Anda di halaman 1dari 28

1

A. Latar Belakang Masalah


Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena
dibekali kemampuan atas citra, rasa dan karsa termasuk di dalamnya hawa
nafsu. Keberadaan hawa nafsu menimbulkan keinginan untuk mendapatkan
kepuasan

atas

pemenuhan

kepentingannya

sehingga

tidak

tertutup

kemungkinan untuk melaksanakan kepentingannya dengan segala cara


termasuk dengan cara yang melawan hukum sekalipun. Manusia disamping
mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, manusia juga merupakan
mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bergantung pada manusia
yang lain. Manusia sejak lahir memiliki kebutuhan untuk senantiasa
berinteraksi dengan manusia yang lain agar kepentingan akan pemenuhan
kebutuhannya dapat terlaksana dengan baik.
Untuk mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat dibuat
peraturan-peraturan guna melindungi kepentingan-kepentingan yang ada, agar
antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya tidak terjadi benturan.
Wujud dari peraturan-peraturan tersebut adalah berupa kaidah yang meliputi
kaidah agama, kaidah kesusilaan, serta kaidah hukum.
Peraturan

hukum semata-mata bukan sekedar sebagai pedoman

untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja melainkan untuk dilaksanakan ,ditaati
dan dipatuhi oleh setiap orang atau warga negara yang baik, dalam
kenyataannya hubungan hukum sangat mungkin terjadi pada kehidupan
bermasyarakat. Seharusnya setiap orang harus mentaati peraturan hukum yang
berlaku, tetapi dalam hubungan hukum yang terjadi, seringkali timbul suatu

perselisihan antara para pihak sehingga pihak yang lain merasa dirugikan
haknya. Apabila kaidah hukum tersebut dilanggar maka kepada yang
bersangkutan dapat dikenai sanksi atau hukuman.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku
orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedang satu-satunya tujuan
dari hukum ialah mengadakan keselamatan, bahagia dan tata tertib dalam
masyarakat itu.1
Suatu

perbuatan melawan hukum menimbulkan kerugian bagi

manusia yang lain menerbitkan hak menuntut bagi manusia yang merasa
dirugikan. Dalam pasal 1365 KUHPerdata menentukan syarat gugatan ganti
rugi akibat perbuatan melawan hukum. Menurut Moegni Djojodirdjo dalam
bukunya yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung gugat
(aansprakelijkheid) untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
melawan hukum, untuk menuntut ganti kerugian harus dipenuhi syarat-syarat
material yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, adanya
kerugian, serta adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. 2
Namun demikian, undang-undang tidak memberikan perumusan/pengertian
perbuatan melawan hukum. Awalnya perbuatan melawan hukum ditafsirkan
secara sempit namun dalam perkembangannya kemudian ditafsirkan secara
luas.

1 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum,Sumur Bandung, Bandung, 1992, Hal. 9


2 Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung Gugat (aansprakelijkheid) untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum. Pradnya Paramita, Jakarta Pusat.
Hal. 56

Secara sempit perbuatan melawan hukum diartikan sebagai tiap


perbuatan yang yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena
undang-undang, jadi bertentangan dengan wettelijkrecht atau tiap perbuatan
yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena
undang-undang jadi bertentangan dengan wettelijkeplicht. Sesuatu perbuatan
yang tidak bertentangan dengan undang-undang menurut ajaran yang sempit
sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menuntut ganti
kerugian karena sesuatu perbuatan yanng melawan hukum, sekalipun
perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh
moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. 3 Pendukung
aliran sempit ini antara lain adalah Land dan Simon.
Seiring dengan perkembangan jaman, aliran sempit ini mulai
ditinggalkan dan beralih pada aliran luas dengan dipelopori oleh Molengraaff
yang berpandangan bahwa seseorang akan melakukan perbuatan melawan
hukum, bilamana ia bertindak secara lain daripada yang diharuskan dalam
pergaulan masyarakat mengenai seorang atau benda lain. Dalam rancangan
undang-undang yang telah mengalami perubahan diketengahkan rumusan
tentang perbuatan melawan hukum, yakni bahwa:
Perbuatan Melawan Hukum adalah merupakan suatu perbuatan atau
suatu kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (orang yang
melakukan perbuatan) atau melanggar baik kesusilaan baik, ataupun
bertentangan dengan keharusan, yang harus diindahkan dalam
pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang.4
3 M.A. Moegni Djojodirdjo.Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung Gugat(aansprakelijkheid)
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum.Pradnya Paramita,Jakarta
Pusat, 1982, Halaman 21
4 Ibid, Halaman 24-25

Menurut ajaran yang luas, berdasarkan Arrest Hoge Raad 31 Januari


1919, bahwa suatu perbuatan agar dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan
melawan hukum jika :
a) Bertentangan dengan hak orang lain, atau
b) Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau
c) Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau
d) Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Untuk mencapai hasil yang baik, atas suatu gugatan perbuatan
melawan hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam
pasal 1365 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi: Setiap perbuatan
melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu
mengganti kerugian.
Perbuatan melawan hukum berupa penganiayaan yang menyebabkan
kerugian melahirkan hak menuntut penggantian kerugian pada diri si korban
tersebut.
Dalam perkara ini, Hakim Pengadilan Negeri Cilacap yang mengadili
perkara ini berpendirian bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum, dan karena perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada diri
Penggugat, maka Tergugat harus bertanggung jawab untuk mengganti
sebagian kerugian yang dituntut oleh Penggugat.

Hal inilah yang menjadi latar belakang bagi penulis untuk melakukan
penelitian guna penyusunan skripsi dengan judul GUGAT GANTI
KERUGIAN AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM JUAL
BELI TANAH (Suatu Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Cilacap
Nomor : 20/Pdt.G/2005/PN.Clp.).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam
mengkualifisir unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Putusan
Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 20/PDT.G/2005/PN.Clp ?
2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan tuntutan
ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dalam Putusan Pengadilan
Negeri Cilacap Nomor 20/PDT.G/2005/PN.Clp?
C. Kerangka Teoritik
1. Pengertian Perikatan
Istilah perikatan dalam bahasa Belanda yaitu Verbintenis.
Diantara para sarjana ada yang menterjemahkan menjadi perutangan,
perikatan, ataupun perjanjian. Apabila dicermati penggunaan istilah
perjanjian untuk menterjemahkan istilah verbintenis adalah tidak tepat.
Sebab dalam istilah Belanda, Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden
yang berarti mengikat, sehingga dalam kata bendanya menjadi Verbintenis,
yang berarti perikatan. Sementara diketahui bahwa istilah perjanjian atau
persetujuan dipakai oleh sebagian besar sarjana untuk menterjemahkan
istilah Overenkomst.

Achmad

Ichsan

dalam

bukunya

Hukum

Perdata

IB

menterjemahkan Verbintenis dengan perjanjian. Sekalipun dalam buku III


KUHPerdata mempergunakan judul tentang perikatan, namun tidak ada
satu Pasal pun yang menguraikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan
perikatan, pengertian perikatan pada umumnya diberikan oleh para
sarjana.5
Suatu perjanjian akan melahirkan satu atau beberapa perikatan,
keseluruhan perikatan tersebut membentuk perjanjian tersebut. Perikatan
yang lahir dari suatu perjanjian memberikan ciri yang membedakan
perjanjian yang satu dengan perjanjian yang lain.6 Hal ini berbeda dengan
perjanjian sewa menyewa, disana terdapat perikatan untuk mengalihkan
hak untuk menguasai dan menikmati atas suatu barang kepada pihak
dalam perikatan tersebut. Sehingga perikatan dan perjanjian merupakan
dua hal yang berlainan.
Perikatan dalam arti luas, meliputi semua hubungan hukum antara
dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban.
Dengan berpegang pada perumusan seperti itu, maka didalamnya termasuk
semua hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum pada
lapangan hukum keluarga dan hukum acara.
Pada umumnya para sarjana memberikan perumusan perikatan
dalam arti sebagai maksud yang ada dalam Buku III KUHPerdata, atau
sering disebut perikatan dalam arti sempit, yaitu hubungan hukum dalam
5 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Bardin, Bandung, 1999. Hal. 2
6 J. Satrio, Asas-asas Hukum Perdata, Hersa, Bandung, 1988, Hal. 131 (II)

lapangan hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak
ada kewajiban.7
Subekti mengakatan, sebagai dikutip oleh J. Satrio Berpendapat
bahwa perikatan adalah hubungan antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.8
Nieuwenhuis yang dikutip oleh Salim HS. Mengartikan bahwa
perikatan adalah hukum hukum harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, dimana pihak yang satu (debitur) wajib melakukan prestasi,
sedangkan pihak yang lain berhak atas suatu prestasi.9
2. Unsur-unsur Perikatan
J. Satrio menyimpulkan, bahwa terdapat beberapa unsur-unsur
yang melekat pada suatu perikatan, yaitu :
1) Hubungan Hukum
J. Satrio mengatakan, bahwa hubungan hukum adalah hubungan antara
dua orang atau lebih yang diberi akibat hukum, dimana hak dan
kewajiban yang muncul dari hubungan tersebut diatur oleh hukum.
Pengaturan meliputi pelaksanaan hak dan kewajiban dan kalau perlu
oleh para pihak dapat dimintakan bantuan hukum. Ini yang
membedakan perikatan hukum dengan perikatan yang muncul dalam
lapangan moral.10
7 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada umumnya, PT. Alumni, Bandung, 1993, Hal. 15 (III)
8 J. Satrio,Op Cit, Hal. 15 (III)
9 Salim HS.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Yogyakarta, 2002, Hal. 173
10 J. Satrio. Loc Cit. (II)

2) Lapangan Hukum Kekayaan


Pitlo dalam bukunya yang telah dikutip oleh J. Satrio menjelaskan
bahwa, karena hukum kekayaan mengatur hak-hak dan kewajibankewajiban yang mempunyai nilai uang. Mempunyai nilai uang
diartikan, bahwa dalam hal perikatan itu tidak dipenuhi sebagaimana
mestinya, maka pada kreditur harus ada kerugian yang dapat
dijabarkan dalam sejumlah uang tersebut.11
3) Hubungan Hukum antara Kreditur dan Debitur
J. Satrio menjelaskan, bahwa dalam suatu perikatan terdapat dua pihak
yang saling berhubungan atau terikat. Di satu pihak ada kreditur atau si
berpiutang yang berhak atau mempunyai hak atas dipenuhinya sesuatu
perikatan dan disisi yang lain ada debitur atau si berutang yang
berkewajiban untuk memenuhi perikatan.12
4) Isi Perikatan
J. Satrio menjelaskan bahwa obyek perikatan adalah prestasi dari
perikatan. Prestasi yang harus dipenuhi debitur harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu antara lain :
a) Prestasinya harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan
(Pasal 1333 KUHPerdata);
b) Tidak disyaratkan bahwa prestasi harus mungkin dipenuhi;
c) Prestasi yang halal.
3. Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
11 Ibid, Hal 129
12 J. Satrio, Loc Cit (II)

Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda,


yaitu dari kata onrechtmatige daad. Kemudian kata onrechtmatige daad
oleh sebagian ahli hukum seperti oleh M.A.Moegni Djojodirdjo (1982:13)
ditafsirkan sebagai perbuatan melawan hukum, namun oleh sebagian
lainnya ditafsirkan berbeda, seperti: R.Wirjono Prodjodikoro (1948:7)
menggunakan istilah perbuatan melanggar hukum, Utrecht (1957:255)
memakai istilah perbuatan bertentangnan dengan asas-asas hukum ,
Sudiman

Kartohadiprodjo

mengemukakan

istilah

(1967:145)

tindakan

serta

melawan

J.Satrio(1993:145)

hukum.

M.A.Moegni

Djojodirdjo (1982:13) menggunakan istilah perbuatan melawan hukum


Terhadap istilah onrechtmatige daad, secara umum diterjemahkan
sebagai perbuatan melawan hukum. Karena pada istilah melawan itu
melekat kedua sifat aktif dan pasif. Kalau ia dengan sengaja melakukan
sesuatu perbuatan

yang menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi

sengaja melakukan gerakan nampaklah dengan jelas sikap aktifnya dari


istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau ia sengaja diam saja, sedang ia
sudah mengetahui bahwa ia harus melakukkan suatu perbuatan untuk tidak
merugikan orang lain, atau dengan perkataan lain, bila ia dengan sikap
pasif saja, bahkan bila ia enggan melakukan keharusan, sehingga
menimbulkan kerugian pada orang lain maka ia telah melawan hukum
tanpa harus menggerakan anggota badannnya.13
Pengertian perbuatan melawan hukum tidak tercantum dalam
KUHPerdata. Dalam Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur mengenai
13 Ibid, halaman 13

10

syarat-syarat dalam mengajukan gugatan karena ganti rugi yang


ditimbulkan akibat perbuatan melawan hukum.
Sebelum

tahun

memberikan keputusan

1919

terjadi

kesulitan-kesulitan

dalam

dalam hal tuntutan ganti kerugian karena

perbuatan melawan hukum. Sehingga tidak jarang terhadap perbuatanperbuatan yang terjadi setelah tahun 1919 digolongkan pada perbuatan
melawan hukum dan karenanya menimbulkan hak bagi penderita untuk
mendapatkan ganti kerugian, yang terjadi sebelum tahun 1919 harus
ditolak tuntutannya karena atas perbuatan tersebut tidak ada ketentuannya
dalam undang-undang. Seperti yang terjadi dalam perkara:
a. Singernaaimachine Mij (Arrest H.R. tanggal 6 Januari 1905)
Kasus yang terjadi adalah sebagai berikut :
Maatschappij Singer telah mengalami saingan yang berat dari sebuah
Matschappij lainnya yang menjual mesin-mesin jahit dari pabrik
lainnya, yang telah berdagang dengan menggunakan nama SingerMaatschappij sehingga masyarakat umum menyangka bahwa
maatschappij yang tersebut belakangan terrsebut benar-benar menjual
mesin-mesin jahit dari singer Manufacturing Co. yang terkenal
tersebut. Oleh karena itu Singer Maatschappij yang asli menuntut ganti
kerugian berdasarkan pasal 1401 BW Belanda (pasal 1365
HUHPerdata), akan tetapi Hoge Raad telah menolaknya karena pada
waktu itu tidak terdapat ketentuan undang-undang yang memberi
perlindungan atas hak nama perdagangan.
b. Arrest H.R. tanggal 24 Nopember 1905
Seorang bankier telah mengedarkan prospektus tentang sebuah
Perseroan Terbatas yang akan didirikan dengan mengajukan faktafakta yang tidak benar. Pembeli-pembeli saham yang telah mengalami
kerugian telah menuntut ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan
hukum, akan tetapi tuntutan mana juga telah ditolak oleh H.R. karena
tidak dibuktikan bahwa bankier tersebut telah membaca prospectus
tersebut terlebih dahulu sebelum menandatanganinya, dan undangundang pada waktu itu belum mngharuskan penandatanganan
prospectus untuk membacanya atau memberi jaminan tentang
kebenaran segala sesuatunya yang dicantumkan dalam prospectus
tersebut.
c. Zutphense Juffrouw (Arrest H.R. tanggal 10 Juni 1910)

11

Dalam sebuah gedung di zutphen karena iklim yang sangnat dingin,


pipa air dalam gedung tersebut pecah. Kran induknya berada dalam
rumah di tingkat atas, diatas gudang tersebut dan penghuninyta tidak
mau memenuhi permintaan untuk menutup kran induk (mematikan)
tersebut, sekalipun kepadanya telah dijelaskan bahwa dengan tidak
ditutupnya kran induk tersebut akan timbul kerusakan besar pada
barang yang tersimpan dalam gudeang tersebut karena akan
tergenangn air. Maatschappij pertanggungan telah membayar ganti
kerugian, tetapi kemudian menuntut penghuni rumah tingkat atas
tersebut dimuka pengadilan. Tuntutan ini pun ditolak oleh H.R. dengan
alasan bahwa tidak terdapat sesuatu ketentuan undang-undang yang
mewajibkan penghuni dari rumah tingkat atas tersebut untuk
mematikan kran induk untuk kepentinga pihak ketiga.14
Dalam berbagai putusan pengadilan diatas, para hakim masih
menganut pandangan aliran sempit, suatu tindakan melawan hukum harus
berupa tindakan yang melanggar hak subjektif yang diatur oleh undangundang (wettelijk subjektiefrecht) atau bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku yang ditentukan dalam undang-undang. Dengan kata lain
dapat diartikan bahwa onrechtmatige sama dengan onwetmatig.15
Ada beberapa sarjana yang menganut aliran sempit, antara lain
Land dan Simon. Land mengemukakan 2 alasan mengapa ia menganut
ajaran sempit, yakni :
a. Pembuat undang-undang (Belanda) dengan sengaja sejak semula
dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1382 Code Civil (1401
BW Belanda =1365 KUH Perdata) menambahkan istilah
wedderechtelijk yang kemudian diubah menjadi onrechtmatig untuk
menyatakan bahwa tiap perbuatan yang menyebabkan kerugian bgi
orang lain adalah melawan hukum(onrechtmatig).
b. Ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata (1401 BW) didasarkan
pada domat. Land mengira bahwa ia menjadikan paragraf yang
bersangkutan dari pada domat yang hanya memperhatikan masalah
khusus saja menjadi peraturan umum, akan tetapi sekalipun demikian
14 Ibid , Halaman 20-21
15 J.Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang Bagian Pertama.
PT.Citra Aditya Bhakti. Bandung,1993.Halaman 150

12

tidaklah ia bermaksud mengadakan perubahan dalam pengertian


onrechtmatig sebagai bertentangan dengan undang-undang.
Adapun alasan-alasan Simons adalah berbau filsafat hukum. Ia
khawatir jika kepastian hukum akan terganggu bilamana onrechtmatig
diartikan sebagai bertentangan dengan moral atau pergaulan hidup
masyarakat, karena menurutnya akan terlalu banyak diserahkan pada
penglihatan pribadi (subjektief inzicht) daripada para hakim. Akan dengan
mudah timbul perbedaan pandangan tentang kepatutan dan kesopanan
yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat. Lagi pula
dikhawatirkan jika dengan perumusan yang luas itu akan terjadi
pencampur-bauran tentang hukum dan kesopanan, apalagi

mengenai

perbuatan mengabaikan(nalaten). Apa yang diharuskan oleh kesopanan


dan kepatutan dalam pergaulan masyarakat tidaklah selalu harus terkena
sanksi daripada undang-undang.16
Dikemudian hari, ajaran sempit mulai ditinggalkan karena tidak
sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dengan merubah pandangan
bahwa onrechtmatige daad tidak hanya diartikan sebagai perbuatan
melanggar hak orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban si
pelaku, yang diatur oleh undang-undang, tetapi meliputi pula tindakan atau
sikap yang bertentangan denngan ketentuan hukum yang tak tertulis, yaitu
kesusilaan dan kepatutan/kepantasan dalam memperhatikan kepentingan
diri dan harta orang lain dalam pergaulan masyarakat.17

16 Ibid.Halaman 22
17 Ibid. Halaman 165

13

Pada tahun 1913 diajukan rancangan undang-undang yang telah


diperbaiki dan didalamnya mengandung perumusan yang mengatakan,
bahwa onrechtmatige daad adalah suatu tindakan atau sikap yang
melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan dengan
kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain
dalam pergaulan hidup.18
Peralihan dianutnya aliran luas diawali dengan adanya Arrest
H.R. tanggal 31 Januari Tahun 1919 dalam perkara Lindenbaum-Cohen.
Pengusaha percetakan Cohen telah membujuk karyawan pengusaha
percetakan Lindenbaum untuk memberikan salinan daftar pesanan para
pelanggan. Yang menyebabkan Lindenbaum mengalami kerugian karena
para langganannya lari ke perusahaan Cohen. Cohen dituntut membayar
ganti kerugian pada Lindenbaum dan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri
(Rechtbank).

Pengadilan Negeri berpendirian bahwa perbuatan Cohen

melanggar hukum. Karena pegawai Lindenbaum berbuat bertentangan


dengan pasal 1639 d dan 1369 p sub 9 BW atau sama dengan Pasal 1603
d dan pasal 1603 o sub 9 KUHPerdata. Dan hal ini juga berlaku bagi
Cohen dalam kedudukannya sebagai penganjur.
Pasal 1603 d KUHPerdata selengkapnnya berbunyi :
si buruh pada umumnya diwajibkan melakukan, maupun tidak
berbuat segala apa yang, diantara keadaan yang sama, patut
dilakukan atau tidak diperbuat oleh seseorang yang baik.
Pasal 1603 p ke 9 KUHPerdata berbunyi:
18 Ibid.halaman 160

14

apabila terus berlangsungnya perhubungan kerja si buruh akan


membawa bahaya yang sungguh-sungguh untuk jiwa, kesehatan,
kesusilaan atau nama baiknya, sedangkan itu tidak ternyata
sewaktu persetujuan dibuat.
Pengadilan tinggi sebaliknya berpendirian bahwa kewajiban
menurut undang-undanng sebagaimana ditentukan oleh pasal 1639 d dan
1639 p sub 9 BW hanya berlaku bagi para pekerja/pegawai Lindenbaum,
akan tetapi tidak berlaku bagi pihak ketiga, seperti halnya Cohen. Ia tidak
melakukan pelanggaran terhadap suatu kewajiban menurut undang-undang
dan oleh karenanya tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
Sedangkan Hoge Raad membatalkan keputusan Pengadilan
Tinggi (Hof) atas dasar pertimbangan sebagai berikut:
a. Bahwa dalam keputusan Hof diberikan makna tentang perbuatan
melawan hukum sangat sempit, sehingga yang termasuk didalamnya
hanyalah perbuatan-perbuatan, yang sifat terlarangnya dapat dilihat
secara langsung dari peraturan perundang-undangan, meskipun
perbuatan perbuatan ini bertentangan dengan keharusan dan kepatutan
yang diharuskan dalam pergaulan masyarakat.
b. Bahwa pasal tersebut tidak memberikan dasar untuk pembatasan
makna, baik dengan kata-kata yang terdapat dalam pasal tersebut,
ataupun dengan menguraikaan sejarah terjadinya.
c. Bahwa bukanlah istilah onrechtmatig tidak sama dengan kata-kata tout
fait qulconque de lhome diganti dengan kata-kata onrechtmatige daad
tidak mencangkup perbuatan dari orang yang kecuali dalam hal
kealpaan atau kurang hati-hatinya telah melakukan perbuatan
berdasarkan haknya sendiri.
d. Bahwa perbuatan melawan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan
atau kealpaan yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan
dengan kesusilaan baik ataupun dengan keharusan yang harus
diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Dan
terhadap seseorang yang telah mendatangkan kerugian pada orang lain
berkewajiban membayar ganti kerugian.

15

Berdasarkan Arrest H.R. tanggal 31 Januari 1919 dapat


disimpulkan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum jika :
a.
b.
c.
d.

melanggar hak orang lain;


bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
bertentangan dengan kesusilaan;
bertentangan dengan keharusan yang harus diinddahkan dalam
pergaulan mengenai orang lain atau benda.
Keempat macam perilaku tersebut merupakan syarat alternatif,

artinya kalau suatu perilaku telah memenuhi salah satu unsur dari keempat
peristiwa

onrechtmatige

daad

saja

sudah

cukup

untuk

adanya

onrechtmatige daad.
Perbuatan melawan hukum hampir dapat dipersamakan dengan
tindak pidana. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang begitu
mendasar antara keduanya. Persamaan antara perbuatan melawan hukum
dengan tindak pidana yaitu sama-sama bertindak bertentangan dengan
larangan atau keharusan. Adapun ruang lingkup onrechtmatige daad lebih
luas karena tiap tindak pidana dapat digolongkan sebagai perbuatan
melawan hukum, namun tidak setiap perbuatan melawan hukum dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana. Karena suatu perbuatan tidak dapat
dipidana sepanjang tidak terdapat ketentuan undang-undang yang
mengaturnya (nulla puna sine praevia lege poenali). Selain itu, hukum
pidana secara langsung mengatur mengenai tertib umum, sedangkan
ketentuan

perbuatan

melawan

melindungi kepentingan individu.19


19 M.A. Moegni Djojodirdjo.op.cit. Halaman 31

hukum

terutama

bertujuan

untuk

16

4. Syarat- Syarat yang Harus Dipenuhi dalam Mengajukan Tuntutan


ganti Rugi Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
Untuk mengajukan gugatan ganti rugi berdasar pasal 1365
KUHPerdata harus dipenuhi syarat-syarat bahwa atas perbuatan tersebut:
a.
b.
c.
d.

Ada Perbuatan Melawan Hukum


Ada Kesalahan (schuld)
Ada Kerugian (schade)
Ada Hubungan Kausal (oorzakelijk verband keempat syarat diatas
merupakan syarat yang bersifat komulatif, artinya untuk mengajukan
gugatan ganti kerugian atas suatu perbuatan melawan hukum berdasar
pasal 1365 KUHPerdata harus dipenuhi keempat syarat tersebut diatas
sehingga gugatannya dapat dikabulkan.

1) Perbuatan Melawan Hukum


Rumusan pengertian perbuatan melawan hukum dalam Arrest
tahun 1919 bahwa berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu
perbuatan melawan hukum jika:
a) Melanggar hak orang lain
Yang dimaksud melanggar hak orang lain adalah
melanggar hak subjektif orang lain. Menurut aliran yang sempit,
hak orang lain yang dimaksud disini adalah hak subjektif orang
lain

yang

diatur

oleh

undang-undang.

Namun

dengan

memperhatikan perkembangan jaman ajaran aliran sempit mulai


ditinggalkan dan mulai dianut pandangan aliran luas, apa yang
semula harus dicari dasar hukumnya dalam undang-undang
sekarang sudah cukup jika dapat ditunjukan bahwa perbuatan
tersebut adalah bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan
dalam pergaulan hidup. Menurut Meijers ciri dari hak subjektif

17

adalah suatu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada


seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya.
Hak subjektif yang diakui oleh Yurisprudensi adalah:
1) hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik.
2) hak-hak atas harta kekayaan seperti hak-hak kebendaan dan
hak-hak mutlak lainnya.20
b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si Pelaku
Menurut terminologi hukum dewasa ini, kewajiban hukum
diartikan sebagai kewajiban yang didasarkan pada hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Menurut rumusan
perbuatan melawan hukum diatas, yang dimaksud dengan
kewajiban hukum adalah kewajiban menurut undang-undang.
Kewajiban hukum ditafsirkan dalam arti sempit, karena Hoge Raad
mengambil pengertian perbuatan melawan hukum dari rencana
Undang-Undang tahun 1913, yang ditafsikan bertentangan dengan
kewajiban hukum si pembuat adalah sama dengan bertentangan
dengan kewajiban menurut undang-undang. Termasuk dalam
kategori ini adalah perbuatan-perbuatan pidana, yaitu pencurian,
penggelapan, penipuan dan pengrusakan.21
c) Bertentangan dengan kesusilaan
Menurut R.Setiawan (1999:83) kesusilaan dapat diartikan
sebagai norma-norma moral, sepanjang dalam

kehidupan

20 R.Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan.Putra Abardin.Bandung.1999. Halaman 82


21 Ibid.Halaman 83

18

masyarakat diakui sebagai norma-norma hukum. Sedangkan


Moegni mengartikan kesusilaan baik sebagai norma-norma
kesusilaan, sepanjang norma-norma tersebut oleh pergaulan hidup
diartikan sebagai peraturan-peraturan hukum tidak tertulis.
d) Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam
pergaulan mengenai orang lain atau benda.
Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan
dalam pergaulan mengenai orang lain atau benda dapat
dipersamakan dengan melanggar kepatutan.
Dapat dianggap bertentangan dengan kepatutan adalah:
1) Perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan
yang layak.
2) Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya
terhadap orang lain, dan menurut manusia yang normal hal
tersebut harus diperhatikan.22
Suatu perbuatan akan lenyap sifat melawan hukumnya
jika terdapat dasar-dasar pembenar, seperti adanya keadaan
memaksa (overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), ketentuan
undang-undang (wettelijk voorschrift) dan perintah jabatan
(wettelijk bevel).
2) Kesalahan
Pasal 1365 BW, pembentuk undang-undang menyatakan,
bahwa pelaku perbuatan melawan hukum hanya bertanggungjawab
22 Lo,.Cit

19

untuk kerugian yang ditimbulkannya, apabila perbuatan dan kerugian


tersebut dapat diperhitungkan kepadanya.
Karena kesalahannya mengakibatkan kerugian terseut dalam
Pasal 1365 BW harus ditafsirkan. Apabila seseorang karena perbuatan
melawan hukum yang ia lakukan telah menimbulkan kerugian, wajib
mengganti kerugian apabila untuk itu ia dapat dipertanggungjawabkan.
Si pelaku adalah bertanggungjawab untuk kerugian tersebut apabila
perbuatan melawan hukum yang ia lakukan dan kerugian yang
ditimbulkannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Karena

normalnya

akibat-akibat

dari

suatu

perbuatan

melawan hukum dapat dipertanggungjawabkan pada pelakunya, dan


hanya dalam beberap ahal saja dikecualikan, maka penggugat tidak
perlu membuktikan adanya kesalahan, akan tetapi tergugat yang
mengemukakan

bahwa

dirinya

tidak

bersalah

yang

dibenani

pembuktian.
Kesalahan seharusnya dibedakan dalam beberapa tingkatan,
bervariasi dari kesengajaan sampai dengan kesalahan paling ringan.
Akan tetapi apabla kita berpegang pada adagium, bahwa pelaku
perbuatan melawan hukum hanya tidak bertanggungjawab atas
kerugian, apabila ia tidak bersalah, tidak perlu kita membedakan berat
ringannya kesalahan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan.
Apakah kesalahannya itu ringan maupun berat, tetap mempunyai
tanggungjawab yang sama. Dalam pasal 1365 BW kesalahan

20

dinyatakan sebagai pengertian umum, dapat mencakup kesengajaan


maupun kelalaian.
3) Kerugian
Schade atau kerugian dalam Pasal 1365 BW adalah kerugian
yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum. Kerugian ini dapat
bersifat harga kekayaan dapat pula bersifat ideal. Kerugian harga
kekayaan umumnya meliputi kerugian yang diderita oleh si penderita
dan keuntungan yang seharusnya ia peroleh.
Setiap perbuatan melawan hukum dapat menimbulkan
kerugian ideal, sepert ketakutan, sakit atau kehilangan kesenangan
hidup. Menurut Pasal 1370 BW, dalam hal pembunuhan tidak terdapat
kemungkinan untuk menuntut kerugian ideal. Mengenai luka dan cacat
anggota badan menurut putusan Hoge Raad tahun 1943 kepada si
penderita diberikan hak untuk menuntut ganti rugi ideal.
Dalam menentukan besarnya kerugian harus diperhitungkan
keuntungan yang diperoleh si penderita sebagai akibat dari perbuatan
melawan hukum tersebut. Si penderita berhak menuntut ganti rugi
selain kerugian yang telah di derita, tetapi juga kerugian yang akan ia
derita di kemudian hari.
Apabila

pelaku

perbuatan

melawan

hukum

menolak

membayar seluruh jumlah kerugian yang telah ditentukan, maka elaku


berutang bunga sejak gugatan diajukan. Pada umumnya penderita yang
menuntut ganti rugi harus dapat membuktikan besarnya kerugian.

21

Akan tetapi karena kesulitan pembuktian tersebut, hakim dapat


menentukan besarya kerugian menurut rasa keadilan Putusan MA23
4) Hubungan Kausal
Gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum,
merupakan hubungan kausalitas dengan kerugian, menurut Hoge Raad
dalam beberapa arrestnya, sejak tahun 1927, bahwa persoalan
kausalitas harus dipecahkan menurut ajaran adequate verorzaking.
Menurut teori tersebut terdapat hubungan kausal, apabila kerugian
menurut pengalaman layak merupakan akibat yang dapat diharapkan
akan timbul dari perbuatan melawan hukum.
Dalam Von Buri sampai pada kesimpulan bahwa sebab dari
suatu perubahan adalah keseluruhan syarat-syarat yang harus ada
untuk timbulnya suatu akibat. Hilangnya salah satu syarat, tidak akan
menimbulkan akibat. Tiap syarat adalah sebab, oleh karena conditio
sine qua non untuk timbulnya akibat. Teori ini tidak dapat
dipergunakan, karena pertanggungjawaban pelaku menjadi terlalu luas.
5. Penggantian Kerugian Akibat Perbuatan Melawan Hukum dalam
jual beli.
Vollmar berpendapat: bahwa walaupun undang undang (Pasal
1365 K.U.H.Perdata) menentukan setiap orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum diharuskan melakukan penggantian kerugian yang

23 Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Perbuatan Melawan Hukum, Binacipta, halaman
84

22

ditimbulkan, tetapi undang undang tidak mengatur penggantian kerugian


akibat perbuatan melawan hukum.24
Hukum perundang-undangan tidak mengatur tentang penggantian
kerugian akibat perbuatan melawan hukum, maka Hoge Raad
melakukan penerapan hukum yaitu dalam Arrest-nya 23 Juni 1922
menentukan bahwa Pasal 1282-1284 BW Nederland (Pasal 1243-1248
K.U.H.Perdata) mengenai penggantian kerugian akibat wanprestasi tidak
dapat diterapkan secara langsung untuk penggantian kerugian akibat
perbuatan

melawan

hukum,

tetapi

penggantian

kerugian

akibat

wanprestasi dalam pasal 1243 K.U.H.Perdata dimungkinkan diterapkan


secara analogi yang meliputi:
a. Biaya,
b. Kerugian,
c. Bunga.
Penerapan secara analogis untuk gugat penggantian kerugian
akibat perbuatan melawan hukum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ad.a. Biaya
Biaya yaitu seluruh pengeluaran atau pengongkosan atau biaya
biaya sungguh sungguh yang dikeluarkan oleh pihak penderita perbuatan
melawan hukum yang dapat dinilai dengan uang.25
Ad.b. Kerugian
Kerugian adalah kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh
pihak penderita perbuatan melawan hukum. Kerugian yang ditimbulkan
24 H.F.A Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata,op.cit., hlm.192.
25 Ibid,hlm.90.

23

oleh perbuatan melawan hukum dapat bersifat harta kekayaan materiil dan
bersifat immateriil atau idiil.26
Kerugian materiil yaitu kerugian yang nyata-nyata diderita yang
dapat dinilai dengan uang dan terlihat secara lahiriah serta menyangkut
barang milik atau harta kekayaan. Kerugian immateriil atau idiil yaitu
semua kerugian yang diderita yang tidak menyangkut harta kekayaan
seseorang dan tidak dapat dilihat secara lahiriah misalnya perasaan
sedih,sakit,kehilangan

kesenangan

hidup,dikucilkan

dari

pergaulan

masyarakat dan sebagainya.27


Ad.c. Bunga
Bunga yaitu keuntungan yang diharapkan yang tidak berhasil
diperoleh penderita perbuatan melawan hukum karena adanya perbuatan
melawan hukum.
D. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim
dalam mengkualifisir unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam
Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 20/PDT.G/2005/PN.Clp ?
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan
tuntutan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dalam Putusan
Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 20/PDT.G/2005/PN.Clp?
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Memberikan sumbangan

pemikiran

yang

bermanfaat

bagi

perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu


hukum perdata pada khususnya di bidang Perbuatan Melawan Hukum.
26 R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin,Bandung,1978,hlm.85.
27 Ibid.,hlm.86.

24

b. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menjelaskan dan memberi


sedikit pencerahan bagi segenap civitas akademik Fakultas Hukum
UNSOED .
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi
bagi penelilti yang akan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan
Perbuatan Melawan Hukum.

F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau legal
research, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis
positivistis. Konsep ini mengungkapkan,bahwa hukum identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat negara yang berwenang. Konsep ini, hukum melihat sebagai
system normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari
kehidupan masyarakat (Ronny Hanitijo Sumitro,1983:11).
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis, deskriptif
maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan
atau gejala dari objek penelitian tanpa bermaksud untuk mengambil
kesimpulan secara umum, khususnya untuk mengetahui bagaimana
pertimbangan dan penerapan hukum hakim terhadap masalah ganti rugi
berdasarkan perbuatan melawan hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri
Cilacap Nomor../Pdt.G/2005/PN.Pwt. Untuk kemudian akan dilakukan
analisa terhadap berbagai aspek yang diteliti dengan teori teori, kaedah
hukum serta berbagai pengertian yang terkait dengan penelitian ini.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian diselenggarakan di Pengadilan Negeri Cilacap, Perpustakaan
Universitas Jenderal Soedirman, dan Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
4. Sumber Data
Data sekunder bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku
literature, doktrin, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

25

penelitian. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
Pengadilan Negeri Purwokerto.
5. Metode Pengumpulan Data
Data yang akan digunakan adalah data sekunder, karena pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Dalam penelitian ini, data
sekunder yang digunakan adalah:
a. Bahan-bahan hukum primer
1) Peraturan perundang-undangan berupa KUHPerdata
2) Yuriprudensi berupa Putusan Pengadilan Cilacap Nomor
20/Pdt.G/2005/PN.Clp.
Bahan-bahan hukum tersebut diatas mempunyai kekuatan mengikat.
b. Bahan-bahan hukum sekunder
yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu dalam menganalisis serta memahami
bahan hukum primer, seperti hasil karya ilmiah berupa literatur yang
berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier
yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum.

6. Metode Penyajian Data


Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara
sistematis, artinya berurutan dan berencana satu dengan yang lain
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
7. Analisis Data
Metode analisa data yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan cara
membandingkan atau mengintrepetasikan data (Putusan Pengadilan
Cilacap Nomor 20/Pdt.G/2005/PN.Clp.) dengan teori hukum yaitu
ketentuan dalam KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukun,
doktrin dan yurisprudensi.

26

SISTEMATIKA SKRIPSI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
SURAT PERNYATAAN
MOTTO
PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
ABSTRACT
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Perikatan Pada Umumnya
1. Pengertian Perikatan
2. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian
3. Perikatan Yang Lahir Dari Undang-undang
4. Jual Beli

B. Perbuatan Melawan Hukum

27

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum


2. Syarat-syarat Untuk Mengajukan Gugatan Berdasar Perbuatan
Melawan Hukum
3. Tuntutan Dalam Perbuatan Melawan Hukum.
4. Ganti Kerugian Dalam Perbuatan Melawan Hukum
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
B. Spesifikasi Penelitian
C. Sumber Data
D. Cara Pengambilan Data
E. Metode Penyajian Data
F. Analisa Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

28

DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Ali, Chidir.1978. Yurisprudensi Indonesia Tentang Perbuatan Melawan Hukum,
Binacipta.
Djojodirdjo, Moegni. 1982. Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung Gugat
(aansprakelijkheid) untuk kerugian
yang disebabkan karena
perbuatan melawan hukum. Pradnya Paramita, Jakarta Pusat.
Prodjodikoro, Wirjono.1992. Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung : Sumur
Bandung.
Satrio,J.2001. Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I. Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti.
Satrio, J.,1993, Hukum Perikatan, Perikatan pada umumnya, PT. Alumni,
Bandung,
Salim HS. 2002,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika,
Yogyakarta.
Setiawan,R.1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : Putra Abardin.
Subekti,R.1982. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa.

Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjemahan Prof.Subekti

Anda mungkin juga menyukai