakat nagari, pembatasan akses masyarakat nagari
atas hutannya dan bahkan penghancuran sistem kearifan lokal (local wisdom) pun
berlaku.

Sebaliknya, kelompok-kelompok bisnis yang menggunakan legalitas hukum negara melalui


izin-izin pemanfaatan hutan (HPH) diberi akses untuk mengelola walaupun tanpa
persetujuan masyarakat nagari-nagari yang notabene sebagai pemilik hutan adat (tanah
ulayat) pada wilayah-wilayah yang dimanfaatkan tersebut.

Fakta Pluralisme Hukum

Bila dilihat lebih dalam, fenomena yang terjadi seputar konflik tanah ulayat diatas tidak bisa
dilepaskan dari politik hukum negara yang menganut sentralisme hukum negara.
Sentralisme hukum menuntut kepatuhan mutlak warga negara pada hukum negara sebagai
satu-satunya hukum yang diakui, sedangkan hukum lain yang hidup di masyarakat (the
living law) seperti hukum adat dianggap bukanlah hukum. Faktanya, hukum adat berlaku
efektif di Sumatera Barat. Hukum adat memaksa setiap anggota masyarakat nagari untuk
tunduk melalui penerapan sanksi adat dan mekanisme penyeleasaian sengketa adat.

Penerapan sanksi-sanksi tersebut menciptakan tertib sosial di nagari-nagari walaupun


melalui pola-pola informal, berbeda halnya dengan hukum negara yang menggunakan polapola formal melalui institusi-institusi formal. Formalitas hukum tersebut menjadi basis klaim
hukum negara untuk menyingkirkan pola-pola informal hukum lain terutama hukum adat
(Chiba), sehingga dalam politik sentralisme hukum; negara adalah satu-satunya otoritas
pencipta hukum, sedangkan hukum lain (hukum adat) dianggap hukum apabila diakui oleh
hukum negara atau disebut dengan Weak - Legal Pluralism (Griffith, Benda - Beckmann,
Fitzpatrick) yang sampai saat ini dianut negara ini.

Menarik untuk merujuk Kurniawarman (2009), bahwa nagari-nagari telah menjadi bagian
terintegrasi dari negara dan menjadi entitas Semi-Autonomus of Social Field (Moore),
sehingga nagari tidak lagi sepenuhnya autonom (mandiri) namun semi- autonom (semimandiri). Hal itu adalah konsekuensi penyatuan kehidupan berbangsa paska runtuhya
penjajahan Belanda untuk menciptakan negara yang berdaulat. Nagari (masyarakat adat)
tetap dihargai sebagai masyarakat semi-autonom dalam konstitusi kita, terutama dalam
pengakuan hak ulayat atas sumber daya alamnya. Pengakuan konstitusi tersebut kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam rezim peraturan sumber daya alam (Undang-undang Pokok
Agraria/UUPA) dan rezim peraturan otonomi daerah.

Namun, sektoralisme peraturan sumber daya alam dengan lahirnya UU Kehutanan, UU


Sumber Daya Air, UU Pertambangan dan lain-lain memperlemah hak konstitusional nagari
(masyarakat adat) karena pelbagai UU tersebut tidak mengakui secara penuh hak ulayat.
Sektoralisme tersebut juga memperkuat Departemen-Departemen (institusi) terkait untuk
menerapkan hukum negara secara sentralistik, kaku dan formalistis sehingga praktekpraktek informal hukum adat tersingkir pada titik paling nadir. Sektoralime adalah politik
hukum rezim Orde Baru untuk mengeruk sumber daya alam sebesarnya atas nama
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dan menyingkirkan hakhak masyarakat adat
(nagari). Implementasi politik hukum tersebut kita rasakan dengan eksploitasi Hutan
melalui HPH, perkebunan besar kelapa sawit melalui HGU, pengerukkan perut bumi melalui
izin tambang dan lain-lain. Celakanya, politik hukum tersebut masih berlaku di zaman
reformasi ini.

Pengakuan Hak Ulayat

Harapan pengakuan hak ulayat masyarakat adat (nagari) ternyata bukan muncul dari rezim
peraturan pengelolaan sumber daya alam, namun lahir dari rezim peraturan otonomi
daerah. Otonomi daerah adalah kritik terhadap sentralisme pemerintah pusat yang begitu
besar sehingga mematikan potensi-potensi daerah. Otonomi daerah ternyata sekaligus
berkonsekuensi pada dinamika sentralisme hukum, dalam konteks propinsi Sumatera Barat,
hal tersebut terlihat dari lahirnya Perda Nagari (Perda No. 2/2007) dan Perda Tanah Ulayat
dan Pemanfaatannya (Perda No. 6/2008). Dua perda ini adalah simbol perlawanan unifikasi
hukum pemerintahan desa dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik di masa
rezim Orde Baru.

Dua perda ini mencoba menata kembali hak-hak masyarakat nagari dalam penguasaan dan
pengelolaan hak ulayat dengan memperkuat nagari sebagai subjek pemangku hak ulayat
( melaui perda nagari) dan tanah ulayat sebagai objek hak ulayat (melalui perda tanah
ulayat dan pemanfaatannya). Integrasi hukum negara dengan hukum adat menjadi strategi
propinsi sumatera barat dalam melawan dominasi hukum negara itu sendiri terhadap
penguasaan hak ulayat di sumatera barat. Dinamika integrasi hukum tersebut terbukti
efektif mengangkat sistem pemerintahan adat (nagari) dalam sistem pemerintahan desa
yang modern walaupun masih banyak persoalan-persoalan seperti; tumpang tindih
kewenangan KAN dengan Pemerintahan nagari dan tumpang tindih batas administratif
nagari dengan batas adat nagari. Namun paling tidak, nagari secara perlahan-lahan
memperkuat eksistensinya sebagai subjek pemangku hak ulayat.

Namun sayang, dalam konteks objek hak ulayat (tanah ulayat dan hutan adat) masih dalam
pergulatan yang alot. Perda tanah ulayat dan pemanfaatannya di hadapi pada tantangan
sentralisme dan sektoralisme pengaturan sumber daya alam yang kental. Kawasan hutan
negara, tanah-tanah yang berstatus HGU, atau tanah-tanah Negara bekas HGU berlaku kuat
hukum negara. Pergulatan berlangsung sampai saat ini, baik itu melalui tuntutan-tuntutan
politis nagari-nagari atas hak ulayatnya melalui protes-protes terhadap penguasaan hak
ulayat oleh negara dan kelompok bisnis, tuntutan hukum nagari-nagari melalui peradilan,
maupun integrasi hukum adat dalam hukum negara melalui peraturan nagari seperti
pemulihan kembali tanah ulayat bekas HGU YanitaRanch di Nagari Sungai Kamunyang
Kabupaten Limapuluh Kota dan pengaturan hutan adat dalam kawasan hutan Negara (hutan
lindung) di Nagari Guguk Malalo, kabupaten Tanah Datar.

Pergulatan di atas di satu sisi memperlihatkan perjuangan nagari sebagai kesatuan


masyarakat adat untuk memperkuat hak ulayat dan hukum adatnya terutama setelah
runtuhnya rezim orde baru, baik secara politis maupun hukum. Di sisi lain, fakta pluralisme
hukum tidak bisa lagi disangkal oleh pemegang kekuasaan negara. Gap antara de jure
dengan de facto melahirkan ketegangan yang tak berujung. Hendaknya kita belajar dari
rezim yang tumbang akibat kesombongan unifikasi hukum yang utopis. Reformasi peraturan
sumber daya alam berbasis hak masyarakat adat adalah tuntutan mendesak agar kita tidak
lagi masuk pada lubang yang sama.

-----*) Penulis adalah Peneliti Qbar, dan Mahasiswa Pascasarjana Pada Program Studi
Integrated Natural Resources Management (INRM), Universitas Andalas Padang.

Komentar terkini (1 Komentar)


Pengakuan Negara yg setengah hati Benyamin 30.01.11 10:31
UUD 1945 (pasca amandement) mengakui eksistensi dari masyarakat hukum adat. UUPA
mengakui keberadaan tanah ulayat dari persekutuan masyarakat hukum adat. UU No. 32 Th.
2004 jo UU No. 12 Th. 2008 mengakui pemerintahan desa yg bersasarkan adat istiadat.
Peraturan Menteri/Kepala BPN No. 5 Th. 1999 memberikan penegasan ttg hubungan hukum
antara masyarakat adat dan tanah ulayat. NAMUN, semuanya hanyalah pengakuan dalam
kapasitas menguasai BUKAN memiliki. SEDANGKAN prinsip hukum agraria nasional kita
mengatakan "tanah pd tingkat tertinggi dikuasai oleh negara". disinilah timbul persolan dalam
batas dimensi yg tak pasti. dimana penguasaan tanah ulayat oleh masyarakat adat sering
dipertentangkan dg penguasaan tanah oleh Negara. jika ditilik dari dasar pertimbangan ini, jelas
lah bahwa masyarakat adat selalu di posisi yg lemah. mengapa, masyarakat adat tidak ditunjuk
sbg badan hukum yg dapat mempunyai hak milik atas tanah? sebagaimana badan hukum lain
dalam PP No. 38 Th. 1963? tujuannya adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
penguasaan tanah ulayat tersebut. sehingga konsekuensi hukumnya, masyarakat adat dapat
memiliki tanah, bukan sekedar menguasai, biarkan Negara sbg Penguasa tunggal dalam bingkai
NKRI. Komentator: Peneliti masalah hak asal-usul masyarakat adat Belu - NTT.

Anda mungkin juga menyukai