Anda di halaman 1dari 22

BAB

35.

ANESTESI

UNTUK

PASIEN

DENGAN

GANGGUAN

NEUROMUSKULAR
Konsep Kunci
1. Kelemahan yang berhubungan dengan myasthenia gravis terjadi karena
adanya gangguan autoimun atau inaktivasi dari reseptor asetylcolin
postsinap

pada

neuromuscular

junction,

sehingga

menyebabkan

penurunan jumlah reseptor dan fungsinya serta menyebabkan kerusakan


yang dimediasi komplemen pada memban postsinap.
2. Pasien yang mengalami myasthenia gravis dengan keterlibatan otot
pernafasan atau bulbar mengalami peningkatan resiko terjadinya aspirasi
paru.
3. Banyak pasien dengan myasthenia gravis sangat peka terhadap
neuromuscular blockers (NMBS) nondepolarisasi.
4. Pasien yang mengalami myasthenia gravis beresiko mengalami kegagalan
pernafasan pasca operasi. Durasi penyakit lebih dari 6 tahun, yang
bersamaan dengan adanya penyakit paru, tekanan inspirasi puncak kurang
dari -25 cm H2O (yaitu, -20 cm H2O), kapasitas vital kurang dari 4 mL /
kg, dan dosis pyridostigmine lebih besar dari 750 mg/d diprediksi
membutuhkan ventilasi pasca operasi setelah thymectomy.
5. Pasien dengan sindrom myasthenia Lambert-Eaton dan sindrom
neuromuscular paraneoplastik sangat sensitif baik terhadap NMBS
depolarisasi dan nondepolarisasi.
6. Degenerasi otot pernafasan pada pasien dengan distrofi otot mengganggu
mekanisme batuk yang efektif dan menyebabkan terjadinya retensi sekret
sehingga sering mengalami infeksi paru.
7. Degenerasi otot jantung pada pasien dengan distrofi otot sering terjadi,
namun terjadinya dilatasi maupun hipertrofik cardiomyopathy hanya 10%
dari pasien.
8. Suksinilkolin harus dihindari pada pasien dengan Duchennes atau
Beckers muscular dystrophies karena respon yang tidak terduga dan
berisiko menginduksi hiperkalemia berat atau memicu hipertermia
malignant.

9. Manajemen anestesi pada pasien dengan paralisis periodik ditujukan untuk


mencegah serangan. Manajemen intraoperatif harus mencakup penentuan
konsentrasi kalium plasma dan pemantauan elektrokardiografi secara hati
hati untuk mendeteksi aritmia.
10. Pada pasien dengan paralisis periodik, respon terhadap NMBS tidak dapat
diprediksi, dan fungsi neuromuskular harus dimonitoring secara hati - hati
selama penggunaan NMBS non depolarisasi. Peningkatan kepekaan
terhadap NMBS sering dihadapi pada pasien dengan paralisis periodik
hipokalemia
Walaupun penyakit neuromuskular jarang ditemukan, pasien dengan
kondisi ini akan ditemui pada saat di ruang operasi dan non-operasi untuk studi
diagnostik, pengobatan komplikasi, atau manajemen bedah yang terkait atau tidak
terkait dengan gangguan neuromuskular. Secara keseluruhan, dengan kekuatan
otot

pernapasan

yang

berkurang

dan

peningkatan

kepekaan

terhadap

neuromuskuler blocker (NMBS), pasien ini beresiko untuk mengalami kegagalan


ventilasi dan aspirasi paru pasca operasi, dan dapat memperlambat pemulihan
pasca-operasi karena mengalami kesulitan dalam ambulasi dan peningkatan
risiko jatuh. Sebuah pemahaman dasar tentang gangguan utama dan interaksi
potensial antara agen anestesi diperlukan untuk meminimalkan risiko morbiditas
perioperatif.
MYASTHENIA GRAVIS
Myasthenia gravis merupakan gangguan autoimun yang ditandai dengan
kelemahan dan otot skeletal yang mudah lelah. Myasthenia gravis diklasifikasikan
sesuai dengan distribusi dan tingkat keparahan penyakit (Tabel 35-1). Prevalensi
penyakit ini diperkirakan mencapai 50-200 per juta penduduk. Insidensi tertinggi
terjadi pada wanita selama dekade ketiga, dan pada laki-laki menunjukkan dua
puncak insidensi tertinggi, yaitu pada dekade ketiga dan dekade keenam.
Kelemahan yang terkait dengan myasthenia gravis disebabkan karena
kerusakan autoimun atau inaktivasi reseptor asetilkolin pascasinaps di
neuromuscular junction, yang menyebabkan penurunan jumlah reseptor dan

degradasi fungsi reseptor, dan kerusakan yang dimediasi komplemen pada


postsynaptic end plate. Antibodi IgG terhadap reseptor asetilkolin nicotinic pada
neuromuskuler junction ditemukan pada 85-90% pasien dengan generalized
myasthenia gravis dan sampai 50-70% pasien dengan myasthenia okular. Di
antara pasien dengan myasthenia, 10-15% persen mengalami perkembangan
thymoma, sedangkan sekitar 70% terbukti secara histologis

mengalami

hiperplasia folikel limfoid pada thymus. Gangguan yang terkait dengan autoimun
lainnya (hipotiroidisme, hipertiroidisme, rheumatoid arthritis, dan sistemik lupus
erythematosus) juga ditemukan pada 10% pasien. Diagnosis banding dari
myasthenia gravis mencakup sejumlah kondisi klinis lainnya yang dapat mirip
tanda-tanda dan gejalanya (Tabel 35-2). Krisis Miastenia Gravis merupakan
kondisi eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanis dan harus dicurigai
pada setiap pasien dengan gagal napas yang etiologinya tidak jelas.
TABEL 35-1 Klasifikasi klinis Amerika untuk myasthenia gravis1
Kelas
I

Definisi
Kelemahan berbagai otot okular
Terdapat kelemahan saat menutup mata

II

Kekuatan otot yang lain normal


Kelemahan ringan yang terjadi pada otot mata

IIa

Terdapat kelemahan pada otot mata dengan berbagai derajat


Predominan mempengaruhi otot ekstrimitas, aksial, atau keduanya

IIb

Dapat melibatkan sedikit otot orofaringeal


Predominan mempengaruhi otot orofaringeal atau respiratory atau
keduanya
Dapat juga melibatkan lebih sedikit atau sama pada otot ekstremitas,

III

aksial, atau keduanya


Kelemahan sedang yang mempengaruhi selain otot mata

IIIa

Dapat juga kelemahan otot mata dangan berbagai derajat


Predominan yang mempengaruhi otot ekstrimitas, aksial atau keduannya

IIIb

Dapat juga lebih sedikit melibatkan otot orofaringeal


Predominan yang mempengaruhi otot orofaringeal, otot ektremitas, otot
aksial, atau keduanya
Dapat juga melibatkan lebih sedikit atau sama otot-otot ektremitas,

IV

aksial atau keduanya


Kelemahan berat pada otot yang melibatkan selain otot mata

IVa

Dapat lmelibatkan otot mata pada berbagai derajat


Predominan mempengaruhi otot ektrimitas atau aksial

IVb

Dapat juga melibatkan otot orofaringeal


Predominan mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan, atau
keduanya
Dapat melibatkan lebih sedikit atau sama dari otot ektremitas atau otot

aksial atau keduanya


Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, kecuali
selama manajemen rutin postoperatif. Menggunakan selang makan tanpa
penggunaan intubasi pada pasien dengan kelas IVb

Tabel 35-2 Diagnosa banding untuk myastenhia gravis


Gangguan neuromuskular lainnya
Sindrom myasthenic kongenital
Botulism
Sindroma Lambert-Eaton
Kelemahan syaraf kranial
Diabetes
Aneurisme intrakranial
Trauma (cth : fraktur orbita)
Kongenital ( cth : Sindroma Dwayne
Infeksi (cth: meningitis basilar)
Inflamasi (cth : sindroma sinus cavernosus)
Neoplasma (cth: meningioma basilar)
Sindroma Horner
Penyakit otot
Distrofi otot myotonik
Distrofi otot orofaringeal
Myopathi mitocondrial ( cth : ophtalmoplegi
eksternal progresif kronik)

Patologi sistem syaraf pusat


Stroke
Penyakit demyelinasi
Lainnya
Penyakit neuron motorik
Penyakit metabolik ( cth: penyakit tyroid)
Perjalanan penyakit miastenia gravis ditandai dengan adanya eksaserbasi
dan remisi, yang dapat secara parsial atau lengkap. Kelemahan dapat terjadi secara
asimetris, melibatkan satu kelompok otot, atau keseluruhan. Otot okular yang
paling sering mengalami gangguan, sehingga menyebabkan ptosis fluktuasi dan
diplopia. Selain keterlibatan bulbar, kelemahan otot laring dan faring dapat
menyebabkan disartria, kesulitan dalam mengunyah dan menelan, masalah
pengeluaran sekret, atau terjadinya aspirasi paru. Penyakit dengan derajat berat
biasanya juga terkait dengan kelemahan otot proksimal (terutama di leher dan
bahu) dan keterlibatan otot-otot pernapasan. Kekuatan otot secara khas membaik
dengan istirahat tetapi memburuk dengan cepat saat beraktivitas. Infeksi, stres,
operasi, dan kehamilan mempunyai efek yang tidak dapat diprediksi pada
penyakit ini namun sering menyebabkan eksaserbasi. Sejumlah obat dapat
mengakibatkan eksaserbasi tanda dan gejala dari myasthenia gravis.( Tabel 35-3).

Tabel 35-3 Obat yang berpotensi menyebabkan kelemahan pada myasthenia


gravis
Agen kardiovaskuler
-blockers
Lidocaine
Procainamide
Quinidine
Verapamil
Antibiotik
Ampicillin

Azithromycin
Ciprofl oxacin
Clarithromycin
Erythromycin
Gentamycin
Neomycin
Streptomycin
Sulfonamides
Tetracycline
Tobramycin
Obat sistem syaraf pusat
Chlorpromazine
Lithium
Phenytoin
Trihexyphenidyl
Immunomodulator
Corticosteroids
Interferon-
Agen rheumatologikal
Chloroquine
D -Penicillamine
Miscellanous
Agen radiokontras iodin
Magnesium
Neuromuscular blockers nondepolarisai
Obat-obat antikolinesterase paling sering digunakan untuk mengobati
kelemahan otot pada gangguan ini. Obat ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada
neuromuskuler junction melalui penghambatan end plate acetylcholinesterase.
Pyridostigmine paling sering diresepkan; ketika diberikan secara oral, obat ini
memiliki durasi efektif selama 2-4 jam. Pemberian yang berlebihan dari
antikolinesterase dapat memicu krisis kolinergik, yang ditandai dengan
peningkatan kelemahan dan efek muscarinic berlebihan, termasuk produksi saliva

yang berlebihan, diare, miosis, dan bradikardia. Tes Edrophonium (Tensilon)


dapat membantu membedakan krisis kolinergik dan krisis miastenia. Peningkatan
kelemahan setelah pemberian hingga 10 mg dari edrophonium intravena
menunjukkan krisis kolinergik, sedangkan peningkatan kekuatan menunjukkan
krisis miastenia. Jika tes ini menghasilkan hasil yang samar-samar atau jika pasien
jelas memiliki manifestasi hiperaktivitas kolinergik, semua obat cholinesterase
harus dihentikan dan pasien harus dimonitoring di unit perawatan intensif atau
area observasi yang mudah dipantau. Obat-obat antikolinesterase sering sebagai
satu-satunya agen yang digunakan untuk mengobati pasien dengan penyakit
ringan. Untuk penyakit dengan derajat sedang atau berat diobati dengan
kombinasi obat antikolinesterase dan terapi imunomodulasi. Kortikosteroid
biasanya digunakan untuk pertama kali, diikuti oleh azathioprine, cyclosporine,
siklofosfamid,

mycophenolate

mofetil,

dan

imunoglobulin

intravena.

Plasmaferesis merupakan alternatif lain untuk pasien dengan disfagia atau


kegagalan pernapasan, atau untuk menormalkan kekuatan otot sebelum operasi
pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan, termasuk thymectomy. Hingga
85% dari pasien yang lebih muda dari 55 tahun menunjukkan perbaikan klinis
setelah thymectomy bahkan tanpa adanya tumor, namun perbaikan mungkin dapat
tertunda sampai beberapa tahun.
Pertimbangan dalam bidang Anestesi
Pasien dengan myasthenia gravis dapat melakukan thymectomy atau
prosedur bedah atau obstetrik, namun manajemen kondisi medis mereka harus
dioptimalkan sebelum melakukan prosedur yang dimaksudkan. Pasien miastenia
dengan kelemahan otot pernapasan dan orofaringeal harus ditangani sebelum
operasi dengan imunoglobulin intravena atau plasmaferesis. Jika kekuatan normal,
kejadian komplikasi pernapasan pasca operasi hampir sama dengan pasien
nonmyasthenic yang menjalani prosedur bedah yang sama. Pasien yang
dijadwalkan untuk thymectomy mungkin dapat mengalami perburukan kekuatan
otot, sehingga mereka yang menjalani prosedur elektif lainnya sebaiknya
dilakukan kontrol dengan baik atau selama masa remisi. Penyesuaian dalam
pengobatan antikolinesterase, imunosupresan, atau terapi steroid pada periode

perioperatif mungkin diperlukan. Pasien dengan penyakit stadium lanjut dapat


memburuk secara signifikan ketika agen antikolinesterase dihentikan. Pengobatan
ini harus diulang kembali ketika pasien mendapatkan kembali asupan oral pasca
operasi. Jika diperlukan, cholinesterase inhibitor juga dapat diberikan parenteral
pada 1/30 dosis oral. Potensi masalah yang terkait dengan manajemen terapi
antikolinesterase pada periode pasca operasi meliputi perubahan kebutuhan
pasien, peningkatan vagal reflek, dan kemungkinan gangguan anatomosis
sekunder hingga hyperperistalsis. Selain itu, karena agen ini juga menghambat
cholinesterase plasma, agen ini secara teoritis memperpanjang durasi anestesi
lokal type ester dan succinylcholine.
Evaluasi preoperasi harus fokus pada perjalanan penyakit terbaru,
kelompok otot yang terganggu, terapi obat, dan penyakit yang menyertai. Pasien
yang mengalami myasthenia gravis dengan keterlibatan otot pernafasan atau
bulbar beresiko terjadi aspirasi paru - paru. Premedikasi dengan metoclopramide
atau H2 blocker atau proton pump inhibitor dapat menurunkan risiko ini. Karena
pasien dengan myasthenia yang sering sangat sensitif terhadap efek depresi
pernapasan dari opioid dan benzodiazepine, premedikasi dengan obat ini harus
dilakukan dengan hati-hati.
Kecuali pada penggunaan NMBS, agen anestesi standar dapat digunakan
pada pasien dengan myasthenia gravis. Namun, depresi pernapasan yang nyata
dapat ditemui pada pemberian dosis moderat propofol atau opioid. Saat anestesi
umum diperlukan, anestesi yang menggunakan agen volatil sering digunakan.
Anestesi dalam dengan menggunakan agen volatil saja pada pasien dengan
myasthenia cukup untuk relaksasi saat intubasi trakea dan prosedur bedah,
sehingga banyak dokter menghindari NMBS. Respon terhadap suksinilkolin tidak
dapat diprediksi, namun kita tidak menemukan dalam praktek. Pasien mungkin
menunjukkan resistensi yang relatif, atau menunjukkan efek yang lebih lama
(lihat Bab 11). Dosis suksinilkolin dapat ditingkatkan sampai 2 mg / kg untuk
mengatasi resistensi, diharapkan durasi kelumpuhan dapat ditingkatkan selama 510 menit.

Banyak pasien dengan myasthenia gravis sangat peka terhadap NMBS


nondepolarisasi. Bahkan dosis defasciculating pada beberapa pasien dapat
mengakibatkan kelumpuhan yang lengkap. Jika NMBS diperlukan, dosis kecil
agen nondepolarisasi short-acting lebih disukai. Kami tidak menemukan bahwa
NMBS nondepolarisasi diperlukan selama thymectomy dengan anestesi volatile.
Blokade neuromuskuler harus dipantau dengan ketat melalui perangsang saraf,
dan fungsi ventilasi harus dievaluasi secara hati-hati sebelum ekstubasi.
Pasien yang mengalami myasthenia gravis beresiko untuk kegagalan
pernafasan pasca operasi. Durasi penyakit lebih dari 6 tahun, yang bersamaan
dengan penyakit paru, tekanan inspirasi puncak kurang dari -25 Cm H2O (yaitu,
-20 cm H 2 O), kapasitas vital kurang dari 4 mL / kg, dan dosis pyridostigmine
lebih besar dari 750 mg/hari diprediksi membutuhkan ventilasi pasca operasi
thymectomy.
Wanita dengan myasthenia dapat mengalami kelemahan pada trimester
terakhir kehamilan dan pada periode postpartum awal. Anestesi epidural
umumnya lebih baik untuk pasien ini karena menghindari potensi masalah
depresi pernapasan dan dengan anestesi umum yang terkait NMBS. Blokade
motorik yang berlebihan, bagaimanapun, dapat mengakibatkan hipoventilasi. Bayi
dari ibu miastenia mungkin menunjukkan myasthenia sementara selama 1-3
minggu setelah lahir, yang disebabkan oleh transfer transplacental dari antibodi
reseptor asetilkolin, yang mungkin memerlukan intubasi dan ventilator mekanik
SINDROMA NEUROMUSKULAR PARANEOPLASTIK
Sindrom paraneoplastik merupakan penyakit yang dimediasi sistem imun
yang berhubungan dengan penyakit kanker. Miastenia gravis sering dianggap
sebagai sebuah sindrom paraneoplastic karena miastenia gravis merupakan
gangguan autoimun yang terkait dengan hiperplasia timus, termasuk thymoma.
Sindrom paraneoplastic neurologis atau neuromuskuler lainnya antara lain
sindrom miastenia Lambert-Eaton, ensefalitis limbik, neuromyotonia, sindrom
kekakuan, distrofi myotonic, dan polymyositis.

Sindrom miastenic Lambert-Eaton


Sindrom miastenia Lambert-Eaton (LEMS) adalah sindrom paraneoplastik
yang ditandai dengan kelemahan otot proksimal yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bawah tetapi dapat menyebar hingga melibatkan otot-otot ekstremitas
atas, bulbar, dan pernapasan. Mulut kering, impotensi pria, dan manifestasi
disfungsi otonom lainnya sering ditemukan. LEMS biasanya berhubungan dengan
karsinoma paru-paru small cell tetapi juga dapat dilihat dengan keganasan lain
atau sebagai penyakit autoimun idiopatik. Gangguan terjadi akibat dari defek
presinaptik dari transmisi neuromuskuler di mana antibodi untuk voltage-gated
calsium channel pada terminal saraf secara nyata mengurangi pelepasan quantal
asetilkolin pada motor end plate. Sel dari karsinoma paru small cell identik
dengan voltage-gated calsium channel, dimana sebagai sebagai pemicu respon
autoimun pasien dengan paraneoplastic LEMS.
Berbeda dengan myasthenia gravis, kelemahan otot terkait dengan LEMS
membaik dengan pengobatan berulang dan perbaikan dengan obat-obatan
antikolinesterase. Guanidin hidroklorida dan 3,4-Diaminopyridine (DAP), yang
meningkatkan pelepasan asetilkolin presynaptic, sering menghasilkan perbaikan
yang signifikan pada LEMS. Kortikosteroid atau obat imunosupresif lain, atau
plasmapheresis, juga mungkin dapat memberikan manfaat.
Encephalitis Limbic
Ensefalitis limbik adalah gangguan degeneratif sistem saraf pusat ditandai
dengan perubahan kepribadian, halusinasi, kejang, disfungsi otonom, berbagai
tingkat demensia, dan hilangnya sensibilitas asimetris di ekstremitas. Ensefalitis
limbik melibatkan otak, batang otak, otak kecil, dan medula spinalis. Pada sekitar
60% kasus, ensefalitis limbik merupakan sindrom paraneoplastic. Terdapat
asosiasi yang kuat dengan karsinoma paru small cell, dan disfungsi neurologis
yang sering mendahului diagnosis kanker. Terapi meliputi pengobatan kanker
sebagai penyakit yang mendasari, jika ada, dan pemeberian terapi imunosupresif.
Neuromyotonia

Neuromyotonia merupakan kondisi dari hipereksitabilitas syaraf tepi


dimana sering berhubungan degan penyakit kanker tetapi dapat juga keturunan
atau berhubungan dengan diabetes, obat, atau dipicu toksin atau neuropati lainnya.
Gambarannya meliputi myokymia ( pergerakan undulasi yang berkelanjutan dari
otot yang gambarannya mirip seperti sekantong cacing ), kekakuan, gangguan
relaksasi otot, kram otot yang nyeri, hiperhidrosis, dan hipertrofi otot. Terapi
meliputi terapi imunoglobulin, plasma exchange, dan pemberian anticonvulsan.
Stiff Person Syndrome
Stiff person syndrome merupakan gangguan progresif yang ditandai
dengan kekakuan aksial dan rigiditas dimana pada akhirnya dapat mengakibatkan
keterlibatan otot anggota gerak proksimal. Pada kasus yang lanjut, rigiditas para
spinal dapat menyebabkan deformitas spinal yang nyata dan pasien dapat
mengalami kesulitan ambulasi dan riwayat sering jatuh. Walaupun stiff person
syndrome jarang ditemui, jika hal ini terjadi sering berkaitan dengan kanker. terapi
meliputi pengobatan pada penyakit kanker yang mendasari, jika ada, dan
pemberian imunoglobulin dan benzodiazepin.
Myotonic Dystrophy
Lihat halaman selanjutnya
Polymyositis
Polymyositis merupakan myopathy inflamatory dari otot skelet, terutama
otot ektremitas proximal, yang ditandai dengan kelemahan dan mudah mengalami
kelelahan pada otot. Pasien cinderung mengalami aspirasi dan sering mengalami
pneumonia karena kelemahan otot dada dan difagia sekunder hingga keterlibatan
otot orofaringeal. Polymyositis juga menunjukkan disritmia cardiac karena defek
konduksi. Terapi meliputi pengobatan dari neoplasma, pemberian imunoglobulin,
kortikosteroid dan immunomodulator seperti methotrexate, cycloporine dan tumor
necrosis factor- inhibitor.

Pertimbangan Anestesi untuk Pasien dengan Sindroma Paraneoplastic


Neuromuscular
Pasien dengan LEMS dan sindroma paraneoplastic lainnya sangat sensitif
baik terhadap NMBS depolarisasi maupun non depolarisasi. Agen volatil saja
sering tidak cukup untuk relaksasi otot, baik untuk intubasi maupun sebagian
besar prosedur. NMBS hanya diberikan pada pembedahan ringan dengan
monitoring neuromuskular yang ketat. Karena pada pasien ini sering
menunjukkan kelemahan, benzodiazepin, opioid dan pengobatan lainnya dengan
efek sedatif sebaiknya diberkan secara hati hati.
MUSCULAR DYSTROPHIES
Pertimbangan preoperatif
Muscular systrophies merupakan kelompok heterogen dengan gangguan
hereditas yang ditandai dengan nekrosis dan regenerasi dari serat otot, yang
menyebabkan degenerasi otot dan kelemahan yang progresif. Resiko anestesi
yang meningkat pada keseluruhan pasien dengan kelemahan, dimana dapat
menghambat pengeluaran sekret dan ambulasi postoperatif, demikian pula
peningkatan resiko kegagalan respirasi dan aspirasi paru. Duchennes muscular
dystrophy merupakan bentuk yang paling sering dan berat dari muscular
dysthrophy. Jenis muscular dysthrophy lainnya antara lain Beckers muscular
dystrophy, myotonic, facioscapulohumeral, dan limb-girdle dystrophies.
Duchennes Muscular Dystrophy
Gangguan X-linked resesif, Duchennes muscular dystrophy sebagian
besar terjadi pada laki laki. Kejadian Duchennes muscular dystrophy sekitar 1-3
kasus per 10.000 kelahiran laki-laki hidup dan paling umum antara 3 dan 5 tahun.
Menyerang individu dan menyebabkan distrofin abnormal, protein yang
ditemukan pada sarcolemma dari serabut otot. Pasien ditandai dengan
perkembangan kelemahan otot proksimal yang simetris dimana bermanifestasi
sebagai gangguan cara berjalan. Infiltrasi lemak biasanya menyebabkan
pembesaran otot (pseudohipertrofi), terutama betis. Kelemahan dan kontraktur
progresif mengakibatkan kyphoscoliosis. Banyak pasien menggunakan kursi roda

pada usia 12 tahun. Perkembangan penyakit dapat ditunda hingga 2-3 tahun
dengan terapi glukokortikoid pada beberapa pasien. Gangguan intelektual sering
terjadi tetapi umumnya nonprogresif. Kadar plasma creatine kinase (CK) 10-100
kali normal bahkan pada awal penyakit dan dapat menunjukkan peningkatan
abnormal permeabilitas sel otot membran. Perempuan sebagai pembawa genetik
sering menunjukkan tingkat CK plasma tinggi, derajat

kelemahan otot yang

bervariasi, dan, jarang terdapat keterlibatan jantung. Konsentrasi mioglobin


plasma juga dapat meningkat. Diagnosis dikonfirmasi dengan biopsi otot.
Degenerasi otot pernafasan pada pasien dengan distrofi otot mengganggu
mekanisme batuk yang efektif dan menyebabkan retensi sekret dan sering terjadi
infeksi paru. Kombinasi kyphoscoliosis dan muscle wasting dapat menyebabkan
defek restriksi ventilasi berat. Hipertensi pulmonal sering terjadi seriring dengan
perkembangan penyakit. Degenerasi otot jantung pada pasien dengan distrofi otot
sering terjadi, tetapi kejadian dilated

cardiomyopathy atau cardiomyopathy

hipertrofik hanya 10% pasien. Regurgitasi mitral sekunder akibat dari disfungsi
otot papilaris juga ditemukan pada 25% pasien. Kelainan elektrokardiogram
meliputi perpanjangan interval P-R, QRS dan kelainan ST-segmen, dan
gelombang R menonjol pada prekordium kanan dengan gelombang Q yang dalam
pada prekordium kiri. Aritmia atrium sering terjadi. Kematian pada usia yang
relatif muda biasanya karena infeksi paru berulang, gagal napas, atau gagal
jantung.
Beckers Muscular Dystrophy
Beckers muscular dystrophy, seperti Duchennes muscular dystrophy,
merupakan gangguan terkait-X resesif tapi jarang terjadi (1: 30.000 kelahiran lakilaki). Manifestasi hampir identik dengan Duchennes muscular dystrophy kecuali
Beckers muscular dystrophy biasanya terjadi masa remaja dan progresifitas yang
lebih lambat. Keterbelakangan mental jarang terjadi. Pasien sering mencapai usia
dekade keempat atau kelima, meskipun beberapa dapat bertahan hidup hingga 80an. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi pernapasan. Cardiomyopathy
dapat terjadi dalam beberapa kasus dan bisa mendahului kelemahan tulang yang
parah.

Myotonic Dystrophy
Distrofi miotonik adalah gangguan multisistem yang merupakan penyebab
paling umum dari myotonia, sebuah perlambatan relaksasi setelah kontraksi otot
dalam respon terhadap rangsangan listrik atau perkusif. Penyakit ini merupakan
autosomal dominan, dengan kejadian 1: 8000, dan biasanya secara klinis menjadi
jelas pada dekade kedua hingga ketiga, tetapi juga telah dilaporkan sebagai
gangguan paraneoplastic yang berkaitan dengan timoma. Myotonia merupakan
manifestasi awal utama; kelemahan otot dan atrofi menjadi lebih menonjol dalam
perkembangan penyakit. Kelemahan dan atrofi biasanya terjadi pada otot kranial
(orbicularis oculi dan oris, masseter, dan sternokleidomastoid), dan berbeda
dengan kebanyakan miopati, otot distal lebih banyak mengalami gangguan
daripada otot proksimal. Plasma CK normal atau sedikit meningkat.
Beberapa sistem organ terlibat dalam myotonic distrofi, sebagaimana
dibuktikan pada katarak presenil, kebotakan frontal prematur, hipersomnolen
dengan sleep apnea, dan disfungsi endokrin yang mengarah ke insufiensi
pankreas, adrenal, tiroid, dan gonad. Keterlibatan pernapasan menyebabkan
penurunan kapasitas vital, dan hipoksemia kronis dapat menyebabkan cor
pulmonale. Hipomotilitas gastrointestinal dapat mempengaruhi pasien untuk
mengalami aspirasi paru. Atonia uterine dapat memperpanjang persalinan dan
meningkatkan kejadian dari retensi plasenta. Manifestasi jantung, dimana lebih
sering terjadi sebelum gejala klinis lainnya muncul, seperti termasuk
kardiomiopati, aritmia atrium, dan berbagai tingkat blok jantung.
Myotonia biasanya digambarkan oleh pasien sebagai "kekakuan" yang
dapat berkurang dengan aktivitas selanjutnyayang disebut fenomena "warm-up".
Pasien sering melaporan bahwa adanya suhu dingin memperburuk kekakuan.
Pengobatan antimyotonic meliputi mexiletine, fenitoin, baclofen, dantrolen, atau
carbamazepine. Sebuah alat pacu jantung dapat ditempatkan pada pasien dengan
defek konduksi yang signifikan, bahkan jika tidak menunjukkan gejala.
Facioscapulohumeral Dystrophy

Distrofi facioscapulohumeral, merupakan gangguan autosomal dominan


dengan kejadian sekitar 1-3: 100.000, terjadi pada kedua jenis kelamin, meskipun
pada perempuan lebih asimptomatik daripada laki-laki. Pasien biasanya
mengalami pada dekade kedua atau ketiga dengan kelemahan yang terjadi
terutama pada otot-otot wajah dan bahu. Otot di ekstremitas bawah jarang
mengalami gangguan, dan biasanya jarang melibatkan otot-otot pernapasan.
Penyakit berkembang dengan lambat. Kadar plasma CK biasanya normal atau
hanya sedikit meningkat. Keterlibatan jantung jarang terjadi, tetapi kehilangan
semua aktivitas listrik jantung dengan ketidakmampuan listrik pada nodus atrial;
namun masih mungkin pada pasien ini adanya listrik pada nodus ventrikel. Umur
harapan hidup jarang terpengaruh.
Limb-Girdle Dystrophy
Limb-girdle muscular dystrophy merupakan kelompok heterogen dari
penyakit neuromuskular genetik. Limb-girdle syndromes melibatkan distrofi otot
autosomal resesif berat pada anak - anak dan sindrom autosomal resesif lainnya
yang tidak lengkap seperti Erbs dystrophy (tipe scapulohumeral) dan distrofi
Leyden-Mobius (tipe pelvifemoral). Sebagian besar pasien terjadi pada masa
kanak-kanak hingga dekade ke kedua atau ketiga kehidupan dengan progresifitas
yang lambat dari kelemahan otot yang mungkin melibatkan gelang bahu, gelang
pinggul, atau keduanya. Kadar plasma CK biasanya meningkat. Keterlibatan
jantung relatif jarang tapi mungkin terjadi sebagai aritmia atau gagal jantung
kongestif. Komplikasi pernapasan, seperti hipoventilasi dan infeksi saluran
pernapasan berulang, mungkin terjadi.
Pertimbangan Anestesi
A. Duchennes and Beckers Muscular Dystrophies
Manajemen anestesi pasien ini rumit, tidak hanya oleh karena kelemahan
otot tetapi juga oleh karena manifestasi jantung dan paru. Terdapat dugaan
adanya kaitan dengan hyperthermia malignant tapi tidak terbukti. Premedikasi
pra operasi dengan obat sedatif atau opioid harus dihindari karena risiko

peningkatan aspirasi karena otot pernafasan akibat dari kelemahan,


hipomotilitas lambung, atau keduanya. Pengaturan posisi intraoperatif
mungkin sulir oleh karena adanya kyphoscoliosis atau kontraktur fleksi dari
ekstremitas atau leher. Suksinilkolin harus dihindari pada pasien dengan atau
Duchennes muscular distrophy atau Beckers muscular distrophy karena
respon yang tak terduga dan risiko memicu hiperkalemia berat atau memicu
hipertermia malignansi. Meskipun beberapa pasien menunjukkan respon
normal terhadap NMBS nondepolarisasi, yang lain mungkin dapat menjadi
sangat sensitif. Depresi pernapasan dan sirkulasi dapat dilihat pada
penggunaan anestesi volatile pada pasien dengan penyakit lanjut sehingga
anestesi regional atau lokal mungkin lebih baik pada pasien ini. Morbiditas
perioperatif biasanya karena komplikasi pernapasan. Pasien dengan kapasitas
vital kurang dari 30% dari yang diprediksikan tampaknya paling berisiko dan
sering memerlukan ventilasi mekanis sementara pasca operasi.

B. Myotonic Dystrophy
Pasien dengan myotonic distrofi mengalami peningkatan risiko komplikasi
pernapasan dan jantung perioperatif. Sebagian besar masalah perioperatif
muncul pada pasien dengan kelemahan yang berat dan dalam kasus-kasus
dimana ahli bedah dan ahli anestesi tidak menyadari adanya diagnosis
penyakit ini. Diagnosis myotonic distrofi dibuat pada beberapa pasien pada
investigasi apneu yang berkepanjangan setelah general anestesi.
Pasien dengan myotonic distrofi telah terjadi perubahan respon terhadap
sejumlah obat-obatan anestesi. Mereka sering sangat sensitif bahkan terhadap
dosis kecil opioid, sedatif, dan agen anestesi inhalasi dan intravena, yang
semuanya dapat menyebabkan apneu yang tiba-tiba dan berkepanjangan.
Oleh karena itu premedikasi harus harus dihindari. Suksinilkolin merupakan
kontraindikasi relatif karena dapat memicu kontraksi myotonic yang intens,
menyebabkan kesulitan intubasi orotrakeal. Kontraksi myotonic dari otot
pernapasan, dinding dada, atau laring dapat membuat kesulitan ventilasi. Obat
lain yang bekerja pada motor end plate, seperti decamethonium, neostigmin,

dan physostigmine, dapat memperburuk myotonia. Anestesi regional


mungkin bekerja lebih baik, tetapi tidak selalu mencegah kontraksi myotonic.
Respon yang normal dilaporkan terhadap NMBS nondepolarisasi; namun,
tidak konsisten dalam mencegah atau mengurangi kontraksi myotonic.
Reverse dari NMBS nondepolarisasi dapat menginduksi kontraksi myotonic,
penggunaan agen nondepolarisasi short-acting lebih dianjurkan. Menggigil
pascaoperasi umumnya terkait dengan agen volatil, terutama bila dikaitkan
dengan sehu badan yang menurun, dimana dapat menginduksi kontraksi
myotonic di ruang pemulihan. Dosis kecil meperidine sering dapat mencegah
menggigil dan mungkin mendahului kontraksi myotonic.
Induksi anestesi tanpa komplikasi telah dilaporkan pada sejumlah agen
termasuk agen inhalasi dan propofol. Neuromuskuler blokade, jika
diperlukan, harus menggunakan NMBS short-acting. Diduga terdapat
hubungan antara distrofi myotonic dan hipertermia malignansi namun tidak
terbukti. Nitrous Oksida dan agen inhalasi dapat digunakan sebagai anestesi
maintenance. Reverse dengan antikolinesterase harus dihindari, jika mungkin.
Komplikasi pasca operasi yang utama terjadi akibat myotonic distrofi
adalah hipoventilasi berkepanjangan, atelektasis, aspirasi, dan pneumonia.
Monitoring pasca operasi tertutup harus disertai higiene paru yang agresif
dengan terapi fisik dan spirometri insentif. Profilaksis dari aspirasi dapat
sebagai indikasi. Pasien yang menjalani operasi perut bagian atas atau mereka
dengan kelemahan proksimal lebih berat dan lebih mungkin mengalami
komplikasi paru. Kelainan konduksi jantung perioperatif jarang terjadi tapi
masih perlu monitoring kardiovaskular.
C. Bentuk lain daru Muscular Dystrophy
Pasien dengan facioscapulohumeral dan limb-girdle muscular
dystrophy umumnya memiliki respon yang normal terhadap obat anestesi.
Namun demikian, karena variasi yang luas dan tumpang tindih di antara
berbagai bentuk distrofi otot, sedatif-hipnotik, opioid, dan NMBS
nondepolarisasi harus digunakan hati-hati, dan succinylcholine harus
dihindari.

MYOTONIA
Myotonia Kongenital dan Paramyotonia Kogenital
Myotonia kongenital adalah gangguan yang bermanifestasi di awal
kehidupan dengan generalized myotonia. Terdapat bentuk autosomal dominan
(Thomsens) dan resesif (Becker). Penyakit ini terbatas pada otot skeletal, dan
kelemahan yang ada minimal maupun tidak ada. Banyak pasien yang mengalami
perkembangan sangat baik karena otot-otot menggalami kontraksi otot yang
konstan. Terapi antimyotonic meliputi fenitoin, mexiletine, kina sulfat, atau
procainamide. Obat lain yang telah digunakan meliputi tocainide, dantrolen,
prednison, acetazolamide, dan taurin. Tidak terdapat keterlibatan jantung dalam
myotonia kongenital, dan mempunyai lama hidup yang normal.
Paramyotonia congenital adalah gangguan autosomal yang sangat jarang
yang ditandai dengan kekakuan yang transien (myotonia) dan, kadang-kadang,
kelemahan terjadi setelah terpapar suhu dingin. Kekakuan memburuk dengan
aktivitas, berbeda dengan true myotonia, oleh sebab itu diberi istilah
paramyotonia. Konsentrasi serum kalium akan naik setelah serangan serupa
dengan paralisis periodik hyperkalemic (lihat di bawah). Obat-obatan yang telah
digunakan untuk memblok respon meliputi mexiletine dan tocainide.
Pengelolaan pasien dengan myotonia kongenital dan paramyotonia sulit
karena adanya respon abnormal terhadap suksinilkolin, kontraksi myotonic
intraoperatif, dan kebutuhan untuk menghindari hipotermia. Secara berlawanan,
NMBS menyebabkan kejang otot umum, termasuk trismus, yang menyebabkan
kesulitan saat intubasi dan ventilasi.
Infiltrasi dari otot pada lapangan operasi dengan anestesi lokal dapat
mengurangi kontraksi myotonic berulang. Di antara pasien dengan jenis myotonia
ini, tak ada satupun yang dilaporkan pada tes in vitro yang positif untuk
hipertermia malignansi. Otot yang dieksisi pada pasien ini, akan tetapi,
menunjukkan kontraksi myotonic berkepanjangan ketika terkena succinylcholine.
Kontraksi otot yang berlebihan selama anestesi, memperburuk myotonia namun
tidak menunjukkan hipertermia malignansi.
PARALISIS PERIODIK

Paralisis periodik adalah sekelompok gangguan yang ditandai dengan


episode spontan dari kelemahan atau kelumpuhan otot sementara. Gejala biasanya
dimulai pada masa kanak-kanak, dengan episode berlangsung beberapa jam dan
biasanya tidak banyak melibatkan otot pernafasan. Kelemahan biasanya
berlangsung kurang dari 1 jam tapi bisa berlangsung beberapa hari, dan serangan
yang sering dapat menyebabkan progresifitas, kelemahan jangka panjang pada
beberapa pasien. Hipotermia memperburuk frekuensi dan keparahan episode.
Kekuatan otot dan konsentrasi kalium serum biasanya normal diantara serangan.
Terdapat episode kelemahan karena hilangnya eksitabilitas serabut otot sekunder
hingga depolarisasi parsial dari resting potential. Depolarisasi parsial ini
mencegah munculnya potensial aksi sehingga menyebabkan kelemahan.
Paralisis periodik diklasifikasikan menjadi kelainan channel genetik
primer dan kelainan yang didapat. Tipe genetik terjadi karena adanya mutasi yang
diturunkan secara dominan dalam chanel ion voltage-gated sodium, kalsium, atau
ion kalium. Klasifikasi didasarkan pada perbedaan-perbedaan klinis, tetapi ini
belum terbukti berhubungan dengan saluran ion yang spesifik. Defek yang
berbeda dalam chanel yang sama dapat menyebabkan gambar klinis yang berbeda,
sedangkan mutasi pada berbagai channel yang berbeda mungkin memiliki
gambaran klinis yang serupa. Namun, klasifikasi klinis tetap berguna sebagai
panduan untuk prognosis dan terapi.
Paralisis periodik hipokalemia biasanya terkait dengan kadar kalium yang
rendah, dan paralisis periodik hyperkalemic berkaitan dengan meningkatnya kadar
serum kalium, selama periode kelemahan. Dalam defek ini, membran otot tidak
eksitabel baik untuk stimulasi langsung dan tidak langsung karena terjadi baik
penurunan konduktansi kalium atau meningkatnya konduktansi natrium. Kedua
defek ini terkait dengan pergeseran cairan dan elektrolit.
Tyrotoksikosis terkait dengan bentuk sekunder dari paralisis periodik
hipokalemia. Tyrotoksikosis menyerupai bentuk utama tetapi jauh lebih umum
pada pria daripada wanita, terutama pada keturunan orang Asia dan pada dewasa
muda. Setelah kondisi tiroid diobati, episode biasanya berhenti. Gangguan dapat
berkembang pada 10-25% pada pria Asia yang mengalami hipertiroid. Sekuele

metabolisme dan pergeseran cairan dan elektrolit yang terlihat dalam bentuk
primer juga terlihat pada paralisis periodik hipokalemia sekunder. Pengobatan
melibatkan manajemen hipertiroidisme, menghindari karbohidrat tinggi dan
makanan rendah kalium, dan pemberian kalium chloride untuk serangan akut.
Paralisis hipokalemia sekunder dapat juga terjadi jika terdapat tanda
kehilangan kalium melalui ginjal atau saluran pencernaan. Kelemahan yang
terkait berupa tingkat episodik dan kalium jauh lebih rendah daripada di varian
lain dari paralisis periodik hipokalemia. Manajemen utama penyakit ini dengan
penggantian kalium, dan pengobatan asidosis atau alkalosis, dan penting dalam
mencegah serangan.
Pasien yang mengkonsumsi sejumlah besar garam barium, selain memblok
saluran

kalium,

dapat

juga

menyebabkan

terjadinya

paralisis

periodik

hipokalemia. Kondisi ini diterapi dengan menghentikan garam barium dan


memberikan kalium oral.
Kadar kalium yang melebihi 7 mEq / L diantara episode kelemahan
menunjukkan bentuk sekunder paralisis periodik hyperkalemic. Pengobatan
ditargetkan terhadap penyakit primer dan melibatkan pembatasan kalium.
Pertimbangan Anestesiologi
Pengelolaan pasien dengan pralisis periodik ditujukan untuk mencegah
serangan. Manajemen intraoperatif harus mencakup penentuan konsentrasi kalium
plasma dan pemantauan elektrokardiografi secara ketat untuk mendeteksi adanya
aritmia. Karena potensi glukosa yang mengandung solusi intravena menyebabkan
konsentrasi kalium plasma yang lebih rendah, oleh sebab itu tidak dapat
digunakan pada pasien dengan paralisis hypokalemic, namun mungkin bermanfaat
untuk pasien dengan paralisis hyperkalemic. Respon terhadap NMBS tidak dapat
diprediksi, dan fungsi neuromuskular harus dimonitor selama penggunaannya.
Peningkatan kepekaan terhadap nondepolarisasi NMBS cenderung ditemui pada
pasien

dengan paralisis

periodik hipokalemia. Suksinilkolin merupakan

kontraindikasi pada paralisis hyperkalemic dan mungkin berbagai varian lainnya


karena juga berisiko terjdi hiperkalemia. Maintenance intraoperatif dari suhu

tubuh penting karena kondisi tubuh yang menggigil dan hipotermia dapat memicu
atau memperburuk episode paralisis periodik.
DISKUSI KASUS
Anestesi untuk Biopsi Otot
Seorang anak 16 tahun dengan kelemahan otot proksimal yang progresif dimana
diduga mengalami miopati primer dan dijadwalkan untuk biopsi otot quadriceps.
Apa kelainan potensial lainnya yang sebaiknya menjadi perhatian ahli anestesi?
Diagnosis miopati sulit untuk ditegakkan dan diagnosis banding dapat
meliputi salah satu dari beberapa penyakit keturunan, inflamasi, endokrin,
metabolik, atau toksin. Biopsi otot mungkin diperlukan untuk melengkapi
gambaran klinis, laboratorium, konduksi saraf, dan gambaran elektromiografi dan
membantu menegakkan diagnosis. Meskipun penyebab miopati dalam kasus ini
belum jelas, dokter harus selalu mempertimbangkan potensi masalah yang dapat
dikaitkan dengan miopati primer.
Keterlibatan otot pernapasan harus selalu dicurigai pada pasien dengan
kelemahan otot. Cadangan paru-paru dapat dinilai secara klinis dengan anamnesis
tentang dyspnea dan tingkat aktivitas. Tes fungsi paru diindikasikan jika terdapat
adanya dyspnea saat aktivitas. Peningkatan risiko aspirasi paru dapat dilihat dari
riwayat disfagia, regurgitasi, infeksi paru berulang, atau distensi abdomen.
Kelainan jantung dapat dimanifestasikan sebagai aritmia, prolaps katup mitral,
atau kardiomiopati. Elektrokardiogram 12-lead juga membantu dalam mendeteksi
kelainan konduksi. Rontgen thorax dapat mengevaluasi usaha inspirasi, parenkim
paru, dan ukuran jantung; distensi lambung sekunder akibat dari disfungsi otot
polos atau disfungsi otonom yang dapat menjadi jelas. Evaluasi laboratorium pra
operasi harus mampu mengeksklusi penyebab metabolik dengan pengukuran
konsentrasi serum natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat. Demikian
pula, gangguan tiroid, adrenal, dan hipofisis seharusnya dieksklusi. Pengukuran
CK plasma mungkin tidak membantu, tetapi pada kadar yang sangat tinggi (10
kali normal) umumnya menunjukkan distrofi otot atau polymyositis.

Apa teknik anestesi yang harus digunakan?


Pilihan

anestesi

harus

didasarkan

pada

pasien

dan

persyaratan

pembedahan. Sebagian besar biopsi otot dapat dilakukan di bawah anestesi lokal
atau regional dengan tambahan sedasi intravena, menggunakan dosis kecil
midazolam. Anestesi spinal atau epidural dapat digunakan. Blok saraf femoralis
dapat memberikan anestesi yang sangat baik untuk biopsi otot quadriceps; injeksi
yang terpisah mungkin diperlukan untuk saraf kutan femoralis lateralis untuk
melakukan anestesi pada anterolateral yang paha. Anestesi umum harus
dipersiapkan untuk pasien yang tidak kooperatif atau pada saat anestesi lokal atau
regional tidak memadai. Oleh karena itu, ahli anestesi harus selalu siap dengan
rencana anestesi umum.
Agen apa yang dapat digunakan dengan aman untuk anestesi umum?
Tujuan utama adalah untuk mencegah aspirasi paru, menghindari
pernafasan berlebihan atau depresi sirkulasi, menghindari NMBS jika mungkin,
dan mungkin menghindari agen yang dikenal memicu hipertermia malignansi.
Sebuah respon normal terhadap anestesi umum sebelumnya pada pasien atau
keluarga anggota mungkin meyakinkan namun tidak menjamin respon yang sama
pada anestesi berikutnya. Anestesi umum dapat dilakukan dan diajaga dengan
kombinasi dari benzodiazepin, propofol, atau opioid dengan atau tanpa nitrous
oxide. Pada pasien dengan peningkatan risiko aspirasi harus diintubasi. Ketika
NMBS diperlukan, agen nondepolarisasi dengan masa kerja pendek harus
digunakan. Suksinilkolin umumnya harus dihindari karena risiko yang tidak
diketahui

dari

respon

yang

tidak

biasa

(kontraksi

myotonic,

durasi

berkepanjangan, atau blok fase II), merangsang hiperkalemia berat, atau memicu
hipertermia malignansi.

Anda mungkin juga menyukai