REAKSI ANAFILAKTIK
Oleh:
Prisca Angelina K.
(105070100111046)
Silvy Sicilia
(105070100111048)
Rani Evadewi
(105070107111020)
Pembimbing :
dr. C. Singgih Wahono, Sp.PD-KR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reaksi anafilaktik merupakan reaksi alergi akut sistemik yang berpotensial fatal
dan menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh dilepasnya mediatormediator
inflamasi dari
sel mast
dan
basofil.
Reaksi
ini
termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe I dan berbeda dengan reaksi anafilaktoid yang tidak melibatkan
reaksi imunologik. Tetapi, karena baik gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak
dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi tersebut disebut sebagai anafilaksis.
Perbedaan antara reaksi anafilaktik dan reaksi anafilaktoid diperlukan dalam mencari
penyebab anafilaksis dan merencanakan penatalaksanaan lanjutan (Rengganis dkk.,
2009; Mustafa, 2014).
Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Amerika Serikat, disebutkan bahwa
angka kejadian anafilaksis berat berkisar antara 1-3 kasus/10.000 penduduk dengan
penyebab paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan
kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis
diperkirakan terjadi pada 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus
anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan
mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total
pasien anafilaksis (Mustafa, 2014).
Anafilaksis memang jarang terjadi, namun jika terjadi umumnya tiba-tiba, tidak
terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu, kewaspadaan dan kesiapan untuk
menghadapi hal tersebut sangat diperlukan (Rengganis dkk., 2009).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi anafilaksis?
2. Apa saja etiologi dan faktor risiko anafilaksis?
3. Bagaimana patofisiologi anafilaksis?
4. Bagaimana manifestasi klinis anafilaksis?
5. Apa saja kriteria diagnosis anafilaksis?
6. Bagaimana penatalaksanaan anafilaksis?
7. Bagaimana cara mencegah terjadinya anafilaksis?
8. Bagaimana prognosis kejadian anafilaksis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi anafilaksis.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Reaksi anafilaktik merupakan reaksi alergi akut sistemik yang berpotensial fatal
dan menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh dilepasnya mediatormediator
inflamasi dari
sel mast
dan
basofil.
Reaksi
ini
termasuk reaksi
menunjukkan
derajat
kegawatan,
namun
terlalu
sempit
untuk
2.4 Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe
I (immediate type reaction). Reaksi anafilaksis dan anafilaktoid terjadi akibat pelepasan
mediator dari sel mast dan basofil secara sistemik. Reaksi anafilaktoid secara kimiawi
dan secara klinis tidak dapat dibedakan dari reaksi anafilaksis, kecuali reaksi
anafilaktoid tidak dimediasi IgE. Mediator ini terdiri dari zat yang disimpan dalam
butiran sel mast dan basofil (misalnya histamin, tryptase, heparin, chymase, dan
sitokin), serta molekul yang berasal dari metabolisme asam arakidonat (misalnya
prostaglandin dan leukotrien) (Johnson and Peebles, 2011).
Mekanisme anafilaktik terjadi melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast (mastosit) dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala. Alergen yang masuk lewat kulit,
mukosa, saluran nafas, atau saluran pencernaan akan ditangkap oleh makrofag.
Makrofag akan segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit TH2,
dimana ia akan mensekresi sitokin-sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi limfosit B
untuk berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma akan memproduksi IgE
spesifik untuk antigen tersebut, kemudian berikatan dengan reseptor afinitas tinggi IgE
(FcRI) pada permukaan sel mast dan basofil (Abbas and Lichtman, 2004; Longecker,
2008).
Ketika sel mast yang telah tersensitisasi IgE terpapar kembali oleh alergen yang
sama, sel mast tersebut akan teraktivasi sehingga terjadi degranulasi sel dan
pelepasan mediator-mediator. Mediator penting yang diproduksi oleh sel mast adalah
mediator vasoaktif (histamin), protease, produk metabolisme asam arakidonat, dan
sitokin. Histamin dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis. Histamin
menyebabkan dilatasi pembuluh darah perifer, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan
menstimulasi kontraksi otot polos (Abbas and Lichtman, 2004; Butterworth et al.,
2013).
Selain pelepasan histamin, terdapat mediator penting lain yang ikut berperan
dalam patofisiologi anafilaksis. Protease akan menimbulkan gangguan pada jaringan
lokal sekitar. Metabolit asam arakidonat, yaitu prostaglandin, terutama prostaglandin
D2 (PGD2) dan leukotrien, terutama leukotrien C4 (LTC4) juga berperan dalam reaksi
anafilaksis. PGD2 memediasi bronkospasme dan dilatasi pembuluh darah yang
merupakan manifestasi utama anafilaksis. LTC4 diubah menjadi LTD4 dan LTE4, yang
merupakan mediator dari hipotensi, bronkospasme, dan sekresi lendir selama
anafilaksis, serta bertindak sebagai sinyal kemotaktik eosinofil dan neutrofil (Abbas and
Lichtman, 2004; Johnson and Peebles, 2011).
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast akan menstimulasi rekrutmen leukosit yang
akan menimbulkan reaksi fase laten. Leukosit yang terlibat adalah eosinofil, neutrofil,
dan sel TH2. Eosinofil dan neutrofil menghasilkan protease yang akan menyebabkan
kerusakan
jaringan
sedangkan
sel
TH2
akan
memperparah
reaksi
dengan
memproduksi sitokin lebih banyak lagi. Eosinofil merupakan komponen utama berbagai
reaksi alergi dan merupakan penyebab penting dari kerusakan jaringan pada reaksi
anafilaksis. Sel ini diaktifkan oleh sitokin IL-5, yang diproduksi oleh sel T H2 dan sel
mast (Abbas and Lichtman, 2004; Elsevier, 2012).
Sistem
Umum
Prodromal
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Kulit
Mata
Susunan saraf pusat
feses
lengkap,
(Longecker, 2008).
elektrokardiografi
(EKG),
rontgen
thorax,
dan lain-lain
10
Gambar 2.4 Profil Triptase, Onset, Kadar Puncak, dan Waktu Paruhnya (Soar et al., 2013)
2.7 Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik
yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau
faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria
sampai gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Oleh karena itu, sangat
diperlukan pengenalan tanda-tanda dini agar pengobatan dapat segera dilakukan.
Namun terkadang, gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal
napas dapat muncul tanpa disertai tanda-tanda awal (Rengganis dkk., 2009).
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan dua organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology telah
membuat suatu kriteria dan jika memenuhi satu dari 3 kriteria tersebut maka dapat
dikatakan anafilaksis (Sampson et al., 2006; Simons et al., 2012).
Kriteria pertama yaitu onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan keterlibatan kulit, jaringan mukosa atau keduanya (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibirlidah-uvula), dan salah satu dari gejala: respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejalagejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia) (Sampson et al., 2006; Simons et al., 2012).
Kriteria kedua yaitu dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
beberapa jam), yaitu keterlibatan kulit atau jaringan mukosa (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula);
respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi
11
12
13
anafilaksis dan segera melakukan penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar
(Longecker, 2008; Simons et al., 2011; Soar et al., 2013).
o
Airway/jalan napas
Jalan napas harus dijaga agar tetap bebas dan tidak ada sumbatan. Pada
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, dengan melakukan triple airway manuver, yaitu
head tilt, chin lift, dan/atau jaw thrust. Penderita dengan sumbatan jalan napas
total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi (Longecker, 2008).
Breathing support
Segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas
spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Syok anafilaktik yang
disertai edema laring dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total
atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 510 liter/menit (Longecker, 2008).
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar (Longecker, 2008).
Posisikan pasien dalam kondisi yang nyaman. Beberapa faktor yang harus
14
15
asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan salbutamol atau agonis 2 lainnya
dengan dosis 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 mL NaCl 0,9% yang diberikan melalui
nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa
5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit (Rengganis
dkk., 2009).
2. Sistem kardiovaskular
Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan pemberian cairan intravena secara cepat. Fungsi cairan adalah
untuk meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis
laktat. Berikan fluid challenge intravena dengan cepat (20 mL/kgBB pada anak
atau 500-1000 mL pada dewasa) dan monitor respon pasien. Berikan dosis lebih
banyak lagi jika dibutuhkan (Rengganis dkk., 2009; Soar et al., 2013).
Oksigen mutlak harus diberikan, selain pemantauan sistem kardiovaskular
dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik, kadang-kadang
diperlukan pemasangan CVP (Central Venous Pressure) untuk memantau
kelebihan cairan dan untuk pemberian obat (Rengganis dkk., 2009).
Pengobatan Tambahan
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis. Obat-obat
yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan
cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan merupakan obat
pengganti epinefrin. Antihistamin dapat diberikan per oral atau parenteral tergantung
beratnya penyakit. Pada keadaan anafilaksis berat, antihistamin dapat diberikan
melalui intravena. Antihistamin yang dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena
25-50 mg secara perlahan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam. Dapat pula
diberikan chlorpheniramine maleat (CTM) dengan dosis 10 mg intramuskular atau
intravena (Rengganis dkk., 2009; Soar et al., 2013).
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan. Kortikosteroid
tidak banyak membantu pada tatalaksana anafilaksis akut dan hanya digunakan pada
reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah
reaksi anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif
setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-6
jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau
16
17
18
Observasi
Pasien dengan respon pengobatan yang baik, harus tetap diobservasi munculnya
gejala yang berulang dalam waktu 24 jam, terutama pada kasus:
1. Reaksi yang parah dengan onset lambat yang disebabkan oleh anafilaktik
2.
3.
4.
5.
idiopatik
Pada seseorang yang menderita asma yang parah
Reaksi yang berhubungan dengan terpaparnya antigen secara kontinu
Pasien dengan riwayat reaksi bifasik
Pasien dengan kejadian pada malam hari atau pada mereka yang tidak
19
produk yang mengandung zat tersebut dan semua nama lain dari zat tersebut (Soar et
al., 2013).
Pasien harus dapat mengetahui tanda-tanda awal reaksi anafilaktik, sehingga
ketika terjadi reaksi anafilaktik bisa segera meminta bantuan dan menyiapkan obatobat emergensi. Pasien dengan risiko tinggi anafilaktik diberi nasihat untuk selalu
membawa adrenaline auto injector setiap saat. Pasien dan orang-orang terdekatnya
harus mendapat pelatihan menggunakan adrenaline auto injector sehingga ketika
dalam keadaan darurat dapat menggunakannya dengan benar (Soar et al., 2013).
sensitisasi
alergen
3-4
minggu
setelah
kejadian
dengan
menggunakan skin test; jika hasil tes negatif, maka harus dilakukan tes
ulangan setelah beberapa minggu atau bulan.
c) Dilakukan tes provokasi yang diawasi oleh tenaga kesehatan.
4. Penurunan risiko jangka panjang:
a) Menghindari makanan penyebab anafilaktik.
b) Mengindari sengatan serangga atau imunoterapi venom serangga secara
subkutan (dapat melindungi sampai 90% pada dewasa dan 95% pada anakanak).
c) Menghindari obat-obat yang memicu reaksi anafilaktik, apabila diindikasikan
maka dilakukan desensitisasi oleh petugas kesehatan yang kompeten.
d) Anafilaktik idiopatik: untuk kejadian yang sering berulang digunakan
glukokortikoid dan non-sedating H1-antihistamin profilaksis dalam 2-3 bulan;
dipertimbangkan untuk mengukur level dasar tryptase untuk mengidentifikasi
mastocytosis/ kelainan mast cell clonal.
20
2.10 Pencegahan
Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaktik mempunyai risiko untuk
memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini
harus dikenalkan, diberi peringatan, dan apabila perlu diberikan tanda peringatan pada
ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang pasien diberi bekal suntikan adrenalin
yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus tersebut sering
timbul tak terduga seperti sengatan tawon atau anafilaktik idiopatik (Mullins et al.,
2006).
Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaktik bisa
menjadi jauh lebih berat. Oleh karena itu, setiap pasien asma atau jantung harus
memperoleh pengobatan optimal. Pasien yang mempunyai risiko anafilaktik dianjurkan
untuk tidak memakai -blocker karena bila terjadi reaksi anafilaktik, penanganannya
akan menjadi lebih sulit (Muraroet al., 2007).
Sebagian besar reaksi anafilaktik disebabkan oleh obat-obatan, oleh karena itu
perlu dilakukan pencegahan:
Sebelum minum obat:
1.
2.
3.
4.
5.
21
2.11 Prognosis
Dengan
penanganan
yang
cepat,
tepat,
dan
sesuai
dengan
prinsip
22
BAB III
KESIMPULAN
1. Reaksi anafilaktik merupakan reaksi alergi akut sistemik yang berpotensial fatal
dan menimbulkan reaksi pada multiorgan akibat dilepasnya mediator-mediator
inflamasi dari sel mast dan basofil.
2. Reaksi anafilaktik termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I dan berbeda
dengan reaksi anafilaktoid yang tidak melibatkan reaksi imunologik.
3. Etiologi terjadinya reaksi anafilaktik berbeda-beda dalam kelompok usia tertentu.
4. Manifestasi klinis reaksi anafilaktik dapat muncul pada beberapa organ secara
serentak atau hampir serentak. Pada pasien anafilaktik, biasanya dijumpai keluhan
dua organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu.
5. American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology telah membuat kriteria
diagnosis untuk anafilaksis.
6. Dengan penanganan yang
cepat,
tepat,
dan
sesuai
dengan
prinsip
23
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Abul K. and Lichtman, Andrew H. 2004. Basic Immunology: Functions and
Disorders of the Immune System, 2nd edition. Philadelphia: Elsevier.
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Perioperative and Critical Care
Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhails Clinical Anesthesiology,
5th edition. United States: McGraw-Hill. p. 1217-22.
Johnson RF and Peebles RS. 2011. Anaphylactic Shock: Pathophysiology,
Recognition,
and
Treatment.
Medscape.
Available
from
URL:
S.
Shahzad.
2014.
Anaphylaxis.
Medscape.
Available
from
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview#a0156. Accessed on
August 15, 2014.
Rengganis, I., Sundaru, H., Sukmana, N., Mahdi, D. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam: Renjatan Anafilaktik. Jakarta: Interna Publishing, hal 257-261.
Sampson HA, et al. 2006. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia.
Simons, et al. 2011. World Allergy Organization Guidlines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. WAO Journal, 4: 13-37.
Simons, et al. 2012. Update: World Allergy Organization Guidlines for the Assessment
and Management of Anaphylaxis. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Vol.12 (4): 389-399.
Soar, J.et al.2013. Emergency Treatment of Anaphylactic Reactions Guidelines for
Healthcare Providers.London: Resuscitation Council (UK).