Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan baik bagi tenaga kesehatan khususnya, maupun masyarakat
luas pada umunya. Hal ini dikarenakan penyakit ini dapat menimbulkan
wabah yang apabila penanganannya tidak tepat dapat mengakibatkan
kematian. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh
nyamuk dari family Flaviviridae yaitu Aedes aegypty, Aedes albopictus, dan
beberapa spesies Aedes lainnya. 1,2 Gejala klinis dari demam berdarah dengue
bersifat dinamis dan terdiri dari tiga fase, yaitu fase febris, fase kritis dan
penyembuhan.1
Demam dengue (DD) adalah suatu penyakit infeksi akut, yang
disebabkan oleh virus Dengue yang mempunyai 4 macam serotipe (DEN-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4). Dengan ciri-ciri demam yang bersifat bifasik,
mialgia, sakit kepala, nyeri di beberapa bagian tubuh, rash, limfadenopati, dan
leukopenia. Dalam kebanyakan kasus, DD bersifat self-limited, akan tetapi
ada resiko perkembangan progresif menjadi demam berdarah dengue (DBD)
atau sindrom syok dengue (SSD)3. Demam berdarah dengue adalah penyakit
virus dengan vektor nyamuk yang paling cepat tersebar penularannya di
dunia. Dalam lima puluh tahun terakhir, jumlah kasus dengue telah meningkat
tiga puluh kali dan telah menyebar ke negara-negara baru, sehingga kurang
lebih lima puluh juta infeksi dengue yang telah terjadi pada masa tersebut dan

sekitar 2,5 miliar populasi beresiko terjangkit virus ini karena tinggal di
daerah endemis.1
Masyarakat di Asia Tenggara memiliki resiko yang sangat besar
terhadap penularan virus dengue. Dari 2,5 miliar orang yang beresiko tertular,
sekitar 1,8 miliar tinggal di negara-negara Asia Tenggara dan region pasifik
Barat.1,2,4 Negara yang memiliki kerentanan terhadap serangan endemis
dengue antara lain Indonesia, Malaysia, Thailand dan Timor Leste. Hal ini
disebabkan karena cuaca yang tropis dan masih merupakan area equatorial
dimana Aedes aegypti menyebar di seluruh daerah tersebut1.
Di Indonesia DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun
1968.5 Sejak awal ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan
yang terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit
dan secara sporadik selalu terjadi KLB tiap tahun. Daerah rawan DBD merata
hampir di seluruh pulau di Indonesia. DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali,
Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Yogyakarta, Jawa Barat dan Papua Barat
merupakan provinsi-provinsi yang pernah tercatat sebagai pemilik lima besar
angka insiden DBD dalam jangka 4 tahun (2005-2009). Namun, data Depkes
RI 2009 menyebutkan bahwa daerah resiko DBD dari tahun 2005-2009 juga
pernah mencatat Jawa Tengah, Lampung, Sulawesu Tengah dan Gorontalo
sebagai daerah dengan resiko tinggi.6
Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD bisa berkembang biak di air
bersih. Tempat penampungan air, sampah yang menampung air hujan dan
bentuk bangunan yang mampu menampung air hujan seperti pagar bambu
2

merupakan tempat yang digunakan Aedes aegypri untuk berkembang biak.


Normalnya, nyamuk Aedes aegypri tidak terbang terlalu jauh. Jangkauannya
100 meter dari tempat tinggalnya. Maka, sarang nyamuk Aedes aegypri tidak
akan jauh dari masyarakat dan nyamuk Aedes aegypri aktif saat pagi dan
siang hari.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

EPIDEMIOLOGI
Dengue adalah penyakit virus mosquito borne yang persebarannya
paling cepat. Dalam lima puluh tahun terakhir, insidens penyakit meningkat
tiga puluh kali dan menyebar secara geografis ke Negara yang sebelumnya
belum terjangkit. Menurut data WHO 1955-2007, didapatkan lima puluh juta
infeksi Dengue setiap tahunnya dan terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di
Negara endemis.1
Dari 2,5 miliar populasi masyarakat di Negara endemis, sekitar 1,8
miliar tinggal di daerah Asia Tenggara dan Pasifik barat.1,4 Di daerah Asia
Tenggara, Dengue telah menjadi masalah kesehatan publik di Indonesia,
Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste yang diketahui daerah
beriklim tropis dan memiliki lokasi di zona equatorial, tempat dimana Aedes
3

Aegypti menyebar secara merata baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.1,2


DBD telah menjadi penyakit berpotensi tinggi menjadi penyebab kematian
pada anak.4
Di Indonesia Dengue pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada
tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya
meninggal dunia. Dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk,
jumlah penyebaran dan daerah persebarannya pun meningkat, dan hingga
sekarang sudah menyebar luas ke seluruh daerah di Indonesia. Menurut data
Depkes RI, sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan penyebaran jumlah
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota
menjadi 32 dan 382 kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga
peningkatan jumlah kasus DBD, dari 58 kasus pada tahun 1969 menjadi
158.912 kasus pada tahun 2009.6
Dengue di Indonesia memiliki siklus epidemik setiap sembilan hingga
sepuluh tahunan. Hal in terjadi karena perubahan iklim yang berpengaruh
terhadap kehidupan vektor, diluar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Menurut Mc Michael, perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan,
kelembaban suhu, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan
dan lautan serta berpengaruh terhadap perkembangan vektor penyakit seperti
nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi
masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor
peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan membaiknya sarana
4

transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan


semakin luas.6
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993-2009 terjadi
pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar
kasus DBD adalah kelompok umur < 15 tahun, di tahun 1999-2009 kelompok
umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur 15 tahun. Dan
bila dilihat distribusi kasus dilihat berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008,
presentase laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis
kelamin laki-laki adalah 10.463 orang dan perempuan berjumlah 8.991 orang.
Hal ini menggambarkan bahwa risiko tinggi terkena DBD untuk laki-laki dan
2.2

perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.


ETIOLOGI
Virus Dengue, merupakan anggota dari genus flavivirus dalam family
flaviviridae, terdiri dari single stranded RNA virus, berdiameter 30 nm, yang
biasa berkembang di berbagai tipe nyamuk dan keluar jaringan.4 Diketahui
terdapat 4 serotipe berbeda, yakni DENV1-4.2,4,7 Semua serotip tersebut
memiliki antigen yang bereaksi silang dengan virus lain yang bergenus sama,
seperti yellow fever, Japanese Encephalitis dan virus West Nile. Ditemukan
bukti dari studi laboratorium, bahwa ada perbedaan variasi genetik antara
empat strain tersebut. Sampai sekarang, diketahui ada tiga subtype dari
DENV-1, enam dari DENV2, empat dari DENV-3, dan empat dari DENV-4.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa masing-masing subtype memiliki
distribusi geografi yang berbeda. DENV-2 memiliki dua subtype yang terbatas
5

penyebarannya di Asia Tenggara dan Amerika. Ditemukan juga bahwa


virulensi dari setiap subtype berbeda-beda, kapasitas untuk menyebabkan
2.3

penyakit berat seperti demam berdarah dengue pun berbeda-beda.4


PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam
berdarah dengue, dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui
berperan adalah: a) respon humoral berupa pembentukan antibodi yang
berperan dalam netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan
dalam mempercepat replikasi virus pada monosit maupun makrofag. Hipotesis
ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b) limfosit T baik T
helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler
terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2, dan limfokin, sedangkan TH2 akan memproduksi IL4, IL-5, IL-6, dan IL-10; c) monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis
bakteri

dengan

opsonisasi

antibodi.

Namun

proses

fagositosis

ini

menyebabkan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) selain itu
aktivasi komplemen oleh kompleks imun akan menyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a.8
Halstead

pada

tahun

1973

mengajukan

hipotesis

secondary

heterelogous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang


terinfeksi ulang virus dengue tipe yang berbeda.Re-infeksi menyebabkan
reaksi anamnestik yang tinggi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks
6

imun yang tinggi. Kurane dan Enis pada tahun 1994 merangkum pendapat
Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue
menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virusantibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi dalam makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue mengakibatkan aktivasi sel T
helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma.
Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai
mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6
dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi
kebocoran plasma.8
Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat virus
Dengue. Orang ini biasanya menunjukan gejala sakit tetapi juga tidak sakit
yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue. Jika
orang digigit nyamuk Ae. aegypti maka virus akan masuk bersama darah yang
dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu, virus Dengue akan berkembang biak
dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk.
Dalam waktu satu minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan
ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada orang
lain. Selanjutnya pada waktu nyamuk menggigit orang lain, maka setelah alat
tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang
tersebut dihisap terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar air liur
nyamuk agar darah yang dihisap tidak membeku.3
7

Bersama dengan air liur nyamuk Ae. aegypti yang membawa virus
Dengue itu akan terserang penyakit demam berdarah, orang yang mempunyai
kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, tidak akan terserang penyakit
ini, meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut. Sebaliknya pada
orang yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue,
dia akan sakit demam ringan bahkan sakit berat yaitu demam tinggi disertai
perdarahan bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang
dimilikinya.3
Mekanisme perdarahan
Manifestasi perdarahan pada DBD yang paling sering didapatkan
berupa petekie di kulit dan kadang-kadang pada submukosa. Tes tourniquet
positif merupakan peningkatan fragilitas kapiler yang dijumpai lebih awal.
Gejala perdarahan yang berat sering terjadi adalah perdarahan gastrointestinal
dalam bentuk hematemesis dan atau melena. Pada kasus dengan prolonged
shock dapat terjadi perdarahan masif di jantung, paru, hati, dan otak.3
Peningkatan nilai hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi
yang terjadi akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskuler disertai efusi
cairan serosa, melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran ini volume
plasma menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya syok
hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Kadar hemoglobin pada hari-hari

pertama biasanya normal atau sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya


akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan kelainan
hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada DBD.3
Vaskulopati
Karakterisktik DBD adalah adanya plasma leakage dengan manifestasi
hemokonsentrasi, efusi, dan atau asites. Sebelumnya plasma leakage diduga
akibat peningkatan permeabilitas vaskuler selain adanya penemuan baru, yaitu
menduga adanya destruksi sel endotel disertai pelepasan mediator inflamasi
(il-6, il-8) yang dilepas oleh virus Dengue. Virus Dengue juga mengaktivasi
komplemen dan menimbulkan ekspresi molekul adhesi seperti icam-1,
ekspresi dari icam-1 bersama dengan il-8 akan meningkatkan permeabilitas
vaskuler pula.3
2.4

GEJALA KLINIS
Dengue merupakan penyakit sistemik yang dinamis.Perubahan yang
terjadi terdiri dari beberapa fase. Setelah peride inkubasi, penyakit mulai
berkembang menuju 3 fase febris, kritis dan penyembuhan.1
A. Fase febris
Pasien mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fibrilasi akut ini
bertahan 2-7 hari dan disertai eritema kulit, wajah yang memerah, sakit
sekujur badan, myalgia, arthralgia dan sakit kepala. Pada beberapa pasien
juga ditemukan radang tenggorokan, infeksi faring dan infeksi
konjungtiva. Anorexia, pusing dan muntah-muntah juga sering ditemui.
9

Febris antara dengue dan non dengue pada awal fase febris sulit
dibedakan. Oleh karena itu, monitoring dari tanda bahaya dan parameter
klinik lainnya sangat krusial untuk menilai progresif ke fase kritis.
Manifestasi hemoragik seperti petechie dan perdarahan membran
mukosa (hidung dan gusi) mungkin timbul. Perdarahan massif vagina dan
gastrointestinal juga mungkin timbul dalam fase ini. Hati juga sering
mengalami pembengkakan setelah beberapa hari demam. Tanda abnormal
pertama dari pemeriksaan darah rutin adalah penurunan total sel darah
putih yang menunjukkan kemungkinan besar terjangkit dengue.1
B. Fase kritis
Penurunan suhu setelah demam hingga temperature badan sekitar 37,5
38 C atau kurang, dapat terjadi selama 3-7 hari. Peningkatan
permeabilitas kapiler dan peningkatan hematokrit mungkin terjadi.
Kondisi tersebut menjadi tanda awal fase kritis. Kebocoran plasma bisa
terjadi 24-48 jam.1
Leukopenia progresif yang diikuti penurunan jumlah platelet bisa terjadi
setelah kebocoran plasma. Pada kondisi ini pasien yang permeabilitas
kapilernya tidak meningkat, kondisinya membaik. Sebaliknya pada pasien
yang permeabilitas kapilernya meningkat, terjadi kehilangan banyak
volume plasma. Derajat kebocoran plasma pun berbeda-beda. Efusi pleura
dan asites dapat terjadi. Derajat tingginya hematokrit menggambarkan
kebocoran plasma yang parah.1
Syok dapat terjadi ketika kehilangan cairan plasma hingga volume
yang kritis. Kemudian kondisi tersebut dilanjutkan dengan tanda bahaya
10

berupa temperatur badan yang subnormal. Apabila syok terjadi cukup


panjang dapat menyebabkan kerusakan organ, asidosis metabolik dan
DIC.1
C. Fase penyembuhan
Apabila pasien bertahan selama 24-48 jam fase kritis, reabsorbsi
gradual cairan ektravaskuler akan terjadi dalam 48-72 jam kemudian.
Kondisi akan membaik, nafsu makan meningkat, gejala gastrointestinal
mereda, hemodinamik makin stabil dan diuresis membaik. Namun pada
fase ini dapat terjadi pruritus, bradikardi dan perubahan pada EKG.1
Distress pernafasan yang diakibatkan oleh efusi pleura massif dan
ascites dapat muncul bila pasien diberikan cairan intravena yang
berlebihan. Pada fase kritis dan fase penyembuhan, pemberian cairan
berlebihan dihubungkan dengan edem pulmoner dan gagal jantung
kongestif. Berikut ini adalah tabel gambaran klinis dari setiap fase :

NO
1

FASE DBD

GEJALA KLINIS

Fase febris

Dehidrasi,

demam

mungkin
gangguan

tinggi

menyebabkan
neurologis

dan

kejang demam pada anak


2

Fase kritis

Syok

karena

kebocoran

plasma, perdarahan berat dan

11

kegagalan organ
3

Fase penyembuhan

Hypervolemia
pemberian

cairan

(apabila
intravena

berlebihan)
Sumber: WHO,20091
2.5

DIAGNOSIS
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium.9
A.
Kriteria klinis
Demam tinggi medadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus

menerus, selama 2-7 hari


Manifestasi perdarahan, termasuk uji bending positif, petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan / melena.

Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (
20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien

B.

C.

tampak gelisah.
Kriteria laboratorium9
Trombositopenia (100.000/mikroliter)
Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari
nilai dasar/menurut standar umur dan jenis kelamin.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan9
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia

hemokonsentrasi/peningkatan hematokrit 20%


Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
Dijumpai tanda perembesan plasma
o Efusi pleura (foto toraks/USG)
o Hipoalbuminemia

12

dan

Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 20119


DD/DBD Derajat

Tanda dan gejala

DD

Demam

Laboratorium

disertai

minimal

dengan 2 gejala
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Nyeri otot
Nyeri sendi/tulang
Ruam

Leukopenia (jumlah
leukosit

4000

sel/mm3)
Trombositopenia
(jumlah

kulit

makulopapular

Manifestasi perdarahan
Tidak
ada
tanda
perembesan plasma

trombosit

<100.000 sel/mm3)
Peningkatan
hematokrit (5 % 10%)
Tidak

ada

bukti

perembesan plasma
DBD

Demam

dan

perdarahan

(uji

positif)

dan

manifestasi Trombositopenia

perembesan plama
DBD

II

bendung 100.000

sel/mm3;

tanda peningkatan
hematokrit 20%

Seperti derajat I ditambah Trombositopenia


perdarahan spontan

<

100.000

<

sel/mm3;

peningkatan
hematokrit 20%
DBD

III

Seperti derajat I atau II Trombositopenia


13

<

ditambah kegagalan sirkulasi 100.000

sel/mm3;

(nadi lemah, tekanan nadi peningkatan


20

mmHg,

hipotensi, hematokrit 20%

gelisah, diuresis menurun)


DBD

IV

Syok hebat dengan tekanan Trombositopenia


darah dan nadi yang tidak 100.000
terdeteksi

<

sel/mm3;

peningkatan
hematokrit 20%

Diagnosis infeksi dengue :


Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan
deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau uji serologi anti dengue positif (IgM
anti dengue atau IgM/IgG anti dengue postif)

2.6

KOMPLIKASI
Demam Dengue : perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik,
trombositopenia hebat, dan trauma.9
Demam Berdarah Dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok
Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal

ginjal akut
Edema paru dan/atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading

pemberian cairan pada masa perembesan plasma


Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik dan
perdarahan hebat (DIC, kegagalan organ multiple)

14


2.7

Hipoglikemia/hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok

berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai


DIAGNOSIS BANDING9
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam
dengue dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka
untuk membedakan dengan campak, rubella, demam chikungunya,
leptospirosis, malaria, demam tifoid perlu ditanyakan gejala penyerta
lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan laboratorium
diperlukan sesuai indikasi

Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia,


atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium
darah tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila

2.8

diperlukan
Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan

apabila anak mengalami demam atau syok


PEMERIKSAAN PENUNJANG9
A. Laboratorium
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis
hematokrit dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1
setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah
hari ke 5-6. Deteksi antigen virus ini dapat dgunakan untuk diagnosis
awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat
membedakan penyakit DD/DBD
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue

15

Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5
mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14 dan akan

menurun/menghilang pada akhir minggu keempat sakit.


Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada
hari sakit ke 14 dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi

pada hari sakit ke-2


Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari
infeksi sekunder. Apabila rasio IgM : IgG > 1,2 menunjukkan
infeksi primer namun apabila IgM : IgG rasio < 1,2 menunjukkan
infeksi sekunder.

Diagnosis

Antibodi anti dengue


IgM

IgG

Infeksi primer

Positif

Negatif

Infeksi sekunder

Positif

Positif

Infeksi lampau

Negatif

Positif

Bukan dengue

Negatif

Negatif

Keterangan

Apabila klinis mengarah ke infeksi


dengue, pada fase penyembuhan :
IgM dan IgG diulang

B. Pemeriksaan radiologis
16

Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi :
Distress pernafasan/sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabila perembesan plasma telah mencapai

20% - 40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk

menilai edema paru karena overload pemberian cairan


Kelainan radiologi yang dapat terjadi : dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radiopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi dari pada

2.9

kiri, dan efusi pleura


Pada pemeriksaan USG dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika

felea dan dinding buli-buli


PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian
dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan
sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus
DBD. Asupan cairan oral pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan oral tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna.10
Parameter yang harus dimonitor:10

Keadaan umum, selera makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala

yang lain
Perfusi perifer sebagai indikator terjadinya syok

17

Tanda vital dicek setiap 2-4 jam pada pasien tidak syok dan 1-2 jam pada

pasien syok
Hematokrit diperiksa setiap 4-6 jam pada pasien yang stabil dan lebih

sering pada pasien yang tidak stabil atau yang terjadi perdarahan.
Produksi urin setiap 8-12 jam

Terapi intravena untuk DHF selama periode kritis


Indikasi terapi intravena:10

Pasien tidak mendapat cairan oral yang adekuat atau muntah


Peningkatan hematokrit terus menerus 10-20% walaupun rehidrasi oral

baik
Syok

Prinsip umum terapi cairan pada DHF yaitu:10

Cairan isotonik kristaloid harus digunakan selama periode kritis kecuali

pada bayi <6 bulan menggunakan NaCl 0,45%


Pasien dengan kebocoran plasma yang hebat dapat menggunakan dextran

40 atau gelatin.
Durasi terapi intravena tidak boleh lebih dari 24-48 jam untuk pasien
syok. Namun, pada pasien non-syok durasi terapi bisa lebih lama antara

60-72 jam.
Pada pasien obesitas, berat badan ideal menjadi patokan utama untuk
terapi cairan

Berat

Maintenanc

M+5%

Berat

badan

e (ml)

defisit (ml)

badan ideal e (ml)

ideal
(Kg)
5
10
15
20
25
30

Maintenanc

M+5%

(kg)
500
1000
1250
1500
1600
1700

750
1500
2000
2500
2850
3200

35
40
45
50
55
60
18

1800
1900
2000
2100
2200
2300

3550
3900
4250
4600
4950
5300

DHF grade I dan II


Secara umum, tunjangan cairan (oral + IV) adalah tentang
pemeliharaan (untuk satu hari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersamasama), yang akan diberikan selama 48 jam. Sebagai contoh, pada anak dengan
berat 20 kg, defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan
adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2500 ml
. Volume ini harus diberikan selama 48 jam non syok pasien. Tingkat
penggantian IV harus disesuaikan sesuai dengan tingkat kehilangan plasma,
dipandu oleh kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urine dan kadar
hematokrit.10
DHF grade III
DSS adalah syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan
ditandai dengan peningkatan vaskular sistemik resistensi, dimanifestasikan
dengan tekanan nadi menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan
peningkatan tekanan diastolik, misalnya 100/90 mmHg). Bila hipotensi ada,
kita harus menduga bahwa pendarahan parah, dan sering tersembunyi
perdarahan gastrointestinal, mungkin telah terjadi di samping. Sebagian besar
kasus DSS akan merespon 10 ml / kg pada anak-anak atau 300-500 ml pada
orang dewasa lebih satu jam atau dengan bolus, jika perlu. Selanjutnya,
pemberian cairan harus mengikuti grafik. Namun, sebelum mengurangi
tingkat penggantian IV, kondisi klinis, tanda-tanda vital, urine output dan
hematokrit harus diperiksa untuk memastikan perbaikan klinis.10
Singkatan
A (acidosis)

Pemeriksaan laboratorium
Catatan
Analisa gas darah (vena Indikasi syok.

B (bleeding)

maupun arteri)
Hematokrit

Jika turun dibandingkan


dengan sebelumnya
nilai
19

atau

tidak

naik,

cross-match darah yang


cepat
C (calcium)

Elektrolit, kalsium

transfusi.
Hipokalsemia ditemukan
hampir

disetiap

kasus

DHF tetapi asimptomatik.


Suplemen

kalsium

diindikasikan pada kasus


yang

berkomplikasi.

Dosis 1ml/kgbb, dengan


dosis
S (blood sugar)

maksimum

10ml/hari
Pada kasus yang parah

Gula darah

pasien mempunyai nafsu


makan yang buruk dan
disertai muntah.
Sangat penting bahwa tingkat cairan IV dapat dikurangi sebagai
perfusi perifer meningkatkan; tetapi harus dilanjutkan untuk jangka waktu
minimal 24 jam dan dihentikan sebesar 36 sampai 48 jam. Cairan yang
berlebihan akan menyebabkan efusi besar karena permeabilitas kapiler
meningkat.
Penggantian Volume untuk pasien dengan DSS diilustrasikan di bawah ini :
Tanda vital tidak stabil
Penurunan produki urin
Tanda-tanda syok
Oksigen via mask atau nasal kanul
Penggantian cairan dengan cepat (kristaloid 10 ml/kg/jam iv selama 1-2 jam)
Tanpa perbaikan

perbaikan
20

Turunkan menjadi 7, 5, 3, 1.5 ml/kg/jam

Koreksi ABC

Perbaikan lebih lanjut

Hematokrit meningkat

Hentikan terapi iv untuk 24-48 jam

Koloid iv (dextran 40)

Hematokrit menurun

PRC 5ml/kg/jam

Transfusi darah 10ml/kg/jam


Whole blood 10ml/kg/jam atau PRC 5ml/kg/jam

perbaikan
Turunkan menjadi 7, 5, 3, 1.5

ml/kg/jam

Alogaritma Penanganan Pasien DSS. Di kutip dari kepustakaan 2

DHF grade IV
Resusitasi cairan awal di Kelas 4 DBD lebih kuat agar cepat
mengembalikan darah. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sesegera
mungkin untuk ABC serta organ yang terlibat lainnya. Bahkan hipotensi
ringan harus ditangani secara agresif. 10 ml / kg cairan bolus harus diberikan
secepat mungkin, idealnya dalam waktu 10 sampai 15 menit. Ketika tekanan
darah dipulihkan, cairan intravena selanjutnya dapat diberikan seperti di kelas
3. Jika syok tidak reversibel setelah pertama 10 ml / kg, bolus ulangi 10 ml /
kg dan laboratorium hasil harus dikejar dan diperbaiki secepat mungkin.10
Transfusi darah darurat harus dianggap sebagai langkah berikutnya
dan diikuti dengan pemantauan lebih dekat, misalnya kateterisasi kandung
kemih terus menerus, kateterisasi arteri atau jalur vena sentral. Jika tekanan
darah dipulihkan setelah resusitasi cairan dengan atau tanpa transfusi darah,
21

dan adanya gangguan organ, pasien harus dikelola dengan tepat. Contoh
dukungan organ adalah dialisis peritoneal, terapi penggantian ginjal terus
menerus dan ventilasi mekanik. Jika akses intravena tidak dapat diperoleh,
coba solusi elektrolit oral jika pasien sadar atau rute intraosseous jika
sebaliknya. Akses intraosseous adalah tindakan life-saving dan harus dicoba
setelah 2-5 menit atau setelah dua usaha yang gagal di akses vena perifer atau
setelah rute oral gagal.10
Penanganan perdarahan berat
Jika sumber perdarahan diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk
menghentikan perdarahan jika mungkin. Epistaksis berat, misalnya, dapat
dikendalikan oleh nasal packing. Transfusi tidak boleh ditunda sampai
hematokrit turun ke tingkat rendah. Jika darah yang hilang dapat diukur, harus
diganti. Namun, jika tidak dapat diukur, aliquot dari 10 ml / kg darah segar
utuh atau 5 ml / kg sel darah merah baru dikemas harus ditransfusi dan respon
dievaluasi. Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonis dan inhibitor
pompa proton telah digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk
menunjukkan kemanjurannya. Tidak ada bukti untuk mendukung penggunaan
komponen darah seperti trombosit konsentrat, plasma beku segar atau
kriopresipitat. Penggunaannya dapat berkontribusi pada overload cairan.
Recombinant Factor 7 mungkin bisa membantu dalam beberapa pasien tanpa
kegagalan organ, tetapi sangat mahal dan umumnya tidak tersedia.10
Penanganan pasien beresiko tinggi
Pasien obesitas memiliki cadangan kurang pernapasan dan perawatan
harus dilakukan untuk menghindari berlebihan infus cairan intravena . Berat
badan yang ideal harus digunakan untuk menghitung cairan resusitasi dan
penggantian dan koloid harus dipertimbangkan pada tahap awal cairan terapi.
Setelah stabil, furosemide dapat diberikan untuk menginduksi diuresis .Bayi
juga memiliki cadangan kurang pernapasan dan lebih rentan terhadap
kerusakan hati dan ketidakseimbangan elektrolit. Mereka mungkin memiliki
22

durasi yang lebih singkat kebocoran plasma dan biasanya merespon dengan
cepat untuk resusitasi cairan. Karena itu, harus dievaluasi lebih sering untuk
asupan cairan oral dan output urin. Insulin intravena biasanya diperlukan
untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien dengan diabetes melitus. Ibu
hamil dengan demam berdarah harus dirawat dini. Perawatan bersama antara
kebidanan, kedokteran dan pediatri spesialisasi sangat penting. Keluarga
mungkin harus diberi konseling dalam beberapa situasi yang parah. Jumlah
dan tingkat cairan IV untuk ibu hamil harus sama dengan yang untuk wanita
tidak hamil. Terapi anti - koagulan mungkin harus dihentikan sementara
selama periode kritis .Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: Pasien-pasien
ini beresiko hemolisis dan akan memerlukan transfusi darah.10
Tanda-tanda perbaikan10

Stabil nadi, tekanan darah dan denyut pernapasan.


Suhu normal.
Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
Kembali nafsu makan.
Tidak ada muntah, tidak ada rasa sakit perut.
Output urin baik.
Stabil hematokrit pada tingkat dasar.

Manajemen overload cairan


Semua terapi cairan harus dihentikan .Pada tahap awal overload cairan
, beralih dari kristaloid koloid solusi sebagai cairan bolus. Dekstran 40 efektif
sebagai 10 ml / kg infus bolus, tetapi dosisnya dibatasi untuk 30 ml / kg / hari
karena efek pada ginjal. Dekstran 40 diekskresikan dalam urin dan akan
mempengaruhi osmolaritas urine. Pada tahap akhir overload cairan atau
mereka dengan edema paru, furosemide mungkin diberikan jika pasien
memiliki tanda-tanda vital stabil. Jika syok, cairan 10ml / kg / jam koloid
(dekstran) harus diberikan. Ketika tekanan darah stabil, biasanya dalam waktu
10 sampai 30 menit, injeksi IV furosemide 1 mg / kg / dosis dan lanjutkan
23

dengan infus dekstran sampai selesai. Cairan intravena harus dikurangi


menjadi serendah 1 ml / kg / jam sampai penghentian ketika hematokrit
menurun untuk baseline atau di bawah (dengan perbaikan klinis).10
Hal-hal berikut harus diperhatikan:10

Pasien-pasien ini harus memiliki kandung kemih kateter untuk memonitor

output urin per jam .


Furosemide harus diberikan selama infus dekstran karena hiperonkotik
yang sifat dekstran akan mempertahankan volume intravaskular sementara

furosemide menghabiskannya dalam kompartemen intravaskular .


Setelah pemberian furosemide, tanda-tanda vital harus dipantau setiap 15

menit selama satu jam untuk dicatat dampaknya .


Jika tidak ada output urin dalam menanggapi furosemide, memeriksa
status volume intravaskular. Pasien dalam keadaan gagal ginjal akut.
Pasien-pasien ini mungkin memerlukan dukungan ventilasi segera. Jika
volume intravaskular tidak memadai atau tekanan darah tidak stabil,

periksa laboratorium (ABC) dan ketidakseimbangan elektrolit lainnya.


Dalam kasus dengan tidak ada respon terhadap furosemide (tidak ada urin
yang diperoleh), dosis berulang furosemide dan dua kali lipat dari dosis
yang dianjurkan. Jika gagal ginjal, ginjal terapi penggantian yang harus

dilakukan sesegera mungkin . Kasus-kasus ini memiliki prognosis buruk.


Pada kasus-kasus gangguan pernafasan parah tindakan penyelamatan jiwa
harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perdarahan traumatis
adalah komplikasi yang paling serius dan mengarah sampai mati.

Informed consent kepada keluarga sangat penting dilakukan.


PENCEGAHAN DAN KONTROL
Kunci kontrol dari demam berdarah dan DHF / DSS adalah kontrol
dari Aedes aegypti.11 Nyamuk ini berkembang biak terutama pada wadah yang
digunakan untuk penyimpanan air, vas bunga, guci tua, kaleng tipis, dan
menggunakan ban dalam dan di sekitar tempat tinggal manusia. penghapusan
tempat-tempat perkembangbiakan ini merupakan metode yang efektif dan
24

definitif pengendalian vektor dan mencegah penularan DBD.12 Penggunaan


larvasida dan insektisida selama wabah terbatas. upaya sekarang berfokus
pada pendidikan kesehatan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk
mengendalikan vektor dengan mengurangi tempat perkembangbiakan. Vaksin
dengue dilemahkan berada dalam tahap akhir pembangunan dan telah
menghasilkan hasil yang menjanjikan dalam tes awal. Apakah vaksin dapat
memberikan

yang

aman,

tahan

lama

untuk

kekebalan

penyakit

immunopatologi seperti DHF / DSS di daerah endemik adalah masalah yang


harus diuji, namun diharapkan bahwa vaksinasi akan mengurangi penularan.11

25

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Dengue Guidelines
Control.2009.

[cited

For Diagnosis, Treatment,


Maret

28,

2015].

Prevention And

Available

from

http://apps.who.int/tdr/svc/publications/training-guideline-publications/denguediagnosis-treatment.
2. WHO Regional Office for South-East Asia. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2010. [cited:
Maret

28,

2015].

Available

from

http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_DHF_preventioncontrol_guidelines_
rev.pdf.
3. Nasronudin. Patofisiologi Infeksi Virus Dengue dalam : Penyakit Infeksi di
Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Nasronudin. Surabaya : Airlangga
University Press : 2-11. H 103-7
4. Cook, Gordon dan Alimuddin L. Zumla. Mansons Tropical Disease 22 th Edition.
Philadelphia : Saunders Elsevier. 2009.p. 753-762.
5. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo. Buku Ajar Ilmu Kesehatan AnakInfeksi dan
Penyakit Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.

26

6. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Volume 2.
2010. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Available from :
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN DBD.pdf
7. Nelson WE., Kligman R. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik
Wahab.2000. Jakarta: EGC.2000
8. Sundaru Heru, Sukamto. Demam Berdarah. Dalam : Sudoyo, Ayu W, dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006.h.2772-5.
9. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
10. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever Revised and Expanded Edition. India: WHO Library
Cataloguing;2011. H 5-53.
11. Clarence J. Peters. Dengue Hemorrhagic fever/ Dengue Shock Syndrome. In:
Lanco, etc, editors. Horrisons Principle of International Medicine. 18th Ed. USA :
McGraw Hill;2012.p 1632-3.
12. Nimmannitya, Suchitra. Dengue and Dengue Haemorrhagic fever. In: Gordon C.
Cook, Alimuddin I. Zumla, editors. Mansons Tropical Disease. 22 nd Ed. USA;
2009.P 753.

27

Anda mungkin juga menyukai