Yantito Simanjuntak
RINGKASAN
algoritma
genetika
untuk
domain
yang
sama,
disarankan
ii
ABSTRACT
YANTITO SIMANJUNTAK. Genetic Algorithm for Satellite Communications
Transponder Management. Supervised by MARIMIN and TONDA PRIYANTO.
The aim of the research was to develop an optimization model, which is able to optimize
transponder capacity based on their parameters, namely: gain flatness, bandwidth,
linearity of amplifier, power flux density and characteristic of ground segment. The
characteristic as a function of antenna diameter, power transmit, modulation, and forward
error correction code rate. The genetic algorithm optimizer have been developed, was
able to find 8.88% higher cumulative data rate (capacity) than conventional one. Also, it
can prove that the impact of gain flatness is reducing (1.71%) the capacity of transponder.
This system needs a uniform antenna diameter of earth stations. The larger antenna of
earth station, the higher capacity of transponder.
For coming research, it is suggested to design a system that has an un-uniform diameter
antenna of earth station, and to optimize the power of transmitter and figure of merit to
support the optimal transponder capacity.
Keywords: bandwidth, optimization, power flux density, antenna diameter, gain flatness
and modulation.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas berkat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian ini dengan judul
ALGORITMA GENETIKA UNTUK MANAJEMEN TRANSPONDER SATELIT
KOMUNIKASI. Tugas penelitian dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan
penyelesaian studi pada Program Studi Ilmu Komputer, Sekolah Pascasarjana IPB.
Tugas penelitian ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. dan Bapak Tonda Priyanto C.Eng,M.Sc.,MIEE.,
selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membimbing dan mengarahkan
penulis.
2. Para Dosen Penguji yang meluangkan waktu untuk menguji materi yang dibahas
dalam tulisan ini.
3. Staf pengajar dan karyawan di Program Studi Ilmu Komputer, Sekolah Pascasarjana
IPB.
4. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan banyak masukan dan saran.
5. Istri tercinta Mariani Pangaribuan S.Si. dan seluruh keluarga atas dukungan moral
dan spiritual.
6. Semua pihak yang membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Akhir kata semoga tulisan ini dapat memperkaya khasanah dunia penelitian
dilingkungan civitas akademia IPB khususnya, dan Indonesia umumnya.
Bogor, Nopember 2005
Penulis
RIWAYAT HIDUP
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya
yang berjudul:
ALGORITMA GENETIKA
UNTUK MANAJEMEN TRANSPONDER SATELIT KOMUNIKASI
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan Komisi
Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar atau capaian akademik lainnya pada program sejenis
di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan dinyatakan dengan
jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
YANTITO SIMANJUNTAK
Judul Tesis
Nama
: Yantito Simanjuntak
NRP
: G 651020124
Program Studi
: Ilmu Komputer
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Tanggal Lulus:
ALGORITMA GENETIKA
UNTUK MANAJEMEN TRANSPONDER
SATELIT KOMUNIKASI
Yantito Simanjuntak
Tesis
Sebuah karya ilmiah
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Komputer
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
2.1.1 Input/Output
2.1.2 Multiplexer/Demultiplexer
11
13
14
22
22
26
27
1. Seleksi
27
2. Crossover
29
3. Mutasi
30
33
35
2.2.6 Terminasi GA
36
III. METODOLOGI
38
38
40
i
42
43
44
45
45
4.2 Masukan
50
53
4.4 Keluaran
56
58
59
60
62
63
64
64
65
68
68
69
71
73
75
7.1 Kesimpulan
78
7.2 Saran
79
DAFTAR PUSTAKA
80
LAMPIRAN
82
83
ii
2. Hasil-hasil Optimisasi
89
111
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
17
18
22
Rekayasa GAOT
40
47
58
60
61
61
10
62
11
63
12
63
13
63
14
64
15
Konvergensi Sistem
66
16
70
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
17
18
22
Rekayasa GAOT
40
47
58
60
61
61
10
62
11
63
12
63
13
63
14
64
15
Konvergensi Sistem
66
16
70
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Transponder
12
13
14
15
17
19
21
10
Network Management
22
11
27
12
29
13
30
14
40
15
GA hasil download
42
16
45
17
46
18
49
19
Input data
51
20
52
21
52
22
53
23
Proses Optimisasi
53
24
Proses Iterasi
55
25
56
26
Grafik Konvergensi
57
27
Kompleksitas Sistem
58
28
65
29
66
30
74
31
75
32
77
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
80
89
111
I. PENDAHULUAN
Indonesia bisa tercakup kedalam suatu layanan komunikasi. Harus diakui bahwa untuk
kualitas dan kapasitas kanal komunikasi tertentu (sama) tenyata biaya yang dibebankan
pada pengguna infrastruktur komunikasi satelit relatif lebih mahal dibanding dengan
terestrial, akan tetapi faktanya terlihat bahwa densitas infrastruktur telekomunikasi
terestrial di Indonesia sangat terkonsentrasi pada kota -kota besar.
Hal ini
mengakibatkan daerah-daerah hutan, laut, kota-kota kecil, dan lain sebagainya tidak
terjangkau oleh komunikasi via terestrial. Akibatnya potensi dan seluruh aktifitas di
daerah tersebut akan sulit dipantau oleh aparat pemerintah.
Misalkan suatu saat Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen
Pendidikan, dan/atau Departemen Kelautan menyewa satu transponder dari salah satu
provider komunikasi satelit dan transponder tersebut digunakan dalam rangka
memperlancar komunikasi antar petugas yang terkait dan juga untuk memberikan
pelayanan informasi kepada masyarakat luas baik secara broadcast maupun end to end.
Dalam hal ini optimisasi transponder menjadi hal yang penting, karena dengan
mengoperasikan transponder secara optimal maka link (jalur komunikasi) yang
diperoleh akan semakin banyak. Implikasinya adalah bahwa akan semakin banyak
daerah Indonesia yang bisa terjangkau layanan komunikasi.
pengirim (transmitter).
Penggunaan transponder satelit komunikasi oleh operator dilakukan berdasarkan
batasan power dan bandwidth, yang mana masih dihitung secara konvensional dengan
menggunakan Excel. Sistem konvensional menghasilkan jumlah carrier tertentu dengan
modulasi, forward error correction rate, dan datarate yang seragam. Sistem ini juga
tidak memperhitungkan adanya pengaruh gain flatness dimana gain flatness ini
merupakan respon gain amplifier terhadap frekuensi yang digunakan.
Selain itu cara lain yang digunakan yakni dengan memasang antena stasiun
bumi, modem dan lain sebagainya kemudian menyesuaikan parameter-parameter hingga
diperoleh kualitas link yang diinginkan. Pola semacam ini sering mengakibatkan
transponder tidak optimal, yakni suatu transponder belum terisi penuh tetapi ternyata
tidak bisa melayani jaringan komunikasi yang baru.
Di era Information Communication Technology (ICT) sekarang ini, telah banyak
berkembang metode optimasi yang sangat membantu para ahli dalam melakukan
optimisasi dibidangnya masing- masing, demikian juga di dunia telekomunikasi.
Neural network dan simulated annealing telah dicoba untuk menyelesaikan
permasalahan penentuan kanal pada komunikasi seluler bergerak, tetapi ternyata
terdapat kelemahan-kelemahan yaitu, bahwa neural network lebih memberi nilai
optimum lokal dibanding nilai optimum global. Sedangkan kelemahan simulated
annealing yang merupakan algoritma stokastik yang akan menghasilkan solusi optimal,
tetapi butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan solusi optimal tersebut (Jae
Soo-Kim, et al.,2003).
Penelitian yang membahas penentuan kanal yang optimal (channel assignment)
dengan menggunakan algoritma genetika sudah banyak dilakukan. Sebagai contoh pada
lingkungan mobile satellite (Asvial. 2003) menjelaskan penyediaan kanal dengan solusi
optimum pada batasan-batasan interferensi. Contoh lain dilingkungan transponder
satelit komunikasi adalah metode perencanaan frekuensi pada transponder dalam
jaringan komunikasi satelit (Gwang, et al., 1997) yang mempertimbangkan fakta bahwa
efek interferensi pada sinyal baseband bergantung pada skema sistem transmisinya.
Penelitian ini membahas pengoptimalan transponder satelit komunikasi dengan
menggunakan algoritma genetika. Alasan menggunakan algoritma genetika adalah
karena algoritma tersebut memiliki keunggulan-keunggulan dibanding dengan metode
konvensional lainnya Terdapat empat perbedaan yang signifikan antara genetic
algorithm (GA) dengan teknik pencarian konvensional (Goldberg,1989), yaitu:
Mencari jumlah datarate optimum yang boleh dilalukan oleh suatu transponder.
Manfaat penelitian ini adalah untuk membantu perancangan jaringan komunikasi satelit
sehingga kinerja penggunaan transponder dapat dioptimalkan.
www.ie.ncsu.edu/mirage/GAToolBox/gaot/
4. Rekayasa GA toolbox dari Matlab agar sesuai dengan domain kasus yang diteliti.
Secara umum sistem komunikasi dapat dilihat seperti pada gambar 2.1 di bawah ini.
2.1.3
Link yang menghubungkan antar stasiun bumi didisain untuk menyediakan kapasitas
tertentu dengan minimal kualitasnya adalah pada level minimum yang diperbolehkan.
C
N
= ( Pt + Gt + G r L p A) (k + T n + B ) Loss _ lainnya
[dB]
(2.1)
dB
4R 2
) [dB]
atau
LP = 92 .45 + 20 Log ( f UL ) + 20 Log (36000 ) [dB] untuk uplink dan
DL
UL
2 .225 [ GHz].
(2.2)
10
4Ae
4 ( A Ar )
2
A = efisiensi antenna
(2.3)
11
(2.4)
[dB ]
(2.5)
keseluruhan
C/N
yang
mendefenisikan
performansi link
adalah dengan
menggunakan formula (2.6). Penghitungan performansi link dari ujung pengirim sampai
dengan ujung penerima sering disebut dengan link budget.
1
1
1
=
+
(C / N )Overall (C / N ) UP (C / N ) DN
(2.6)
Jika C/N terlalu kecil, maka receiver kemungkinan tidak akan bisa mendeteksi sinyal
tersebut. Semakin besar C/N maka penerimaan sinyal akan semakin baik. Dengan modulasi
tertentu, C/N berkaitan langsung dengan bit error rate (BER).
12
6 GHz
4 GHz
LNA
Receiving
Antenna
Mixer
TWTA
Local
Oscillator
2225 MHz
Transmitting
Antenna
Downlink
Uplink
Gambar 2.3 Transponder
Besar bandwidth yang disediakan suatu transponder bervariasi. Untuk sistem satelit
GEO biasanya mempunyai bandwidth 36 MHz, 54 MHz atau 72 MHz. Satu kanal
transponder bisa digunakan untuk satu atau beberapa jenis layanan komunikasi yang sama
ataupun yang berbeda. Setiap layanan komunikasi ini dibawa oleh frekuensi carrier
tertentu yang membentuk jaringan komunikasi satelit.
Gambar di bawah menunjukkan frequency plan
dengan kanal transponder sebanyak 24 buah pada band standard-C (frekuensi uplink = 6
GHz dan frekuensi downlink = 4 GHz).
Terdapat 24 kanal dimana masing-masing mempunyai Bandwidth 40 MHz, tetapi
yang digunakan untuk komunikasi masing- masing adalah 36 MHz. Guard band sebesar 4
MHz memastikan transponder tidak berinterferensi satu sama lain.
13
V = Vertical polarization
H = Horizontal polarization
T/M = Telemetry
CMD = Command
14
Power Output
Saturation point
saturation power
Output
Back Off
Agregate
Sigle Carrier
Multi Carrier
aggregate power
operating power
Pi opr
Pi sat
Power Input
Untuk carrier lebih dari satu (multicarrier), kurva tersebut juga agak berbeda.
Gambar diatas merupakan efek konversi amplitude (AM/AM), yaitu pemetaan daya sinyal
input ke dalam sinyal output dengan penguatan (gain) tertentu.
15
Jika suatu carrier diletakkan pada frekuensi center 6415 MHz, maka oleh pengaruh
gain flatness ini sinyal tersebut akan mengalami gain response sebesar -0,7 dB. Hal ini
juga menjadi suatu parameter di dalam mendisain suatu jaringan komunikasi satelit, karena
perubahan level sinyal ini akan berpengaruh terhadap jenis modulasi yang bisa digunakan.
16
langsung dari nilai C/N. Makin besar nilai Eb / N 0 , makin kecil nilai probabilitas error bit.
Untuk sistem ideal, Eb / N 0 dapat dinyatakan sebagai:
E s C B n
=
N 0 N Rs
(2.7)
Performansi keseluruhan link radio ditetapkan oleh C/No total yang dapat
dihitung.
BER adalah fungsi rasio Eb/No, diamana Eb adalah energi per bit informasi
dan No adalah densitas spektral daya noise keseluruhan.
17
Probabilitas bit error pada modulasi digital dapat dilihat pada grafik berikut:
Perhitungan probabilitas bit error untuk masing- masing metode modulasi dapat
dihitung dengan formula seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.1. Probabilitas bit error
untuk masing- masing metode modulasi
Format
Modulasi
BPSK
2E b 1
C
Pe = Q
= erfc
N
N o 2
QPSK
2E b
Pe = Q
N o
1
C
= erfc
2N
2
Rs[simbol
rate]
R
18
C
Pe erfc
sin 2 ( ) forM 4
M
N
M-ary PSK
(MPSK)
Rb/N
Rb/N
3
C
erfc
( )
M
2( M 1) N
Keterangan: Eb = energi bit tunggal [J], No = densitas spektral daya noise satu sisi,
C = daya carrier[W], N = daya noise [W], Rs = laju simbol, Rb=laju bit.
2 ( M 1)
Pe
Efisiensi
Bandwidth C/B
Log2(C/B)
Error-free Eb/No
16 QAM
15dB
8 PSK
1.6
14.5dB
4 PSK
10dB
BPSK
10.5dB
BOROS
BPSK
STABIL
BANDWIDTH
QPSK
8PSK
PERFORMANSI
HEMAT
16 QAM
RENTAN
19
diterima disisi penerima. Suatu teknik yang efektif untuk mengurangi probabilitas error
pada komunikasi satelit adalah dengan penggunaan error correction coding. Para ahli
transmisi data membuat perbedaan deteksi kesalahan dan koreksi kesalahan. Pada
deteksi kesalahan hanya menyatakan bahwa simbol- simbol yang diterima ada sebagian
yang mengalami kesalahan tanpa adanya perbaikan kesalahan, sedangkan pada koreksi
kesalahan disamping ada proses deteksi juga ada proses perbaikan kesalahan di bagian
penerima (Instruktur. 2001).
Dengan pertimbangan delay yang cukup tinggi pada sistem komunikasi satelit,
maka perlu dilakukan pengoreksian secara langsung dibagian pene rima. Pengoreksian ini
disebut dengan Forward Error Correction (FEC). FEC meliputi: viterbi, trellis code, reed
Solomon ataupun turbo code. FEC tidak hanya digunakan untuk mengoptimasi link budget
dan memaksimalkan efisiensi bandwidth, tetapi juga dapat me mbuat tradeoff antara BER
dengan bandwidth yang digunakan menjadi lebih fleksibel (Pratt. 1986).
Coding Gain:
Hubungan antara Eb/No dengan BER bergantung pada tipe modulasi dan
FEC yang digunakan.
FEC tidak menjamin transmisi bebas kesalahan bit, tetapi FEC hanya akan
mengurangi kesalahan BER yang diberikan (C/No) total dengan beban
bandwidth yang cukup lebar.
Daya vs Bandwidth:
Untuk suatu carrier yang membawa suatu Bit Rate informasi Rb,
menggunakan FEC dengan code rate , dan modulasi dengan efisiensi
spektral (rasio antara bit rate dengan bandwidth)
20
B=
Rb
(2.8)
Oleh karena itu, suatu bandwidth yang lebih lebar diperlukan nilai code rate
yang rendah.
Misalkan suatu VSAT (very small aperture terminal) memancar pada bit
rate informasi Rb = 64 kbps, modulasi BPSK menggunakan efisiensi
spektral 0,7 b/s/Hz dan nilai BER yang diperlukan adalah 10E-7. Nilai
Eb/No yang diperlukan bergantung pada code rate.
Gambar di bawah ini menjelaskan kaitan antara probabilitas error (BER) dan Eb/No
yang dibutuhkan, untuk beberapa jenis modulasi dengan turbo product codec rate yang
dihasilkan oleh modem Comtech (Manual Book Comtech Modem).
21
(1 + )R
m.FEC
(2.9)
dimana:
= roll of facto r filte r yang digunakan.
Dimana = 0.2 digunakan untuk perhitungan bandwidth occupied
dan = 0.4 untuk menghitung bandwidth allocated.
R= bit rate
m = indeks modulasi (untuk QPSK=2, 8PSK=3 dan 16QAM = 4)
FEC = code rate yang digunakan: viterbi, concatenated coding
(Reed Solomon) atau Turbo Product.
Sebagai kesimpulan pokok bahasan di atas adalah bahwa performansi dan kapasitas
suatu transponder satelit sangat bergantung pada modulasi, forward error correction,
bandwidth dan power yang digunakan seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Modulation
QPSK, 8PSK, 16QAM
M anagement
Bandwidt h
& Po wer
Viterbi
Concatenated Coding (RS)
Turbo Product Coding
37
III. METODOLOGI
perusahaan tersebut juga mampu me-manage kinerja satelit tersebut supaya optimal.
Kinerja yang optimal diperoleh apabila link-link komunikasi yang ada dapat
menyalurkan data secara optimal. Untuk itu sangat diperlukan perancangan link
komunikasi dengan mempertimbangkan semua resource yang terlibat, baik resource
satelit maupun resource stasiun bumi.
Perancangan link komunikasi satelit dilakukan berdasarkan batasan power dan
bandwidth yang dihitung secara konvensional. Jika hal itu dilakukan untuk satu link
komunikasi saja, maka laju bit, tipe modulasi, forward error correctionI(FEC) , daya
pancar stasiun bumi serta antena yang tepat akan mudah didapatkan. Masalahnya adalah
bahwa terdapat ribuan link yang dilewatkan dari satu satelit (misal: 1 satelit = 24
Transponder). Sangatlah tidak mungkin
38
optimal, jika hanya mengandalkan kalkulasi secara konvensional. Untuk itu perlu dibuat
suatu sistem yang bisa melakukan optimisasi.
Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Tahapan
pertama adalah menentukan parameter sistem komunikasi satelit yang berpengaruh pada
optimisasi dan menentukan transpo nder mana yang menjadi obyek penelitian. Parameter
yang sangat berpengaruh pada manajemen transponder (Bab II, Sistem Komunikasi
Satelit) adalah:
a. Link Budget terdiri dari:
b. Pemilihan Modulasi terdiri dari quadrature phase shift keying (QPSK), 8ary phase shift keying (8PSK), dan 16 quadrature amplitude modulation
(16QAM) dengan alasan bahwa ketiga jenis modulasi di atas sudah umum
digunakan oleh operator satelit komunikasi.
c. Pemilihan forward error correction : turbo, viterbi, atau rs.
Sebagai objek penelitian dipilih transponder yang mana simpangan gainflatness -nya
lebih besar.
39
Rtrans = Rc i bit
i =1
(3.1)
40
3.2
Tata Laksana
Data yang dikumpulkan terdiri dari data statis dan data dinamis. Data statis
adalah data yang tidak bisa diubah, karena merupakan data dari pabrik. Misalnya:
Linearitas amplifier(SSPA), gain flatness, SFD dan lain- lain. Data dinamis adalah datadata yang bisa disesuaikan dengan keperluan di lapangan. Misalnya: diameter antena,
power transmit, dan lain-lain.
Langkah- langkah yang dilakukan adalah seperti berikut ini:
1. Rekayasa GA untuk domain kasus yang diangkat. GA yang diperoleh dari internet
sesuai dengan gambar 3.2 disebut dengan GAOT. Langkah pertama adalah melakukan
rekayasa terhadap kromosom dan fungsi evaluasi agar sesuai dengan domain kasus.
Tabel 3.1 Rekayasa GAOT
GAOT
Kromosom
{k1,k2,}, dimana k (0, 32, 56, 64, 96, 128, 256, 1024, 2048) untuk Proses 1.
{k1,k2,}, dimana k [0,2048] untuk Proses 2
n
Rtrans = Rc i
i =1
2. Suatu function dibuat khusus untuk keperluan penelitian ini. Fungsi ini bertujuan untuk
memeriksa setiap allele (bit rate) di dalam suatu individu apakah sesuai dengan
batasan-batasan bandwidth dan power flux density untuk setiap FEC dan modulasi yang
41
dicoba. Kemudian menentukan frekuensi center uplink, FEC dan modulasi yang mana
yang paling cocok pada gen (posisi string) tersebut.
42
adalah dimulai dari frekuensi terkecil dari rentang frekuensi yang ada pada transponder
yang ditinjau.
4. Sebagai output sistem adalah:
Solusi optimal yaitu deretan data rate untuk tiap frekuensi uplink.
Daya pancar antena stasiun bumi (Watt) ditentukan melalui beberapa percobaan.
Percobaan ini dilakukan dengan mengubah-ubah nilai daya pancar dengan jumlah
genotif yang tetap. Daya pancar yang menghasilkan kapasitas tertinggi ditentukan
sebagai nilai daya pancar yang digunakan untuk masing- masing diameter antena pada
proses optimisasi selanjutnya.
43
Jumlah individu (N) dalam satu populasi yang dibangkitkan dalam tahapan inisialisasi
ditentukan melalui beberapa percobaan. Percobaan ini dilakukan dengan mengubahubah N dalam satu populasi dimana jumlah genotif tetap dan daya pancar yang telah
diperoleh sebelumnya tetap. Jumlah individu yang digunakan adalah N yang
menghasilkan kapasitas terbaik dari beberapa percobaan tersebut.
Jumlah genotif ditentukan dengan beberapa percobaan. Percobaan ini dilakukan dengan
mengubah-ubah jumlah genotif, kemudian menentukan mana yang menghasilkan
kapasitas transponder yang terbaik.
44
45
46
CekBER merupakan suatu function untuk memeriksa setiap allele (data rate) di
dalam suatu individu apakah sesuai dengan kualitas link budget, batasan Eb/No, batasanbatasan bandwidth dan power flux density untuk setiap FEC dan modulasi yang dicobakan.
Kemudian menentukan frekuensi center uplink, FEC dan modulasi yang paling cocok pada
gen (posisi string) tersebut. Diagram alirnya adalah sebagai berikut:
Tidak
Ya
47
Pemrograman genetika yang digunakan dimodifikasi dari Genetic Algorithm for
Optimization Toolbox (GAOT). Masing- masing terdiri dari modul- modul berupa function
seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Fungsi- fungsi yang digunakan oleh sistem
Filename.m
floattesis1.m
floattesis2.m
ga.m
Fungsi
Fungsi utama menjalankan proses optimisasi
memanggil proses Algoritma Genetika sebagai fungsi dari pada
Seleksi, Crossover, Mutasi
initializega.m
batas.m
gaTdreval.m
cekBER.m
simpleXover.m
arithXover.m
boundaryMutation.m
Metode mutasi yang terjadi pada batas atas atau batas bawah
yang dilakukan secara random terhadap individu yang dimutasi
heuristicXover.m
maxGenTerm.m
multiNonUnifMutation.m
nonUnifMutate.m
uniformMutate.m
normGeomSelect.m
48
Selain function di atas, terdapat tiga file.m yang berisi data yang bukan merupakan
function yakni:
1. data_sat_sb.m, adalah file yang berisi parameter-parameter satelit dan stasiun
bumi serta data propagasi, yakni:
%Data Satelit
EIRPsat=38.0;
GTsat=0.00;
PAD=10.00;
SFDensity=-102.50;
BWxpndr=36.0;
IBOagg=3.00;
OBOagg=2.50;
PWRdensity_ul=-47.00;
EIRPdensity_dl=-36.00;
%Data Propagasi
AtmAttn_ul=0.02;
% redaman atmosfir uplink [dB]
AtmAttn_dl=0.02;
% redaman atmosfir downlink [dB]
Rain_att=0.7;
% redaman hujan berkisar 0.5 - 5 dB
FSL_loss=198;
% free space loss berkisar 196 - 200 dB
Point_loss= 0.4;
% pointing loss berkisar 0.2 - 0.6 dB
CI_sb=28.00;
% Carrier to Interference stasiun bumi [dBc]
CI_sat=17.00;
% Carrier to Interference satelit [dBc]
CI_ul=24.00;
% Carrier to Interference uplink [dBc]
CI_dl=24.00;
% Carrier to Interference downlink [dBc]
CI_xpol=30.00;
% Carrier to Interference crosspolarization [dBc]
Loss_prop_ul=FSL_loss+Rain_att+AtmAttn_ul+Point_loss;%Loss propagasi up link
Loss_prop_dl=FSL_loss+Rain_att+AtmAttn_dl+Point_loss;%LossPropagasi downlink
%Data Earth Station Tx (Pengirim)
D_ant_tx=2.40;
%diameter antena pengirim(adjustable)[m]
Eff_ant_tx=0.6;
%efisiensi antena pengirim
IFL_loss=1.00;
%rugi-rugi IFL[dB]
Ptx=10*log10(5) ;
%Daya pancar stasiun pengirim(adjustable) [dBW]
%Data Earth Station Rx (Penerima)
D_ant_rx=10.00;
%diameter antena penerima (adjustable) [m]
Eff_ant_rx=0.6;
%efisiensi antena penerima
TEMP_ant=25.00;
%Temperatur antena [K]
PreLNA_loss=0.10;
%rugi-rugi sebelum LNA [dB]
TEMP_LNA=45.00;
%Temperatur LNA [K]
49
2. gainflat.m, suatu file yang berisi karakteristik transponder seperti pada gambar
berikut:
2
3/4
3.8;
% QPSK Rate 3/4 Turbo
3
(2/3)*(204/188) 6.5;
% 8PSK Rate 2/3 TCM and Reed Solomon
3
3/4
6.8;
% 8PSK rate 3/4 Turbo
4
3/4
7.8;
% 16QAM Rate 3/4 Turbo
4
3/4*(204/188)
8.1;
% 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon
4
7/8*(204/188)
9.5]; % 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon
cr=[3/2 2*(204/188) 9/4 3 3*(204/188) 7/2*(204/188)];
Eb_NoBatas=dr(:,3)';
50
Penulisan di atas didasarkan pada representasi matriks dalam Matlab. Command
tersebut akan menghasilkan matriks dengan ukuran 6x3. Kolom 1 menunjukkan
indeks modulasi, kolom 2 menunjukkan code FEC, dan kolom 3 menunjukkan
Eb/No minimal yang harus diperoleh. Sebagai contoh: makna baris 1 adalah
indeks modulasi = 2, code FEC = , dan Eb/No minimum untuk mendapatkan
BER 10e-8 adalah 3.8 dB.
4.2 Masukan
Masukan data dimulai dengan mendefenisikan representasi, inisialisasi, evaluasi,
seleksi, crossover, dan mutasi. Inisialisasi dilakukan dengan membangkitkan bilangan
random untuk masing- masing allele setiap individu dalam suatu populasi(kromosom).
Kemudian hasil inisialisasi ini langsung dilakukan pengujian cekBER. Demikan juga
individu- individu yang dihasilkan oleh crossover maupun mutasi langsung dilakukan
pengujian terhadap cekBER. Dengan demikian seluruh allele yang ikut proses genetika
(seleksi, crossover dan mutasi) sudah lolos dari uji cekBER.m.
Struktur data berisi suatu populasi datarate dalam suatu matriks tunggal dengan
ukuran Nind X Lind, dimana Nind = jumlah carrier dalam populasi dan Lind adalah
panjang representasi genotip individual tersebut. Masing- masing baris merupakan
genotip suatu individual, yang merupakan nilai float. Data populasi dibangkitkan secara
acak oleh initializega.m dengan batasan batas.m seperti ditunjukkan di bawah ini,
Populasi =
g1,1
g
2 ,1
. ...
g Nind ,1
g1 , 2
g2 , 2
...
g Nind , 2
...
g1, Lind individual _ 1
... g 2 , Lind individual _ 2
...
...
.
51
Setiap individu (data) membutuhkan panjang yang sama untuk seluruh populasi.
Suatu solusi yang bermanfaat dari individu atau kromosom untuk optimasi fungsi
adalah dengan melibatkan sebaran nilai gen atau variabel yang nilainya terletak dalam
batas atas dan bawah ruang solusi. Pengkajian ini telah diteliti oleh Michalewicz(1995)
dengan melakukan perluasan percobaan melalui perbandingan kinerja Binary Genetic
Algorithm (BGA) dan Float Genetic Algorithm (FGA). Hasilnya menunjukkan bahwa
FGA merupakan orde magnitude yang lebih efisien dalam kaitannya dengan beban dan
waktu komputasi.
Sebelum tahapan proses optimisasi dimulai, terlebih dahulu dilakukan
penyesuaian parameter sesuai dengan keperluan yang diinginkan, yaitu:
Diameter antena Tx maupun Rx serta daya transmit stasiun bumi pengirim(Pt) dapat
diubah langsung dari data_sat_sb.m, seperti visual berikut:
52
Jumlah frekuesi uplink (carrier) dan batasan datarate untuk masing- masing carrier
disesuaikan melalui floattesis.m seperti gambar berikut:
53
54
Fungsi untuk melakukan pemrosesan optimisasi (proses genetika) adalah ga.m.
Modul ini dieksekusi dua kali.
Eksekusi pertama :
[x xx endPop bestPop trace FEC Bewe F_uplink pefede]=ga(bounds,evalFn,evalOps,startPop,gaOpts,...
termFns,termOps,selectFn,selectOps,xFns,xOpts,mFns,mOpts);
Operator
genetik
yang
digunakan
pada
eksekusi
pertama
adalah
= {k1,k2,}
dimana k (0, 32, 56, 64, 96, 128, 256, 1024, 2048)(Kbps)
Keluaran datarate
= {k1,k2,}
dimana k (0, 32, 56, 64, 96, 128, 256, 1024, 2048)(Kbps)
Keluaran seperti di atas dapat diperoleh karena sifat simpleXover.m adalah hanya
mengubah posisi masing-masing allele, tanpa mengubah nilai allele tersebut (pers.
(2.16)). Sedangkan boundaryMutation.m hanya memutasikan allele tertentu dengan
batas atas atau batas bawah dari deretan data yang diberikan. Keluaran seperti di atas
sangat cocok dengan kondisi real di lapangan.
Eksekusi kedua :
[x xx endPop bestPop trace FEC Bewe F_uplink pefede]=ga(bounds,evalFn,evalOps,[],ga Opts);
Operator
genetika
yang
digunakan
pada
eksekusi
kedua
adalah
= {k1,k2,}
dimana k [0 2048](Kbps)
55
Keluaran datarate = {k1,k2,}
dimana k [0 2048](Kbps)
Jika masukan dipaksa seperti pada eksekusi pertama, maka keluaran akan tetap
bilangan yang kontinu pada rentang [0,2048]. Hal ini disebabkan sifat masingmasing operator yang melakukan perubahan nilai allele dengan delta yang kecil.
Untuk menyesuaikan keluaran ini dengan aturan ASCII yakni 1 byte = 8 bit, maka
keluaran yang dihasilkan dibulatkan ke kelipatan 8 terdekat.
Selama pemrosesan maka nilai- nilai fitness untuk tiap generasi ditampilkan, seperti
gambar 4.8. Proses dilakukan dengan jumlah generasi yang berbeda-beda dengan tujuan
melihat konvergensi pencarian optimasi.
56
Pada gambar di atas terlihat bahwa iterasi sudah dilakukan sebanyak 9 generasi,
dimana nilai fitness pada generasi pertama adalah 55296 Kbps dan nilai fitness generasi
kesembilan adalah 60416 Kbps.
4.4 Keluaran
Sebagai output dari proses ini adalah seperti pada gambar berikut:
Solusi terbaik, berupa deretan datarate yang terbaik (solusi optimal) yang
dihasilkan oleh proses iterasi.
Indeks Modulasi dan FEC rate yang sesuai dengan solusi terbaik di atas.
57
Jumlah Power Flux Density (PFD) yang terpakai, dimana PFD maksimum
yang bisa digunakan adalah:
PFDtotal = saturated Power flux density + pad attenuator IBOagg
= -102.50 + 10 3
= -95.5 dBW
Selain itu, diperoleh juga grafik konvergensi yang ditampilkan pada window lainnya,
seperti berikut:
58
4.5 Kompleksitas Sistem
Untuk mengukur kompleksitas sistem dilakukan dengan cara mengukur waktu
(running time ) yang dibutuhkan untuk beberapa proses iterasi. Iterasi dilakukan untuk
beberapa proses dengan mengubah-ubah masukan jumlah genotip (carrier). Jumlah
genotip ini menggambarkan jumlah masukan data yang harus diproses untuk setiap
generasi. Hasil proses untuk beberapa jumlah genotip adalah sebagai berikut:
Jumlah
Genotip
Waktu (detik)
5
5
5
5
5
5
10
20
30
40
50
60
16.37
32.23
45.75
61.94
80.25
100.23
Kompleksitas
120
100.23
100
80.25
80
61.94
60
45.75
40
32.23
20
16.37
0
10
20
30
40
50
60
Jumlah Genotif
Grafik di atas menunjukkan bahwa running time process adalah linier terhadap jumlah
masukan data. Atau dapat ditulis:
T(n) = O(n)
59
V.
dengan
pertimbangan
skema
modulasi
dan
FEC
rate
dan
juga
mempertimbangkan gain flatness, batasan power dan BW (Bab III Metodologi). Dimana
untuk menjaga agar operating power SSPA berada pada daerah linier maka batasan
power yang membebani SSPA adalah SFD + PAD OBO = -102.5 +10-3 = -95.5
60
dBW/m^2, dimana SFD=saturated flux density, PAD = attenuator, dan OBO = output
back off. Sementara batasan bandwidth adalah 36 MHz.
Hasil- hasil penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Untuk mendapatkan hasilhasil tersebut dilakukan dengan mengubah-ubah parameter sesuai dengan yang
diinginkan.
5.1
Penentuan Parameter GA
Untuk mendasari penggunaan parameter proses optimisasi yang dilakukan,
proses mencari daya pancar (watt) untuk setiap diameter antena stasiun bumi yang
menghasilkan nilai optimum.
Data :
jumlah genotif = 48
Diproses dengan Proses 1
Tabel 5.1. Penentuan daya pancar antena
Diameter
Antena
3.8
Daya
Pancar
(watt)
Carrier
Terbentuk
Kapasitas
Transponder
(Kbps)
1.5
2
3.5
4
0.5
1
1.5
2
2.5
0.1
0.5
1
1.5
34
30
48
35
46
47
34
48
24
18
40
37
46
59160
55608
71680
67328
54280
66520
60592
73728
55926
22392
68408
75776
73728
61
Dari tabel di atas, terlihat bahwa kapasitas tertinggi diperoleh ketika:
Ptx = 3.5 Watt untuk antenna D = 3.5 m.
Ptx = 2 Watt untuk antenna D = 5 m
Ptx = 1 Watt untuk antenna D = 7 m.
Selanjutnya nilai-nilai di atas digunakan untuk proses selanjutnya.
proses mencari jumlah individu dalam satu populasi yang dibangkitkan dalam proses
inisialisasi
Data : jumlah genotif = 48
Tabel 5.2a. Proses mencari jumlah individu
dalam satu populasi dengan Proses 1
Diameter
Antena
Daya
Pancar
(watt)
3.8
3.5
Individu
dalam
satu
populasi
Carrier
Terbentuk
Kapasitas
Transponder
(Kbps)
BW
Total
(Mhz)
Power
Total
(dbW/m^2)
5
10
15
5
10
20
30
5
10
15
20
35
48
41
28
48
47
45
48
37
28
35
64344
71680
67576
55296
74752
75776
75776
76968
75776
55424
67328
34.21
35.53
35.46
29.35
35.93
35.76
35.91
35.72
35.64
26.81
31.22
-97.41
-96.03
-96.83
-98.59
-96.08
-96.17
-96.36
-96.17
-96.08
-98.52
-97.55
Diameter
Antena
Daya
Pancar
(watt)
3.8
3.5
Individu
dalam
satu
populasi
Carrier
Terbentuk
Kapasitas
Transponder
(Kbps)
BW
Total
(Mhz)
Power
Total
(dbW/m^2)
5
10
15
5
10
48
48
48
47
48
72424
74840
72720
76824
75736
35.99
35.99
35.96
35.76
35.96
-96.03
-96.03
-96.04
-96.08
-96.17
62
15
5
10
15
48
27
37
48
75552
76968
80752
74912
35.97
25.76
35.97
33.79
-96.08
-98.68
-96.17
-96.17
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah individu dalam satu populasi, N = 10
lebih baik dari yang lainnya.
Dengan gainflatness
Populasi = 10 individu
Diameter antenna = 5.0 m
Daya Pancar Antena = 2.0 Watt
Tabel 5.3. Proses mencari jumlah jumlah genotif
Jumlah
genotif
Carrier
Terbentuk
Kapasitas
Transponder
(Kbps)
BW
Total
(Mhz)
Power
Total
(dbW/m^2)
42
48
55
60
42
46
53
54
73728
73728
77824
75776
35.55
35.86
35.91
35.63
-96.66
-96.26
-95.65
-95.57
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah genotif = 60 memastikan seluruh carrier
yang akan terbentuk bisa diakomodasi. Oleh karena itu, untuk memperoleh kapasitas
optimum digunakan jumlah genotif = 60.
5.2
Pengaruh Gainflatness
Gainflatness diteliti dengan membuat nilai gain flatness = 0 atau disebut dengan
63
Data : jumlah genotif = 60
Populasi = 10 individu
Tabel 5.4 Kapasitas transponder dengan pengaruh gain flatness
dengan gain flatness
Diameter
Antena
Daya
Pancar
(watt)
3.8
5
7
Carrier
Terbentuk
Kapasitas
Transponder
(Kbps)
BW
Total
(Mhz)
Power
Total
(dbW/m^2)
Carrier
Terbentuk
Power
Total
(dbW/m^2)
3.5
54
72704
35.68
-95.52
54
73728
35.38
-95.53
54
75776
35.63
-95.57
53
77824
35.82
-95.65
56
78984
35.83
-95.5
56
79872
35.63
-95.5
Dari tabel di atas ternyata gain flatness berpengaruh negatif (1.71%). Artinya adalah
bahwa gain flatness berpotensi mengurangi kapasitas optimum suatu transponder. Seperti
bisa dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 5.5. Pengaruh gain flatness
Tanpa
Gain
flatness
Dengan
gain
flatness
73728
77824
79872
72704
75776
78984
ratarata
delta
Prosentasi
1024
2048
888
1.39%
2.63%
1.11%
1320
1.71%
Ptx (Watt)
Jmlh
Carrier
output
Kapasitas
Transponder
BW total
terpakai
(MHz)
Power total
terpakai
(dBW/m^2)
Modulasi
FEC rate
3.8
3.5
34
69632
35.2512
-101.453
16QAM
34
69632
35.2512
-99.98
16QAM
34
69632
35.2512
-97.31
16QAM
64
Daya
Pancar
(watt)
3.8
5
7
3.5
2
1
Carrier
Terbentuk
54
54
56
Kap.
Transp.
(Kbps)
72704
75776
78984
BW Tot
(Mhz)
35.68
35.63
35.83
GA Proses 2
Pwr Total
(dbW/m^2)
-95.52
-95.57
-95.5
Carrier
Terbentuk
54
53
56
Kap.
Trans.
(Kbps)
BW
Total
(Mhz)
75536
78008
81872
35.99
35.98
36
Pwr Tot.
(dbW/m^2)
-95.52
-95.57
-95.5
Dari tabel diatas dan keluaran proses optimisasi dapat dicatat beberapa hal:
datarate total yang diperoleh maksimum secara konvensional adalah 69632 KBps
sedangkan dengan GA adalah 72704 KBps, 75776 Kbps dan 78984 Kbps. Terdapat
rata-rata peningkatan kapasitas sebesar 6189 Kbps atau 8.88 %.
Jumlah carrier yang dihasilkan oleh GA lebih banyak dari yang dihasilkan secara
konvensional.
Selain itu, ternyata modulasi yang dihasilkan GA lebih bervariasi dibanding dengan yang
dihasilkan secara konvensional.
65
Proses 1
Proses 2
7
Diameter (m)
Konvensional
66
Diameter
Antena (m)
Generasi
Konvergen pada
Generasi ke-
Jumlah Frekuensi
carrier terbentuk
3.8
3.5
120
50
48
0.5
150
70
43
1.0
150
110
43
1.75
120
50
48
2.0
120
45
48
1.0
120
60
47
67
Jika diamati diameter = 5 m pada tabel di atas terlihat bahwa walaupun carrier
yang terbentuk hampir sama, tetapi sistem membutuhkan jumlah iterasi yang berbeda
didalam mencapai nilai konvergen. Hal ini disebabkan oleh pencarian nilai optimal yang
bersifat acak.
68
VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN MANAJEMEN TRANSPONDER
DAN PERANAN KOMUNIKASI SATELIT DALAM PERTANIAN INDONESIA
Tetapi untuk menerapkannya ada beberapa hal yang menjadi syarat utama yakni:
Stasiun bumi pengirim berfungsi juga sebagai penerima (dua arah). Akibatnya adalah
system ini membutuhkan diameter antena stasiun bumi pengirim (Tx) sama dengan
diameter antena stasiun bumi penerima (Rx).
Hasil proses optimisasi untuk diameter antena Tx= a dan Rx=b tidak berlaku bagi
Tx=b dan Rx=a (a tidak sama dengan b). Oleh karena itu, apabila ingin menggunakan
system ini untuk merancang jaringan komunikasi dengan antena Tx dan Rx yang
berbeda, maka langkah yang harus dilakukan adalah:
69
o Lakukan optimisasi pada transponder X untuk diameter antena Tx= a, dan
Rx=b. Hasilnya dijadikan sebagai acuan untuk jaringan dengan arah link Tx =
a menuju Rx = b.
o Lakukan optimisasi pada transponder Y untuk diameter antena Tx = b, dan Rx
= a. Hasilnya dijadikan sebagai acuan untuk jaringan dengan arah link Tx = b
menuju Rx = a.
o Pasangkan masing- masing carrier untuk menyalurkan data yang diinginkan,
dengan modulasi tertentu pada frekuensi uplink yang dihasilkan. Pasangan
link ini membentuk suatu link komunikasi dua arah.
70
Modulasi dan FEC :
6 4 5 5 5 6 5 5 5 5 5 6 6 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 0 0 0 0 0
Dimana :
1=QPSK Rate 3/4 Turbo
2=8PSK Rate 2/3 TCM and Reed Solomon
3=8PSK rate 3/4 Turbo
4=16QAM Rate 3/4 Turbo
5=16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon
6=16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon
Bandwidth masing-masing Carrier(MHz) :
0.013889 0.955733 1.037072 1.037072 1.037072
1.037072 0.024306 0.055557 1.037072 1.037072
0.013889 0.888919 0.013889 0.888919 0.888919
0.888919 0.888919 0.888919 0.888919 0.041668
0.013889 0.888919 0.888919 0.888919 0.024306
0.222230 0.444460 0.888919 0.013889 0.024306
0.000000
Total Bandwidth(MHz):
35.830763
Total Power (dBW/m2):
-95.502589
Frekuensi masing-masing Carrier(MHz):
6127.006945 6127.491756 6128.488159
6132.692006 6133.729078 6134.766150
6137.957231 6138.482712 6138.934116
6141.836993 6142.288397 6142.739801
6146.323257 6147.212176 6148.101095
6151.698440 6152.587359 6153.476278
6155.434678 6156.323597 6156.780210
6159.903580 6160.459155 6160.792499
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
>>
0.055557
0.013889
0.888919
0.888919
0.888919
0.888919
6129.525231
6135.803223
6139.489691
6143.628721
6148.990014
6153.976295
6157.236823
6161.459189
1.037072
0.888919
0.888919
0.888919
0.888919
0.000000
6130.562304
6136.333912
6140.045265
6144.517640
6149.878933
6154.059631
6158.125742
6161.910593
1.037072
0.222230
0.027779
0.888919
0.444460
0.000000
6131.108618
6136.373844
6140.934184
6145.406559
6150.767852
6154.094355
6158.792431
6161.929691
1.037072
0.888919
0.888919
0.111115
0.444460
0.000000
1.037072
0.888919
0.888919
0.055557
0.888919
0.000000
6131.654933
6136.920159
6141.385589
6145.864908
6151.233146
6154.545759
6159.236891
6162.386304 0.000000
Jaringan komunikasi satelit yang sesuai dengan hasil di atas adalah seperti tabel
berikut:
Tabel 6.1 Perencanaan jaringan komunikasi satelit
Frekuensi
Uplink (GHz)
6.1270
6.1275
6.1285
6.1295
6.1306
6.1311
6.1317
6.1327
6.1337
6.1348
6.1358
6.1363
6.1364
6.1369
6.1380
6.1385
6.1389
6.1395
6.1400
Datarate
(Kbps)
32
2048
2048
2048
2048
128
2048
2048
2048
2048
2048
56
128
2048
2048
32
2048
512
2048
Bandwidth
(Mhz)
0.0139
0.9557
1.0371
1.0371
1.0371
0.0556
1.0371
1.0371
1.0371
1.0371
1.0371
0.0243
0.0556
1.0371
1.0371
0.0139
0.8889
0.2222
0.8889
71
6.1409
6.1414
6.1418
6.1423
6.1427
6.1436
6.1445
6.1454
6.1459
6.1463
6.1472
6.1481
6.1490
6.1499
6.1508
6.1512
6.1517
6.1526
6.1535
6.1540
6.1541
6.1541
6.1545
6.1554
6.1563
6.1568
6.1572
6.1581
6.1588
6.1592
6.1599
6.1605
6.1608
6.1615
6.1619
6.1619
6.1624
2048
32
2048
32
2048
2048
2048
2048
64
2048
2048
2048
2048
2048
2048
96
2048
2048
2048
256
128
32
2048
2048
2048
56
2048
2048
1024
1024
2048
512
1024
2048
32
56
2048
0.8889
0.0139
0.8889
0.0139
0.8889
0.8889
0.8889
0.8889
0.0278
0.8889
0.8889
0.8889
0.8889
0.8889
0.8889
0.0417
0.8889
0.8889
0.8889
0.1111
0.0556
0.0139
0.8889
0.8889
0.8889
0.0243
0.8889
0.8889
0.4445
0.4445
0.8889
0.2222
0.4445
0.8889
0.0139
0.0243
0.8889
Suatu link komunikasi dua arah membutuhkan dua carrier. Satu carrier digunakan
untuk Asal dan satu lagi digunakan untuk Tujuan. Masing- masing carrier bisa
membawa datarate yang sama maupun tidak. Modulasi yang digunakan bisa sama atau
bisa juga berbeda, tergantung kebutuhan riil di lapangan. Tabel diatas menunjukkan
bahwa transponder tersebut cocok digunakan untuk menyediakan link-link yang beragam.
72
1. Transponder Masih Kosong
Langkah- langkah yang harus dilakukan adalah:
a. Buat kurva gainflatness yang akan dioptimisasi sesuai dengan data
gainflatnes pabrik. Ubah batas bawah dan batas atas frekuensi (6125 < FC
< 6165)
gainflat.m
b. Ubah frekuensi center transponder (Fc_tpdr) pada file cekBER.m dengan
frekuensi transponder yang akan dioptimisasi.
c. Lakukan optimisasi dengan menjalankan program melalui modul utama
(Lampiran 1). Akan diperoleh hasil optimisasi.
d. Rancang jaringan komunikasi berdasarkan hasil yang diperoleh pada c.
2. Sebagian Transponder Terisi Trafik
Langkah- langkah yang harus dilakukan adalah:
a. Buat kurva gainflatness yang akan dioptimisasi sesuai dengan data
gainflatnes pabrik. Ubah batas bawah dan batas atas frekuensi (6125 < FC
< 6165)
pada gainflat.m
b. Ubah frekuensi center transponder (Fc_tpdr), batasan bandwidth,batasan
power (sum(BW1(1,1:y)) <= 36.0) & (Jmlh_pefede <= SFDensity+PAD-3)
pada file cekBER.m sesuai dengan band yang diinginkan.
c. Lakukan optimisasi dengan menjalankan program melalui modul utama
(Lampiran 1). Akan diperoleh hasil optimisasi.
d. Rancang jaringan komunikasi berdasarkan hasil yang diperoleh pada c.
73
6.2 Peranan Satelit Komunikasi dalam Pertanian Indonesia
Pada kolom Fokus Harian Kompas, Sabtu tanggal 16 Juli 2005 (Amr. 2005)
menyoroti permasalahan pertanian di Indonesia. Terdapat konsep yang terdiri dari enam
langkah yang diusulkan di dalam mewujudkan pertanian yang kompetitif yakni sebagai
berikut :
Menyikapi pernyataan pada langkah keenam di atas maka perlu dirancang suatu
sistem informasi pertanian yang bisa di akses setiap orang yang berkepentingan secara
nasional. Dengan demikian diharapkan seluruh informasi tentang pertanian akan menjadi
transparan, sehingga setiap daerah dapat memanfaatkan informasi yang tepat untuk
peningkatan kemampuan pertanian di daerah masing- masing. Adapun konsepnya adalah
sebagai berikut:
74
Pemerintah harus mendorong seluruh departemen dan instansi lain yang terkait
dengan pertanian untuk membuka akses ke publik. Disamping itu juga database masingmasing instansi harus diupdate sesuai dengan perkembangan di daerah secara akurat.
Database ini misalnya akan berisi kebijakan-kebijakan pemerintah, peraturan, stok
pangan, pengetahuan-pengetahuan tentang pertanian, permasalahan pertanian dan
solusinya, impor/ekspor, peta produksi pertanian secara nasional, dan lain sebagainya.
75
Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas dengan masalah infrastruktur
telekomunikasi yang tidak merata, maka komunikasi satelit menjadi solusi yang efektif
untuk memenuhi WAN yang dibutuhkan pada gambar 6.1 di atas. Efektif karena selain
deploy-nya lebih cepat satelit juga bisa menjangkau seluruh Indonesia. Disamping itu
cost-nya juga relatif makin murah. Berikut rancangan penggunaan satelit komunikasi
didalam mendukung sistem informasi pertanian.
pengguna
LAN
pengguna
LAN
T w o-Way NOC
76
dipancarkan pengguna ke Hub melalui satelit. Sistem ini menawarkan koneksi berbasis IP
ataupun client-server. Di sisi pengguna (remote) layanan yang bisa dinikmati adalah
suara , gambar dan teks.
Sistem di atas sifatnya komunikasi dua arah. Pengguna remote bisa mengakses
data dari pusat data, sekaligus bisa mengirimkan data secara online. Demikian
sebaliknya. Misalnya data-data cuaca, iklim, hama, musim panen, musim tanam,
intensitas hujan, dan lain- lain yang diperoleh dari data collector bisa diinformasikan
secara real time ke pusat informasi pertanian. Data collector yang dimaksud bisa berupa
petugas, sensor-sensor, atau detektor-detektor, ataupun alat ukur lain yang dipasang
secara permanen pada daerah remote dan diintegrasikan dengan LAN pengguna remote.
Dengan terkumpulnya seluruh data tersebut pada pusat informasi memungkinkan
pengguna didaerah lain bisa mengakses informasi tersebut.
Selama ini paradigma yang muncul dimasyarakat adalah komunikasi via satelit
sangat mahal. Usulan pemenuhan jaringan komunikasi di atas akan mengarah pada
pertanyaan kemampuan petani menutupi biaya yang muncul. Jika pengguna adalah pada
tingkat kecamatan (mis: penyuluh pertanian), maka penutupan biaya yang muncul akan
lebih mudah. Selain itu sisi positif dari hasil optimisasi transponder adalah apabila pihak
operator satelit menjadikannya sebagai kompensasi penekanan cost yang dibebankan
terhadap kastamer. Seperti pada transponder yang ditinjai bahwa terdapat optimisasi
sebesar 8.88%. Apabila pihak operator menjadikan angka tersebut untuk menekan cost
dengan demikian pengguna akan mendapatkan biaya yang lebih ringan sebesar 8.88%.
Selain itu juga sumber dana bisa dimanfaatkan dari dana yang terkumpul oleh Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor KM.34 Tahun 2004 tentang Kewajiban Pelayanan
77
Universal sebagai akibat dari Pelaksanaan Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi seperti
di bawah ini (http://www.mastel.or.id):
78
7.1 Kesimpulan
Pendekatan manajemen transponder satelit komunikasi dapat dilakukan terlebih
dahulu dengan upaya pencarian kapasitas optimum yang boleh dilewatkan oleh
transponder tersebut. Upaya ini memperhitungkan seluruh resource yang terlibat seperti
bandwidth transponder, power transponder, gainflatness amplifier transponder, modulasi,
forward error correction code, diameter antena stasiun bumi, daya transmit stasiun bumi
pengirim serta parameter lainnya.
Metode pencarian nilai optimum yang digunakan adalah algoritma genetika yang
mempunyai running time linier terhadap jumlah data yang diproses. Sistem yang
dikembangkan mampu menemukan kapasitas optimum transponder 8.88% lebih optimal
jika dibandingkan dengan cara konvensiona l. Berdasarkan nilai optimum ini, jaringan
komunikasi satelit dapat didisain.
Pengaruh parameter gainflatness yang selama ini diabaikan (dianggap ideal)
ternyata terbukti berpengaruh negatif (1.71 %) terhadap kapasitas suatu transponder.
Pengaruh negatif yang dimaksud adalah adanya pengurangan kapasitas transponder
sebesar 1.71 % jika dibandingkan dengan gainflatness ideal.
Sistem juga mampu menunjukkan korelasi positif antara diameter antena stasiun
bumi dengan kapasitas transponder dimana semakin besar antena stasiun bumi, semakin
besar kapasitas suatu transponder.
79
Implikasi terhadap kebijakan manajemen transponder menunjukkan bahwa setiap
transponder harus melayani stasiun bumi yang berdiameter seragam. Hal ini disebabkan
karena sistem yang dikembangkan belum mampu untuk mencari nilai optimum untuk
kasus stasiun bumi yang berdiameter tidak seragam.
Satelit komunikasi dengan sistem IP over satellite bisa digunakan sebagai
infrastruktur pengembangan Sistem Informasi Pertanian. Selain itu satellite news
gathering dapat juga digunakan untuk menyampaikan permasalahan pertanian secara
langsung kepada petani. Hal ini bisa mendukung peningkatan pertanian Indonesia.
7.2 Saran
Untuk pengembangan lebih lanjut, disarankan untuk:
1. Merancang sistem untuk antena stasiun bumi berdiameter yang bervariasi.
2. Optimisasi terhadap daya pancar stasiun bumi pengirim dan figure of merit
penerima didalam mendukung nilai optimal transponder yang telah diperoleh.
3. Membuat Sistem Informasi Pertanian dengan infrastruktur jaringan komunik asi
satelit.
4. Mengembangkan GA dengan metode terminasi iterasi GA selain terminasi
digunakan pada penelitian ini (berdasarkan jumlah generasi).
80
DAFTAR PUSTAKA
[1] Amr. 2005. Petani Miskin di Lumbung Padi, Harian Kompas, 16 Juli 2005.
http://www.kompas.com/
[2] Asvial. 2004.Channel Assignment for MSS Network Using Genetic Algorithms,
Electronic Engineering Department, University of Indonesia.
[3] Bodenhofer. 2003. Genetic Algorithms: Theory and Applications. Fuzzy Logic
Laboratorium Linz-Hgenberg, http://flll.jku.at.
[4] Careless.2005. The Changing Face of Satellite News Gathering Equipment. Via
Satellite. August 2005.
[5] Dephub RI. 2004. Pengumuman Departemen Perhubungan Republik Indonesia
Tentang
Pelaksanaan
Restrukturisasi
Sektor
Telekomunikasi
,
http://www.mastel.or.id
[6] EF Data. 2003. CDM-600 Satellite Data Modem Installation and Operation Manual.
Rev.5, Comtech EF Data.
[7] Goldberg. 1989. Genetic Algortihms in Search, Optimization and Machine Learning.
The University of Alabama, Addison Wesley Publishing Company, inc.
[8] Gwang J. J., Se K. P., dan Jae M.K. 1997. A New Frequency Planning Method On
Transponders In The Satellite Communications Networks. American Institute of
Aeronautics and Astronautics.
[9] Ilsoo Y., dan Byungkyu, P. 2003. development of ITS Evaaluation Test-Bed Using
Microscopic Simulation-City of Hampton Case Study.Research Report No.
UVACTS_15-0-45 August 2003. University of Virginia.
[10] Instruktur. 2001. Perencanaan Link Komunikasi Satelit. Divisi Pelatihan PT. XYZ,
Bandung.
[11] Jae-Soo K., Park, Dowd, Nasrabadi. Genetic Algorithms Approach to the Channel
Assignment Problem, Department of Electrical and Computer Engineering State
University of New York at Buffalo, NY 14260.
81