35.
ANESTESI
UNTUK
PASIEN
DENGAN
GANGGUAN
NEUROMUSKULAR
Konsep Kunci
1. Kelemahan yang berhubungan dengan myasthenia gravis terjadi karena
adanya gangguan autoimun atau inaktivasi dari reseptor asetylcolin
postsinap
pada
neuromuscular
junction,
sehingga
menyebabkan
pernapasan
yang
berkurang
dan
peningkatan
kepekaan
terhadap
mengalami
hiperplasia folikel limfoid pada thymus. Gangguan yang terkait dengan autoimun
lainnya (hipotiroidisme, hipertiroidisme, rheumatoid arthritis, dan sistemik lupus
erythematosus) juga ditemukan pada 10% pasien. Diagnosis banding dari
myasthenia gravis mencakup sejumlah kondisi klinis lainnya yang dapat mirip
tanda-tanda dan gejalanya (Tabel 35-2). Krisis Miastenia Gravis merupakan
kondisi eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanis dan harus dicurigai
pada setiap pasien dengan gagal napas yang etiologinya tidak jelas.
TABEL 35-1 Klasifikasi klinis Amerika untuk myasthenia gravis1
Kelas
I
Definisi
Kelemahan berbagai otot okular
Terdapat kelemahan saat menutup mata
II
IIa
IIb
III
IIIa
IIIb
IV
IVa
IVb
Azithromycin
Ciprofl oxacin
Clarithromycin
Erythromycin
Gentamycin
Neomycin
Streptomycin
Sulfonamides
Tetracycline
Tobramycin
Obat sistem syaraf pusat
Chlorpromazine
Lithium
Phenytoin
Trihexyphenidyl
Immunomodulator
Corticosteroids
Interferon-
Agen rheumatologikal
Chloroquine
D -Penicillamine
Miscellanous
Agen radiokontras iodin
Magnesium
Neuromuscular blockers nondepolarisai
Obat-obat antikolinesterase paling sering digunakan untuk mengobati
kelemahan otot pada gangguan ini. Obat ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada
neuromuskuler junction melalui penghambatan end plate acetylcholinesterase.
Pyridostigmine paling sering diresepkan; ketika diberikan secara oral, obat ini
memiliki durasi efektif selama 2-4 jam. Pemberian yang berlebihan dari
antikolinesterase dapat memicu krisis kolinergik, yang ditandai dengan
peningkatan kelemahan dan efek muscarinic berlebihan, termasuk produksi saliva
mycophenolate
mofetil,
dan
imunoglobulin
intravena.
pada usia 12 tahun. Perkembangan penyakit dapat ditunda hingga 2-3 tahun
dengan terapi glukokortikoid pada beberapa pasien. Gangguan intelektual sering
terjadi tetapi umumnya nonprogresif. Kadar plasma creatine kinase (CK) 10-100
kali normal bahkan pada awal penyakit dan dapat menunjukkan peningkatan
abnormal permeabilitas sel otot membran. Perempuan sebagai pembawa genetik
sering menunjukkan tingkat CK plasma tinggi, derajat
hipertrofik hanya 10% pasien. Regurgitasi mitral sekunder akibat dari disfungsi
otot papilaris juga ditemukan pada 25% pasien. Kelainan elektrokardiogram
meliputi perpanjangan interval P-R, QRS dan kelainan ST-segmen, dan
gelombang R menonjol pada prekordium kanan dengan gelombang Q yang dalam
pada prekordium kiri. Aritmia atrium sering terjadi. Kematian pada usia yang
relatif muda biasanya karena infeksi paru berulang, gagal napas, atau gagal
jantung.
Beckers Muscular Dystrophy
Beckers muscular dystrophy, seperti Duchennes muscular dystrophy,
merupakan gangguan terkait-X resesif tapi jarang terjadi (1: 30.000 kelahiran lakilaki). Manifestasi hampir identik dengan Duchennes muscular dystrophy kecuali
Beckers muscular dystrophy biasanya terjadi masa remaja dan progresifitas yang
lebih lambat. Keterbelakangan mental jarang terjadi. Pasien sering mencapai usia
dekade keempat atau kelima, meskipun beberapa dapat bertahan hidup hingga 80an. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi pernapasan. Cardiomyopathy
dapat terjadi dalam beberapa kasus dan bisa mendahului kelemahan tulang yang
parah.
Myotonic Dystrophy
Distrofi miotonik adalah gangguan multisistem yang merupakan penyebab
paling umum dari myotonia, sebuah perlambatan relaksasi setelah kontraksi otot
dalam respon terhadap rangsangan listrik atau perkusif. Penyakit ini merupakan
autosomal dominan, dengan kejadian 1: 8000, dan biasanya secara klinis menjadi
jelas pada dekade kedua hingga ketiga, tetapi juga telah dilaporkan sebagai
gangguan paraneoplastic yang berkaitan dengan timoma. Myotonia merupakan
manifestasi awal utama; kelemahan otot dan atrofi menjadi lebih menonjol dalam
perkembangan penyakit. Kelemahan dan atrofi biasanya terjadi pada otot kranial
(orbicularis oculi dan oris, masseter, dan sternokleidomastoid), dan berbeda
dengan kebanyakan miopati, otot distal lebih banyak mengalami gangguan
daripada otot proksimal. Plasma CK normal atau sedikit meningkat.
Beberapa sistem organ terlibat dalam myotonic distrofi, sebagaimana
dibuktikan pada katarak presenil, kebotakan frontal prematur, hipersomnolen
dengan sleep apnea, dan disfungsi endokrin yang mengarah ke insufiensi
pankreas, adrenal, tiroid, dan gonad. Keterlibatan pernapasan menyebabkan
penurunan kapasitas vital, dan hipoksemia kronis dapat menyebabkan cor
pulmonale. Hipomotilitas gastrointestinal dapat mempengaruhi pasien untuk
mengalami aspirasi paru. Atonia uterine dapat memperpanjang persalinan dan
meningkatkan kejadian dari retensi plasenta. Manifestasi jantung, dimana lebih
sering terjadi sebelum gejala klinis lainnya muncul, seperti termasuk
kardiomiopati, aritmia atrium, dan berbagai tingkat blok jantung.
Myotonia biasanya digambarkan oleh pasien sebagai "kekakuan" yang
dapat berkurang dengan aktivitas selanjutnyayang disebut fenomena "warm-up".
Pasien sering melaporan bahwa adanya suhu dingin memperburuk kekakuan.
Pengobatan antimyotonic meliputi mexiletine, fenitoin, baclofen, dantrolen, atau
carbamazepine. Sebuah alat pacu jantung dapat ditempatkan pada pasien dengan
defek konduksi yang signifikan, bahkan jika tidak menunjukkan gejala.
Facioscapulohumeral Dystrophy
B. Myotonic Dystrophy
Pasien dengan myotonic distrofi mengalami peningkatan risiko komplikasi
pernapasan dan jantung perioperatif. Sebagian besar masalah perioperatif
muncul pada pasien dengan kelemahan yang berat dan dalam kasus-kasus
dimana ahli bedah dan ahli anestesi tidak menyadari adanya diagnosis
penyakit ini. Diagnosis myotonic distrofi dibuat pada beberapa pasien pada
investigasi apneu yang berkepanjangan setelah general anestesi.
Pasien dengan myotonic distrofi telah terjadi perubahan respon terhadap
sejumlah obat-obatan anestesi. Mereka sering sangat sensitif bahkan terhadap
dosis kecil opioid, sedatif, dan agen anestesi inhalasi dan intravena, yang
semuanya dapat menyebabkan apneu yang tiba-tiba dan berkepanjangan.
Oleh karena itu premedikasi harus harus dihindari. Suksinilkolin merupakan
kontraindikasi relatif karena dapat memicu kontraksi myotonic yang intens,
menyebabkan kesulitan intubasi orotrakeal. Kontraksi myotonic dari otot
pernapasan, dinding dada, atau laring dapat membuat kesulitan ventilasi. Obat
lain yang bekerja pada motor end plate, seperti decamethonium, neostigmin,
MYOTONIA
Myotonia Kongenital dan Paramyotonia Kogenital
Myotonia kongenital adalah gangguan yang bermanifestasi di awal
kehidupan dengan generalized myotonia. Terdapat bentuk autosomal dominan
(Thomsens) dan resesif (Becker). Penyakit ini terbatas pada otot skeletal, dan
kelemahan yang ada minimal maupun tidak ada. Banyak pasien yang mengalami
perkembangan sangat baik karena otot-otot menggalami kontraksi otot yang
konstan. Terapi antimyotonic meliputi fenitoin, mexiletine, kina sulfat, atau
procainamide. Obat lain yang telah digunakan meliputi tocainide, dantrolen,
prednison, acetazolamide, dan taurin. Tidak terdapat keterlibatan jantung dalam
myotonia kongenital, dan mempunyai lama hidup yang normal.
Paramyotonia congenital adalah gangguan autosomal yang sangat jarang
yang ditandai dengan kekakuan yang transien (myotonia) dan, kadang-kadang,
kelemahan terjadi setelah terpapar suhu dingin. Kekakuan memburuk dengan
aktivitas, berbeda dengan true myotonia, oleh sebab itu diberi istilah
paramyotonia. Konsentrasi serum kalium akan naik setelah serangan serupa
dengan paralisis periodik hyperkalemic (lihat di bawah). Obat-obatan yang telah
digunakan untuk memblok respon meliputi mexiletine dan tocainide.
Pengelolaan pasien dengan myotonia kongenital dan paramyotonia sulit
karena adanya respon abnormal terhadap suksinilkolin, kontraksi myotonic
intraoperatif, dan kebutuhan untuk menghindari hipotermia. Secara berlawanan,
NMBS menyebabkan kejang otot umum, termasuk trismus, yang menyebabkan
kesulitan saat intubasi dan ventilasi.
Infiltrasi dari otot pada lapangan operasi dengan anestesi lokal dapat
mengurangi kontraksi myotonic berulang. Di antara pasien dengan jenis myotonia
ini, tak ada satupun yang dilaporkan pada tes in vitro yang positif untuk
hipertermia malignansi. Otot yang dieksisi pada pasien ini, akan tetapi,
menunjukkan kontraksi myotonic berkepanjangan ketika terkena succinylcholine.
Kontraksi otot yang berlebihan selama anestesi, memperburuk myotonia namun
tidak menunjukkan hipertermia malignansi.
PARALISIS PERIODIK
metabolisme dan pergeseran cairan dan elektrolit yang terlihat dalam bentuk
primer juga terlihat pada paralisis periodik hipokalemia sekunder. Pengobatan
melibatkan manajemen hipertiroidisme, menghindari karbohidrat tinggi dan
makanan rendah kalium, dan pemberian kalium chloride untuk serangan akut.
Paralisis hipokalemia sekunder dapat juga terjadi jika terdapat tanda
kehilangan kalium melalui ginjal atau saluran pencernaan. Kelemahan yang
terkait berupa tingkat episodik dan kalium jauh lebih rendah daripada di varian
lain dari paralisis periodik hipokalemia. Manajemen utama penyakit ini dengan
penggantian kalium, dan pengobatan asidosis atau alkalosis, dan penting dalam
mencegah serangan.
Pasien yang mengkonsumsi sejumlah besar garam barium, selain memblok
saluran
kalium,
dapat
juga
menyebabkan
terjadinya
paralisis
periodik
dengan paralisis
tubuh penting karena kondisi tubuh yang menggigil dan hipotermia dapat memicu
atau memperburuk episode paralisis periodik.
DISKUSI KASUS
Anestesi untuk Biopsi Otot
Seorang anak 16 tahun dengan kelemahan otot proksimal yang progresif dimana
diduga mengalami miopati primer dan dijadwalkan untuk biopsi otot quadriceps.
Apa kelainan potensial lainnya yang sebaiknya menjadi perhatian ahli anestesi?
Diagnosis miopati sulit untuk ditegakkan dan diagnosis banding dapat
meliputi salah satu dari beberapa penyakit keturunan, inflamasi, endokrin,
metabolik, atau toksin. Biopsi otot mungkin diperlukan untuk melengkapi
gambaran klinis, laboratorium, konduksi saraf, dan gambaran elektromiografi dan
membantu menegakkan diagnosis. Meskipun penyebab miopati dalam kasus ini
belum jelas, dokter harus selalu mempertimbangkan potensi masalah yang dapat
dikaitkan dengan miopati primer.
Keterlibatan otot pernapasan harus selalu dicurigai pada pasien dengan
kelemahan otot. Cadangan paru-paru dapat dinilai secara klinis dengan anamnesis
tentang dyspnea dan tingkat aktivitas. Tes fungsi paru diindikasikan jika terdapat
adanya dyspnea saat aktivitas. Peningkatan risiko aspirasi paru dapat dilihat dari
riwayat disfagia, regurgitasi, infeksi paru berulang, atau distensi abdomen.
Kelainan jantung dapat dimanifestasikan sebagai aritmia, prolaps katup mitral,
atau kardiomiopati. Elektrokardiogram 12-lead juga membantu dalam mendeteksi
kelainan konduksi. Rontgen thorax dapat mengevaluasi usaha inspirasi, parenkim
paru, dan ukuran jantung; distensi lambung sekunder akibat dari disfungsi otot
polos atau disfungsi otonom yang dapat menjadi jelas. Evaluasi laboratorium pra
operasi harus mampu mengeksklusi penyebab metabolik dengan pengukuran
konsentrasi serum natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat. Demikian
pula, gangguan tiroid, adrenal, dan hipofisis seharusnya dieksklusi. Pengukuran
CK plasma mungkin tidak membantu, tetapi pada kadar yang sangat tinggi (10
kali normal) umumnya menunjukkan distrofi otot atau polymyositis.
anestesi
harus
didasarkan
pada
pasien
dan
persyaratan
pembedahan. Sebagian besar biopsi otot dapat dilakukan di bawah anestesi lokal
atau regional dengan tambahan sedasi intravena, menggunakan dosis kecil
midazolam. Anestesi spinal atau epidural dapat digunakan. Blok saraf femoralis
dapat memberikan anestesi yang sangat baik untuk biopsi otot quadriceps; injeksi
yang terpisah mungkin diperlukan untuk saraf kutan femoralis lateralis untuk
melakukan anestesi pada anterolateral yang paha. Anestesi umum harus
dipersiapkan untuk pasien yang tidak kooperatif atau pada saat anestesi lokal atau
regional tidak memadai. Oleh karena itu, ahli anestesi harus selalu siap dengan
rencana anestesi umum.
Agen apa yang dapat digunakan dengan aman untuk anestesi umum?
Tujuan utama adalah untuk mencegah aspirasi paru, menghindari
pernafasan berlebihan atau depresi sirkulasi, menghindari NMBS jika mungkin,
dan mungkin menghindari agen yang dikenal memicu hipertermia malignansi.
Sebuah respon normal terhadap anestesi umum sebelumnya pada pasien atau
keluarga anggota mungkin meyakinkan namun tidak menjamin respon yang sama
pada anestesi berikutnya. Anestesi umum dapat dilakukan dan diajaga dengan
kombinasi dari benzodiazepin, propofol, atau opioid dengan atau tanpa nitrous
oxide. Pada pasien dengan peningkatan risiko aspirasi harus diintubasi. Ketika
NMBS diperlukan, agen nondepolarisasi dengan masa kerja pendek harus
digunakan. Suksinilkolin umumnya harus dihindari karena risiko yang tidak
diketahui
dari
respon
yang
tidak
biasa
(kontraksi
myotonic,
durasi
berkepanjangan, atau blok fase II), merangsang hiperkalemia berat, atau memicu
hipertermia malignansi.