Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi banyak tantangan dalam
meningkatkan derajat kesehatan rakyatnya. Pada tahun 2012 tercatat angka harapan
hidup di Indonesia mencapai 70,61 tahun sedangkan tingkat kelahiran sebesar 2,37
kelahiran perermpuan. Ditelusuri berdasarkan kepadatan penduduk di Indonesia hal
ini merupakan kabar gembira karena akan menurunkan rasio kepadatan penduduk,
namun

hal tersebut

juga memiliki

efek samping bagi kehidupan sosial

masyarakat.
Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk
lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni
mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk. Sebuah
pekerjaan rumah besar bagi kementrian kesehatan di Indonesia untuk memberikan
fasilitas dan pelayanan kesehatan maksimal bagi masyarakat yang juga bisa
digolongkan Berkebutuhan Khusus seperti ini.
Farmasi sebagai salah satu tenaga kesehatan seyogyanya juga selaras dengan
pemerintah bersama-sama berupaya meningkatkan derajat hidup maysarakat lanjut
usia. Berbagai pertimbangan

perlu ditegakkan seorang farmasis sebelum

memutuskan melakukan penyerahan obat bagi pasien lanjut usia, mengingat fungsi
anatomi dan fisiologi yang dimilikinya sudah tidak berfungsi secara masksimal.
Tulisan ini bermaksud memberikan sedikit pandangan bagi seorang farmasis
mengenai aspek-aspek pada obat yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi
pasien lanjut usia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Lansia
Dewasa akhir (late adulthood) atau lanjut usia, biasanya merujuk pada tahap
siklus kehidupan yang dimulai pada usia 65 tahun. Ahli gerontologi membagi lanjut
usia menjadi dua kelompok: young-old, berusia 65-74 tahun; dan old-old, berusia 75
tahun ke atas. Kadang-kadang digunakan istilah oldest old untuk merujuk pada orangorang yang berusia 85 tahun ke atas.
Idealnya seorang lansia dapat menjalani proses menua secara normal sehingga
dapat menikmati kehidupan yang bahagia dan mandiri. Menurut Rowe & Kahn,
proses penuaan yang sukses merupakan suatu kombinasi dari tiga komponen:
Penghindaran dari penyakit dan ketidakmampuan
Pemeliharaan kapasitas fisik dan kognitif yang tinggi di tahun-tahun berikutnya.
Keterlibatan secara aktif dalam kehidupan yang berkelanjutan (Hoyer & Roodin,
2003).
Salah satu kelompok umur yang sering luput dari pertimbangan-pertimbangan
khusus dalam pemakaian obat adalah kelompok usia lanjut. Hal ini dapat di mengerti
mengingat usia lanjut secara fisiologis umumnya dianggap sama dengan kelompok
umur dewasa. Namun sebenarnya, pada periode tertentu telah terjadi berbagai
penurunan fungsi berbagai organ tubuh. Penurunan fungsi bisa disebabkan karena
proses menua, maupun perubahan-perubahan lain yang secara fisik kadang tidak
terdeteksi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai batasan usia lanjut, namun pada
umumnya para peneliti mengambil batas 65 tahun. Yang perlu mendapat perhatian
adalah, bahwa ternyata pada pasien usia lanjut, umumnya dijumpai lebih dari satu
jenis penyakit, satu atau lebih di antaranya bersifat kronis, sementara penyakit lain
yang akut, jika tidak ditangani dengan baik dapat memperburuk kondisi penderita.
Proses menua merupakan sebuah waktu untuk berbagai kehilangan berupa
kehilangan peran sosial akibat pensiun, kehilangan mata pencaharian, kehilangan

teman dan keluarga. Ketika manusia semakin tua, mereka cenderung untuk
mengalami masalah-masalah kesehatan yang lebih menetap dan berpotensi untuk
menimbulkan ketidakmampuan. Kebanyakan lansia memiliki satu atau lebih keadaan
atau ketidakmampuan fisik yang kronis. Masalah kesehatan kronik yang paling sering
terjadi pada lansia adalah

artritis, hipertensi, gangguan pendengaran, penyakit

jantung, katarak, deformitas atau kelemahan ortopedik, sinusitis kronik, diabetes,


gangguan penglihatan.
Populasi kelompok usia lanjut sangat bervariasi di bebagai negara, namun
umumnya kurang dari 15% jumlah total penduduk. Walaupun jumlahnya relatif kecil,
pemakaian obat pada usia lanjut dapat menjadi masalah antara lain karena:

Kelompok usia lanjut mengkonsumsi 25% sampai 30% dari total obat yang

digunakan di pusat-pusat pelayanan kesehatan.


Praktek terapi polifarmasi sangat umum dijumpai pada pasien usia lanjut, oleh

karena umumnya menderita lebih dari satu macam penyakit.


Penelitian-penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa kelompok usia lanjut
sangat rentan terhadap risiko efek samping obat. Risiko terjadinya efek samping
meningkat dengan bertambahnya jenis obat yang diberikan.
Ketidakmampuan fungsional yang merupakan akibat dari beberapa penyakit

medis yang terjadi bersama-sama dan ketidakmampuan ortopedik dan neurologik


pada lansia merupakan suatu kehilangan yang besar. Dalam Blazer (2003) disebutkan
bahwa ketidakmampuan fisik tampaknya membawa jumlah kejadian hidup negatif
yang lebih tinggi. Ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan keterbatasan untuk
melakukan aktivitas sosial atau aktivitas di waktu luang (leisure activities) yang
bermakna, isolasi, dan berkurangnya kualitas dukungan sosial.

B. Sifat Penyakit pada Lansia

Beberapa sifat penyakit pada lansia yang membedakan dengan penyakit pada orang
dewasa seperti:
1. Gejala penyakit sering tidak khas/tidak jelas
Misalnya, penyakit infeksi paru (pneumonia) sering kali tidak didapati demam
tinggi dan batuk darah, gejalah terlihat ringan padahal penyakit sebenarnya
cukup serius, sehingga penderita menganggap penyakitnya tidak berat dan tidak
perlu berobat.
2. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi)
Akibat banyaknya penyakit pada lansi, maka dalam pengobatannya memerlukan
obat yang beraneka ragam dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu, perlu
diketahui bahwa fungsi organ-organ vital tubuh seperti hati dan ginjal yang
berperan dalam mengolah obat-obat yang masuk ke dalam tubuh berkurang. Hal
ini meyebabkan kemungkinan besar obat tersebut akan menumpuk dalam tubuh
dan terjadi keracunan obat dengan segalah komplikasinya jika diberikan dengan
dosis obat perlu dikurangi pada lansia. Efek samping obat sering pula terjadi
pada lansia yang menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit baru akibat
pemberian obat tadi (iatrogenek), misalnya poliuri/sering BAK akibat pemakaian
obat diuretik, dapat terjatuh akibat penggunaan obat-obat penurun tekanan darah,
penenang, antidepresi dan lain-lain. Efek samping obat pada lansia biasanya
terjadi karena diagnosis yang tidak tepat, ketidakpatuhan meminum obat, serta
penggunaan obat yang berlebihan dan berulang-ulang dalam waktu yang lama.
3. Sering mengalami gangguan jiwa
Pada lansia yang telah menderita sakit sering mengalami tekanan jiwa (depresi).
Oleh karena itu, dalam penggunaannya tidak hanya gangguan fisiknya saja
diobati, tetapi juga gangguan jiwanyayang justru sering tersembunyi gajalahnya.
Jika yang mengobatinya tidak teliti akan menyebabkan kesulitan penyembuhan
Dari aspek penderita, faktor-faktor seperti penurunan aktivitas/fungsi organ,
derajat penyakit, penurunan kemampuan untuk mengurus diri sendiri,
menurunnya masukan cairan dan makanan, serta kemungkinan menderita lebih

dari satu macam penyakit, sering mempersulit proses pengobatan secara opitmal
(Siti Maryam dkk: 2008: 64-65).
C. Perubahan-Perubahan Pada Lansia yang Berkaitan Dengan Pemakaian Obat
a. Perubahan fisiologi Lansia
Sistem Muskuloskeletal
Jaringan penghubung (kolagen dan elastin).
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang,
kartigo dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross
linking yang tidak teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan
hubungan tarikan linier pada jaringan tubuh. Setelah kolagen mencapai puncak
fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan mulai menurun. Kolagen dan
elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami
perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan.
Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas
pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan
kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk
ke berdiri, jongkok, berjalan dan hambatan melakukan aktivitas sehari-hari.
Upaya fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut

dengan memberikan

latihan untuk menjaga mobilitas.


Kartigo
Jaringan kartigo pada persendihan menjadi lunak dan mengalami
granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya, kemampuan
kartigo untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke
arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks
kartilagoberkurang atau hilang secara bertahap. Setelah matriks mengalami
deteriorasi, jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya dan akhirnya
kartigo cenderung mengalami fibrilasi. Kartigo mengalami klasifikasi
dibeberapa tempat, seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago
menjadi tidak efektif, tidak hanya sebagai peredam kejut tetapi juga sebagai
permukaan sendi yang berpeluma. Konsekuensinya kartilago pada persendihan
menjadi rentang terhadap gesekan. Akibatnya perubahan sendi mudah

mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya

aktivitas sehari-hari.
Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang adalah bagian dari penuaan fisiologi.
Trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorpsi
kembali. Sebagai akibat perubahan ini, jumlah tulang spongiosa berkurang dan
tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan lain yang terjadi adalah penurunan
estrogen sehingga produksi osteoklas tidak terjadi, penurunan penyerapan
kalsium di usus, peningkatan kanal haversi sehingga tulang keropos.
Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhan menyebabkan
kekuatan dan kekakuan tulang menurun.
Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan osteoporosis dan

fraktur.
Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi. Penurunan
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan
lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
Dampak perubahan morfologis otot adalah penurunan kekuatan,
penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan
fungsional otot.

Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia
mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan periartikular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan
klasifikasi pada kartigo dan kapsul sendi. Sendi kehilangan flesibilitasnya
sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi. Kelainan yang terjadi pada sendi
berupa osteoartritis, artritis reumatoid, gout dan pseudogout. Kelainan tersebut
dapat menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi,
keterbatasan luas gerak sendi, gangguan jalan dan aktivitas sehari-hari.

Sistem Saraf
6

Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan


aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan
respons motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif.
Hal ini terjadi karena susuna saraf pusat pada lansia mengalami perubahan
morfologis dan biokimia. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan
berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih
ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf benyak mengalami kematian,
sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk
komunikasi antarsel saraf mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan
kehilangan kontak antarsel saraf. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10%
sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37%.
Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi,
keseimbangan, kekuatan otot, refleks, proprioseptif, perubahan postur dan
peningkatan waktu reaksi.

Sistem Kardiovaskular dan Respirasi

Sistem kardiovaskular
Massa jantung bertambah, vertikel kiri mengalami hipertrofi dan
kemampuan perengangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan
ikat dan penumpukan lipofusin. Katup jantung mengalami fibrosis.
Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang. Pembuluh
darah kailer mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi
penurunan

fungsional

berupa

kenaikan

tahanan

vaskular

sehingga

menyebabkan peningkatan tekanan sistole dan penurunan perfusi jaringan.


Penurunan sensitivitas baroreseptor menyebabkan terjadinya hipotensi postural.

Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut jantung


maksimal dan volume sekuncup.
Respon vasokontriksi untuk mencegah terjadinya pengumpulan darah
(pooling of blood) menurun sehingga respons terhadap hipoksia menjadi

lambat.
Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru. Kapasitas total paru
tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah. Volume tidal bertambah untuk
mengompensasi kenaikan ruang rugi paru. Udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi toraks mengakibatkan
gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.
Umur tidak berhubungan dengan perubahan otot diafragma. Apabila terjadi
perubahan otot diafragma, otot toraks menjadi tidak seimbang dan
menyebabkan terjadinya distorsi dinding toraks selama respirasi berlangsung.
Klasifikasi kartilago kosta mengakibatkan penurunan mobilitas tulang rusuk
sehingga ekspansi rongga dada dan kapasitas ventilasi paru menurun.

Sistem gastrointestinal
Terjadi penurunan selera makan rasa haus, asupan makanan dan kalori, mudah
terjadi konstipasi dan gangguan pencernaan lainnya, terjadi penurunan produksi
saliva, karies gigi, gerak peristaltic usus dan pertambahan waktu pengosongan
lambung.
Sistem genitourinaria
Ginjal mengecil aliran darah ke ginjal menurun, fungsi menurun, fungsi
tubulus berkurang, otot kandung kemih menjadi menurun, vesikel vrinaria susah
dikosongkan, perbesaran prostat, atrofi vulva.
Sistem endokrin

Produksi hormon menurun fungsi paratiroid dan sekresi tidak berubah,


menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya produksi aldesteron, menurunnya sekresi
hormon kelamin.
Sistem Indra
Perubahan sistem indra yang meliputi penglihatan, pendengaran, pengecapan,
penghirupan dan peraba.
Sistem penglihatan erat kaitannya dengan presbiopi (old sight). Lensa
kehilangan elastisitas dan kaku. Otot penyangga lensa lemah dan kehilangan tonus.
Ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang.
Penggunaan kaca mata dan sistem penerangan yang baik dapat digunakan untuk
mengompensasi hal tersebut.
Gangguan pendengaran pada lansia umumnya disebabkan koagulasi cairan
yang terjadi selama otitis media atau tumor seperti kolesteatoma. Gangguan ini
dapat diatasi dengan oprasi. Hilangnya sel-sel rambut koklear, reseptor sensorik
primer sistem pendengaran atau sel saraf koklear ganglion. Kerusakan sistem ini
sangat kompleks dan umumnya tidak dapat disembuhkan.
Hal yang sering terjadi pada lansia adalah hilangnya high pitch terutama
konsonan. Apabila berbicara dengan lansia sebaiknya jels, pelan, selalu
memelihara kntak mata dan berhadapan sehingga lansia dapat melihat gerak
bibir sewaktu berbicara.
Sistem Integumen
Pada lansia kulit mengalami atrofi,kendur, tidak elastis, kering dan berkerut.
Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan
kulit disebabkan atrofi glandula sebasea dan glandula sudorifera. Menipisnya kulit
ini tidak terjadinya pada epidermisnya, tetapi pada dermisnya karena terdapat
perubahan dalam jaringan kolagen serta jaringan elastisnya. Bagian kecil pada
kulit menjadi menjadi mulah retak dan menyebabkan cechymosen. Timbul pigmen
berwarna coklat pada kulit, dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit lebih

banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain angin dan sinar matahari,
terutama sinar ultra violet (Sri Surini, dkk: 2003: 8-17).
Tabel 1. Beberapa Interaksi Penting Obat- Penyakit pada Pasien Lansia
Penyakit
Kelainan konduksi
jantung

Obat
Antidepressan trisiklik

PPOK

-Bloker, Opiat

Kerusakan kronis ginjal

AINS, Aminoglikosida

Gagal jantung kongestif

-Bloker, Verapamil
Obat psikotropik,

Dementia

Levodopa, Agen
Antiepileptic
-Bloker, Antihipertensi

Depresi

Efek Merugikan
Heart blok
Bronkokontriksi,
Depresi pernafasan
Gagal ginjal akut
Dekompensasi jantung
akut
Meningkatkan
kebingungan, Delirium

kerja sentra, Alkohol,

Presiptasi atau

Benzodizepin,

Exaserbasi pada depresi

Diabetes melitus
Glaucoma

Kortikosteroid
Diuretic, Prednisone
Obat Antimuskarinik

Hipertensi

AINS

Hypokalemia
Ulkus peptikum
Penyakit pembuluh

Digoxin
AINS, Antikoagulan

darah
Aritmia jantung
Pendarahan lambung

-Bloker

Intemitten klaudisasi

Agen antimuskarinik

Retensi urin

darah perifer
Prostatik hyperplasia

Hiperglikemia
Glaucoma akut
Meningkatnya tekanan

b. Perubahan Farmakokinetik
Telah terbukti bahwa proses menua akan menyebabkan penurunan fungsi organ,
baik sebagai akibat proses degenerasi yang secara ilmiah akan dialami oleh setiap
orang, maupun akibat penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya. Dengan

10

demikian, ada kemungkinan bahwa kecepatan dan derajat absorpsi, metabolisme,


maupun ekskresi obat berubah pada usia lanjut.
Tabel 2. Hubungan Peningkatan Usia dengan Farmakokinetik Obat.
Proses
Farmakokinetik
a
Proses Absorpsi

Perubahan Fisiologis

Perubahan Klinis Penting

Absorpsis permukaan
menurun,
Aliran darah di daerah
splanchnik menurun
Produksi asam lambung

Proses Distribusi

meningkat
Motilitas lambung berubah
Kadar air tubuh menurun
Massa tubuh menurun
Lemak tubuh meningkat
Serum albumin menurun

Kadar obat yang terdistribusi


di cairan tubuh;
memperpanjang waktu paruh
eliminasi dari obat yang larut

Perubahan ikatan protein

lemak.
Fraksi obat bebas diplasma
meningkat pada obat asam
yang terikat kuat dengan

Proses

Perubahan fisiologis

ikatan protein.
Perubahan Klinis Penting

Farmakokinetika
Proses

Massa hati menurun

Menurunkan metabolism

Metabolisme

lintas pertama, dan


menurunkan biotransformasi
beberapa obat.

Proses

Aliran darah ke hati

Metabolisme

menurun
Metabolisme fase 1

11

Proses Eliminasi

menurun
Aliran plasma ginjal

Eliminiasi ginjal pada obat

menurun

dan metabolitnya menurun ;


berbeda pada masingmasing pasien.

Laju filtrasi glomerulus


menurun
Fungsi sekresi tubulus
menurun

Absorpsi
Perubahan dalam hal absorpsi obat pada usia lanjut belum diketahui secara
jelas, tetapi tampaknya tidak berubah untuk sebagian besar obat. Keadaan yang
mungkin dapat mempengaruhi absorpsi ini antara lain perubahan kebiasaan
makan, tingginya konsumsi obat-obat non resep (misalnya antasida, laksansia)
dan lebih lambatnya kecepatan pengosongan lambung.

Distribusi
Selain oleh sifat fisiko-kimiawi molekul obat, distribusi ditentukan pula oleh
komposisi tubuh, ikatan protein plasma dan aliran darah organ. Dengn
bertambahnya usia, prosentase air total dan masa tubuh yang tidak mengandung
lemak (lean body mass) menjadi lebih sedikit. Obat yang mempunyai sifat
lipofili yang kecil, misalnya digoksin dan propranolol, menjadi lebih tinggi
kadarnya dalam darah, walaupun pada dosis yang lazim untuk dewasa. Untuk
obat yang mempunyai sifat lipofilik yang besar, misalnya benzodiazepin,
klordiazepoksid, peningkatan komposisi lemak menyebabkan menurunnya
kadar obat dalam darah.
Komposisi protein total pada usia lanjut praktis tidak berubah, tetapi
biasanya terjadi perubahan rasio albumin globulin. Penurunan albumin secara
mencolok pada usia lanjut umumnya disebabkan oleh menurunnya aktivitas

12

fisik. Tetapi dapat juga memberi petunjuk beratnya penyakit sistemik yang
diderita, seperti miokard infark akut, penyakit-penyakit inflamasi dan infeksi
berat. Sehingga obat-obat yang terutama terikat pada albumin akan lebih
banyak berada dalam bentuk bebas. Dengan kata lain, kadar obat-obat tersebut
akan meningkat dalam plasma. Molekul obat yang terikat pada albumin adalah
yang bersifat asam lemah.
Tabel 3. Pengaruh Volume Distribusi pada Obat-Obat yang Sering Diresepkan
Meningkat Volume Distibusinya
Acetaminophen
Chlorodiazepoxide
Diazepam
Oxazepam
Salicylates
Thiopental
Tolbutamide

Meningkat Volume Distibusinya


Cimetidine
Digoxin
Gentamicin
Meperidine
Phenytoin
Quinine
Theophylline

Metabolisme
Hepar berperan penting dalam metabolisme obat, tidak hanya mengaktifkan
obat ataupun mengakhiri aksi obat tetapi juga membantu terbentuknya
metabolit terionisasi yang lebih polar yang memungkinkan berlangsungnya
mekanisme ekskresi ginjal. Kapasitas hepar untuk memetabolisme obat tidak
terbukti berubah dengan bertambahnya umur, tetapi jelas terdapat penurunan
aliran darah hepar yang tampaknya sangat mempengaruhi kemampuan
metabolisme obat.
Pada usia lanjut terjadi pula penurunan kemampuan hepar dalam proses
penyembuhan penyakit, misalnya oleh karena virus hepatitis atau alkohol. Oleh
sebab itu riwayat penyakit hepar terakhir seorang lanjut usia sangat perlu
dipetimbangkan dalam pemberian obat yang terutama dimetabolisme di hepar.
Sementara itu beberapa penyakit yang sering pula terjadi pada usia lanjut
seperti misalnya kegagalan jantung kongestif, secara menyolok dapat

13

mengubah kemampuan hepar untuk memetabolisme obat dan dapat pula


menurunkan aliran darah hepar.

Ekskresi ginjal
Ginjal merupakan tempat ekskresi sebagian besar obat, baik dalam bentuk
aktif maupun hasil metabolitnya. Seperti halnya dengan organ-organ yang lain,
ginjal akan mengalami perubahan fisiologis dan anatomis dengan bertambahnya
umur. Dengan menurunnya kapasitas fungsi ginjal secara ilmiah karena usia
lanjut, maka eliminasi sebagian besar obat juga akan terpengaruh. Obat-obat
yang

dimetabolisme

kebentuk

aktif,

seperti:

metildopa,

triamteren,

spironolakton, oksifenbutazon, levodopa, dan acetoheksamid mungkin akan


terakumulasi karena memburuknya fungsi ginjal pada usia lanjut. Sementara itu
juga terdapat penurunan klirens yang konsisten dengan bertambahnya umur.
Pada keadaan ini pengukuran klirens kreatinin kadang perlu dibuat, sebelum
pemberian obat, terutama jika ada kecurigaan adanya kelainan ginjal atau
gangguan metabolisme air dan garam, sepertinya misalnya dehidrasi berat.
Salah satu akibat dari turunnya klirens adalah terjadi pemanjangan waktu paruh
beberapa obat dan kemungkinan tertumpuknya obat hingga mencapai kadar
toksik, bila dosis dan frekuensi pemberian tidak diturunkan.
Tabel 4. Obat yang Mengalami Eliminasi
Obat yang mengalami penurunan eliminasi ginjal pada pasien lansia
Amantadi
Hydrochlorothiazid
Ampicillin

Kanamycin

Atenolol

Lithium

Ceftriaxon

Pancuronium

Cephradin

Penicillin

Cimetidin

Phenobarbital

Digoxin

Procainamid

Doxycyclin

Ranitidin

Furosemid

Sotalol
14

Gentamicin

Triamteren

Sebagai contoh antara lain amioglikosida, litium, digoksin, prokainamida,


hipoglikemik oral dan simetidin.

c. Perubahan Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada
lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada
respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat
yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya
akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang
lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga
sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya
menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme
regulasi homeostatis melemah.
Pasien-pasien usia lanjut relatif lebih sensitif terhadap aksi beberapa obat
dibanding kelompok usia muda. Hal ini memberi petunjuk adanya perubahan
interaksi farmakodinamika obat terhadap reseptor yang nampaknya merupakan
hasil perubahan farmakokinetika atau hilangnya respons homeostatis. Mekanisme
pengontrol homeostatis tertentu tampaknya juga mulai kehilangan fungsi pada usia
lanjut, sehingga pola atau intensitas respons terhadap obat juga berubah. Sebagai
contoh tekanan darah rata-rata pada usia lanjut relatif lebih tinggi, tetapi sementara
itu insidensi hipotensi ortostatik juga meningkat secara menyolok. Demikian pula
mekanisme pengaturan suhu juga memburuk dan hipotermia kurang ditoleransi
secara baik pada usia lanjut.
Kemampuan pengaturan yang memadai dan tepat mengenai keadaan fisiologi
tubuh sangat diperlukan dalam homeostatic. Endokrin, transmisi neuromuscular
dan respons organ, semuanya akan menurun dengan bertambahnya usia, yang

15

berakibat pada ketidakmampuan untuk menjaga keseimbangan homeostatik


(Aslam, et al., 2003).
Penerapan konsep homeostenosis ini tergambar pada system scoring APACHE
(Acute Physiology and Cronic Health Evaluation), suatu skala penelaian beratnya
penyakit. Penilaian perubahan fisiologis akut dinyatakan dengan semkain beratnya
pula deviasi dari nilai homeostatis pada 12 variabel, antara lain tanda vital,
oksigenasi, pH, elektrolit, hematokrit, hitung leukosit dan kreatinin. Seseorang
normal pada keadaan homeostatis mempunyai nilai nol. Semakin besar
penyimpangan dari homeostatis skornya semakin besar (Sudoyo, 2009).
Pengaruh Perubahan Pada Reseptor Spesifik dan Tempat Sasaran
Sebagaian besar obat akan memberikan efek setelah berikatan dengan reseptor
yang spesifik. Perubahan densitas reseptor atau afinitas molekul obat pada reseptor
akan merubah responya terhadap obat. Gangguan aktivitas enzim atau perubahan
respon jaringan sasaran itu sendiri juga dapat menyebabkan perubahan respon
terhadap obat (Hayes.,dkk. 2007).
Adrenoseptor alfa
Responsivitas adrenoseptor alfa-1 tidak mengalami perubahan pada
lanjut usia, sebaliknya terjadi penurunan responsivitas pada adrenoseptor alfa

2.
Adreneseptor beta
Fungsi adreneseptor beta menurun dengan bertambahnya usia. Oleh
karena itu, terapi beta bloker pada lanjut usia dapat menjadi kurang efektif,
kemungkinan akibatnya adalah penurunan efek antihipertensi. Ada juga berapa

bukti yang mengarah pada penurunan densitas adrenoseptor beta.


Benzodiazepin
Pasien lanjut usia lebih sensitive terhadap efek sedasi obat golongan
benzosiazepin jika dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Penelitian
yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah atau
afinitas tempat ikatan benzodiazepine. Mekanisme efek ini tidak diketahui.

16

Berbagai penelitian klinik menunjukkan bahwa usia lanjut ternyata lebih


sensitif terhadap analgetika, alkaloida, opium, beberapa sedatif dan tranquilizer,
serta obat antiparkinson. Sayangnya, obat-obat tersebut justru sering diresepkan
untuk kelompok usia ini.
d. Perubahan Psikologi
Tidak semua fungsi-fungsi pada lansia mengalami penurunan, adapun
perubahan psikis yang terjadi menurut Stevens dan Hurlock 1980 adalah:
a. Pengamatan
Memerlukan waktu lebih lama untuk menyimak keadaan sekelilingnya.
b. Daya ingat
Cenderung masih mengingat hal yang lama disbanding dengan hal yang baru.
c. Berpikir dan argumentasi
Terjadi penurunan dalam pengmbilan keputusan/ kesimpulan.
d. Belajar
Lebih berhati-hati dalam belajar, memerlukan waktu lebih lama untuk
dapat mengintegrasikan jawaban, kurang mampu mempelajari hal-hal yang
baru.
e. Perubahan social
Lanjut usia cenderung mengurangi bahkan berhenti dari kegiatan sosial
atau menarik diri dari pergaulan sosialnya, keadaan ini mengakibatkan
interaksi sosial lanjut usia menurun, secara kualitas maupun kuantitas, yaitu:
kehilangan peran, kontak sosial dan berkurangnya komitmen karena merasa
sudah tidak mampu
f. Perubahan spiritual
Hubungan horizontal, antar pribadi berupaya menyerasikan hubungan
dengan dunia. Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan
secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan
sexual.

17

D. Obat-Obat dan Pertimbangan Pemakain yang Sering Diresepkan


1. Obat-obat sistem saraf pusat
Sedativa-hipnotika:
Mengingat sering diresepkannya obat-obat golongan sedativahipnotika pada pasien usia lanjut, maka efek samping obat golongan ini yang
diketahui maupun tidak diketahui oleh pasien relatif lebih sering terjadi.
Pasien merasa tidak enak badan setelah bangun tidur (dapat terjadi
sepanjang hari), sempoyongan, kekakuan dalam bicara dan kebingungan
beberapa waktu sesudah minum obat. Sebagai contoh, waktu paruh beberapa
obat golongan benzodiazepin dan barbiturat meningkat sampai 1,5 kali.
Namun lorazepam dan oksazepam mungkin kurang begitu terpengaruh oleh
perubahan ini. Efek samping yang perlu diamati pada penggunaan obat
sedativa-hipnotika antara lain adalah ataksia.
Analgetika:
Dengan menurunnya fungsi respirasi karena bertambahnya umur,
maka kepekaan terhadap efek respirasi obat-obat golongan opioid (analgetikanarkotik) juga meningkat. Jika tidak sangat terpaksa dan indikasi pemakaian
tidak terpenuhi, maka pemberian analgetika-narkotik pada usia lanjutnya
hendaknya dihindari.
Antidepresansia:
Obat-obat golongan antidepresan trisiklik yang cukup banyak
diresepkan ternyata sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut, yang
antara lain berupa mulut kering, retensi urin, konstipasi, hipotensi postural,
kekaburan pandangan, kebingungan, dan aritmia jantung. Jika terpaksa
diberikan, maka sebaiknya dimulai dari dosis terendah, misalnya imipramin
10 mg pada malam hari. Selain itu diperlukan pula pemantauan yang terus
menerus untuk mencegah kemungkinan efek samping tersebut.

18

2. Obat-obat kardiovaskuler
Antihipertensi
Pengobatan hipertensi pada usia lanjut sering menjadi masalah, tidak
saja dalam hal pemilihan obat, penentuan dosis dan lamanya pemberian, tetapi
juga menyangkut keterlibatan pasien secara terus menerus dalam proses
terapi. Hal ini karena pengobatannya umumnya jangka panjang. Jika terapi
non-obat dirasa masih memungkinkan, pembatasan masukan garam, latihan
(exercise), dan penurunan berat badan, serta pencegahan terhadap faktorfaktor risiko hipertensi (misalnya merokok dan hiperkholesterolemia) perlu
dianjurkan bagi pasien dengan hipertensi ringan.
Namun jika yang dipilih adalah alternatif pengobatan, maka
hendaknya dipertimbangkan pula hal-hal berikut:

penyakit lain yang diderita (associated illness)


obat-obat yang diberikan bersamaan (concurrent therapy)
biaya obat (medication cost), dan
ketaatan pasien (patient compliance).
Pilihan pertama yang dianjurkan adalah diuretika dengan dosis yang

sekecil mungkin. Efek samping hipokalemia dapat diatasi dengan pemberian


suplemen kalium atau pemberian diuretika potassium-sparing seperti
triamteren dan amilorida. Kemungkinan terjadinya hipotensi postural dan
dehidrasi hendaknya selalu diamati.
Jika diuretika ternyata kurang efektif, pilihan selanjutnya adalah obat-obat
antagonis beta-adrenoseptor (beta bloker). Untuk penderita angina atau
aritmia, beta blocker cukup bermanfaat sebagai obat tunggal, tetapi jangan
diberikan pada pasien dengan kegagalan ginjal kongestif, bronkhospasmus,
dan penyakit vaskuler perifer. Pengobatan dengan beta-1-selektif yang
mempunyai waktu paruh pendek seperti metoprolol 50 mg 1-2x sehari juga
cukup efektif bagi pasien yang tidak mempunyai kontraindikasi terhadap

19

pemakaian beta-blocker. Dosis awal dan rumat hendaknya ditetapkan secara


hati-hati atas dasar respons pasien secara individual.
Vasodilator perifer seperti prazosin, hidralazin, verapamil dan nifedipin juga
ditoleransi dengan baik pada usia lanjut, meskipun pengamatan yang seksama
terhadap kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik perlu dilakukan.
Meskipun beberapa peneliti akhir-akhir ini menganjurkan kalsium antagonis,
seperti verapamil dan diltiazem untuk usia lanjut sebagai obat lini pertama.
Tetapi mengingat harganya relatif mahal dengan frekuensi pemberian yang
lebih sering, maka dikhawatirkan akan menurunkan ketaatan pasien.
Obat-obat antiaritmia: Pengobatan antiaritmia pada usia lanjut akhir-akhir ini
semakin sering dilakukan mengingat makin tingginya angka kejadian penyakit
jantung koroner pada kelompok ini. Namun demikian obat-obat seperti
disopiramida sangat tidak dianjurkan, mengingat efek antikholinergiknya yang
antara lain berupa takhikardi, mulut kering, retensi urin, konstipasi, dan
kebingungan.

Pemberian

kuinidin

dan

prokainamid

hendaknya

mempertimbangkan dosis dan frekuensi pemberian, karena terjadinya


penurunan klirens dan pemanjangan waktu paruh.
Glikosida jantung: Digoksin merupakan obat yang diberikan pada penderita
usia lanjut dengan kegagalan jantung atau aritmia jantung. Intoksikasi
digoksin tidak jarang dijumpai pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal,
khususnya jika kepada pasien yang bersangkutan juga diberi diuretika. Gejala
intoksikasi digoksin sangat beragam mulai anoreksia, kekaburan penglihatan,
dan psikosis hingga gangguan irama jantung yang serius. Meskipun digoksin
dapat memperbaiki kontraktilitas jantung dan memberi efek inotropik yang
menguntungkan, tetapi kemanfaatannya untuk kegagalan jantung kronis tanpa
disertai fibrilasi atrial masih diragukan. Oleh sebab itu, mengingat
kemungkinan kecilnya manfaat klinik untuk usia lanjut dan efek samping
digoksin sangat sering terjadi, maka pilihan alternatif terapi lainnya perlu

20

dipetimbangkan lebih dahulu. Diuretika dan vasodilator perifer sebetulnya


cukup efektif sebagian besar penderita.
3. Antibiotika
Prinsip-prinsip dasar pemakaian antibiotika pada usia lanjut tidak
berbeda dengan kelompok usia lainnya. Yang perlu diwaspadai adalah
pemakaian antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam, yang ekskresi
utamanya melalui ginjal.
Penurunan fungsi ginjal karena usia lanjut akan mempengaruhi
eliminasi antibiotika tersebut, di mana waktu paruh obat menjadi lebih
panjang (waktu paruh gentasimin, kanamisin, dan netilmisin dapat meningkat
sampai dua kali lipat) dan memberi efek toksik pada ginjal (nefrotoksik),
maupun organ lain (misalnya ototoksisitas).
4. Obat-obat antiinflamasi
Obat-obat golongan antiinflamasi relatif lebih banyak diresepkan pada
usia lanjut, terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi (osteoaritris).
Berbagai studi menunjukkan bahwa obat-obat antiinflamasi non-steroid
(AINS), seperti misalnya indometasin dan fenilbutazon, akan mengalami
perpanjangan waktu paruh jika diberikan pada usia lanjut, karena menurunnya
kemampuan metabolisme hepatal. Karena meningkatnya kemungkinan
terjadinya efek samping gastrointestinal seperti nausea, diare, nyeri abdominal
dan perdarahan lambung (20% pemakai AINS usia lanjut mengalami efek
samping tersebut), maka pemakaian obat-obat golongan ini hendaknya dengan
pertimbangan yangmseksama. Efek samping dapat dicegah misalnya dengan
memberikan antasida secara bersamaan, tetapi perlu diingat bahwa antasida
justru dapat mengurangi kemampuan absorpsi AINS.
5. Laksansia
Pada usia lanjut umumnya akan terjadi penurunan motilitas
gastrointestinal, yang biasanya dikeluhkan dalam bentuk konstipasi.
Pemberian obat-obat laksansia jangka panjang sangat tidak dianjurkan, karena
21

di samping menimbulkan habituasi juga akan memperlemah motilitas usus.


Pemberian obat-obat ini hendaknya disertai anjuran agar melakukan diet
tinggi serat dan meningkatkan masukan cairan serta jika mungkin dengan
latihan fisik (olah raga).
E. Efek Samping Obat Pada Usia Lanjut
Penguasaan dokter terhadap aspek-aspek klinis serta prinsip penggunaan obat
untuk usia lanjut dengan demikian menjadi penting untuk meningkatkan kualitas
pengobatan.
Peresepan yang tidak tepat dan polifarmasi merupakan problem utama dalam
terapi dengan obat pada pasien lanjut usia. Keahlian klinis farmasis, termasuk
evaluasi terhadap pengobatan, dapat digunakan untuk memperbaiki pelayanan dalam
bidang ini.
Efek samping obat lebih sering terjadi pada populasi lanjut usia. Pasien lanjut usia
tiga kali lebih beresiko masuk rumah sakit akibat efek samping obat. Hal ini
berpengaruh secara bermakna terhadap segi finansial seperti halnya implikasi
teraupetik.
Kepatuhan penggunaan obat sering kali mengalami penurunan karena beberapa
gangguan pada lanjut usia. Kesulitan dalam hal membaca, bahasa, mendengar dan
ketangkasan, semuanya dapat berperan dalam masalah ini.
Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah obat
yang diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya, makin banyak jenis obat
yang diresepkan pada individu-individu usia lanjut, makin tinggi pula kemungkinan
terjadinya efek samping. Secara epidemiologis, 1 dari 10 orang (10%) akan
mengalami efek samping setelah pemberian 1 jenis obat. Resiko ini meningkat
mencapai 100% jika jumlah obat yang diberikan mencapai 10 jenis atau lebih. Secara
umum angka kejadian efek samping obat pada usia lanjut mencapai 2 kali lipat
kelompok usia dewasa.
Obat-obat yang sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut antara lain
analgetika, antihipertensi, antiparkinsion, antipsikotik, sedatif dan obat-obat
22

gastrointestinal. Sedangkan efek samping yang paling banyak dialami antara lain
hipotensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin, dan konstipasi. Tingginya
angka kejadian efek samping obat ini nampaknya berkaitan erat dengan kesalahan
peresepan oleh dokter maupun kesalahan pemakaian oleh pasien.
a. Kesalahan peresepan
Kesalahan peresepan sering kali terjadi akibat dokter kurang memahami
adanya perubahan farmakokinetika/farmakodinamika karena usia lanjut. Sebagai
contoh adalah simetidin yang acap kali diberikan pada kelompok usia ini,
ternyata memberi dampak efek samping yang cukup sering (misalnya halusinasi
dan reaksi psikotik), jika diberikan sebagai obat tunggal. Obat ini juga
menghambat metabolisme berbagai obat seperti warfarin, fenitoin dan beta
blocker. Sehingga pada pemberian bersama simetidin tanpa lebih dulu melakukan
penetapan dosis yang sesuai, akan menimbulkan efek toksik yang kadang fatal
karena meningkatnya kadar obat dalam darah secara mendadak.
b. Kesalahan pasien
Secara konsisten, kelompok usia lanjut banyak mengkonsumsi obat-obat yang
dijual bebas/tanpa resep (OTC). Pemakaian obat-obat OTC pada penderita usia
lanjut bukannya tidak memberi resiko, mengingat kandungan zat-zat aktif dalam
satu obat OTC kadang-kadang belum jelas efek farmakologiknya atau malah
bersifat membahayakan. Sebagai contoh adalah beberapa antihistamin yang
mempunyai efek sedasi, yang jika diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
kognitif akan memberi efek samping yang serius. Demikian pula obat-obat
dengan kandungan zat yang mempunyai aksi antimuskarinik akan menyebabkan
retensi urin (pada penderita laki-laki) atau glaukoma, yang penanganannya akan
jauh lebih sulit dibanding penyakitnya semula.
c. Ketidak-jelasan informasi pengobatan
Pasien-pasien usia lanjut sering pula menjadi korban dari tidak jelasnya
informasi pengobatan dan beragamnya obat yang diberikan oleh dokter. Keadaan
ini banyak dialami oleh penderita-penderita penyakit yang bersifat hilang timbul
23

(sering kambuh). Kesalahan umumnya berupa salah minum obat (karena


banyaknya jenis obat yang diresepkan pada suatu saat), atau berupa
ketidaksesuaian dosis dan cara pemakaian seperti yang dianjurkan. Kelompok
usia ini tidak jarang pula memanfaatkan obat-obat yang kadaluwarsa secara tidak
sengaja, karena ketidaktahuan ataupun ketidakjelasan informasi.
Dengan demikan, pemakaian obat secara bijaksana pada penderita-penderita
usia lanjut akan membantu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang
usia. Namun demikian, hal-hal yang perlu dicatat dalam segi ketaatan pasien
antara lain:

Meskipun secara umum populasi usia lanjut kurang dari 15%, tetapi
peresepan pada usia ini relatif tinggi, yaitu mencapai 25%-30% dari seluruh

peresepan.
Pasien sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara, frekuensi dan
berapa lama obat harus diminum untuk memperoleh efek terapetik yang
optimal. Untuk antibiotika, misalnya pasien sering menganggap bahwa

hilangnya simptom memberi tanda untuk menghentikan pemakaian obat.


Pada penderita yang tremor, mengalami gangguan visual atau menderita

artritis, jangan diberi obat cairan yang harus ditakar dengan sendok.
Untuk pasien usia lanjut dengan katarak atau gangguan visual karena
degenerasi makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar mudah dibaca.

Tabel 5. Contoh Reaksi Obat yang Merugikan


Jenis Obat
Aminoglycosides

Efek samping umum


Gagal ginjal, gangguan pendengaran

Antiarrhythmics

Diare (quinidine); retensi urin


(Disopyramide)

Anticholinergics

Mulut kering, konstipasi, retensi urin,


delirium

Antipsychotics

Delirium, sedasi, hipotensi, gangguan


gerakan ekstrapiramidal

24

Diuretics

Dehidrasi, hiponatremia, hipokalemia,


inkontinensia

Narcotics

Sembelit

Sedative-hypnotics
Sedasi berlebihan, delirium, gangguan gait
Tabel 6. Contoh Potensi Interaksi Obat-Obat yang Penting
Contoh
Antasida dengan

Interaksi

digoxin, isoniazid

Mengganggu

(INH), dan antipsikotik

penyerapan obat

Simetidin dengan
propranolol, teofilin,
fenitoin (Dilantin)

Efek Potensial

Efektivitas obat menurun

Penurunan klirens obat,


Perubahan metabolisme

peningkatan risiko
toksisitas

Peningkatan risiko
Lithium dengan diuretik

Perubahan ekskresi

toksisitas dan
ketidakseimbangan
elektrolit

Oral warfarin dengan


hipoglikemik, aspirin,

Pergeseran ikatan

chloral hydrate

protein

Peningkatan efek dan


risiko toksik

F. Prinsip Pengobatan Pada Usia Lanjut


Secara singkat, pemakaian/pemberian obat pada usia lanjut hendaknya
mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Riwayat pemakaian obat

25

Informasi mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu ditanyakan,


mengingat sebelum datang ke dokter umumnya penderita sudah melakukan

upaya pengobatan sendiri.


Informasi ini diperlukan juga untuk mengetahui apakah keluhan/penyakitnya
ada kaitan dengan pemakaian obat (efek samping), serta ada kaitannya
dengan pemakaian obat yang memberi interaksi.

2. Obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang dibuat. Sebagai
contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan simetidin pada kecurigaan
diagnosis ke arah dispepsia.
3. Mulai dengan dosis terkecil. Penyesuaian dosis secara individual perlu
dilakukan untuk menghindari kemungkinan intoksikasi, karena penanganan
terhadap akibat intoksikasi obat akan jauh lebih sulit.
4. Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi resiko
yang terkecil, dan sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari 2 jenis obat. Jika
terpaksa memberikan lebih dari 1 macam obat, pertimbangkan cara pemberian
yang bisa dilakukan pada saat yang bersamaan.
G. Hal-Hal yang Diperhatikan dalam Hal Pemberian Obat
1. Informasi tentang obat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembekalan informasi tertentu
kepada pasien akan membantu meningkatkan kepatuhan : nama obat, untuk apa,
mengapa diberikan, bagaimana dan kapan harus diberikan, apa efeknya, efek
samping apa yang dapat terjadi, dan apa yang harus dilakukan jika ada dosis
yang terlewatkan. Informasi secara lisan dari farmasis akan memperkuat
informasi yang telah ada secara tertulis. Jawaban yang diberikan farmasis untuk
pertanyaan yang telah ada secara tertulis.Jawaban yang diberikan farmasis
kepada pasien harus ringkas dan jelas, sehingga pasien atau orang yang
merawatnya akan lebih mudah untuk mengingatnya.
26

2. Aturan pemberian obat


Aturan pemberian obat yang sederhana akan berakibat pada kepatuhan yang
lebih baik. Sebagai bagian dari aktivitas pemantauan peresepan, farmasis
idealnya menempatkan diris ebagai penasehat dokter dalam perbaika naturan
pemakaian obat yang ada.
H. Tujuan Terapi Obat
Ada beberapa hal yang perlu dibahas dalam rangka optimalisasi terapi obat
pada pasien lanjut usia.
Daftar 7. Tabel Obat yang Menimbulkan Masalah pada Pasien Lansia
Kelompok obat
Antidepresan trisilklik

Alasan meningkatnya resiko masalah


Menyebabkan gangguan kognitif
Peningkatan distribusi ke adipose

Anti psikotik

Reduksi metabolism
Menyebabkan gangguan kognitif

Opioid
Digoksin
Peninghambatan ACE
Warfarin
Levodopa
Benzodiazepine aksi panjang
B-bloker

Reduksi metabolisme
Menyebabkan gangguan kognitif
Reduksi eksresi
Reduksi eksresi
Peningkatan sensitifitas
Reduksi sensitifitas
Reduksi metabolisme
Reduksi khasiat

Kortikosteroid
Antimuskarinik
Beberapa cefalosporin
Deuretika

Reduksi eksresi ginjal


Ganggauan kognitif
Peningkatan toksisitas terhadap lambung
Peningkatan sensitifitas
Reduksi eksresi ginjal
Tidak efek pada gangguan ginjal

Hindari terapi obat yang tidak diperlukan


Perlu dicermati adanya kemungkinan alternative terapi tanpa penmggunaan
obat contoh pada hipertensi ringan mungkin dapat diberi petunjuk tentang polahidup
sehat terlebih dahulu, misalnya berhenti merokok. Petunjuk diet juga dapat menjadi

27

alternative . hal ini terutama berguna bagi pasien dengan hiperlipidemia yang ringan.
Pada kasus yang lain, pemberian obat obatan tidak diperlukan sama sekali, salah
satu contoh yang baik adlah peresepan obat obatan hipnotik. Pasien lanjut usia
sering kali mengharapkan tidur melebihi kebutuhannya. Hal ini dapat mendorong
mereaka untuk mencapai terapi hipnotik yang tidak tepat. Dalam usaha meningkatkan
kualitas tidur sebenarnya ada beberapa cara sederhana yang dpat dilakukan, termasuk

buang air kecil sebelum tidur atau optimalisasi keadaan dalam ruang tidur.
Kualitas hidup
Sangatlah muda untuk melihat tujuan pemberian obat pada pasien lanjut usia,
yaitu memperpanjang masa harapan hidup. Walaupun demikian, tanggung jawab
untuk memperbaiki kualitas hidup pasien tetap ada. Sebagai contohnya, seorang
wanita lanjut usia dengan osteoporosis dipinggulnya, akan paling baik diatasi dengan
operasi pinggul daripada terapi jangka panjang dengan obat AINS dan resiko efek

sampingnya.
Mengobati penyebab bukan sekedar gejala
Ketika seorang pasien lanjut usia menunjukkan suatu gejala, sangatlah penting
mencari penyebabnya. Merupakan tindakan yang tidak tepat jika hanya mengobati
gejalanya yang malah mungkin menutupi masalah sebenarnya yang lebih serius.
Seorang pasien dapat menunjukkan gejala gangguan pencernaan tetapi ternyata
menderita tukak lambung. Mengobati pasien ini dengan antasida jelas tidak tepat dan
potensial menimbulkan bahaya karena penyakit yang lebih serius tidak diobati. Oleh
karena itu, penyebab dari gejala tersebut harus diketahui terlebih dahulu, kemudian

pengobatan diberikan secara tepat.


Riwayat pengobatan
Mengetahui riwayat pengobatan pasien akan sangat membantu dalam seleksi
obat. Dari sini dapat diketahui jika pasien mengalami alergi atau toleransi terhadap
obat tertentu pada masa lalu. Disamping itu, efek samping obat dan interaksi obat

yang potensial terjadi juga lebih muda untuk dihindari.


Titrasi dosis
Perubahan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lanjut usia
biasanya menjadi sebab mengapa dosis yang lebih rendah diperlukan untuk

28

memperoleh efek terapeutik yang dikehendaki. Pada sebagian besar kasus merupakan
hal yang rasional untuk memulai terapi dengan dosis serendah mungkin, kemudian
jika

diperlukan

dapat

ditingkatkan

secara

bertahap

dosis

atau

frekuensi

pemberiannya.
Penyakit medis yang bersamaan
Pasien lanjut usia sering kali menderita lebih dari satu kondisi medis. Hal ini
dapat mengakibatkan kontra-indikasi atau perlunya perhatian khusus terhadap obat
obat tertentu. Gangguan fungsi ginjal dan disfungsi hati merupakan kondisi kondisi
yang sering muncul pada pasien lanjut usia sehingga diperlukan perhatian khusus

dalam pemilihan terapi obat.


Pemilihan obat dan bentuk sediaan yang tepat
Jika telah diputuskan untuk melakukan terapi obat, selanjutnya sangatlah
penting untuk memastikan bahwa obat terpilih adalah obat yang tepat. Dalam hal ini
yang perlu diperhatikan adalah efek samping yang mungkin terjadi dan kondis medis
pasien pada saat itu. Juga termasuk pertimbangan bentuk sediaan yang akan
digunakan. Pasien lanjut usia sering kali lebih tepat untuk mendapat syrup, suspensi,
atau tablet terlarut. Untuk menelan tablet atau kapsul yang besar sering kali
menimbulkan kesulitan atau kecemasan tersendiri yang nantinya dapat mengurangi
tingkat kepatuhan.

29

BAB III
KESIMPULAN
Lanjut usia, biasanya merujuk pada tahap siklus kehidupan yang dimulai pada
usia 65 tahun. Ahli gerontologi membagi lanjut usia menjadi dua kelompok: youngold, berusia 65-74 tahun; dan old-old, berusia 75 tahun ke atas. Kadang-kadang
digunakan istilah oldest old untuk merujuk pada orang-orang yang berusia 85 tahun
ke atas.
Permasalahan dalam penanganan pada lansia adalah masalah kesehatan
baik dari segi kesehatan fisik maupun mental, masalah sosial dan kepatuhan
penggunaan obat padaa lansia.
Pemberian pengobatan pada lansia, dapat diperhatikan terhadap aneka
perubahan

kinerja farmakokinetika maupun farmakodinamika

selama

proses

menua. Kedua kinerja bersangkutan saling terkait serta mempengaruhi keberadaan


obat di tempat kerja tertentu dan keefektifan antar aksinya dengan tempat kerja
terkait. Yang lebih lanjut, ini akan menentukan kinerja farmakologi dan toksikologi
obat bersangkutan.
Terapi pengobatan pada pasien lansia harus diperhatikan. Farmasis harus
memberikan informasi tentang pengobatan baik itu dari bentuk sediaan suatu obat,
aturan pakai, dosis dan efek samping yang dapat ditimbulkan dari suatu obat.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Aslam, M., dkk. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), Menuju Pengobatan
Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Elex Media Komputindo: Jakarta.
2. Hayes, Evelin R., dan Joyce, L.Kee. 2007. Farmakologi Pendekatan Proses
Keperawatan. Penerbit EGC: Jakarta.
3. Hoyer , W.J., & Roodin, P.A. 2003. Adult Development and Aging: Fifth Edition .
McGraw-Hill: New York.
4. Maryam Siti R, dkk .2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba
Medika: Jakarta.
5. Sudoyo, Aru.W.,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing:
Jakarta.
6. Sri Surini Pudjiastuti dan Budi Utomo. 2003. Fisioterapi pada LANSIA. EGC:
Jakarta.
7. World Health Organization (WHO). 1985. Drugs for the Elderly. WHO Regional
Office of Europe: Copenhagen.

31

Anda mungkin juga menyukai