Anda di halaman 1dari 24

RESPONSI

REAKSI ANAFILAKTIK

Oleh:
Prisca Angelina K.

(105070100111046)

Silvy Sicilia

(105070100111048)

Rani Evadewi

(105070107111020)

Pembimbing :
dr. C. Singgih Wahono, Sp.PD-KR

LABORATORIUM/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reaksi anafilaktik merupakan reaksi alergi akut sistemik yang berpotensial fatal
dan menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh dilepasnya mediatormediator

inflamasi dari

sel mast

dan

basofil.

Reaksi

ini

termasuk reaksi

hipersensitivitas tipe I dan berbeda dengan reaksi anafilaktoid yang tidak melibatkan
reaksi imunologik. Tetapi, karena baik gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak
dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi tersebut disebut sebagai anafilaksis.
Perbedaan antara reaksi anafilaktik dan reaksi anafilaktoid diperlukan dalam mencari
penyebab anafilaksis dan merencanakan penatalaksanaan lanjutan (Rengganis dkk.,
2009; Mustafa, 2014).
Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Amerika Serikat, disebutkan bahwa
angka kejadian anafilaksis berat berkisar antara 1-3 kasus/10.000 penduduk dengan
penyebab paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan
kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis
diperkirakan terjadi pada 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus
anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan
mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total
pasien anafilaksis (Mustafa, 2014).
Anafilaksis memang jarang terjadi, namun jika terjadi umumnya tiba-tiba, tidak
terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu, kewaspadaan dan kesiapan untuk
menghadapi hal tersebut sangat diperlukan (Rengganis dkk., 2009).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi anafilaksis?
2. Apa saja etiologi dan faktor risiko anafilaksis?
3. Bagaimana patofisiologi anafilaksis?
4. Bagaimana manifestasi klinis anafilaksis?
5. Apa saja kriteria diagnosis anafilaksis?
6. Bagaimana penatalaksanaan anafilaksis?
7. Bagaimana cara mencegah terjadinya anafilaksis?
8. Bagaimana prognosis kejadian anafilaksis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi anafilaksis.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko anafilaksis.


Untuk mengetahui patofisiologi anafilaksis.
Untuk mengetahui manifestasi klinis anafilaksis.
Untuk mengetahui kriteria diagnosis anafilaksis.
Untuk mengetahui penatalaksanaan anafilaksis.
Untuk mengetahui cara mencegah terjadinya anafilaksis.
Untuk mengetahui prognosis kejadian anafilaksis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Reaksi anafilaktik merupakan reaksi alergi akut sistemik yang berpotensial fatal
dan menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh dilepasnya mediatormediator

inflamasi dari

sel mast

dan

basofil.

Reaksi

ini

termasuk reaksi

hipersensitivitas tipe I. Umumnya para pakar sepakat bahwa anafilaksis merupakan


keadaan darurat yang berpotensi mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera
setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus lainnya. Gejala yang timbul
melalui reaksi alergen dan antibodi disebut reaksi anafilaktik. Sedangkan yang tidak
melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi anafilaktoid, tetapi karena baik gejala yang
timbul maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan maka kedua macam reaksi di
atas disebut sebagai anafilaksis. Perbedaan tersebut diperlukan dalam mencari
penyebab anafilaksis dan merencanakan penatalaksanaan lanjutan (Rengganis dkk.,
2009; Mustafa, 2014).
Syok anafilaksis merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang
ditandai dengan adanya hipotensi nyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah syok
anafilaksis

menunjukkan

derajat

kegawatan,

namun

terlalu

sempit

untuk

menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan karena anafilaksis yang berat dapat


terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran nafas merupakan gejala
utamanya. Dua pertiga kasus anafilaksis disebabkan oleh obstruksi saluran nafas
(terutama pada usia muda) dan sisanya oleh kolaps kardiovaskular (pada usia lanjut)
(Rengganis dkk., 2009).
Ciri khas yang pertama dari anafilaksis adalah gejala yang timbul beberapa detik
sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus non
alergen seperti zat kimia, obat, atau kegiatan jasmani. Ciri kedua yaitu anafilaksis
merupakan sistem sistemik, sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul
serentak atau hampir serentak (Rengganis dkk., 2009).
2.2 Epidemiologi
Anafilaksis memang jarang dijumpai tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari 500
kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya
penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002% pemakaian. Selain itu,
penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian media kontras untuk

pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam jiwa


pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1:10.000 dan 1:50.000 prosedur
intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang
hipoosmolar (Rengganis dkk., 2009; Mustafa, 2014).
Di Amerika Serikat, disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat berkisar
antara 1 sampai 3 kasus/10.000 penduduk dengan penyebab paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit
penggunaan obat. Neugut, et al. memperkirakan bahwa 1-15% dari populasi Amerika
Serikat berada dalam risiko mendapatkan reaksi anafilaktik atau reaksi anafilaktoid.
Lebih lanjut, mereka memperkirakan rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan
adalah 0,0004%, 0,7-10% untuk penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,55% untuk gigitan serangga. Insiden anafilaksis diperkirakan terjadi pada 1-3/10.000
penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Di Indonesia, khususnya di
Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006
sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis (Mustafa, 2014).
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Pemicu terjadinya reaksi anafilaksis berbeda-beda dalam kelompok usia tertentu.
Makanan adalah pemicu yang paling umum pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda. Sedangkan sengatan serangga dan obat adalah pemicu yang relatif umum pada
middle-aged dan lanjut usia. Pada kelompok usia ini, anafilaksis idiopatik juga relatif
umum terjadi (Simons et al., 2011). Beberapa bahan pencetus anafilaksis dapat dilihat
pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Bahan Pencetus Anafilaksis (Rengganis dkk., 2009)
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiate, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Berbagai
mekanisme
terjadinya anafilaksis baik melalui mekanisme IgE maupun
Obat lain
(dekstran, fluoresens)
Aktivasi
komplemen
melalui
non IgE
dapat dilihat pada gambar 2.1.
Protein manusia (immunoglobulin dan produk darah lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
Antiinflamasi nonsteroid

Gambar 2.1 Mekanisme dan Pencetus Anafilaksis (Simons et al., 2012)

Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis


antara lain usia, penyakit penyerta seperti asma dan penyakit pernapasan kronik
lainnya, penyakit kardiovaskular, mastosistosis atau clonal mast cell disorders, dan
penyakit atopik seperti allergic rhinitis. Penggunaan beberapa obat secara bersamaan
seperti beta adrenergic blocker dan ACE (Angiotensin-converting Enzyme) Inhibitor
juga dapat meningkatkan risiko anafilaksis (gambar 2.2).

Gambar 2.2 Faktor Risiko Terjadinya Anafilaksis (Simons et al., 2012)

2.4 Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe
I (immediate type reaction). Reaksi anafilaksis dan anafilaktoid terjadi akibat pelepasan
mediator dari sel mast dan basofil secara sistemik. Reaksi anafilaktoid secara kimiawi
dan secara klinis tidak dapat dibedakan dari reaksi anafilaksis, kecuali reaksi
anafilaktoid tidak dimediasi IgE. Mediator ini terdiri dari zat yang disimpan dalam
butiran sel mast dan basofil (misalnya histamin, tryptase, heparin, chymase, dan
sitokin), serta molekul yang berasal dari metabolisme asam arakidonat (misalnya
prostaglandin dan leukotrien) (Johnson and Peebles, 2011).
Mekanisme anafilaktik terjadi melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast (mastosit) dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala. Alergen yang masuk lewat kulit,
mukosa, saluran nafas, atau saluran pencernaan akan ditangkap oleh makrofag.
Makrofag akan segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit TH2,
dimana ia akan mensekresi sitokin-sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi limfosit B
untuk berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma akan memproduksi IgE
spesifik untuk antigen tersebut, kemudian berikatan dengan reseptor afinitas tinggi IgE
(FcRI) pada permukaan sel mast dan basofil (Abbas and Lichtman, 2004; Longecker,
2008).
Ketika sel mast yang telah tersensitisasi IgE terpapar kembali oleh alergen yang
sama, sel mast tersebut akan teraktivasi sehingga terjadi degranulasi sel dan
pelepasan mediator-mediator. Mediator penting yang diproduksi oleh sel mast adalah
mediator vasoaktif (histamin), protease, produk metabolisme asam arakidonat, dan
sitokin. Histamin dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis. Histamin
menyebabkan dilatasi pembuluh darah perifer, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan
menstimulasi kontraksi otot polos (Abbas and Lichtman, 2004; Butterworth et al.,
2013).
Selain pelepasan histamin, terdapat mediator penting lain yang ikut berperan
dalam patofisiologi anafilaksis. Protease akan menimbulkan gangguan pada jaringan
lokal sekitar. Metabolit asam arakidonat, yaitu prostaglandin, terutama prostaglandin
D2 (PGD2) dan leukotrien, terutama leukotrien C4 (LTC4) juga berperan dalam reaksi
anafilaksis. PGD2 memediasi bronkospasme dan dilatasi pembuluh darah yang
merupakan manifestasi utama anafilaksis. LTC4 diubah menjadi LTD4 dan LTE4, yang
merupakan mediator dari hipotensi, bronkospasme, dan sekresi lendir selama
anafilaksis, serta bertindak sebagai sinyal kemotaktik eosinofil dan neutrofil (Abbas and
Lichtman, 2004; Johnson and Peebles, 2011).
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast akan menstimulasi rekrutmen leukosit yang
akan menimbulkan reaksi fase laten. Leukosit yang terlibat adalah eosinofil, neutrofil,
dan sel TH2. Eosinofil dan neutrofil menghasilkan protease yang akan menyebabkan
kerusakan

jaringan

sedangkan

sel

TH2

akan

memperparah

reaksi

dengan

memproduksi sitokin lebih banyak lagi. Eosinofil merupakan komponen utama berbagai
reaksi alergi dan merupakan penyebab penting dari kerusakan jaringan pada reaksi

anafilaksis. Sel ini diaktifkan oleh sitokin IL-5, yang diproduksi oleh sel T H2 dan sel
mast (Abbas and Lichtman, 2004; Elsevier, 2012).

Gambar 2.3 Patofisiologi Reaksi Anafilaktik (Elsevier, 2012)

2.5 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik, terdapat tiga tipe
reaksi anafilaksis, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen; reaksi moderat yang terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
alergen; dan reaksi lambat yang terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar alergen
(Sampson et al., 2006).
Gejala-gejala anafilaksis dapat muncul pada beberapa organ secara serentak
atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang sering dijumpai adalah urtikaria atau
angioedema yang disertai gangguan pernapasan, baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria dengan gangguan
kardiovaskular, pernapasan, atau kulit dan juga bisa disertai gejala mual, muntah, kolik,
diare yang berdarah, spasme uterus, atau perdarahan vagina (Rengganis dkk., 2009).
Tabel 2.2 Gejala dan Tanda Anafilaksis Berdasarkan Organ Sasaran (Rengganis dkk.,
2009)

Sistem
Umum
Prodromal
Pernapasan

Gejala dan Tanda


Lesu, lemah, rasa tidak enak yang sukar dilukiskan, rasa
tidak enak di dada dan perut

Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Kulit
Mata
Susunan saraf pusat

Hidung gatal, bersin, dan tersumbat


Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema,
spasme
Edema
Batuk, sesak, mengi, spasme
Pingsan, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok,
aritmia
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang-kadang
disertai darah, peristaltik usus meningkat
Urtika, angioedema di bibir, muka, atau ekstremitas
Gatal, lakrimasi
Gelisah, kejang

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menegakkan
diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaktik umumnya didiagnosis secara
klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada kejadian yang
berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lain maka pemeriksaan penunjang dapat
diindikasikan (Rengganis dkk., 2009).
Pemeriksaan darah untuk pengukuran kadar tryptase secara optimal diperoleh
15 menit sampai 3 jam setelah onset kejadian. Sampel darah untuk pengukuran kadar
histamin secara optimal diperoleh 15-60 menit setelah gejala muncul. Peningkatan
serum tryptase sering mendukung diagnosis klinis anafilaksis dari sengatan serangga
atau obat-obat injeksi dan pada pasien yang hipotensi, namun hasil serum tryptase
sering berada dalam batas normal pada pasien dengan anafilaksis yang dipicu oleh
makanan dan pada orang yang normotensi. Pengukuran kadar tryptase serial selama
episode anafilaksis dan pengukuran pada tingkat basal setelah pemulihan dilaporkan
lebih bermanfaat daripada pengukuran sewaktu. Namun, kadar tryptase atau histamin
yang normal tidak mengesampingkan diagnosis klinis anafilaksis (Simons et al., 2011).
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab,
yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Pemeriksaan
lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi
ginjal,

feses

lengkap,

(Longecker, 2008).

elektrokardiografi

(EKG),

rontgen

thorax,

dan lain-lain

10

Gambar 2.4 Profil Triptase, Onset, Kadar Puncak, dan Waktu Paruhnya (Soar et al., 2013)

2.7 Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik
yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau
faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria
sampai gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Oleh karena itu, sangat
diperlukan pengenalan tanda-tanda dini agar pengobatan dapat segera dilakukan.
Namun terkadang, gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal
napas dapat muncul tanpa disertai tanda-tanda awal (Rengganis dkk., 2009).
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan dua organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology telah
membuat suatu kriteria dan jika memenuhi satu dari 3 kriteria tersebut maka dapat
dikatakan anafilaksis (Sampson et al., 2006; Simons et al., 2012).
Kriteria pertama yaitu onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan keterlibatan kulit, jaringan mukosa atau keduanya (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibirlidah-uvula), dan salah satu dari gejala: respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejalagejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia) (Sampson et al., 2006; Simons et al., 2012).
Kriteria kedua yaitu dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
beberapa jam), yaitu keterlibatan kulit atau jaringan mukosa (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula);
respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi

11

organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal


yang persisten (misalnya kram abdomen, muntah) (Sampson et al., 2006; Simons et
al., 2012).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen
yang diketahui pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam). Pada bayi
dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan
tekanan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah
sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 30%
dari tekanan darah awal (Sampson et al., 2006; Simons et al., 2012).

Gambar 2.5 Kriteria Diagnosis Anafilaktik (Simons et al., 2012)

2.8 Diagnosis Banding

12

Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi anafilaksis, yaitu reaksi


vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau angioedema
herediter (Rengganis dkk., 2009).
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapatkan suntikan. Pasien
tampak mau pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis,
pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
pada anafilaksis (Rengganis dkk., 2009).
Pada infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan/atau
tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tandatanda obstruksi saluran napas maupun kelainan kulit. Pemeriksaan elektrokardiografi
dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard (Rengganis dkk., 2009).
Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, dan bisa sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi
saluran napas atau kelainan kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi
glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik (Rengganis dkk., 2009).
Pada reaksi histerik, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi,
atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian
tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini
dengan reaksi anafilaktik. Pasien sering mengeluh parestesia (Rengganis dkk., 2009).
Sindrom angioedema neurotik herediter merupakan salah satu keadaan yang
menyerupai anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angioedema saluran napas
bagian atas dan sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit atau
kolaps vaskular. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai
penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom angioedema
neurotik herediter (Rengganis dkk., 2009).
Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi mencari alergen penyebab
maupun pencetusnya tidak mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan.
Dalam hal ini, anamnesis yang teliti merupakan cara yang paling penting. Dengan
demikian, diagnosis anafilaksis ditegakkan terutama berdasarkan reaksi anafilaksis
yang timbul segera setelah terpajan oleh alergen atau faktor pencetus serangan dan
menimbulkan gejala-gejala klinis pada organ-organ sasaran (Rengganis dkk., 2009).
2.9 Penatalaksanaan
Jika terjadi reaksi anafilaktik setelah terpapar alergen baik peroral maupun
parenteral, tindakan yang harus dilakukan adalah memanggil bantuan, mengidentifikasi
dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi

13

anafilaksis dan segera melakukan penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar
(Longecker, 2008; Simons et al., 2011; Soar et al., 2013).
o

Airway/jalan napas
Jalan napas harus dijaga agar tetap bebas dan tidak ada sumbatan. Pada
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, dengan melakukan triple airway manuver, yaitu
head tilt, chin lift, dan/atau jaw thrust. Penderita dengan sumbatan jalan napas
total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi (Longecker, 2008).

Breathing support
Segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas
spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Syok anafilaktik yang
disertai edema laring dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total
atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 510 liter/menit (Longecker, 2008).

Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar (Longecker, 2008).
Posisikan pasien dalam kondisi yang nyaman. Beberapa faktor yang harus

dipertimbangkan dalam memposisikan pasien antara lain (Soar et al., 2013):


1. Pasien yang sadar dengan gangguan airway dan breathing lebih baik diposisikan
dalam keadaan duduk untuk memudahkan bernafas.
2. Pasien dengan tekanan darah yang rendah (circulating problem) dapat
dibaringkan pada alas yang datar dan keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah
jantung dan menaikkan tekanan darah.
3. Pasien yang bernafas namun tidak sadar ditempatkan pada posisi recovery.
4. Pasien yang hamil sebaiknya diposisikan miring ke sisi kiri untuk mencegah
kompresi vena cava.
Obat-obatan
Epinefrin (adrenalin) merupakan obat pilihan pertama tanpa memandang
beratnya gejala anafilaksis. Hal ini disebabkan karena onset dan durasi reaksi
anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Sebagai reseptor agonis, epinefrin
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan mengurangi edema. Sebagai
-reseptor, epinefrin bekerja membuat bronkodilatasi jalan nafas, meningkatkan

14

kontraksi otot jantung serta menurunkan degranulasi dan pelepasan histamin,


leukotrien, dan mediator lainnya dengan cara meningkatkan cAMP dalam sel mast dan
basofil. Sebagai reseptor 2 adrenergik, epinefrin akan menghambat aktivasi sel mast
sehingga melemahkan reaksi alergi yang dimediasi IgE. Pemberian epinefrin akan
semakin baik bila semakin cepat diberikan setelah onset kejadian, namun pemberian
epinefrin tetap memiliki risiko terutama bila diberikan secara intravena misalnya
iskemia miokard, takikardia, aritmia, edema paru, dan hipertensi krisis. Adverse effect
jarang terjadi pada pemberian epinefrin secara intramuskular. Dosis epinefrin 1:1000 (1
mg/mL) diberikan dalam dosis 0,01 mg/kgBB, maksimal 0,5 mg pada dewasa atau 0,3
mg pada anak, dapat diberikan setiap 5-15 menit jika diperlukan. Monitor pasien
secepatnya (tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2). Kebanyakan pasien berespon
terhadap 1-2 kali pemberian. Rute intramuskular merupakan rute yang paling baik
untuk pemberian epinefrin karena rute ini memiliki margin of safety yang besar, tidak
membutuhkan akses intravena, dan lebih mudah dilakukan. Tempat injeksi
intramuskular terbaik adalah pertengahan paha bagian anterolateral (Simons et al.,
2011; Soar et al., 2013).
Epinefrin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu, misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesi.
Dosis epinefrin yang dapat diberikan dalam injeksi intravena lambat adalah 1
mcg/kgBB, dengan sediaan epinefrin yang sudah diencerkan 1:10.000 (Rengganis
dkk., 2009; Simons et al., 2011; Soar et al., 2013).
Selanjutnya dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan
terapi pada pasien anafilaktik, yaitu:
1. Sistem pernafasan
Memelihara saluran nafas karena penyebab tersering kematian pada
anafilaksis adalah tersumbatnya saluran nafas, baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Pada edema laring seringkali diperlukan tindakan trakeostomi.
Tindakan tersebut tidak saja sulit namun juga dapat menambah beratnya obstruksi
karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding laring. Bila saluran nafas tertutup
total, hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya
dikerjakan oleh dokter ahli, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah pungsi
membran krikotiroid dengan jarum besar kemudian pasien segera dirujuk
(Rengganis dkk., 2009).
Pemberian oksigen 4-6 lpm sangat penting, baik pada pasien dengan
gangguan pernafasan maupun kardiovaskular. Bronkodilator diperlukan bila terjadi
obstruksi saluran nafas bagian bawah seperti pada gejala asma atau status

15

asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan salbutamol atau agonis 2 lainnya
dengan dosis 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 mL NaCl 0,9% yang diberikan melalui
nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa
5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit (Rengganis
dkk., 2009).
2. Sistem kardiovaskular
Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan pemberian cairan intravena secara cepat. Fungsi cairan adalah
untuk meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis
laktat. Berikan fluid challenge intravena dengan cepat (20 mL/kgBB pada anak
atau 500-1000 mL pada dewasa) dan monitor respon pasien. Berikan dosis lebih
banyak lagi jika dibutuhkan (Rengganis dkk., 2009; Soar et al., 2013).
Oksigen mutlak harus diberikan, selain pemantauan sistem kardiovaskular
dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik, kadang-kadang
diperlukan pemasangan CVP (Central Venous Pressure) untuk memantau
kelebihan cairan dan untuk pemberian obat (Rengganis dkk., 2009).
Pengobatan Tambahan
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis. Obat-obat
yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan
cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan merupakan obat
pengganti epinefrin. Antihistamin dapat diberikan per oral atau parenteral tergantung
beratnya penyakit. Pada keadaan anafilaksis berat, antihistamin dapat diberikan
melalui intravena. Antihistamin yang dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena
25-50 mg secara perlahan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam. Dapat pula
diberikan chlorpheniramine maleat (CTM) dengan dosis 10 mg intramuskular atau
intravena (Rengganis dkk., 2009; Soar et al., 2013).
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan. Kortikosteroid
tidak banyak membantu pada tatalaksana anafilaksis akut dan hanya digunakan pada
reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah
reaksi anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif
setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-6
jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau

16

hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam,


atau deksametason 2-6 mg/kg BB (Rengganis dkk., 2009).
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap, dapat diberikan aminofilin
intravena 4-7 mg/kgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6
mg/kgBB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 mL dekstrosa
5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain
adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis
2 yang lain sebanyak 0,25 mL-0,5 mL dalam 2-4 mL NaCl 0,9% diberikan
melalui nebulisasi (Rengganis dkk., 2009).
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutkan 1 mL epinefrin 1:1000 dalam 250
mL dekstrosa (konsentrasi 4 mg/mL) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai
dosis maksimum 10 mg/mL, atau aramine 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau
levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2 mL/menit,
atau dopamin 0,3-1,2 mg/kgBB/jam secara infus dengan dekstrosa 5% (Rengganis
dkk., 2009).

17

18

Gambar 2.6 Algoritma Anafilaksis (Soar et al., 2013)

Observasi
Pasien dengan respon pengobatan yang baik, harus tetap diobservasi munculnya
gejala yang berulang dalam waktu 24 jam, terutama pada kasus:
1. Reaksi yang parah dengan onset lambat yang disebabkan oleh anafilaktik
2.
3.
4.
5.

idiopatik
Pada seseorang yang menderita asma yang parah
Reaksi yang berhubungan dengan terpaparnya antigen secara kontinu
Pasien dengan riwayat reaksi bifasik
Pasien dengan kejadian pada malam hari atau pada mereka yang tidak

berespon terhadap pengobatan


6. Pasien pada area yang jauh dari pusat emergensi
Sebelum diputuskan untuk keluar dari rumah sakit, pasien harus:
1. Diketahui oleh dokter senior
2. Diberikan instruksi yang jelas kepada pasien apabila muncul gejala yang sama
agar segera kembali
3. Dipertimbangkan untuk pemberian antihistamin dan steroid oral selama 3 hari,
untuk terapi urtikaria dan menurunkan kejadian anafilaktik berulang
4. Dipertimbangkan untuk pemberian adrenaline auto injector
5. Direncakan untuk kontrol (Rengganis dkk., 2009; Soar et al., 2013)
Edukasi
Merujuk pasien dengan risiko tinggi reaksi anafilaktik pada klinik khusus alergi.
Pasien perlu mengetahui alergen yang berespon pada dirinya dan bagaimana cara
menghindarinya. Jika alergen berupa makanan, pasien harus mengetahui produk-

19

produk yang mengandung zat tersebut dan semua nama lain dari zat tersebut (Soar et
al., 2013).
Pasien harus dapat mengetahui tanda-tanda awal reaksi anafilaktik, sehingga
ketika terjadi reaksi anafilaktik bisa segera meminta bantuan dan menyiapkan obatobat emergensi. Pasien dengan risiko tinggi anafilaktik diberi nasihat untuk selalu
membawa adrenaline auto injector setiap saat. Pasien dan orang-orang terdekatnya
harus mendapat pelatihan menggunakan adrenaline auto injector sehingga ketika
dalam keadaan darurat dapat menggunakannya dengan benar (Soar et al., 2013).

Penatalaksanaan Setelah Keluar Rumah Sakit


Rekomendasi untuk pencegahan dan penatalaksanaan anafilaktik berulang setelah
keluar dari rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Obat-obatan
a) injeksi epinefrin/adrenalin dari auto-injector atau
b) injeksi epinefrin dari ampul
2. Aspek penatalaksanaan lain:
a) perencanaan anafilaktik darurat (ditulis secara pribadi)
b) identifikasi medis (misal: pada gelang dan dompet)
c) pada rekam medis elektronik diberikan tanda khusus
d) dilakukan investigasi lebih lanjut pada spesialis alergi/imunologi
3. Penanganan terhadap paparan alergen
a) sebelum keluar rumah sakit, pertimbangkan mengukur jumlah IgE spesifik
dalam serum supaya dapat dilakukan sensitisasi terhadap alergen yang
relevan.
b) Konfirmasi

sensitisasi

alergen

3-4

minggu

setelah

kejadian

dengan

menggunakan skin test; jika hasil tes negatif, maka harus dilakukan tes
ulangan setelah beberapa minggu atau bulan.
c) Dilakukan tes provokasi yang diawasi oleh tenaga kesehatan.
4. Penurunan risiko jangka panjang:
a) Menghindari makanan penyebab anafilaktik.
b) Mengindari sengatan serangga atau imunoterapi venom serangga secara
subkutan (dapat melindungi sampai 90% pada dewasa dan 95% pada anakanak).
c) Menghindari obat-obat yang memicu reaksi anafilaktik, apabila diindikasikan
maka dilakukan desensitisasi oleh petugas kesehatan yang kompeten.
d) Anafilaktik idiopatik: untuk kejadian yang sering berulang digunakan
glukokortikoid dan non-sedating H1-antihistamin profilaksis dalam 2-3 bulan;
dipertimbangkan untuk mengukur level dasar tryptase untuk mengidentifikasi
mastocytosis/ kelainan mast cell clonal.

20

5. Manajemen optimal asma atau penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan


reaksi anafilaktik (Simons et aI., 2012).

2.10 Pencegahan
Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaktik mempunyai risiko untuk
memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini
harus dikenalkan, diberi peringatan, dan apabila perlu diberikan tanda peringatan pada
ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang pasien diberi bekal suntikan adrenalin
yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus tersebut sering
timbul tak terduga seperti sengatan tawon atau anafilaktik idiopatik (Mullins et al.,
2006).
Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaktik bisa
menjadi jauh lebih berat. Oleh karena itu, setiap pasien asma atau jantung harus
memperoleh pengobatan optimal. Pasien yang mempunyai risiko anafilaktik dianjurkan
untuk tidak memakai -blocker karena bila terjadi reaksi anafilaktik, penanganannya
akan menjadi lebih sulit (Muraroet al., 2007).
Sebagian besar reaksi anafilaktik disebabkan oleh obat-obatan, oleh karena itu
perlu dilakukan pencegahan:
Sebelum minum obat:
1.
2.
3.
4.
5.

Adakah indikasi memberikan obat


Adakah riwayat alergi obat sebelumnya
Apakah pasien memiliki risiko alergi obat
Apakah obat tersebut perlu diuji kulit (skin test) dulu
Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi reaksi alergi

Sewaktu minum obat:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Obat diberikan per oral bila memungkinkan


Hindari pemakaian intermiten
Setelah memberikan suntikan, pasien harus diobservasi
Beritahu pasien kemungkinan reaksi yang terjadi
Sediakan obat atau alat untuk mengatasi kondisi darurat
Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitisasi

Sesudah minum obat:


1. Kenali tanda dini reaksi alergi obat
2. Hentikan obat bila terjadi reaksi
Bila terjadi reaksi anafilaktik, berikan penjelasan dasar pada pasien agar tidak berulang
(Rengganis et al., 2009).

21

2.11 Prognosis
Dengan

penanganan

yang

cepat,

tepat,

dan

sesuai

dengan

prinsip

kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi


anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama.
Maka dari itu, perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk
mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi (Soar et al., 2013).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis
yang akan menentukan tingkat keparahan reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen,
atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan
asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE
inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan
reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin (Soar et al., 2013).

22

BAB III
KESIMPULAN
1. Reaksi anafilaktik merupakan reaksi alergi akut sistemik yang berpotensial fatal
dan menimbulkan reaksi pada multiorgan akibat dilepasnya mediator-mediator
inflamasi dari sel mast dan basofil.
2. Reaksi anafilaktik termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I dan berbeda
dengan reaksi anafilaktoid yang tidak melibatkan reaksi imunologik.
3. Etiologi terjadinya reaksi anafilaktik berbeda-beda dalam kelompok usia tertentu.
4. Manifestasi klinis reaksi anafilaktik dapat muncul pada beberapa organ secara
serentak atau hampir serentak. Pada pasien anafilaktik, biasanya dijumpai keluhan
dua organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu.
5. American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology telah membuat kriteria
diagnosis untuk anafilaksis.
6. Dengan penanganan yang

cepat,

tepat,

dan

sesuai

dengan

prinsip

kegawatdaruratan, reaksi anafilaktik jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi


anafilaktik tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaktik untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

23

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Abul K. and Lichtman, Andrew H. 2004. Basic Immunology: Functions and
Disorders of the Immune System, 2nd edition. Philadelphia: Elsevier.
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Perioperative and Critical Care
Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhails Clinical Anesthesiology,
5th edition. United States: McGraw-Hill. p. 1217-22.
Johnson RF and Peebles RS. 2011. Anaphylactic Shock: Pathophysiology,
Recognition,

and

Treatment.

Medscape.

Available

from

URL:

http://www.medscape.com/viewarticle/4974982. Accessed on August 19, 2014.


Longecker, DE. 2008. Anaphylactic Reaction and Anesthesia. Anesthesiology, Chapter
88, pp 1948-1963.
Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. 2006. Anaphylaxis: Diagnosis and Management.
Available from URL: https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxisdiagnosis-and-management. Accessed on August 19, 2014.
Muraro, A., G. Roberts, A. Clark, A. Eigenmann, S. Halken, G. Lack et al. 2007. The
Management of Anaphylaxis in Childhood: Position Paper of the European
Academy of Allergology and Clinical Immunology. Allergy, 62: 857-71.
Mustafa,

S.

Shahzad.

2014.

Anaphylaxis.

Medscape.

Available

from

URL:

http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview#a0156. Accessed on
August 15, 2014.
Rengganis, I., Sundaru, H., Sukmana, N., Mahdi, D. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam: Renjatan Anafilaktik. Jakarta: Interna Publishing, hal 257-261.
Sampson HA, et al. 2006. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia.
Simons, et al. 2011. World Allergy Organization Guidlines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. WAO Journal, 4: 13-37.
Simons, et al. 2012. Update: World Allergy Organization Guidlines for the Assessment
and Management of Anaphylaxis. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Vol.12 (4): 389-399.
Soar, J.et al.2013. Emergency Treatment of Anaphylactic Reactions Guidelines for
Healthcare Providers.London: Resuscitation Council (UK).

Anda mungkin juga menyukai