Anda di halaman 1dari 22

BAB I

STATUS PEDIATRIK

I.

IDENTIFIKASI
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Anak ke
Nama Ayah
Nama Ibu
Bangsa
Agama
Alamat

: Keyla Chynthia
: 4 tahun 11 bulan
: Perempuan
:1
: Toni
: Nining
: Sumatera
: Islam
: Jl. KI merogan perdana RT 31 RW 06

Dikirim oleh
MRS Tanggal

no.126 kertapati, palembang


: Poli RSMH
: 06 April 2015

ANAMNESIS
Tanggal
Diberikan oleh

A.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama
: Sebab pada seluruh tubuh
Keluhan tambahan
: Badan lemas
Riwayat Perjalanan Penyakit:

II.

( Subjektif / S)
:07 April 2015
:Ibu Pasien(Alloanamnesis)

4 hari SMRS, anak mengalami sembab pada kelopak mata. Sembab


dirasakan pada saat bangun tidur pagi hari. Anak juga mengalami batuk
(+), pilek (+), demam (-), BAB biasa, BAK sedikit (+), berbusa (+), warna
kuning. Anak tidak dibawa berobat.
2 hari SMRS anak juga mengalami sembab pada tungkai dan kelamin,
batuk (+), pilek (+), demam (-), BAB seperti biasa BAK sedikit (+)
berbusa (+), warna kuning. Anak dibawa berobat ke RSMH.
B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Lahir dari ibu G1P0Ao
1

Sakit saat hamil (-) , perdarahan (-), demam saat hamil dan menjelang

hamil (-), minum jamu atau obat-obat diluar yang diberikan bidan (-)
Riwayat KPSW (-), ketuban kental hijau (-), bau (-)
Masa Kehamilan
:Aterm
Partus
:spontan
Tempat
:di rumah
Ditolong oleh
:bidan
Tanggal
: 06 Mei 2010
BB
: 3000 gram
PB
: 50 cm
Riwayat Makanan
ASI
: 0-2 tahun
Bubur
: 6 bulan s/d 1 tahun
Nasi
: 1 tahun s/d sekarang
Kesan

C.

RIWAYAT IMUNISASI
BCG
:+
Polio
: Polio 1(+), Polio 2(+), Polio 3(+)
DPT
: DPT 1(+), DPT 2(+), DPT 3(+)
Hepatitis B
: Hep B (+), Hep B 1(+). Hep B 2 (+), Hep B 3 (+)
Campak
:+
Kesn

D.

: Asupan makanan cukup

: Imunisasi dasar lengkap

RIWAYAT KELUARGA
Perkawinan
: 6 tahun
Umur
: Ayah (28 tahun), Ibu (25 tahun)
Saudara
: Anak ke 1 dari 2 bersaudara
Penyakit yang pernah diderita:Tidak ada
Pedigree

E.

RIWAYAT PERKEMBANGAN
Tengkurap
: 3 bulan
Duduk
: 6 bulan
Berdiri
: 10 bulan
Berjalan
: 12 bulan
Kesan

: Perkembangan sesuai usia

F. RIWAYAT PERKEMBANGAN MENTAL


Perkembangan mental sesuai dengan usia
G. RIWAYAT SOSIOEKONOMI
Ayah bekerja sebagai supir dan ibu sebagai ibu rumah tangga.
Menanggung 2 orang anak. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS
kesehatan.
Kesan : Sosioekonomi menengah/cukup.
III.

PEMERIKSAAN FISIK ( Objektif / O)

A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


Keadaan Umum :Tampak sakit ringan
Kesadaran
:Compos mentis
BB
: 25 Kg
PB atau TB
: 106 cm
Status gizi
BB/U
: Antara 2 - 3 sd
TB (PB)/U
: Antara 0- 2 sd
BB/TB (PB)
: Diatas 3 sd
Kesan
: Obesitas
Lingkar kepala
: 50cm
Edema ( + /+ ), sianosis ( - / - ), dispnue ( - / - ), anemia ( - /- ), ikterus ( -/

- ), dismorfik ( Suhu
Respirasi
Tipe Pernapasan
Tekanan Darah
Nadi
Kulit

/-)
:36,8 OC
: 24 x/menit,teratur
:Torakal
:100/70
:100x/ menit, isi/tegangan cukup, regular
: Sawo matang , lesi kulit (-)

H. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA

: Bentuk simetris, cekung (-), menonjol (-),

rambut tidak mudah dicabut, moon face (+)


MATA
: Palpebra edem (+/+), mata cekung
(-/-), conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil
bulat, sentral, diameter 3 cm. reflex cahaya (+/+)
TELINGA :
Deformitas (-/-), nyeri tarik aurikula
(-/-), secret (-/-), MAE lapang,
HIDUNG :
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas
(-/-), secret (-/-)
MULUT : Mukosa bibir dan lidah kering (-/-),
chelitis (-/-), gigi geligi (-/-), lidah tenang,
LEHER
: Pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cmH20

THORAX : Bentuk normal


Paru-paru
o Inspeksi

: Statis; simetris kanan = kiri, dinamis; pergerakan paru

kanan = kiri, lesi kulit (-),retraksi

intercostalal, epigastrial, ekspirasi

memanjang (-)
o Palpasi
o Perkusi
o Auskultasi

: Stemfremituskanan =kiri normal


: Sonor pada kedua lapangan paru
: Vesikuler normal di kedua lapangan paru, ronkhi (-/-),

wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Ictus kordis tidak terlihat


: Ictus kordis tidak teraba, thrill (-)
: Batas jantung kanan = kiri normal
: HR 94x/m, irama reguler, bunyi jantung I dan II ,

o
o
o
o

murmur(-), gallop (-)


ABDOMEN
o Inspeksi
: Cembung (+), venektasi (-), lesi kulit (-)

o Palpasi

: Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak

teraba, shifting dullness (-)


o Perkusi
: Redup
o Auskultasi
: Bising usus normal

o Superior

EKSTREMITAS
: Deformitas (-), akral dingin (-), pucat (-), edema (+),

petechie (-), lesi kulit (-)


o Inferior
: Deformitas (-), akral dingin (-), pucat (-), edema pretibia
(+), petechie (-), lesi kulit (-)
GENITALIA DAN INGUINAL:
o Genitalia
: edema vulva (+)
o Inguinal
: Pembesaran KGB (-/-), hernia (-/-)

STATUS NEUROLOGIS

: Dalam batas normal

I. DAFTAR MASALAH
1. Sembab seluruh tubuh
J. DIAGNOSIS BANDING
Sindroma Nefrotik (SN) dependen steroid
Sindroma Nefritik Akut (SNA)
K. DIAGNOSIS KERJA
Sindroma Nefrotik (SN) dependen steroid
L. TATALAKSANA (Planning / P)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM tanggal 6 April 2015
1. Protein urin +3
2. Epitel (-)
3. Leukosit 0-2
4. Eritrosit 0-1
5. Sel hyalin (+1)
6. Bakteri (+2)
7. Mukus (+2)

TERAPI ( SUPORTIFSIMPTOMATIS-CAUSATIF)
o NON FARMAKOLOGIS
Tirah Baring
Diet rendah garam 2100 kkal + 30 gram protein dalam bentuk NB 3x
1 porsi

Pengobatan kortikosteroid dan diuretika:


- Metilprednisolone Full Dose 50 mg/ hari, 8 mg tab (3-2-2) 4
minggu

Bila remisi, diteruskan metilprednisolone alternating dose (37,5 mg/ hari)


(senin-rabu-jumat atau selasa-kamis-sabtu)

Dosis kemudian diturunkan secara bertahap sebanyak 0,2 mg/kgbb/hari


setiap 2 minggu dan dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps (0,1-0,5 mg/kgBB/hari alternating) dipertahankan
sampai 6-12 bulan lalu dicoba dihentikan.

Injeksi Furosemide 2x20 mg

o
o
o

PROGNOSIS
Qua ad vitam
Qua ad functionam
Qua ad sanationam

: dubia e45nb
: dubia
: dubia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi

Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri


dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab.
Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar
50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya
menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas,
kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang
azotemia.
2. Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma
nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila ini timbul
sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau
toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom
nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16
tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di
Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun.
Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri
menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
3. Etiologi sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik primer pada anak umumnya idopatik dan diduga ada
hubungan dengan genetik, imunologi dan alergi. Sindroma nefrotik pada anakanak juga diduga adalah sindrom nefrotik dengan perubahan minimal, sindrom
nefrotik kongenital, sindrom nefrotik dengan proliferasi mesangial difus,
glomerulosklerosis fokal dan segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif,
dan glomerulonefritis kresentrik.
Sindroma nefrotik sekunder dapat pula disebabkan oleh:
i. Penyakit infeksi: - HIV
- Hepatitis virus B dan C
- Sifilis

- Malaria
- Skistosoma
- Tuberkulosis
- Lepra
- Post Streptokokus
ii. Penyakit keganasan: - Adenokarsinoma paru, payudara, kolon,
- Limfoma Hodgkin
- Mieloma multipel
- Karsinoma ginjal
iii. Penyakit sistemik dan penyakit immune mediated:
-

Lupus Eritematosus Sistemik*

Henoch Scholein Purpura*

Sindrom Vaskulitis

Trombosis vena renalis

Artritis Reumatoid

MCTD (mixed connective tissue disease)

Poliartritis

Sarcoid

Dematitis Hepertiformis

iv. Penyakit keturunan dan metabolic

v.

Mellitus Diabetes

Amilodoisis

Sindrom Alport

Myxedema

Pre-eklamsia

Akibat toksin dan alergi


-

Keracunan logam berat (Au, Hg)

Keracuan probenicid, trimetadion, paradion atau


penisilamin

Gigitan serangga dan bisa ular

* Sindrom nefrotik sekuder pada anak sering sekunder dari vaskulitis


seperti Lupus Eritematosus Sistemik, Henoch Scholein Purpura, Limfoma
Maligna seperti penyakit Hodgkin, malaria kuatarna, infeksi virus hepatitis
B atau infeksi HIV.
4. Klasifikasi sindrom nefrotik
Berdasarkan etiologi
1. Sindrom Nefrotik Primer
i.

Sindrom Nefrotik Bawaan


Sindrom nefrotik yang diturunkan sebagai resesif autosom atau
karena reaksi fetomaternal

ii.

Sindrom Nefrotik Idiopatik


Sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebab terjadinya
gangguan pada glomerulus sehingga menunjukkan manifestasi
yang sama dengan sindrom nefrotik.

2. Sindrom Nefrotik Sekunder


Sindrom nefrotik bisa sekunder dari penyakit infeksi, keganasan, penyakit
sistemik, penyakit autoimun, penyakit metabolik, toksisitas dan alergi.
Berdasarkan histopatologi
Berdasarkan histopatologi, sindrom nefrotik terbagi atas perubahan
minimal dan perubahan non minimal.
Berdasarkan respons terhadap pengobatan steroid
Sindrom nefrotik bisa berespons terhadap pengobatan steroid dan bisa
juga tidak. Oleh yang demikian, sindroma nefrotik bisa dibagi menjadi
sindrom nefrotik yang berespons terhadap steroid dan sindrom nefrotik
yang tidak berespons terhadap steroid.
5. Patofisiologi

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya


sindrom nefrotik, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar, salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat
di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama
dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. proteinuria dinyatakan
berat untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien
yang bukan sindroma nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40
mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula
oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar
lipid kembali normal.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler

tetap

normal.

Retensi

cairan

selanjutnya

mengakibatkan

pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma


yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang
memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat
retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini

10

dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder
karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik
menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori
overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah
sebagai akibat hipervolemia.

Edema

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan


suatu
proses>>>
yang
Volume
Plasma
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis

penyakit

glomerulus

mungkin

merupakan

suatu

kombinasi

rangsangan yang lebih dari satu.


Retensi Na renal primer

Kelainan Glomerolus

Teori Underfilled

Teori Overfilled

11

Volume Plasma >>>


Tek.Onkotik koloid plasma <<<
Retensi
6. Manifestasi
Klinis Na renal sekunder >>>
Sindroma nefrotik idiopatik lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada

pada wanita (2:1) dan paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom
albuminuria

terdini telah dilaporkan padaEdema


setengah tahun terakhir pada usia satu tahun terakhir
dari usia satu tahun dan lazim pada orang dewasa. Episode awal dan kekambuhan
berikutnya dapat terjadi pasca infeksi virus saluran pernapasan yang nyata seperti
virus influenza. Juga kadang dimulai dengan episode awal lain seperti bengkak
periorbital dan oliguria. Penyakit ini biasanya muncul sebagai edema, yang pada
mulanya ditemukan disekitar mata dan pada tungkai bawah, di mana edemanya
bersifat pitting. Semakin lama, edema menjadi menyeluruh dan mungkin
Hipoalbuminemia
disertai kenaikan berat badan,
timbul asites dan/atau efusi pleura, penurunan curah

urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dan dari hari ke hari
dapat berpindah dari muka dan punggung ke perut, perineum dan kaki. Anoreksia,
nyeri perut dan diare lazim terjadi sedangkan hipertensi sebaliknya. dalam
beberapa hari,edema semakin jelas dan menjadi anasarka. Dengan perpindahan
volume plasma ke rongga
ketiga
dapat terjadi syok. Bila edema berat, dapat
Kelainan
Glomerolus
timbul dispnu akibat efusi pleura.
7. Pemeriksaan Penunjang

12

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah seperti pemeriksaan urin


yang meliputi pemeriksaan protein kualitatif/kuantitatif, kreatinin dan uji
selektivitas protein (PST) untuk menunjang bentuk lesi. Selain pemeriksaan urin
diperlukan juga pemeriksaan darah yang meliputi albumin darah, protein total dan
kolesterol. Dari pemeriksaan penunjang ini didapatkan proteinuria yang masif dan
ditemukan pada sediment urin nilai yang normal. Bila terjadi hematuria
mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misalnya
sclerosis glomerulus fokal). Albumin plasma rendah dan lipid meningkat. IgM
dapat meningkat, sedangkan IgG turun. Komplemen serum normal dan tidak ada
krioglobulin.
8.

Kriteria Diagnosis
1. Edema
2. Proteinuria massif
Urin : BANG atau DIPSTIX + 3 atau + 4 (kualitatif)
Protein > 40 mg/m3/jam, atau > 2 g/hr (kuantitatif)
Rasio protein : Kreatinin > 2,5 (Penilaian fungsi ginjal bisa normal
atau menurun. Keratin clearance ini bisa turun karenaterjadi
penurunan perfusi ginjal akibat penyusutan volume intravaskuler
dan akan kembali ke normal bila volume intravascular membaik)
Sediment urin biasanya normal
Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai
adanya lesi glomerular (misalnya : sclerosis glomerulus fokal)
3. Hipoalbuminemia
Albumin darah < 2 g/dl (20 g/L)
4. Dengan atau tanpa hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
5. IgM dapat meningkat sedangkan IgG turun
6. Komplimen serum normal dan tidak ada krioglobulin
7. Kadar kalsium serum total menurun (karena penurunan fraksi terikat
albumin)
8. Kadar C3 normal
13

Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan


laboratorium berupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m 2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.
Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer
untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis
dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
9.

Tatalaksana
Indikasi Rawat
-

SN serangan pertama kali

SN relaps dengan edema anasarka atau penyulit (infeksi berat, muntahmuntah, diare, hipovolemia, hipertensi, tromboemboli, GGA).

SN steroid resisten

SN steroid relaps sering dengan indikasi untuk terapi sitostatika tambahan

I. Sindroma nefrotik primer


Aktivitas
Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika edema anasarka,
dispneu, hipertensi tirah baring.
Dietetik
-

Protein normal sesuai RDA yaitu 2 g/kg/hr

Rendah garam (1-2 g/hr) selama edema/ mendapat terapi steroid.

Diuretika
Retriksi cairan (30 ml /kgBB/hari) selama ada edema berat dan oliguri.
Loop diuretic (furosemid 12 mg/kgbb/hr), bila kadar kalium rendah < 3,5
mEq/L dapat dikombinasi dengan spironolakton (12 mg/kgbb/hr) diberikan
pada edema berat/anasarka. Diuretika lebih dari 1 minggu periksa ulang
natrium dan kalium plasma.

14

Bila SN disertai hipovolemia (hipoalbuminemia berat kadar albumin 1,5


gr/dl) berikan infus albumin rendah garam 20-25 % 1 g/ kg BB atau plasma
sebanyak 1520 ml /kg BB dalam 1-2 jam, 15-30 menit setelah infus
albumin/plasma selesai diberikan furosemid 12 mg/kg BB IV.
Antibiotika/antiviral
Antibiotika diberikan bila:
-

Edema anasarka + laserasi kulit amoksisilin, eritromisin, sefaleksin

Infeksi beri antibiotika yang disesuaikan beratnya derajat infeksi

Bila terjadi infeksi varicella asiklovir 80 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis


7-10 hari, pengobatan kortikosteroid stop sementara.

Imunisasi
- Vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan steroid selesai.
- Kontak dengan penderita varicella Imunoglobulin varicella-zoster dalam waktu
< 72 jam
Tuberkulostatika
- Test Mantoux (+) beri INH profilaksis
- TBC aktif beri OAT
Pengobatan kortikosteroid
Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai halhal sebagai berikut: hipertensi, infeksi berat (viral/ bakteri), azotemia
A. Pengobatan inisial
-

Dosis inisial prednison atau prednisolon 60 mg/m2/hari atau 2


mg/kgbb/hari sesuai dengan BB ideal (BB/TB) dibagi 3 dosis
(maksimal 80 mg/hari) selama 4 minggu

Remisi (+) pada 4 minggu pertama, dosis alternating 40 mg/m2/hr (2/3


dosis initial) selang sehari pada pagi hari sudah makan selama 4 minggu

15

lalu stop. Bila remisi terjadi antara minggu ke 5 sampai dengan akhir
minggu ke 8, steroid alternating dilanjutkan 4 minggu lagi.
-

Remisi (-) sampai akhir minggu ke 8 resisten steroid

B. Pengobatan SN Relaps
Bila dijumpai proteinuria ( +2) setelah pengobatan steroid selesai, perlu
dicari faktor pemicunya (biasanya infeksi) dan diobati dengan AB selama 57
hari. Bila proteinuria jadi negatif tidak perlu diberi prednison, bila proteinuria
masih tetap ( +2) atau tidak ditemukan fokus infeksi mulai dengan
prednison dosis penuh sampai remisi (proteinuria negatif atau trace 3 hari
berturut-turut) (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dosis alternating selama 4
minggu stop.
Bila pada FD selama 4 minggu remisi (-), alternating 4 minggu remisi (-)
resisten steroid.
C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Ada 4 pilihan:
1) Dicoba pemberian steroid jangka panjang
2) Pemberian levamisol
3) Pengobatan CPA
4) Pengobatan siklosporin (terakhir)
Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan.
1) Steroid jangka panjang
Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh (4 minggu)
sampai terjadi remisi. Lanjutkan dengan steroid alternating (4 minggu),
kemudian dosis diturunkan perlahan 0,5 mg/kgbb setiap 4 minggu sampai
dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,10,5
mg/kgbb alternating, dapat diteruskan selama 612 bulan coba
dihentikan.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgbb/AD, tetapi
< 1 mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat dapat dicoba

16

dikombinasi dengan Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4 12


bulan atau langsung diberi CPA.
Bila pasien:
1) relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau
2) meskipun dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a) efek samping steroid yang berat
b) pernah relaps dengan gejala yang berat antara lain hipovolemia,
trombosis, sepsis diberikan CPA dengan dosis 2 3 mg/kgbb/hari
selama 8 12 minggu.
2) Sitostatika
2.1. Siklofosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb/hari atau intravena 500
mg/m2/hari atau
2.2. Klorambusil 0,2 mg/kgbb/hari selama 8 minggu.
Pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit, trombosit 1-2
x seminggu. Obat dihentikan bila jumlah lekosit < 3000/ul, Hb < 8 g/dl
atau trombosit < 100.000/ul dan diteruskan kembali setelah leukosit >
5000/ul.
3) Siklosporin (CyA)
Siklosporin dosis 5 mg/kgbb/hari dipakai pada:
1.Pada SN idiopatik yang tidak respon dengan pengobatan steroid atau
sitostatik.
2.Pada SN relaps sering/dependen steroid
D. Pengobatan SN resiten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Lakukan biopsi sebelum pengobatan dimulai. Obat-obat yang
digunakan bisa siklofosfamid puls 500 mg/m2/bulan + metilprednisolon 40
mg/m2/hari ALT selama 6 bulan atau siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari +
metilprednisolon 40 mg/m2/hari ALT selama 3-6 bulan

17

II. Sindroma nefrotik kongenital


- Steroid tidak diberikan.
- Pengobatan konservatif lainnya (Dietetik, penanggulangan infeksi, koreksi
hipovolemia )
- ACE inhibitor: enalapril 0,5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis atau captopril 0,3
mg/kgbb/kali dinagi 2-3 dosis dengan tujuan untuk menghilangkan proteinuria
dan menghambat terjadi gagal ginjal terminal.
- Transplantasi ginjal
III. Sindroma nefrotik sekunder
Disamping penanganan terhadap sindroma nefrotiknya, perlu pengobatan
terhadap penyakit yang mendasarinya tergantung pada SP masing-masing
dari jenis penyakit yang menimbulkan sindroma nefrotik.
IV. Pengobatan komplikasi
-

Infeksi (telah dibicarakan di atas)

Tromboemboli

Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/dependen steroid/ steroid


resisten: aspirin atau dipiridamol selama pengobatan steroid.
Heparin diberikan bila sudah terjadi trombosis.
-

Hipovolemia
Diatasi dengan infus NaCl fisologis, lalu disusul dengan infus albumin 1
gr/kgbb/ atau plasma 20 ml/kgbb (tetesan lambat10 tetes per menit).
Bila hipovolemia telah teratasi, penderita masih oliguria diberikan
furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.

Hipokalsemia
Suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D.
Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgbb intravena.

18

Tindak lanjut
Dilakukan pemeriksaan berat badan. intake-output, lingkaran perut, tekanan
darah setiap hari. Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu. Urinalisa dan
pemeriksaan protein semikuantitatif 2 kali seminggu (jika sudah trace,
diulangi 3 kali berturut-turut). Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit selama
perawatan sekali dua minggu. Awasi efek samping obat dan komplikasi yang
mungkin terjadi selama pasien dirawat. Bila ditemukan, harus ditanggulangi.
Indikasi pulang
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik, komplikasi teratasi, dalam
keadaan remisi.
Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu secara berobat jalan.
Setelah steroid dihentikan kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas
gejala.
10.

Komplikasi
Tromboemboli, infeksi, hiperlipidemia, hipokalsemia, hipovolemia, gagal

ginjal akut, anemia dan pertumbuhan abnormal.

11.
-

Prognosis
SNKM: 4 5% menjadi gagal ginjal terminal pada pengamatan 20 tahun.
GSFS: 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun.
SN primer (SNKM) /kortikosteroid responsif umumnya baik.
Pada kortikosteroid non responsif prognosis kurang baik, mortalitas pada
jenis GSFS 50% 16 tahun setelah diketahui, pada GNMP 50% 11 tahun
setelah diketahui. SN sekunder tergantung penyakit primer.

19

BAB III
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, An. Ira Safira, perempuan, 9 tahun 2 bulan, datang ke
RSMH dengan keluhan sembab di seluruh tubuh. Sembab di seluruh bisa
disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti adanya ginjal, gangguan jantung, paru,
dan hepar. Pada anamnesis, didapatkan BAK sedikit atau bahkan tidak sama
sekali yang menunjukan terjadinya gangguan pada ginjal. Sindrom nefrotik (SN)
merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria masif (40 mg/m2

20

LPB/jam atau rasio protein/kreatinin urin >2 atau dipstik 2+), hipoalbuminemia
(2,5 g/dL), edema dan atau hiperkolesterolemia.

Pasien ini datang dengan

edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asitesdan edema
genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan
berkurang. Sindrom nefrotik (SN) dibagi tiga yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder. Pada kasus ini, kemungkinan penyebab Sindrom nefrotik (SN)
adalah idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya karena gejala-gejala yang
muncul baru terjadi sejak anak usia 8 tahun.
Pada kasus jugaditemukan adanya keluhan sembab di seluruh tubuh dan
BAK sedikit. Sembab atau edema pada Sindrom nefrotik (SN) terjadi karena
hipoalbuminemia, dengan penurunan tekanan osmotic koloid, membantu cairan
transudat untuk keluar dari ruang vaskuler ke dalam interstitium. Mekanisme ini
hampir secara langsung menyebabkan edema. Selain itu, hipovolemia juga
mengakibatka penuruanan aliran plasma ke ginjal dan GFR, serta mengaktifkan
mekanisme rennin-angiotensin. Hipovolemia juga mengaktifkan reseptor volume
dalam atrium kiri. Akibatnya, peningkatan produksi aldostern dan hormone
antidiuretik (ADH). Ginjal tersebut menahan garam dan air, yang selanjutntya
akan memperburuk edema dan urin yang dikeluarkan sedikit.Penatalaksanaan
penderita ini dari nonfarmakologis adalah tirah baring dan diet. Obat yang
digunakan Cefriaxon 1x2 g tab, Inj. Furosemid 2x30 g, Metilprednisolon 50
g/hari.

DAFTAR PUSTAKA

Bergstein JM. Sindrom nefrotik. Dalam : Behrman RE, Kliegma RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia : WB
Saunders Co; 2004. h 1827-1832.
Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr 11 :
158-61.
Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical
Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical
Nephrology. London : Mosby; h. 5 : 21.1-4.

21

Garna H, Nataprawira HMD, Rahayuningsih SE. Pedoman diagnosis dan terapi


ilmu kesehatan anak. Edisi ke-3. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD, RS Dr. Hassan Sadikin; 2005 h 538-541.
Haycock G. The child with idiopathic nephritic syndrome. In : Webb N,
Postlethwaite R. Clinical pediatric nephrology. 3rd Edition. New York : Oxford
University Press Inc; 2003 h 341-365.
International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in
children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory
chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.
Mansjoer A. dkk, Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jilid ke-2. Jakarta :
Media Aesculapius 2005. h 488-490.
Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E,
editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas
Airlanggap. h 137-46.
Schwartz MW, dkk. Clinic handbook of pediatrics. USA : Williams & Wilkins;
2004 h 304-313.
Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis
sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas
Indonesia, 14 Oktober.
Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI h. 381-426.

22

Anda mungkin juga menyukai